Bab 25


Bab 25


Kenes

Dua hari setelah aku membaca surat Ibu, Mas Bimo datang tiba-tiba meski aku belum menghubunginya. Dia masih saja terlihat menjengkelkan di mataku, meski ada sesuatu yang berbeda darinya. Senyumnya terlihat meremehkan, setidaknya itulah yang kurasakan. Matanya tak lelah mengamati setiap sudut rumah seolah mencari sesuatu. Gerakan sekecil apapun yang dilakukannya, membuat level kejengkelanku meningkat.

"Mau apa?!" tanyaku tak lama setelah ia duduk bersila di depanku. Tumpukan kostum untuk pementasan bulan depan masih berserakan di sekelilingku.

"Kamu udah baca surat itu?" tanyanya. Mas Bimo meraih selembar kain jarik dan melipatnya dengan rapi sebelum meraih yang lainnya. Kutarik jarik di tangannya, hanya karena aku tak mau ada jejaknya di salah satu barangku.

"Mas dapat dari mana surat itu?" tanyaku ketus.

Mas Bimo tidak segera menjawabku, ia terlihat diam seolah mengingat sesuatu. Aku tak berencana bertanya kembali, jadi bibir kukunci menantinya mengatakan sesuatu. "Aku pernah lihat Ibu pergi sama laki-laki dan itu bukan Bapak." Mas Bimo memulai ceritanya. Aku bisa melihat benci terlintas di matanya meski hanya sesaat lalu menghilang. "Aku masih enggak mikir apa-apa waktu itu, hingga melihatnya lagi tak jauh dari rumah Kita. Dan itu semua terjadi setiap kali Bapak ada pekerjaan di luar kota."

Aku terlalu kecil untuk mengingat, berbeda dengan Mas Bimo. Bahkan aku tak menyadari sesuatu yang berbeda pada Ibu setiap kalu Bapak tidak ada di rumah. Aku merasa semakin lama kenangan bersama Ibu pun terkikis, membuatku merasa gagal menjadi anak.

"Aku masih enggak mikir apa-apa waktu itu," kata Mas Bimo membuyarkan lamunanku. Bibirku masih terkunci dan pandangan tak lepas dari Mas Bimo yang kini terlihat santai. Menyelonjorkan kaki dengan tangan di belakang, menatap langit-langit pendopo. "Semakin lama, aku menyadari sesuatu. Ibu terlihat banyak tersenyum setiap kali Bapak pergi ke luar kota. Wajahnya terlihat lebih cerah. Ibu terlihat lebih hidup."

Satu-satunya kenangan bersama Ibu yang masih melekat adalah ketika pelukan hangat setiap malam saat aku mendengarkan cerita. Bukan sembarang cerita, karena terkadang Ibu menceritakan tentang kisah di balik tarian yang dipelajarinya. Aku merasa Ibu seolah hanyut dengan ceritanya, terkadang wajahnya terlihat bersinar dan redup di waktu yang lain. Tidak ada ingatan tentang pria lain kecuali Bapak dalam hidupku. Namun, Mas Bimo memiliki kenangan yang berbeda.

"Aku enggak tahu itu," kataku mencoba mengingat sisa-sisa masa kecilku. "Waktu itu kamu umur berapa, Mas. Sepuluh tahu?" Ia mengangguk menjawabnya. "Gimana kamu bisa ngerti itu semua? Maksudku ... kamu masih kecil, kan?"

Mas Bimo semakin menyamankan diri, bahkan kini ia telentang berbantal tangannya. "Kalau kamu jadi aku, pastityahu. Sepanjang yang bisa kuingat, sikap Bapak dan Ibu terasa berbeda saat berada di ruangan yang sama. Mungkin waktu itu aku enggak tahu masalah mereka, tapi siapapun bisa merasakan ada yang salah dengan pernikahan keduanya."

"Mas dapat dari mana surat itu?"

"Enggak sengaja." Aku menolehkan kepala dengan cepat mendengar jawabannya. "Kamu enggak percaya?"

"Aku enggak terlalu ingat sama Bapak. Ingatanku tentangnya hanya malam itu. Ketika Bapak pergi tanpa menoleh ke belakang. Aku masih ingat siapa yang dipeluknya, dan itu bukan aku atau ibu!" Marah yang masih ada di hati masih terasa. Lirikan mas Bimo tak membuat marahku berkurang. "Kamu anak Bapak. Hanya kamu yang disayang, dan aku bisa merasakan itu. Saat itu, aku enggak tahu apa salahku. Sekarang ... jujur, aku enggak mau tahu tentang Bapak."

"Bapak meninggal setahun setelah aku lulus kuliah."

"Waktu kamu jual rumah Malang?" tanyaku tanpa merasa perlu memperhalus kalimat. Aku tahu Mas Bimo sengaja menjual rumah hadiah eyang di pernikahan kedua orang tuaku. "Iya, kan?"

Mas Bimo terdiam beberapa saat sebelum menegakkan pungung dan bersila berhadapan denganku. Matanya tajam terarah padaku. "Bapak sakit dan butuh banyak biaya, satu-satunya jalan dengan menjual rumah dan—"

"Kamu ketahuan nipu dan dipenjara. Waktu eyang cerita, aku enggak percaya kalau kamu bisa melakukan itu. Eyang enggak cerita detail, hanya bilang kalau kamu dipenjara dua tahun karena penipuan."

Hubunganku dengan pria yang masih menatapku saat ini tak pernah terasa seperti saudara semenjak ia berangkat ke Bandung. Panggilan Keket yang selalu disematkan padaku, tak pernah terdengar semenjak kami berdua pindah ke Surabaya. Aku merasa Mas Bimo berubah. "Aku terpaksa melakukannya, karena Bapak butuh biaya. Hasil penjualan rumah pun enggak bisa menutupi semua biaya pengobatan Bapak." Mendengarnya mengatakan Bapak sakit pun tak membuatku ingin bertanya apa penyakitnya. Keingintahuanku tentang Bapak tak pernah muncul semenjak aku menerima tak ada seorangpun yang mencintaiku. Eyang, Bu Nah dan keluarganya lah yang mencintaiku selama ini.

"Ibu selingkuh. Bapak pergi, sakit dan meninggal. Kamu pergi ninggalin aku di sini, jual rumah Malang tanpa sepengetahuan Eyang, dipenjara karena penipuan. Ada yang belum aku ketahui tentang carut marutnya kehidupan keluarga kita?" tanyaku semakin tak sabar ingin menyudahi pembicaraan tak berguna bersamanya. Berbeda dengan Mas Bimo yang terlihat semakin nyaman memandangku. Bahkan aku bisa melihat senyum di bibirnya.

"Apapun yang kulakukan, semua atas perintah Bapak," katanya. "Kamu tahu kalau Bapak dan Ibu dijodohkan?" Informasi baru itu membuatku menaikkan alis tak percaya. "Beneran. Bapak pernah bilang, dia jatuh cinta sama Ibu sejak pertama kali melihatnya menari, di sini. Tepat di pendopo ini."

Jujur, saat ini, aku tak tahu harus berpikir apa tentang Ibu dan pria yang seharusnya kupanggil Bapak. Kenyataan pernikahan mereka bukan berlandaskan cinta, membuatku sedikit mengerti dengan perselingkuhan Ibu. Meski itu menimbulkan banyak masalah bagiku saat ini. "Ibu jatuh cinta juga?" Mas Bimo menggeleng. "Lalu?"

"Menurut Bapak, Ibu sudah memiliki calon. Bapak tahu itu, dan ia tetap menyetujui perjodohan itu. Ibu enggak berani ngelawan Eyang, dan akhirnya menyetujui pernikahan yang sepertinya tak membuatnya bahagia. Kecuali ketika Ibu bertemu dengan bapak kandung kamu itu."

"Orang itu pacar Ibu dulu?" tanyaku menyimpulkan sendiri. "Jadi Ibu selingkuh sama pacarnya yang dulu?"

Mas Bimo kembali membuatku jengkel ketika ia berdiri dan berjalan menuju tiang kolom dari kayu jati yang berada di keempat sudut Pendopo. "Bapak bilang, Ibu adalah sumber kebahagiaannya selama ini. Bapak juga bilang alasannya pergi bukan karena tidak mencintai Ibu. Tapi karena rasa cintanya terlalu besar, Bapak tak ingin menahan Ibu lebih lama lagi."

Berjalan dari sudut ke sudut membuatku harus memutar tubuh mengikuti arah yang Mas Bimo tuju. "Aku enggak ngerti rasanya berkorban seperti Bapak. Saat tahu tentang perselingkuhan Ibu—"

"Kapan mas tahu?" selaku.

"Waktu nemu surat itu." Mas Bimo memandangku tajam, aku bisa merasakan setitik kebencian yang terllintas di matanya. "Aku ngerapikan barang peninggalan Ibu sebelum kita pindah ke rumah ini. Saat itulah semua mulai masuk akal. Ingatanku tentang pria yang selalu muncul setiap kali Bapak pergi membuat semuanya jelas. Itu kekasih Ibu waktu muda sebelum menerima perjodohan dengan Bapak."

"Mas kenal?" Mas Bimo menggeleng dan kembali meneruskan langkahnya mengelilingi Pendopo. "Tapi kamu udah janji untuk mengatakan siapa pria itu!"

"Aku bakalan kasih tahu siapa nama orang itu, tapi aku enggak kenal. Lagian dia udah meninggal," katanya.

Mataku membulat sempurna mendengar informasi tentang pria yang membuat kehidupan rumah tangga Ibu kacau. Tak terlihat setitik penyesalan atau marah di mata Mas Bimo, kakak lelakiku itu tampak tanpa emosi. "Katanya enggak kenal, tapi Mas kok tahu kalau dia udah meninggal?"

"Karena dia meninggal enggak lama setelah aku mendatanginya!"

"Katanya enggak kenal? Kenapa sekarang Mas bilang datangi orang itu. Berarti kenal, dong?!" hardikku. Aku berdiri dan menarik lengan bajunya hingga kini kami berdua berdiri berhadapan dengan mata saling menhujam tajam. "Mas kenal, kan?!"

"Aku enggak kenal. Aku datangin hanya untuk mengatakan kalau Ibu sudah meninggal." Kali ini aku melihat kebencian yang tampak jelas di matanya. "Aku enggak mengatakan tentang kelahiranmu. Aku enggak akan memberinya kebahagiaan, karena mengetahui ada darah dagingnya bersama wanita tercintanya."

"Mas!" bentakku.

"Kamu tahu kalau dia memiliki keluarga? Seorang istri dan empat orang anak laki-laki. Laki-laki seharusnya bisa dipegang omongannya, bukan kembali menemui kekasih lama dan meninggalkan luka seperti dia. Siapa yang memberinya hak untuk merusak keluargaku. Merusak rumah tangga ibu dan bapakku!"

Bentakan Mas Bimo membuat kakiku goyah dan jatuh terduduk dengan mulut terbuka. Tanpa kusadari, aku menangis mendengarnya. "Dia pria berkeluarga, Ke! Aku enggak mau melihatnya bahagia setelah apa yang dilakukannya pada Bapak!"

Aku menangis entah untuk siapa. Menangisi kemalangan Ibu yang harus menikah dengan pria lain dan meninggalkan kekasihnya. Atau menangisi pria yang tak tahu tentang kehadiranku hingga Tuhan memanggilnya. Atau menangisi tentang hubungan burukku dengan satu-satunya keluarga yang kupunya. "Kamu enggak pernah berniat untuk mengatakan siapa bapak kandungku, iya, kan?!" tanyaku lirih yang menyadari kebodohanku. Mempercayai setiap kata yang bahkan saat ini aku meragukan kebenarannya. "Kamu hanya ingin datang untuk menyiksaku, karena kamu membenciku."

"Aku enggak pernah membencimu. Aku hanya ingin meminta hakku atas harta peninggalan Eyang!"

Entah aku harus menangis bahagia atau sedih mendengar yang diperlukan Mas Bimo dariku hanya harta warisan. Untuk sesaat aku hampir saja mempercayai ketulusannya ketika ia memanggiku Keket. Namun, setelah mendengar kata-katanya, aku semakin ingin mempercepat proses penjualan. Aku tak ingin melihat kembali pria yang memiliki darah sama denganku. Setelah mengusap kasar wajah, kupandang Mas Bimo dengan dagu terangkat tinggi. "Aku sudah dapat pembeli, tapi enggak bisa kasih bagianmu dalam waktu dekat. Aku bakalan kasih hak kamu. Tapi aku mau kamu janji untuk enggak menemuiku lagi setelah urusan rumah ini selesai!"

Mas Bimo tak terlihat terkejut mendengar permintaanku, bahkan ia mengangguk tak lama setelah mendengar permintaanku. Kakak lelaki yang seharusnya menjadi pelindungku, hanya memberiku kekecewaan dan sakit hati. Pria yang seharusnya menjadi sandaranku, hanya membuatku terjatuh. Mas Bimo yang dulu selalu mengusap kepalaku dengan lembut, kini berganti dengan pria culas yang hanya menginginkan harta warisan Eyang.

"Mendingan kamu pulang, dimanapun rumah kamu, Mas. Jangan ke sini sebelum aku hubungi kamu. Jujur, aku enggak pengen lihat kamu lagi!"

Mas Bimo tak mengatakan apapun. Tanpa anggukan atau sepatah katapun, ia membalik badan dan keluar meninggalkanku dengan hati terluka. Tangisku kembali pecah mengingat semua cerita tentang ibu dan bapak kandungku. Kesedihan, kemarahan dan kekecewaan yang kini mengisi hati, membuatku tak bisa bergerak. Aku menangis tersedu-sedu hingga napasku sesak. Kucengkeram dada dan merasakan tangis yang tak kunjung reda. Kuraih ponsel di saku dan menghubungi satu-satunya pria yang tulus mencintaiku.

"Aku butuh kamu, Mas."


Kurang 2 bab lagi, guys
Makasih yaaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top