Bab 22


Bab 22


Kenes

Aku masih duduk di atas pangkuan Mas Wisnu dengan bibir bengkak dan napas tak teratur. Pandanganku tertuju padanya. Matanya yang tertuju padaku membuat kulitku terasa meremang, bukan karena takut. Sorot mata itu membuatku terbuai. Membelaiku dengan lembut. Memberiku kenyamanan, keamanan dan ketenangan. Bersamanya, aku tak pernah merasa sendiri. Bersamanya aku memiliki perasaan dimiliki dan memiliki seseorang yang selalu menjagaku.

Kutangkup kedua pipinya yang terasa kasar di tanganku. Kukecup kedua matanya sebelum turun ke pipi, hidung dan berakhir di bibir yang menyambut ciumanku dengan tak kalah lembut. Entah apa yang membuat Mas Wisnu tak bisa menahan diri, dan saat ini, aku tak ingin tahu. Aku ingin menikmati ciuman dan belaian yang kurasakan saat ini.

"Aku enggak yakin bisa berhenti," kataku tanpa melepas bibirnya. "Kamu bikin aku enggak mau ke mana-mana." Kekehan Mas Wisnu membuatku semakin memperdalam ciuman. "Aku tahu ini siksaan buatmu, Mas. Tapi aku beneran enggak bisa berhenti menciummu."

"Aku enggak minta kamu berhenti!" kata Mas Wisnu. "Karena aku juga enggak bisa berhenti." Aku mencintainya. Aku ingin merasakan semuanya. Aku ingin menerima semua yang ditawarkannya. Rasa cinta yang saat ini kurasakan membuatku tak bisa menahan diri, air mata pun meleleh membasahi pipi. "Hey, kenapa? Aku nyakitin kamu?" Kugelengken kepala tanpa menjawabnya. "Kenapa, Sayang? Apa yang salah?" Aku menggeleng kuat tapi masih tak mampu untuk membuka bibir.

"It's a happy tears, kok, Mas," kataku di antara isakan yang makin mereda. "Aku enggak pernah ngerasain apa yang kurasakan sama kamu selama ini." Mas Wisnu masih terlihat bingung tapi tak menyelaku. "Kamu membuatku merasa dimiliki dan memiliki, sesuatu yang belum pernah kurasakan. Setelah bapak pergi, lalu ibu dan terakhir Mas Bimo. Aku selalu memiliki perasaan enggak layak untuk dimiliki siapapun. Bu Nah dan anak-anak, sebesar apapun sayang mereka untukku, tak bisa mengisi kekosongan yang ada di hati. Yanti dan Dara pun tak bisa mengisinya. Hingga kamu."

Aku tak melepas pandanganku darinya. Mata yang tak pernah lelah memandangku selalu memberiku kekuatan untuk melakukan apapun. Termasuk melawan Mas Bimo, sesuatu yang seharusnya kulakukan sejak dulu. "Terima kasih, Mas," kataku tulus. "Terima kasih untuk semua cinta yang kau berikan padaku. Kamu memberiku harapan. Kamu membuatku merasa layak untuk dicintai. Kamu memberiku rumah, tempatku pulang. Aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu. Jangan perg—" Kata yang di ujung lidah kembali tertelan ketika Mas Wisnu menahan tengkukku dan mencium bibirku dengan lembut.

"Kamu layak," katanya di antara ciumannya. "Kamu layak untuk dicintai dan aku enggak menyesali keputusanku untuk kembali membuka hati. Kamu adalah perempuan tercantik, dan aku bukan hanya mengatakan tentang wajahmu. Hatimu... adalah bagian tercantik dari dirimu. Sayangmu untuk semua orang disekitarmu. Kecintaanmu pada dunia tari. Semua pengorbanan yang kamu lakukan untuk mempertahankan warisan eyang. Itu semua menunjukkan kebesaran hatimu, menjadikanmu perempuan paling layak untuk dicintai. Aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu. Jangan perg—" kali ini aku yang menyela. Kucium bibirnya yang terasa lembut, kembali membuaiku, mengaburkan semua ketakutan dan keraguan di hati.

Entah berapa lama kami saling meraba dan mencium hingga Mas Wisnu tiba-tiba mengangkat tubuhku dan menjauh. "Aku harus berhenti sebelum benar-benar kebablasan. Kamu adalah ancaman terbesar dari puasaku selama ini. Satu lirikan saja, itu sudah membangunkan dia yang tertidur. Ini semua," katanya menunjuk bibirku dan dia. "Ini semua harus dihentikan. Aku sudah mulai mengurus surat, semoga semua proses bisa dipercepat. Sumpah, aku enggak kuat, Yang!"

Aku tertawa hingga tubuhku terjengkang ke belakang. Melihat Mas Wisnu yang selama ini bisa mengendalikan diri, tampak seperti anak remaja yang hampir meledak. "Sini, Mas! Perintahku menepuk sofa yang ditinggalkannya beberapa saat lalu. "Aku tahu caranya biar kamu enggak kegoda bibirku lagi. Aku bisa pastikan kalau mood untuk nyium aku, pasti berkurang. Atau mungkin bakalan hilang."

"Bimo," kata Mas Wisnu yang terlihat jengkel. Setiap kali harus bertemu dengan kakakku, atau mendengar cerita yang berhubungan dengan Mas Bimo, wajah Mas Wisnu selalu berubah. Siapapun bisa melihat dari ekspresi wajah yang tak pernah disembunyikannya. "Mau ngapain lagi dia?" tanyanya ketika melihat anggukanku.

Aku pernah menyimpan informasi dari Mas Wisnu tentang ancaman yang kuterima dari Mas Bimo, dan itu membuatku merasa tak tenang. Setiap kali bertemu dengannya, aku bisa merasakan kecurigaan Mas Wisnu. Lirikan yang kadang diberikannya, seolah menantiku untuk jujur, tapi itu tak segera kulakukan. Kali ini, aku tak ingin menyimpan informasi apapun darinya. Sepahit dan semanis apapun yang terjadi, aku ingin Mas Wisnu mengetahuinya.

"Tapi sebelumnya aku mau tanya. Kenapa Mas enggak pernah tanya tentang pertemuanku sama Mas Seno dan Mas Ganin waktu itu?" Semenjak pertemuanku dengan dua orang yang berhasil membuat masalahku berkurang, tak pernah sekalipun Mas Wisnu menanyakannya. "Aku nungguin pertanyaanmu, lho, Mas," kataku menarik lengannya dan melingkarkan ke pundakku.

"Karena itu bukan urusanku, Sayang. Ada beberapa yang bukan menjadi urusanku. Itu harta warismu. Suamimu enggak memiliki hak di sana, apalagi aku yang masih jadi calon suamimu." Mas Wisnu punya banyak sisi yang membuatku jatuh cinta. Sisi bijak yang semua orang tahu, menjadi salah satunya. Aku bersyukur sisi konyol—yang beberapa saat dia perlihatkan—hanya milikku. Jawaban yang diberikannya beberapa saat lalu, menandakan kedewasaannya dalam berpikir. Memberiku keyakinan bahwa pria yang saat ini memeluk pundakku erat adalah pilihan terbaik untukku.

"Mereka sepertinya tertarik untuk beli," kataku mengingat pertemuan dengan kedua pengusaha yang membuat Dara berubah semakin centil. Meski sahabatku itu tahu keduanya sudah menikah. "Tapi aku ngajukan syarat. Pendopo eyang enggak boleh dibongkar dan aku bisa keluar dari rumah kurang Lebih tiga bulan lagi."

"Kenapa harus tiga bulan lagi?" tanya Mas Wisnu. "Apa kata kakakmu begitu tahu dia enggak bisa dapat bagian warisnya dalam waktu dekat?"

"Aku enggak peduli. Aku enggak harus nikah sama temannya, dan dia dapat bagiannya." Walaupun aku lega, tapi rasa sedih tetap membayangi mengingat aku harus berpisah dengan Bu Nah. Wanita yang menyambut berita itu dengan gembira memelukku erat dan mengucap syukur. "Tapi...."

"Kamu kepikiran Ibu?" Mas Wisnu seolah mengetahui isi pikiranku saat ini. "Ibu bilang apa?"

Aku terdiam dan menghela napas panjang ketika teringat reaksinya. Wanita yang sudah kuanggap orang tua tersebut memelukku erat dan tidak mengatakan apapun. Sekian menit aku terisak dalam pelukannya, dan tangannya tak berhenti mengusap punggungku dengan lembut hingga napasku kembali teratur. "Ibu malah senyum, aku yang nangis sesenggukan."

Seperti Ibu, Mas Wisnu menarikku masuk dalam pelukannya. memberiku kenyamanan yang membuatku yakin semua akan baik-baik saja. "Seperti Ibu, aku juga bahagia melihatmu, Sayang. Aku tahu ngelepas rumah itu bukan sesuatu yang mudah, tapi mungkin itu yang terbaik. Karena kita enggak pernah tahu rencana Tuhan untuk kita." Aku bergumam tanpa berencana untuk melepaskan diri. Hingga pertanyaan Mas Wisnu membuatku harus menegakkan punggung. "Kenapa tiga bulan?"

Seketika aku gugup untuk menjawabnya. Walaupun kami berdua telah sepakat untuk menikah, tapi kami berdua belum pernah secara khusus membicarakan tentang rencana tempat tinggal. "Karena aku bisa pindah ke rumah suamiku kira-kira tiga bulan lagi, atau kalau dia berhasil mempercepat proses... bisa-bisa enggak lama lagi, sin!"

"Tunggu. Aku punya kejutan untukmu." Mas Wisnu tak memberiku kesempatan untuk menjawab, dia berdiri dan meninggalkanku dengan jantungku berdegup kencang. Dari sudut mata, aku melihatnya menuju ruang kerjanya dan kembali dengan senyum terlebar yang pernah kulihat menghiasi wajahnya. "Kejutan!" katanya meletakkan map di atas pangkuanku.

"Ini apa, Mas?" tanyaku tanpa membukanya.

"Buka aja!" perintahnya. Wajahnya terlihat bersemangat dan itu membuat jantungku berdetak kencang. "Buka, Yang!"

Masih dengan tanda tanya di kepala, kubuka map polos tanpa ada tulisan di bagian depannya. Ada berkas atas nama Wisno Rahardjo di sana, tapi itu tetap tak menjawab pertanyaanku. "Maksudnya ini apa. Aku enggak ngerti." Akta cerai, akta lahir, foto copy KTP, dan selembar surat pengantar. "Aku tetap enggak ngerti ini apa?"

Mas Wisnu mentutup map di tanganku, meletakkannya di atas meja. Namun, yang membuatku tak bisa berkutik adalah matanya. Tertuju hanya padaku dengan tatapan lembut yang terasa berbeda. "Dwi Ayu Kenes Ertikasari, aku jatuh cinta padamu bukan pada pandangan pertama." Aku terkejut Mas Wisnu tahu nama lengkapku. "Kamu pasti kaget karena aku tahu nama lengkapmu," katanya yang kujawab dengan anggukan. "Dwi Ayu Kenes Ertikasari. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan ketiga. Senyummu. Kebaikan hatimu. Dedikasimu pada dunia tari. Kesetiaanmu pada orang-orang di sekitarmu. Loyalitasmu pada keluarga. Setiap hal dari dirimu, membuatku semakin jatuh cinta padamu. Kamu bukan perempuan paling sempurna di muka bumi, tapi kamu adalah perempuan sempurna untukku."

Aku tak bisa menahan laju air mataku mendengar setiap kata yang Mas Wisnu katakan. "Mas...."

"Aku selesaikan dulu, Sayang." Aku tersenyum di antara tangisku dan mengangguk. "Sayang dan kesabaranmu menghadapi Dea membuatku semakin mencintaimu. Aku bukan laki-laki tanpa kekurangan. Aku lelaki dengan masa lalu. Aku lelaki yang hari ini berharap kamu mau menerima uluran tanganku untuk menjadi istriku. Ibu dari anak-anak kita. Menjadi teman untuk sepanjang hidupku. Menjadi satu-satunya perempuan yang menemani langkahku. Aku mencintaimu. Menikah denganku, Ke!"

Bukan pertanyaan, dan aku tak keberatan mendengar hal itu. "Mas enggak perlu untuk memintaku dua kali, karena satu-satunya yang akan menjadi istrimu. Mama untuk Dea adalah aku. Satu-satunya perempuan yang akan Mas lihat sebelum menejamkan mata adalah aku. Wajah pertama yang akan Mas lihat di pagi hari, adalah aku. Aku dan hanya aku."

"Menikah denganku,Sayang," ucapnya lagi bersamaan dengan kepalan tangannya terbuka di depanku. Sebentuk cincin di atas telapak tangannya membuatku tak bisa berkata-kata. "Enggak ada kata berpisah hingga Tuhan yang memutuskan jodoh kita. Enggak ada perpisahan hingga napas kita berhenti." Aku mengangguk patuh, karena hanya namanya yang selalu ada di dalam doaku setiap hari. Hanya Mas Wisnu yang mengisi mimpi-mimpiku selama ini. Menjadi istrinya seolah sudah menjadi tujuan akhirku sejak bertemu dengannya.

"I love you, Mas. Hanya kamu, dan Dea," tambahku. "Kalian berdua sudah menjadi bagian dari doaku setiap hari. Kalian berdua sudah menjadi bagian dari hidupku. Terima kasih sudah datang di hidupku."

"Kayaknya kita harus bilang makasih sama Gigih." Kami berdua tertawa menyadari lingkaran pertemanan yang membuat kami berdua bertemu dan bersama hingga saat ini. "Dan... untuk menjawab pertanyaanmu tadi. Map itu berisi persyaratanku ngajukan surat numpang nikah."

Aku menunjuk map dan tertawa menyadari persiapan yang dilakukannya, meski ia belum melamarku secara resmi. Hingga beberapa saat lalu. Pria yang saat ini menatapku dengan dagu terangkat terlihat puas dengan semua persiapannya. "Hanya kamu, Mas. Hanya kamu yang memulai persiapan sebelum melamar." Hari ini bukan hanya menjadi istimewa karena pernikahan Yanti dan Mas Gigih. Hari ini pun terasa istimewa bagiku.


Eits ... ternyata enggak jadi buka puasa.
Sabar ya, Mas Ninu. Bentaaaaar, lagi.
Happy reading guys

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top