Bab 27
Bab27
Kenes
Menikah tak pernah ada dalam bayanganku setelah Mas Bimo merusak acara lamaranku waktu itu. Aku tak ingin siapapun calon suamiku merasa malu karena tidak ada nama ayah yang akan di sebut dalam prosesi akad nikah nantinya. Ketiadaan keluarga yang akan mendampingi juga menjadi pertimbanganku untuk tidak menikah. Namun, kehadiran Mas Wisnu mengubah semuanya.
Pria itu dengan pelan dan pasti membuatku mulai mempercayai aku berhak untuk bahagia. Keyakinannya padaku membuatku yakin untuk menerima pinangannya. Ketidakhadiran keluarga juga tak pernah menjadi isu bagi Mas Wisnu, karena sepertiku, ia tak memiliki siapapun kecuali Dea. Kehadiran keluarga Bu Nah dan keluarganya. Yanti, Dara, Mas Gigih dan Mas Putra menjadi keluarga yang akan selalu ada untuk kami berdua.
Jantungku berdegup kencang. Genggaman tanganku mengeras ketika mendengar suara Mas Wisnu mengucapkan namaku. Proses akad nikah yang berlangsung di ruang tengah menjadi penanda bagi kehidupan baruku. Kepalaku semakin tertunduk ketika bukan nama Bapak yang diucapkan, melainkan nama Ibu. Di dalam hati, aku merasa semua orang menghujamkan pandangan padaku. Di dalam kepala, aku bisa melihat semua mengernyitkan kening ketika mendengarnya. Tangis yang kutahan tak bisa kubendung lagi ketika mendengar kata sah yang diikuti dengan doa dari semua tamu undangan.
Aku masih menundukkan kepala ketika merasakan jari telunjuk Mas Wisnu mendorong daguku ke atas. Senyum di bibir dan pandangan hangatnya membuat tangisku semakin deras. Tanpa mengatakan sesuatu, Mas Wisnu dengan lembut mengusap pipi dan mencium kedua mataku. "Istriku yang cantik. Ini hari bahagia. Semoga tangis yang ada di wajahmu bukan karena sedih, karena saat ini, bukan itu yang ada di hatiku."
"Maaf," kataku tak bisa menahan diri. "Aku takut Mas malu karena nama Ibu yang harus Mas sebut."
Mas wisnu menarikku masuk dalam pelukannya dan mengusap punggungku dengan lembut. Sesekali aku bisa merasakan kecupan di kepalaku. Tidak ada suara yang terdengar di sampingku, aku bahkan tak tahu kapan Yanti dan Dara meninggalkanku sendiri di dalam kamar tempatku menanti. "Dengan bangga aku menyebutmu istriku. Siapapun wali nikahmu."
Ia mengendurkan pelukan dan memaksaku menatap kedua matanya. "Kamu sayang aku, kan?" Kuanggukkan kepala dengan segera. "Kamu cinta aku, kan?" Aku kembali mengangguk. "Hanya itu yang penting. Bukan siapa wali nikahmu, tapi kamu." Sekian detik kami berdua hanya saling pandang tanpa ada kata yang terucap. Matanya seolah memelukku dengan kehangatan dan cinta yang bisa kurasakan.
"Nu, tatap-tatapane engko ae! Tanda tangan surat sik lagek buko." Suara Mas Gigih membuatku mengulum senyum, berbeda dengan Mas Wisnu yang segera menyambar benda terdekat untuk dilempar ke arah sahabatnya.
"Jancuk, Gih! Ganggu ae!" umpat Mas Wisnu kesal sebelum berdiri dan mengulurkan tangan ke arahku. "Siap?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan.
Tanda tangan dan juga foto dengan setiap tamu undangan berlalu begitu saja. Aku tak bisa memfokuskan pikiranku karena mataku hanya tertuju padanya. Pria yang hari ini resmi menjadi suamiku. Pria yang akan menjadi penopangku. Tempatku bersandar. Padanya aku menyerahkan hatiku. Bersamanya aku akan memulai kehidupan baru bersama.
Gelak tawa mengisi acara pernikahanku dan Mas Wisnu. Kami berdua hanya mengundang segelintir orang yang dekat di hati, dan itu membuat hari ini terasa lebih istimewa. Doa dari setiap orang yang membuatku tak berhenti bersyukur, Tuhan mengirimkan padaku orang-orang baik. Meski tak ada seorangpun yang memiliki hubungan darah denganku. Senyum di setiap wajah yang kulihat semakin melengkapi hari paling membahagiakan bagitu.
Hingga aku mendengar ucapan dari seseorang yang kukira tak akan pernah kulihat kembali. "Selamat Keket," ucap Mas Bimo yang segera menjadi pusat perhatian semua orang. Mataku membelalak tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku memintanya untuk tidak menemuiku, dan saat ini ia berdiri di depanku dengan senyum lebar di bibirnya. Aku bisa merasakan kehadiran Mas Wisnu di sampingku. Tangannya menarik lembut pinggangku, hingga punggungku bersandar di dadanya.
"Sorry telat, aku enggak dapat undangannya jadi harap maklum kal—"
"Ngapain Mas ke sini?!" bentakku tanpa mempedulikan semua orang yang ada di halaman belakang.
"Adikku satu-satunya melepas masa lajangnya, enggak mungkin aku enggak datang, kan. Meski kamu enggak mengundangku, tapi aku merasa harus hadir dan mengucapkan selamat." Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang terjadi. Kenapa Mas Bimo memilih hari ini untuk datang, dan merusak semuanya. "Selamat Wisnu, aku berharap kalian berdua bahagia."
Tubuhku menegang, berbeda dengan Mas Wisnu yang bisa kurasakan masih terasa santai. Lengannya melingkar di pinggangku dengan erat. "Makasih, Mas. Tapi sayangnya acara ini tertutup untuk umum, hanya keluarga terdekat saja." Sindiran halus di setiap kata yang Mas Wisnu ucapkan hanya Mas Bimo jawab dengan senyuman. "Silahkan keluar," kata Mas Wisnu.
"Hari pertama menjadi adik ipar, dan kamu sudah berani meng—"
"Please," kataku. "Aku enggak mau bertengkar hari ini. please, Mas. Aku enggak akan meminta apapun darimu lagi, kecuali hari ini. pergilah!"
Mas Bimo tak mengalihkan pandangannya dariku. Selama Mas Wisnu mengambil alih tugas menjawabnya pun, matanya hanya tertuju padaku. Senyum simpul yang beberapa saat lalu terukir jelas di wajahnya kini menghilang.
"Oke, aku pergi. Sekali lagi, selamat Keket." Napasku masih memburu meski kini tak tampak Mas Bimo di antara semua orang. Dadaku masih sesak mengingat aku tak bisa benar-benar lepas dari bayangan kakak lelakiku. Usapan lembut di punggungku pun tak membuat marah yang berada di dada berkurang. Hingga bisikan kata cinta dan sayang terdengar di telingaku.
"Maaf ... maaf ... maaf." Hanya itu yang bisa kuucapkan saat ini. kueratkan lingkaran tangan di pinggang Mas Wisnu dan mengubur wajahku di dadanya. Aroma parfumnya yang mengisi penciumanku, membuatku merasa aman. "Maaf," kataku sekali lagi.
"Enggak ada yang perlu dimaafkan. Anggap saja dia datang untuk memberi kita ucapan selamat. Jangan berpikir yang enggak-enggak. Hari ini adalah hari bahagia kita." Mas Wisnu mengedurkan pelukan dan berbisik tepat di telingaku. "Hari di mana akhirnya aku bisa buka puasa." Semua marah dan jengkelku menghilang seiring kata yang Mas Wisnu bisikan terdengar jelas di telingaku. Wajah pria yang saat ini terlihat berbinar itu membuatku gugup dan tersipu malu.
"Ninu! Jik akeh tamu!" teriak Mas Putra membuat pipiku semakin menghangat. "Sabar, Nu ... aku ngerti kamu uda puasa."
"Emang Papa puasa? Ini, kan bukan bulan puasa?" pertanyaan Dea membuatku melotot marah ke arah Mas Putra yang tertawa semakin kencang. Wajah Dea dan Lala yang terlihat bingung membuatku semakin kuatir. Kedua gadis yang beberapa saat lalu sibuk memperhatikan layar ponsel, kini terlihat menanti jawaban dari semua orang. "Emang maksud Om Putra apaan, Ma?" Aku terkejut mendengar pertanyaan Dea. Aku membuka dan menutup bibirku kembali. Selain tak tahu harus menjawab apa, aku masih tak percaya mendengar panggilan itu.
"Jawab, Ma! Anakmu tanya itu," kata Mas Wisnu.
"Aku masih enggak percaya Dea memanggilku Mama," ucapku menutup mulut. "Dia memanggilku Mama." Kualihkan pandangan hingga bertemu dengannya. "Mas enggak keberatan, kan?!"
Tak mengindahkan teriakan kedua sahabatnya, Mas Wisnu kembali menarikku masuk dalam pelukannya. Mencium puncak kepalaku dan berkata, "Kamu bukan wanita yang melahirkannya, tapi kamu adalah Mama Dea. Kenapa aku harus keberatan, Yang?"
Aku kembali menyurukkan kepala semakin dalam, mengisi paru-paruku dengan udara bercampur dengan aroma tubuhnya. Cinta yang kurasakan hari ini kembali membuatku meneteskan air mata. Suara Mas Gigih mencoba menjawab pertanyaan Dea tak membuatku melepas pelukan suamiku. Bahkan wajah Mas Gigih yang terlihat bingung ketika Dea kembali menanyakan sesuatu tak membuatku ingin meninggalkan tempatku saat ini.
"Kira-kira mereka masih lama enggak di sini, Yang?" Pertanyaan Mas Wisnu membuatku memundurkan kepala. "Jangan pura-pura enggak tahu gitu! Waktunya buka puasa ini, buka puasa!" Suamiku terpaksa mengecilkan suaranya, karena tak ingin Dea kembali menanyakan sesuatu. "Tas Dea sudah ada di mobil Gigih, dan kita punya waktu dua malam tiga hari untuk berdua."
Mas Wisnu tak pernah mengatakan kemana akan membawaku untuk berbulan madu. Namun, aku tahu dia tak akan meninggalkan Dea terlalu lama, meski tahu gadis kecil itu aman bersama Mas Gigih dan juga Yanti. "Emang kita mau ke mana? Luar kota?" Mas Wisnu menggeleng. "Di dalam kota?"
"Aku enggak mau ngabisin waktu di jalan," jawabnya sebelum membisikkan nama hotel tempatnya membawaku. Hotel bintang lima yang terletak di tengah kota menjadi pilihannya, dan aku semakin tak sabar untuk berangkat. "Mau berangkat sekarang?"
Kulirik semua orang yang masih terlihat menikmati suasana. Gelak tawa terdengar di sekelilingku. Wajah-wajah bahagia yang akan menjadi bagian dari kenangan istimewa hari ini menghangatkan hati. Kemunculan Mas Bimo tak mampu merusak kesempurnaan hari ini. Kegundahan yang muncul seiring kedatangannya pun tak bertahan lama di hatiku. "Sebentar lagi," pintaku. "Aku enggak mau hari ini cepet selesai. Melihat mereka ... keluarga yang tak terikat hubungan darah denganku ... makasih, Mas," kataku menatap kedua matanya. "Terima kasih sudah hadir dalam hidupku."
Mas Wisnu menangkup pipiku dan mendekatkan wajah, tapi sebelum aku bisa merasakan bibirnya, teriakan Mas Gigih membuat kami berdua memundurkan kepala. "Stop! Ada anak di bawah umur ini, berangkat sana! Jangan di sini!" usir Mas Gigih yang membentangkan kedua tangannya, mencoba menutup kedua mata Lala dan Dea.
Aku tersipu malu melihat Mas Gigih berusaha melindungi kedua anak gadis yang bahkan tak memperhatikan ke arah kami berdua. Kehebohan sikap sahabat suamiku tersebut membuat semua orang tertawa dan bersorak gembira. Setiap orang mengusir kami berdua, membuat pipiku semakin memerah. "Mau berangkat sekarang?" tanya Mas Wisnu yang kujawab dengan anggukan. "Yuk," ajaknya. Kami berdua bukan menuju pintu.
"Dea beneran enggak apa-apa tinggal sama Om Gih?" tanya Mas Wisnu pada anak gadisnya. Dea yang terlihat bosan mendengar pertanyaan papanya hanya mengangguk dan melingkarkan lengan di pinggangku. "Mama Papa berangkat dulu, ya. Kalau ada apa-apa telepo—"
"Dea enggak bakalan telepon kamu, Nu. Budhal, kono!"
Kupeluk dan kecup puncak kepala Dea beberapa kali sebelum melepasnya dan menyambut uluran tangan Mas Wisnu. Sorakan kembali terdengar membuat kami berdua mempercepat langkah menuju mobil Mas Wisnu. Namun, tak lama setelah kututup pintu mobil, bibir lembut itu menciumku. "Aku udah nunggu bisa nyium kamu dari tadi," kata Mas Wisnu setelah melepas pagutan bibirnya. "Sekarang kita bisa berangkat." Mas Wisnu tak melepas genggaman tangannya. Setiap kali aku menarik tangan, ia kembali mengeratkannya. "Di sini aja."
Sepanjang jalan menuju hotel, tak ada kata yang terucap dari bibir kami berdua. Ketegangan bisa kurasakan ketika hotel semakin terlihat. Aku tahu saat ini tanganku terasa basah, dan Mas Wisnu tidak mengatakan apapun. Beberapa kali aku harus menghembuskan napas panjang untuk meredakan degup jantungku, tapi ketika mobil sepenuhnya berhenti, aku tak bisa menahan diri.
"Aku gugup," ucapku.
Done ... makasih sudah menemani Mas Ninu mencari cinta
Sampai ketemu di cerita lainnya, yaaa
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top