Bab 24


Bab 24 


Kenes

Wajah cemberutku membuat tawa Mas Wisnu semakin keras. Beberapa saat lalu aku menjadi Dewi sekartaji menari bersama Panji Asmara Bangun dalam imajinasiku, dan kini ia membuyarkan semuanya. "Kenapa?" tanyanya sambil terkekeh. "Lho! Aku salah apa?" tanya Mas Wisnu kembali ketika aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. Bahkan saat ini aku melotot marah padanya.

"Tanya kenapa? Aku baru aja bisa senyum. Ngebayangin jadi Dewi Sekartaji yang dicintai suaminya, dan kamu ngerusak suasana!" omelku yang masih jengkel karena Mas Wisnu mengingatkan pada surat yang kuabaikan selama ini.

"Apapun isi surat itu, mungkin bermanfaat bagimu, tapi bisa juga enggak, sih." tambahnya ketika melihatku membuka mulut. "Tapi, satu hal yang kutahu. Kamu akan menyesal kalau enggak melihat isinya. Kamu penasaran, tapi takut. Kalau enggak kamu buka, rasa penasaran itu akan tetap ada, Sayangku." Mas Wisnu sengaja mendorong pundaknya ke arahku, membuatku hampir kehilangan keseimbangan. "Aku temenin." Aku masih merasa jengkel tapi kepalaku mengangguk patuh. "Ambil sana!"

Dengan langkah berat, aku menuju tempat di mana kutinggalkan surat yang ingin kulupakan dan kembali berselonjor kaki di sebelahnya. "Udah, nih!" kataku.

"Buka!," perintahnya memintaku untuk mulai membaca. "Enggak harus sekarang juga, sih, sebenarnya. Aku punya seharian penuh, kok."

Membuka surat itu sama dengan menguak masa lalu, dan saat ini, bukan itu yang kuinginkan. Melangkah kembali ke waktu yang membuatku mengingat tentang Ibu bukan sesuatu yang kuinginkan. Bukan karena aku tidak mencintainya, tapi terlalu banyak hal yang terjadi di masa itu. Walaupun ada banyak kenanganku bersama Ibu yang hampir terlupakan. Kuusap pelan bagian belakang surat yang terlihat kusut dan membaliknya. Saat itulah aku menyadari sesuatu, aku mengenali alamat kirim yang ada di amplop surat tersebut.

"Ini surat untuk Ibu," kataku pelan. Mas Wisnu tidak mengatakan apapun. Dengan perasaan takut mencekam hati, kukeluarkan surat yang tampak terlipat rapi. Aku tak mengenali tulisan tangan itu. Namun, dari setiap kata yang tergoreskan di sana, aku bisa merasakan semuanya.

Sosok tanpa nama tersebut menceritakan tentang kerinduan dan perasaan cinta yang ada di hatinya untuk Ibu. Penantian panjangnya yang berbuah manis—Setidaknya untuk pria itu—membuatnya tidak bisa begitu saja kembali ke kehidupannya kembali. Dua lembar berisi tentang cinta dan harapannya untuk hidup bersama Ibu membuatku mulai mengerti dengan apa yang terjadi dengan rumah tangga kedua orang tuaku.

"Surat dari seseorang yang sepertinya mencintai Ibu. Aku curiga dia Bapak kandungku." Kulipat kertas itu kembali dan memasukkan pada amlop tanpa alamat pengirim tersebut. "Mas mau baca?" Mas Wisnu menggeleng. "Kenapa?"

"Karena itu masa lalu Ibu kamu, Sayang," jawabnya dengan lembut. "Aku enggak berhak untuk membacanya." Aku mengangguk mengerti dan tidak memaksanya untuk melakukan itu.

Masih duduk bersandar berdua bersama Mas Wisnu di ruang latihan, membuatku lupa tentang semua kegaduhan isi kepalaku. Ketenangan Mas Wisnu seolah memberiku kekuatan untuk berpikir obyektif. Apa yang kubaca beberapa saat lalu semakin menguatkan anggapanku selama ini. Bapak pasti pergi karena mengetahui tentang perselingkuhan Ibu, dan aku mengerti itu, meski tidak menyukainya.

"Mas Bimo dapat surat dari mana, ya, Mas? Bapak beneran tahu tentang perselingkuhan Ibu, enggak, ya?" tanyaku yang tetap tidak mendapatkan jawaban. "kalau Bapak tahu, gimana? Lagian kenapa dia kasih surat ini? Siapa pria ini? Enggak ada nama di lembar surat itu yang menandakan di mana keberadaannya. Bapak masih hidupku enggak, ya?"

"Kamu tahu siapa yang bisa menjawab semua itu, kan?" kuanggukkan kepala dan menghela napas panjang yang mengganjal di dada. "Terus kenapa? Enggak mau ketemu?" kukedikkan pundak, karena saat ini membayangkan bertemu dan berbicara dengan Mas Bimo terasa berat.

"Harus, ya?" tanyaku sebelum menyandarkan kepala di lengan Mas Wisnu dan menatap kaca di depan kami berdua. Tatapan kami berdua bertemu dan aku bisa merasakan lembutnya pandangannya. "Mas," panggilku tiba-tiba teringat isi surat Ibu. "Jika suatu saat Mas jatuh cinta sama perempuan lain—"

"Kok gitu ngomongnya!" kata Mas Wisnu dengan nada marah yang belum pernah kudengar selama bersamanya. "Aku enggak suka kamu ngomong seperti itu!"

"Tapi, Mas. Aku cuma mau bilang kalau—"

"Kamu tahu setiap kata yang kita ucapkan itu doa!" selanya lagi. "Kenapa enggak ucapkan sesuatu yang bagus, bukannya berandai-andai yang bisa buat pikiran enggak jelas."

"Karena aku anak hasil perselingkuhan!" bentakku. "Karena Ibu hamil dengan pria yang bukan suaminya. Karena aku enggak mau anak kita ngerasakan apa yang kurasakan. Karena aku enggak mau suatu saat kamu terbangun dan menyesal menikahiku. Karena aku enggak mau hidup tanpa kamu!" Kubiarkan air mata membasahi pipiku dan menatap Mas Wisnu yang terlihat terkejut mendengarnya.

Aku menggeser tubuh, membentangkan jarak sehingga kini kami berdua saling berhadapan. "Aku enggak mau suatu saat kamu pergi seperti Bapak. Aku enggak mau kamu merasa terjebak dalam sebuah pernikahan seperti apa yang Ibu rasakan bersama Bapak. Aku enggak mau—"

"Hidup tanpamu!" potong Mas Wisnu. "Aku bisa saja memilih perempuan lain, tapi aku enggak mau!"

Surat Ibu terasa berat membebaniku. Perasaan bersalah pada Bapak menghimpitku. Marah dan kecewa pada pilihan yang keduanya ambil membuatku meragukan kasih dan sayang mereka di masa kecilku. Sedih yang membuat dadaku sesak, mendatangkan perasaan takut kehilangan Mas Wisnu. Rasa takut yang selama ini tak pernah hadir dalam hatiku.

"Aku takut," kataku pelan dengan kepala tertunduk. "Setelah membaca surat ini, aku bisa merasakan cintanya untuk Ibu, dan itu menakutkan. Perasaan itu terkadang bisa menutup akal dan pikiran seseorang, dan aku ... aku takut suatu saat kamu menyadari aku bukanlah perempuan yang kamu inginkan."

"Gimana jika situasinya di balik. Gimana kalau suatu saat kamu merasa terkungkung? Gimana kalau kamu merasa tercekik selama menikah denganku? Gimana kalau kamu merasa enggak bisa bernapas ketika berada di dekatku?" Napasku tercekat menyadari kesalahanku. Kubekap mulut dan menggeleng berkali-kali. "Sayang ... ketakutan itu hanya membuat kita berdua diam di tempat. Kamu kira hanya kamu yang ngerasain itu, aku juga. Kamu tahu perjuanganku setelah Cica, kan?"

"Tapi, Mas—"

"Enggak ada tapi, berandai-andai atau apapun itu juga!" sela Mas Wisnu sambil menangkup pipiku. "Kita enggak bakalan tahu, seharmonis apa rumah tangga kita nanti. Kita juga enggak tahu sesering apa kita berselisih paham atau bahkan bertengkar hebat. Tapi, kita berdua tahu satu hal. Aku dan kamu akan berusaha untuk menyelesaikan semua masalah yang datang, bersama. Oke?!"

"Bersama," jawabku seiring dengan anggukan kepalanya.

"Bersama!" Puas dan lega terlihat jelas di wajah Mas Wisnu, senyumnya menular dan dalam sekejap, keraguan dan takut yang mendominasi hatiku pun menghilang.

"Sekarang, kamu telepon Bimo dan tanyakan kapan kalian berdua bisa bertemu!"

"Maaaaas," kataku dengan tubuh melorot ke bawah. "Dua kali. Dua kali kamu ngerusak momen. Tadi surat, sekarang Mas Bimo. Kenapa enggak biarin aku nikmati momen ini dulu, sih! Kenapa harus ngerusak gitu." Seperti anak kecil yang merajuk, aku mlungker di atas lantai menolak untuk melihatnya. Tawa Mas Wisnu pecah pun tak membuatku ingin mengubah posisi. "Mas Ninu kok gitu banget!"

"Karena aku pengen urusanmu dan Bimo segera selesai dan kita bisa nikah dengan tenang." Aku mengangkat kepala hanya untuk mendapati Mas Wisnu yang tertawa. "Emang enggak mau kalau kita bisa cepet nikah?"

"Ya mau!" jawabku lantang. "Tapi ya enggak ngerusak momen gitu, kan!" Kami berdua bersila saling berhadapan. "Aku tanya sekali lagi, yakin?" Mas Wisnu mengangguk. "Enggak bisa mundur atau menganulir jawaban lho ini, Mas." Ia kembali mengangguk. Setelah beberapa detik kami berdua saling memandang, aku mengangguk. "Oke, mari kita menikah segera setelah berkas selesai."

Kami berdua memutuskan untuk tidak kemana-mana, menghabiskan waktu berdua di rumahku. Bercerita tentang segala hal termasuk tentang rumah dan rencanaku untuk memindahkan sanggar tari ke tempat lain. "Ruko, mau?" tanya Mas Wisnu setelah kami berdua menyelesaikan mencuci piring bekas makan malam.

"Satu-satunya pilihan, ya Ruko," jawabku. "Jujur, aku belum mulai mencari, Mas. Rasanya terlalu cepat untuk itu, tapi sebenarnya aku harus mulai mencari untuk mempersiapkan semuanya." Dengan gelas di tangan masing-masing kami berdua berpindah ke sofa dan aku memilih bergelung di dalam pelukannya. "Aku bakalan kangen sama rumah ini."

Tidak ada kata yang terucap dari bibir kami berdua. Mas Wisnu memelukku dalam diam dan aku menikmati kehangatan yang ditawarkannya. Melindungiku dari semua masalah yang kuhadapi saat ini. memberiku ruang dan waktu untuk bernapas tanpa terasa sesak mengingat aku akan segera mengucapkan selamat tinggal pada rumah keluargaku. "Kamu mau kita pindah rumah agak besaran?" Pertanyaan Mas Wisnu membuatku terkejut.

"Kenapa dengan rumahmu sekarang, Mas? Atau karena Mas enggak mau aku tinggal di rumah tempatmu dan Mbak Cica tinggal dulu?"

"Aku pindah ke rumah itu tak lama setelah menceraikan Cica." Mas Wisnu terdiam seolah mengingat sesuatu.

"Terus masalahnya di mana?" tanyaku makin kebingungan dengan pertanyaan Mas Wisnu. "Kalau enggak ada yang kurang sama rumah itu, kenapa Mas pengen kita pindah?" Aku menarik badan dan memilih untuk duduk di atas pangkuannya.

"Karena aku pengen kita berdua sama-sama memulainya dari nol. Kita bertiga memulai sama-sama."

Bersama Mas Wisnu aku merasakan dicintai. Ia tak pernah lelah menunjukkan persaannya. Ketulusannya membuatku semakin yakin untuk melangkah bersamanya. Mas Wisnu bukan pria sempurna, ia memiliki banyak kekurangan, tapi itu semakin membuatku mencintainya. Seperti saat ini. Ajakan Mas Wisnu untuk mencari rumah baru, bukan karena ada jejak kenangan bersama mantan istrinya. Namun, karena ingin memulai semuanya dari awal bersamaku.

"Mas pengen kita pindah?" tanyaku. "Aku enggak mau kalau Mas Ninu ataupun Dea melakukan itu untukku. Aku ingin, kalaupun kita pindah, itu keputusan kita bertiga."

Lilitan lengan Mas Wisnu mengerat. Sesekali ia mengecup puncak kepalaku. "Aku sayang kamu, Ke. Hanya kamu!"

Janji yang kerap diucapkan itu, membuatku menengadahkan wajah dan menanti nya untuk menciumku. "Aku sayang Mas, sayang banget."

Kami berdua tidak mencari cinta, meski cinta datang. Kami berdua tidak saling mencari, tapi Tuhan mempertemukan kami. Saat ini, aku berada tepat di mana aku merasa menemukan diriku sendiri.


Bentar lagi, Mas Ninu kelar ya, guys.
Emang sengaja enggak bikin panjang sih.

Anyway, happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top