Bab 3

Moga-moga Mas Ninu bisa jadi teman ngabisin waktu.
Jangan lupa kasi kritik, saran, vote dan comment ya guys.

Happy reading
Love, ya!
Shofie


Bab 3


Mengantar dan menjemput Dea sudah menjadi pekerjaanku semenjak gadis kecilku mulai sekolah. Salah satu keuntungan tidak memiliki atasan adalah, aku bisa mengatur waktu sesuai dengan jadwal Dea. Meski terkadang di saat jadwal Dea dan pekerjaan saling bertabrakan, aku akan meminta tolong Tatik—asisten rumah tanggaku—untuk menjemputnya. Seperti siang ini. Ketika kedatangan beberapa orang untuk membicarakan tentang proyek villa yang akan aku dan Gigih kerjakan bertepatan dengan jam pulang sekolah.

Non, Papa enggak bisa jemput.
Dijemput Mbak, ya.

Anindia
Siap, Bos!

Setelah menyimpan kembali ponsel di saku kemeja, aku mengalihkan perhatian pada coretan yang ada di atas desainku. Pemilik villa yang menginginkan unsur kayu mendominasi rumah liburannya memiliki beberapa ide dan memutuskan untuk mengambarkannya untukku. "Jadi gini Mas Wisnu, saya maunya ...." Dengan seksama aku berusaha mendengarkan setiap kata yang diucapkannya. Wanita berusia lima puluh tahun yang terlihat cantik dengan kemeja batik dan pencil skirt itu melarikan jari lentiknya di atas kertas. Sesekali membuat coretan yang semakin membuatku mengernyitkan kening karena bingung dengan perubahan rencana itu.

Gigih yang bisa mengerti dengan kekuatiranku terlihat menahan diri untuk tidak tertawa, meski sesekali aku membelalakkan mata saat mendapati Gigih memutar nola matahnya. "Nah, yang ini, saya maunya ganti yang seperti ini ... tunggu, kemarin sudah saya simpan fotonya." Aku kembali menahan napas mengetahui apapun yang akan wanita itu tunjukkan akan menjadi tantangan untuk kreatifitasku. "Nah, yang ini. Bisa, kan? Bisa, lah!" jawaban yang kembali terdengar dari bibir berlapis lipstick merah menyala tersebut. Maya—nama klien yang menolak untuk dipanggil Ibu—memutuskan untuk berpindah tempat tepat disampingku, memajukan badan menunjukkan ponsel di tangannya padaku. "Saya percaya Mas Wisnu pasti bisa memuaskan saya."

Aku tak ingin melihat wajah Gigih saat ini, karena tahu apa yang akan kulihat di sana. Maya kerap mengucapkan kata dengan makna ganda yang selalu membuat partner kerjaku menaik turunkan alis, dan menggodaku habis-habisan. Aku bukan pria buta yang tak bisa melihat tujuan Maya, tapi sayangnya bukan itu yang kucari dari seorang klien. Bahkan aku tak yakin apakah saat ini sedang mencari sama, seperti yang Gigih dapatkan bersama Yanti.

"Jangan kuatir, Mbak. Wisnu pasti bisa memuaskan, Mbak," jawab Gigih semakin membuat Maya bersemangat menginvasi area di sekitarku. Aku harus menahan diri untuk tidak beranjak dan seketika bersyukur ketika ponsel di saku bergetar.

"Ya Ti," jawabku ketika melihat nama Tatik di sana. "Sudah di rumah?" Setelah meminta maaf, aku keluar ruangan.

"Pak, maaf ... tadi ban motor saya bocor. Nyampe sekolah adek, udah sepi. Saya telepon-telepon, tapi enggak di jawab. Kata satpam semua anak-anak sudah keluar." Hatiku seketika jatuh ke dasar perut mendengar Tatik tidak bertemu Dea. Aku punya kebiasaan selalu membayangkan hal terburuk tentang semua hal, terlebih lagi Dea. Saat ini.kepalaku seketika penuh dengan berbagai macam pengandaian yang membuat napasku sesak.

"Tunggu di sana, Ti!" Tanpa menunggu jawaban Tatik, aku menutup ponsel dan berlari kembali ke ruanganku.

"Sorry, Dea enggak ada di sekolah. Aku harus pergi," bisikku pada Gigih yang mengangguk tanpa ragu sebelum menarik perhatian Maya dengan beberapa rencana yang sudah kami berdua bahas.

Pikiranku hanya tertuju pada Dea, tidak ada pekerjaan atau apapun yang bisa mengalihkannya. Berusaha untuk tenang—meski gagal—aku mengarahkan mobil menuju sekolah Dea dan berusaha untuk menekan pikiran buruk yang kembali bermunculan, memenuhi kepalaku.

Tatik terlihat duduk menunggu di dekat pos satpam dengan raut muka kuatir. "Kenapa enggak telepon saya waktu tahu ban motornya bocor, sih!" kataku berusaha untuk menekan marah. "Udah, saya aja yang masuk."

"Tadi saya telepon adek bilang kalau terlambat, Pak. Adek bilang kalau bakalan nunggu sampai saya datang, tapi—"

"Ya sudah, kamu pulang aja!" tanpa mempedulikan Tatik yang masih terlihat kuatir dan takut, aku melangkah memasuki sekolah yang terlihat sepi. Meski aku bisa melihat satu dua siswa yang masih menunggu, tapi tak terlihat Dea di mana-mana.

Kelas Dea di lantai dua menjadi tujuan pertamaku, dan seketika aku tahu hanya akan mendapat kekecewaan, karena tak terlihat siapapun di sana. Tak ingin berhenti di sana, aku menuju ruang guru sambil menelepon wali kelasnya. Namun, hingga langkahku berhenti di depan ruangan lebar yang berisi banyak meja, telepon itu masih tak terjawab.

"Lho, Pak Wisnu. Ada apa?" tanya perempuan berjilbab bernama Lana yang tidak menjawab teleponku beberapa saat lalu.

"Dea di mana ya, Bu?" tanyaku tanpa basa basi. "Hari ini yang jemput telat dan tadi sempat telepon Dea. Tapi setelah sampai di sini, Dea-nya enggak ada." Dari mata membelalak yang kulihat di wajah guru Dea, aku tahu bahwa perempuan itu pun tak mengetahui keberadaan anak gadisku. "Harusnya dia tidak diizinkan keluar sekolah kalau belum dijemput, kan!" Aku gagal menahan diri. Suara bentakanku bahkan membuat beberapa orang terkejut.

"Sabar, Pak. Saya akan bantu untuk mencari informasi. Saya mohon maaf sudah membuat Pak Wisnu kuatir, tapi bisa saya pastikan tidak ada anak-anak yang keluar area sekolah jika belum dijemput. Bapak bisa nunggu di dalam." Aku menolak permintaan itu dan mengatakan akan mencoba mencari di sekeliling sekolah.

Aku mengelilingi sekolah seperti orang gila, memasuki setiap kelas dan ruangan lainnya hingga merasakan getaran ponsel di tanganku. "Dea ada di hall, Pak," kata suara di ujung sambungan yang menjawab pertanyaanku. Aku memutus sambungan dan berlari menuju bangunan yang terletak di ujung belakang komplek sekolah tersebut. Tanpa peduli meski beberapa pasang mata memperhatikanku saat ini.

Dea menjadi pusat perhatianku sejak kelahirannya sepuluh tahun lalu. Gadis itu memiliki porsi terbesar mengisi hati dan pikranku selama ini, terlebih lagi ketika Cica memutuskan untuk bercerai. Hanya satu syarat yang aku minta saat itu, Dea tinggal bersamaku. Mungkin terlihat kejam, aku tak peduli. Sejak mendengar Cica mengatakan bertemu dengan orang lain, aku siap kehilangan semuanya, kecuali Dea. Gadis kecil itu menjadi alasanku untuk tetap bertahan dan tidak murka ketika mendapati satu-satunya perempuan yang kucinta memilih untuk bersama orang lain. terlebih lagi ketika mendengar pengakuan Cica tentang perasaannya selama ini, aku bisa gila jika tak mengingat keberadaan Dea yang ada di kamar sebelah.

Napasku masih memburu ketika memasuki hall yang terlihat ramap. "Lho, Papa! Kok di sini?" tanya Dea yang duduk tak jauh dari pintu hall. "Papa kok di sini, katanya Mbak Ti yang jemput?" tanya Dea yang semakin terlihat bingung mendapatiku berkeringat di depannya. Mungkin ia bisa melihat marah, takut dan kuatir yang selama beberapa saat mendominasi kepalaku. "Aku udah bikin salah lagi, ya?" tanya Dea pelan menundukkan kepala takut untuk menatap mataku.

Tak menunggu lebih lama lagi, aku menarik Dea masuk ke dalam pelukanku. Tak mengindahkan beberapa orang yang manatapku keheranan. "Kamu enggak bikin salah, Non. Papa aja yang kuatir karena Mbak nunggu lama di depan dan kamu enggak keluar. Kata satpam semua anak sudah pulang. Dea enggak jawab telepon Mbak juga." Aku masih memeluk erat anak gadisku yang bisa kurasakan menahan tangis karena takut berbuat salah.

"Maaf, Pa. Semalam lupa enggak isi baterai ponsel, abis jawab Mbak terus mati."

Aku mengendurkan pelukan dan menghembuskan napas lega sebelum duduk berselonjor di samping Dea yang menyandar di dinding memperhatikan beberapa anak latihan tari. Saat itulah aku menyadari perempuan yang menjadi pusat perhatian semua orang. Kenes. "Kenapa enggak pinjem ponsel gurumu? Waktu Mbak telepon, Papa langsung ke sini."

"Pa," kata Dea melingkarkan lengan di tanganku. "Tadi udah mau pinjem telepon tapi." Dea terdiam. "Waktu lihat mereka latihan, aku enggak nyadar kalau berhenti dan duduk di sini." Kuperhatikan beberapa orang tua menanti anaknya latihan dan mengernyitkan kening mendapati arah pandang Dea. "Maaf, Pa."

"Sebenarnya, Dea pengen ikut latihan nari atau apa kok tiba-tiba tertarik gitu?" Dea masih terdiam tak menjawab pertanyaanku. Pandangannya sesekali melirik deratan penunggu yang terlihat bergerombol sambil sesekali melirik ke arahnya.

"Enggak!" jawab Dea pelan. "Lagian enggak ada yang nungguin. Mereka yang latihan selalu ditungguin sama mamanya, aku kan enggak pu—"

"Papa yang akan nungguin Dea setiap kali latihan!" selaku. "Kalau emang pengen latihan, ya, latihan aja. Enggak perlu mikir siapa yang nungguin, kan?"

Perpisahan tak pernah mudah bagi siapapun termasuk mereka yang terjebak di tengah seperti Dea. Semenjak kecil, ia harus menerima kedua orang tuanya memiliki kehidupan yang terpisah dan terkadang membuatnya harus memilih. Selama ini, aku selalu berusaha untuk tidak mengambil pilihan itu untuknya. Jujur mengatakan apapun padanya—seperti ajaran kedua orang tuaku—tidak menutupi kenyataan meski itu membuatnya sedih. Melihatnya sedih seperti saat ini, membuatku semakin merasa gagal menjadi orang tua.

"Ish ... enggak ada bapak-bapak yang nungguin, Pa! lihat aja itu semuanya ibu-ibu." Aku tahu saat ini Dea menahan diri, dan itu membuatku tidak nyaman.

Kualihkan pandangan pada perempuan yang menari di iringi gamelan jawa dengan luwes. Rambut panjangnya bergerak melambai membuatku tak bisa memalingkah wajah. Aku tak pernah menikmati tarian apapun, termasuk tari tradisional jawa. Namun, memandang gemulai Kenes memberi contoh pada murid-muridnya, menarik untuk diperhatikan. Masih segar dalam ingatanku ketika mendengar cerita tentang ruangan latihannya, dan kini aku kembali mendapati mata Kenes berbinar terlihat lebih hidup. Meski dari kejauhan, aku bisa membayangkan binar mata Kenes.

"Gimana kalau Papa cari istri lagi, jadi ada yang nemeni aku latihan nari." Seketika aku menoleh ke arah Dea yang tak mengalihkan pandangan. Selama ini topik tentang pernikahan tak pernah muncul antara kami berdua. Mendengar hal itu dari bibir anakku satu-satunya, membuatku tak bisa menjawab.

"Ide dari mana itu?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri. "Kenapa tiba-tiba Dea ngomong seperti itu?" Selama ini, aku tak pernah mengatakan apapun tentang menikah. Bahkan hingga saat ini aku tak pernah mengenalkan Dea pada perempuan yang pernah dekat denganku. Walaupun kedekatan itu hanya sekedar keluar makan malam. "Non," panggilku ketika Dea masih menolak untuk memandangku.

"Karena Mama bilang kalau bulan depan mau nikah sama Om Ahsan." Napasku tercekat. Bukan karena sedih memikirkan Cica akan melepas masa lajangnya. Bukan karena marah, akhirnya dia menikah dengan pria yang membuatnya meninggalkanku. Bukan karena merasa kalah karena aku masih berada di tempat yang sama ketika dia melangkah pergi meninggalkanku. Bukan karena kesedihan Dea yang terdengar jelas ditelingaku. Namun, karena kalimat yang Dea ucapkan dengan pelan seolah merobek hatiku. "Dan Mama pengen aku ikut pindah ke Singapore."

Aku bisa kehilangan semua hasil kerjaku selama ini. Aku bisa kehilangan semua desain yang pernah kukerjakan. Aku bisa kehilangan semuanya, dan masih bisa berdiri lagi. Namun, jika aku kehilangan Dea, aku tak yakin masih bisa bernapas untuk berdiri lagi. "Dea mau ikut Mama?" tanyaku berusaha untuk menahan diri untuk tidak meraih anak gadisku yang masih menolak untuk mengakkan kepalanya. Meski saat ini terlihat satu persatu peserta latihan tari meninggalkan tempat. "Papa enggak akan menahan Dea kalau pengen ikut Mama pindah. Papa enggak akan menahan kebahagiaanmu, kamu tahu itu!"

"Mas Ninu, kok di sini? Ini siapa?"

Dea segera berdiri dan berlari meninggalkanku dan Kenes yang terlihat bingung. Matanya membelalak penuh tanya padaku meminta jawaban yang tak bisa kuberikan saat ini. Setelah meminta maaf dan berjanji akan menghubunginya, aku mengikuti arah yang Dea tuju.

Mendengar suara Dea yang menahan sedih membuat hatiku terasa tertusuk. Entah apa yang membuatnya menceritakan tentang keinginan Cica di sekolah. Melangkah menuju area parkir, bayangan wajah Dea dengan mata memerah menahan tangis melumpuhkan langkahku. Anakku sudah melewati banyak hal sejak balita. Ia terpisah dari wanita yang selama ini selalu bersamanya setiap saat. Apa yang kulakukan mungkin terasa kejam bagi siapapun, tapi itu semua kulakukan untuk Dea.

Melihat anak gadis yang selalu tampak cerita kini menyandar lemas di pintu samping mobil membuatku kembali memikirkan kegagalanku sebagai orang tua. Tidak seharusnya Dea menangis karena kedua orang tuanya, meski aku selalu berusaha utuk menghadirkan senyum di bibirnya.

"Pulang, yuk," ajakku sambil membuka pintu mobil untuknya. Menantinya hingga duduk dan memasang sabuk penganman sebelu memutar dan duduk di balik kemudi. Untuk beberapa saat, kamu berdua terdiam. Seolah tak ada satu katapun yang bisa membuat suasana hati kami berdua berubah. Terlebih lagi Dea yang menyimpan informasi itu sejak hari minggu. Hatiku semakin sedih mendapati selama beberapa hari anak gadis yang selalu menceritakan semua hal padaku, menyimpan informasi sebesar itu.

"Papa minta maaf, Non. Papa enggak tahu kalau Mama mau nikah atau bahkan pindah sejauh itu. Maafin Papa, ya." Dea menggeleng dan menatap kedua bola mataku. "Papa sayang kamu. Kita bahas nanti lagi, ya."

Sepanjang jalan, pikiranku semakin takmenentu. Marah pada Cica yang tidak menceritakan padaku terlebih dahulu. Sedihmemikirkan kemungkinan akan berpisah dengan Dea yang sudah menjadi pusatduniaku selama ini.


InsyaAllah mulai tanggal 17 ada cerita baru yang di publish setiap hari, jadi Mas Ninu ngalah dulu yaaaa.
Kita sambung lagi bulan depan. InsyaAllah.

Selamat menanti cerita baru

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top