Bab 23


Bab 23 



Kenes

Aku masih menutup rapat bibirku. Menolak untuk melihat Mas Bimo yang tak terlihat tegang. Bahkan pria yang selalu berhasil membuatku jengkel itu tampak tenang. Sesekali senyum menghiasi wajahnya. Kepergian Mas Wisnu menjadi awal mula dari kecanggunganku dan kakak yang tak pernah terlihat memiliki perasaan sayang padaku terlihat semakin menikmatinya. "Kalau enggak ada yang mau Mas omongin, mendingan pulang. Kita berdua tahu kalau Mas enggak pernah suka sama aku, jadi mending—"

"Siapa bilang aku enggak pernah suka sama kamu?" Kepalaku terasa pening karena menoleh terlalu cepat. "Emang aku pernah bilang kalau enggak suka kamu?!"

Aku seperti berada di dunia parallel. Mas Bimo tak tampak seperti lelaki yang selalu menguji kesabaran beberapa saat lalu. "Aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah kamu bohongin, Mas. Udah, lah, mau bilang apa sebenarnya?!"

"Kamu tahu kenapa Bapak pergi?"

"Karena Bapak tahu ibu selingkuh, kan?" tanyaku tajam. "Mas juga pernah bilang kalau kepergian Bapak karena aku. Kamu udah memastikan aku tahum jadi enggak perlu diulangi lagi!" Anggukan kepalanya tidak membuat suasana hatiku membaik. "Sebenarnya Mas mau apa sih?!"

Diamnya semakin membuatku meradang hingga mengeluarkan dompet dari saku belakangnya. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya, jujur, aku mulai tak sabar melihatnya. Pria yang dulu sempat menjadi tempatku bersandar, kini terlihat menjengkelkan. Mengingat semua masalah yang ia bawa sejak kemunculannya membuatku tak bisa melihat hal baik dari kedatangannya. Walaupun entah berapa lama aku tak pernah melihatnya.

"Kamu harus baca ini!" Kuterima uluran Mas Bimo meski hatiku ragu. "Aku tahu kamu ragu, setidaknya baca aja dulu. Apapun yang akan kamu baca, semoga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu." Aku masih enggan melihat surat yang ada di tanganku. Mataku masih terpaku pada Mas Bimo. "Baca dan hubungi aku."

"Mas Bimo mau ke mana?" tanyaku keheranan melihat sikapnya.

"Kamu bakalan butuh waktu untuk memahami isi surat itu. Aku kasih kamu waktu sebanyak yang kamu mau untuk itu," katanya menunjuk surat di tanganku. "Untuk urusan rumah, aku butuh keputusanmu minggu depan!" Mas Bimo tidak memberiku kesempatan untuk menjawab atau bertanya. Ia berdiri dan meninggalkanku dengan banyak pertanyaan. "See you next time, Keket!" Sontak mataku membulat mendengar panggilannya untukku.

Mas Bimo selalu memanggilku Keket sejak kecil. Panggilan sayang yang pernah diberikannya itu membuatku merasa istimewa. Namun, semua berhenti ketika Bapak pergi, dan kini kembali terdengar tapi justru membuatku merasa muak. perasaan campur aduk membuatku tak bisa berkata-kata. Hingga terdengar pintu pagar terbuka dan tertutup, aku masih duduk diam memandang isi tanganku.

"Sayang, kenapa?" Suara Mas Wisnu menarikku kembali dari kenangan bersama Mas Bimo beberapa hari lalu. "Kenapa tiba-tiba diam?"

"Tadi keinget Mas Bimo, tapi... rasanya. Gini, lho Maksudku, Mas." Aku mengubah arah dudukku sepenuhnya melihat Mas Wisnu yang masih terlihat bingung melihatku. "Mas Bimo enggak bilang apa-apa, tapi dia kasih aku surat."

"Surat? Isinya?" Aku menggeleng. "Enggak dibaca?" Aku kembali menggelangkan kepala, karena hingga saat ini belum memiliki keberanian untuk membukanya. Sesuatu di dalam surat itu membuatku merasa takut, meski aku tak tahu isinya. "Kenapa?" Aku masih setia dengan jawabanku, kugelengkan kepala sekali lagi. "Ragu atau takut?" Kali ini aku mengangguk, karena di dalam hati, itulah yang kurasakan.

"Aku merasa ada sesuatu di dalam surat itu yang membuatku ...." Tidak ada kata yang pas untuk menggambarkan isi kepalaku. "Mas ngerti enggak, sih?" Kali ini Mas Wisnu yang menggeleng dan aku mengerti dengan kebingungannya melihat sikapku.

Mas Wisnu tak pernah memaksaku untuk melakukan sesuatu. Setiap kali mendengarkan ceritaku, ia tak pernah menyela, mendesakku atau meminta sesuatu dariku. Namun, kali ini terasa berbeda. Pandangan matanya seolah mengatakan aku akan menyesal jika tidak membacanya, dan itu semakin membuatku ragu dan takut untuk membukanya.

"Aku temani," kata Mas Wisnu. "Aku enggak akan ikut baca, tapi dengan senang hati duduk di sampingmu untuk nemenin kamu." Tawaran yang segera kuterima tanpa berpikir dua kali itu membuatku bernapas sedikit lega ketika mengingat tantang surat. Membayangkannya ada di sana ketika aku membaca kata demi kata memberikan kenyamanan dan keberanian.

"Beneran?" tanyaku meyakinkan diri sendiri. "Konyol enggak, sih? Baca surat aja pake di temenin."

Tanpa menjawab pertanyaan, Mas Wisnu menarik kedua tanganku. "Ayo! Kalau setelah itu kamu masih pengen pergi, kita berangkat. Tapi ... kalau kamu lebih suka kita enggak kemana-mana, aku tetap temanin kamu. Yuk!" Kami berdua melangkah keluar dari rumah Mas Wisnu dengan tangan saling menggenggam. Kehangatan yang kurasakan membuatku semakin yakin untuk memulai hidup baru dengannya.

Selama perjalanan, aku diam menatap jalanan tanpa ada keinginan untuk berkata apapun. Mas wisnu yang mengerti saat ini aku tak ingin mengatakan apapun, tak sekalipun mencoba untuk mengatakan sesuatu padaku. Hingga mobil berhenti tepat di depan pagar, aku masih terdiam. Aku tak mencoba untuk beranjak ketika Mas Wisnu meminta kunci pagar, dan keluar untuk membuka sebelum memasukkan mobil. Sepanjang waktu aku hanya duduk mengamati gerakannya.

"Yuk, turun!" perintahnya setelah membuka pintu mobil dan menantiku untuk turun. Kuhela napas panjang dan menerima uluran tangannya. "Kalau begini udah penuhi kriteria cowok idaman seperti tokoh dalam novelmu belum, Yang?" tanyanya mencoba untuk meringankan suasana hatiku. Namun, aku yang tak ada keinginan untuk tersenyum hanya mengangguk dan berjalan menuju pintu utama.

Rumah terasa sepi ketika. Tidak ada suara ibu di dapur, tidak ada dengungan mesin cuci yang terkadang mengisi ruang dengarku. Tidak ada apapun kecuali aku, detak jantungku yang menggedor rongga dada juga Mas Wisnu di belakangku. Rumah yang semakin lama terasa berbeda ini membuatku tak sabar untuk segera keluar. Walaupun ada sedih yang membayangi hatiku. "Tunggu, aku ambil suratnya dulu," kataku memutuskan untuk meninggalkan Mas Wisnu di ruang tengah.

Surat itu masih tergeletak di atas meja, bersama beberapa barang yang kuletakkan sembarangan. Bahkan separuh bagian surat tertutup oleh novel yang sengaja kuletakkan di atasnya. Setiap kali aku melangkah memasuki kamar, mataku selalu mencari keberadaan surat itu. beberapa saat kemudian aku tidak menemukan Mas Wisnu di ruang tengah. Bahkan pria yang beberapa menit lalu terlihat duduk di atas sofa, kini tak nampak di sana.

Setelah berkeliling rumah, aku menemukan di ruang yang tak pernah terlintas akan melihatnya di sana. Ruang latihan tariku. "Aku enggak pernah ngebayangin kamu ada di sini, Mas," kataku dari ambang pintu. Pria yang saat ini duduk berselonjor kaki di tengah ruangan terlihat santai dengan tangan di belakang. "Kenapa?"

"Kamu mau nari sesuatu untukku?" pinta Mas Wisnu tiba-tiba. "Please. Aku belum pernah benar-benar melihatmu nari." Keinginan yang tak pernah kubayangkan akan mendengar dari bibirnya. Aku tahu Mas Wisnu menghargai semua usahaku untuk ikut melestarikan budaya. Namun, tak sekalipun ia mengatakan dengan sengaja ingin melihatku menari. Aku tak menampik perasaan bangga yang muncul di hatiku saat ini. Mendapati pandangan yang hanya tertuju padaku dengan penuh cinta memenuhi hatiku.

"Tari apa aja, kan, ya." Aku masih setia menyandar di kusen pintu ketika Mas Wisnu mengangguk semangat. "Jangan diketawain lho, ya!"

Menunjuk telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V, Mas Wisnu berjanji. "Aku enggak akan pernah ngetawain tarianmu, Sayang. Please dance something for me." Senyum di wajah yang penuh cinta berhasil membuatku melangkah menuju ujung ruangan. Mencari lagu yang kuinginkan di ponsel sebelum mempersiapkan diri. Tak lama kemudian terdengar lagu yang akrab di telinga, dan aku seolah menyatu dengan alunan alat musik. Menjadi Dewi Sekartaji meski saat ini aku menari tanpa Panji Asmara Bangun di sampingku.

Kisah cinta yang terasa di setiap gerakan membuatku lupa akan sepasang mata terpaku padaku. Hingga tepuk tangannya menyadarkanku. "Kamu ... aku enggak punya kata-kata untuk gambarin apa yang baru aja kulihat. Kamu kelihatan berbeda, Sayang. Makasih, aku merasa terhormat mendapat keistimewaan melihat tarianmu."

Napasku belum sepenuhnya normal ketika duduk menyandar di samping Mas Wisnu yang masih terlihat bersemangat. "Ini bukan kali pertama aku lihat kamu nari. Tapi tarian tadi ... sebenarnya apa cerita di balik itu. Pasti ada dong," katanya ketika melihatku tak kunjung menjawabnya. "Tunggu, aku ambilin kamu minum dulu." Mas Wisnu meningalkanku dan kembali dengan sebotol air dingin di tangannya. "Minum dulu!"

"Mas pasti sering dengar lagu tentang cinta, dan tadi adalah tarian tentang cinta. Namanya tari Karonsih. Kata Eyang, Karonsih berasal dari kata kekaron atau sakloron tansah asih, artinya itu keduanya saling mengasihi." Matanya membelalak tidak percaya. "Beneran. Tadi itu tarian tentang cinta antara Panji Asmara Bangun dan istrinya Dewi Sekartaji. Menurut cerita, Panji ini melakukan penyamaran untuk melihat kondisi kerajaannya dan untuk mencari tahu ketulusan istrinya."

"Buat apa?" Kukedikkan pundak menjawabnya. "Lanjut, Yang," pinta Mas Wisnu tampak bersemangat.

"Akhirnya si istri ini tahu. Jengkel dong karena cintanya diragukan," kataku sedikit keras. "Kalau aku jadi si istri, aku bikin merana dulu itu panji. Enak aja main uji ketulusan. Siapa dia? Siapa yang bisa jamin kalau cinta si panji itu juga tulus. Jangan ketawa!" hardikku ketika melihat Mas Wisnu menahan tawa di bibirnya.

"Menurutku," kataku pelan. "Kita bakalan merasakan ketulusan seseorang dalam perjalanan waktu. Iya, kan?! Tapi menurut Mas Fit and proper test, itu perlu, enggak?"

"Kok jadi nyolot, sih, Yang. Sini!" Mas Wisnu menarikku untuk semakin dekat padanya. "Terusin ceritanya. Gimana nasib Panji itu?" tanya Mas Wisnu.

"Ya ... waktu Panji kembali ke istana, dia mencoba ngerayu istrinya, dan akhirnya berhasil. Biasanya ada di acara pernikahan gitu Mas." Mas Wisnu mengangguk mengerti.

Tanpa mempedulikan tubuhku yang berkeringat, Mas Wisnu meraih pundakku. "Apapun cerita di balik tarian itu, aku merasa terhormat bisa melihatnya. Dan ... enggak seperti Panji Panji yang insecure, aku enggak akan meragukan cintamu." Jawaban Mas Wisnu membuatku tertawa. "Ojo ngguyu! Aku enggak tahu secantik apa Dewi Sekartaji, tapi buatku Dwi Ayu Kenes Artikasi tetap di hati."

Siapa bilang Mas Wisnu tidak bisa merayu, karena semenjak kedekatan kami berdua, ia tak pernah berhenti membuat pipiku merona merah. Pria yang terkadang terlihat diam ini, memiliki sisi romantis dan hanya aku yang bisa melihatnya. "I love you, Mas," ucapku.

"Sudah siap baca surat?" tanyanya membuyarkan gelembung kebahagiaanku.


Mas Ninu bikin hatiku meleyot
Love, ya, Guys
Happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top