Bab 2
Feel free untuk kasih saran atau kritik ya guys.
Pasti menemukan banyak typo atau pov yang membingungkan.
Harap maklum, lagi proses belajar. Mana pake gaya banget, sekalinya nulis beberapa cerita.
Whahhaha
Happy reading guys
Love, ya!
Bab 2
"Jancuk! Lapo kudu melok, se?!" sambut Gigih ketika melihatku dan Putra di depan pintu pagar rumahnya. "Aku lak wis ngomong, Cici pengen ngenalno aku karo koncone. Lapo awakmu melok, Puput! Awakmu pisan, Nu!" Omelan Gigih tak membuatku ataupun Putra mundur. Meski ini semua ide Putra—karena sahabat Gigih sejak SMA tersebut ingin bertemu Dara—aku dengan senang hati mengikuti. Semua karena Dea berada di rumah Cica sejak kemarin pagi. Menghabiskan waktu di rumah sendiri tak akan membawa manfaat bagiku, karena pikiran tentang kegagalan kerap datang mengisi pikiran.
Walaupun aku tahu, Gigih tidak memerlukan pengawal untuk bertemu dengan siapapun sahabat Yanti yang hendak dikenalkan padanya. Aku dengan senang hati menemaninya sambil menghabiskan waktu sebelum menjemput Dea nanti malam.
"Kok aku?! Puput yang maksa aku ikut ke sini, Gih!" protes yang hanya di bibir itu semakin membuat Gigih meradang dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. "Wis, ayo, pakai dua mobil aja. Jadi ntar kamu bisa bawa Yanti pergi."
Gigih masih terlihat enggan untuk beranjak, tapi Putra yang bersemangat bisa bertemu Dara mulai membuat kesabaran semua orang menipis. "Ayo, Gih! Telat, ntar!" teriak Putra menuju mobilnya.
Meski terlihat tidak rela ketika aku dan Putra mengikuti Gigih memasuki restoran siang itu, wajah cerah yang terlihat ketika melihat Yanti tak luput dari pehatianku. Pria yang hampir gila karena selama seminggu tak bisa menemukan Yanti, kini terlihat tak bisa berhenti tersenyum. Berbeda dengan Putra yang terlihat aneh. Bibirnya terkatup rapat dan tak mengalihkan pandangan dari Dara yang duduk tepat di sebelah kananku. Kuhembuskan napas panjang dan memasang senyum ketika mendapati sahabat Yanti memandangnya sesaat sebelum memalingkan wajah.
Pikiranku melayang meski saat ini aku memandang wajah Dara. Perempuan yang setia dengan penampilan sexy itu tak berhenti berbicara. "Bisa, kan, Mas?" Tiba-tiba Dara memandangnya.
"Bisa apa?" tanyaku menatap Dara, Yanti dan Kenes—sahabat Yanti—yang juga menatapnya. Perempuan yang terlihat lebih banyak diam, berbeda dengan namanya yang berarti lincah dan menawan. Aku dapati perempuan berambut panjang itu lebih banyak membiarkan Dara mengambil alih pembicaraan tentang rumahnya. "Ya ampun, ngerjakan rumah Keke. Dari tadi enggak dengerin apa, ya!" kata Dara jengkel dan sekali lagi mengatakan semua padanya.
"Tunggu ... jadi yang Keke butuhkan itu kosmetik aja, kan?" tanya Wisnu ke arah Kenes yang memintanya memanggil Keke seperti Dara dan Yanti. "Enggak ada perubahan besar, dan hanya mempercantik." Kenes mengangguk disertai senyum simpul di bibirnya. "Bisa, lah," jawabnya. "Ntar aku kabari kapan bisa lihat rumah kamu." Perempuan berambut panjang dan lurus itu hanya mengangguk sambil mengulum senyum.
Perkenalan Gigih dan sahabat Yanti berjalan lancar hingga sepasang kekasih itu harus pergi. Ia tahu saat ini keduanya menuju rumah Gigih, untuk memperkenalkan Yanti pada Fitra dan Lala. Membuatku berpikir, apakah akan melakukan hal yang sama pada Dea suatu saat nanti.
Selama lima tahun, aku tak pernah ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Meski sesekali aku mendapatkan perhatian dari perempuan yang kukenal. Kegagalan di masa lalu mengajarkan banyak hal padaku, dan aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. "Nu!" suara Putra membuyarkan lamunanku.
"Kamu bisa bawa mobil Yanti ke rumah Keke?" Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Putra. "Aku pengen ajak Dara pergi bentar. Keke enggak bisa nyetir manual." Aku masih terdiam dan mengangguk sedetik kemudian. "Aku sama Dara cuma bentar, kamu tunggu di rumah Keke aja."
Aku bukan pria yang pandai untuk memulai obrolan, ketika melirik Kenes terlihat kikuk masuk ke dalam mobil, bibirku terkatup semakin rapat tak tahu apa yang harus kulakukan. "Sorry ... aku ngerepoti Mas Wisnu," ucap Kenes tak lama setelah aku dan dia menutup pintu mobil hampir bersamaan. "Tadi rencananya Dara yang anterin pulang, tapi karena Mas Putra jadinya—"
"Aku enggak repot, Ke," ucapku memotong apapun yang ada di ujung lidahnya. "Mungkin aku bisa sekalian lihat-lihat rumah kamu."
Rumah yang terletak di daerah dengan nama jalan sungai itu berjalan tanpa ada sepatah kata meluncur dari bibirku ataupun Kenes. Dari ujung mata, aku bisa melihat ketidaknyamanan perempuan yang sesekali meliriknya. Namun, aku tetap menutup bibir karena tak tahu apa yang harus kuucapkan. Kenes berbeda dengan Dara yang tak terlihat kehabisan kata-kata, bibirnya lebih sering tertutup atau tersenyum kikuk. Namun, ada sesuatu yang membuatku tak bisa berhenti meliriknya.
"Rumah pagar hitam itu, Mas." Suara Kenes memecah keheningan dan aku dengan sigap menghentikan mobil tepat di depan pintu pagar. "Aku bukain pintu dulu, Mas Wisnu bisa masukan mobil sekalian, kan?"
"Ninu," ralatku ingin mendengar Kenes menyebut namaku. "Panggil Ninu aja."
"O ... oke," jawab Kenes sambil membuka pintu dan terhenti sesaat sebelum menoleh memandangku. "Mas Ninu bisa masukan mobil, kan?" Ada sesuatu dari cara Kenes menyebut namaku. Membuatku terdiam tanpa tahu kenapa. "Mas," panggil Kenes.
"Kenapa?" tanyaku gelagapan. Hari ini aku terlalu banyak melamun, entah apa yang terjadi. "Eh, bisa. Keke bukain pintu aja!" perintahku tanpa memandangnya.
Tampak depan tak terlihat seperti rumah berpenghuni, karena dinding pagar tertutup rapat dengan tanaman flexi yang perlu di pangkas. Pintu pagar besi yang juga tertutup kayu tak memberi celah pada siapapun untuk melihat ke dalam. Aku semakin merasa Kenes perempuan yang tertutup, terlihat dari rumah yang menurut Dara sudah menjadi tempat tinggalnya semenjak kecil.
Kata orang don't judge book by its cover, dan saat ini aku benar-benar merasa salah menilai kepribadian Kenes hanya dari pagar depan rumahnya. Halaman luas yang ditumbuhi rumput jepang tepotong rapi menyambut. Tidak banyak tumbuhan di sana, hanya ada pohon dadap merah terlihat berusia puluhan tahun. Namun, yang menarik perhatianku adalah pendopo beratap joglo yang berdiri kokoh mendominasi bagian depan rumah.
"Itu ...." Aku menunjuk bangunan beratap coklat yang terlihat gagah dan kuat meski di makan usia. Tanpa menanti Kenes, aku melangkah dan mendapati kolom berkayu jati.
"Pendopo tempatku ngajar nari, Mas," ucap Kenes menjawab pertanyaan tanpa kataku.
"Tari? Kamu guru tari?" tanyaku keheranan.
"Lah ... perasaan Dara tadi udah bilang, kan, Mas." Kenes terlihat tidak nyaman ketika aku menatapnya. "Mas Ninu mau lihat-lihat ke dalam atau mau di sini aja?"
Tampak depan rumah Kenes tak memperlihatkan sebesar apa tanah dan bangunan yang ingin dijualnya. Dari pucuk pohon yang menjulang di balik atap rumah utama, aku bisa memperkirakan seluas apa tanah yang Kenes punya. Kuikuti langkah Kenes dan terhenti. "Aku seperti teleportasi ke tahun 70an," ucapku tanpa sadar. "Rumah keluarga, Ke?" tanyaku setelah kembali melangkah menuju halaman belakang seperti yang kuduga.
"Rumah peninggalan dari eyang, Mas. Total ada hampir 2000m2, bangunan utama enggak sebesar itu. Yang paling besar ya halaman depan dan belakang." Suasana rumah yang terlihat terjebak di tahun 70an tersebut terasa nyaman. Bukaan yang membuat sirkulasi udara manjadi lancar dan memberi suasana terbuka. Meski terasa tua, tapi aku bisa merasa nyaman di sini. "Ada lima kamar termasuk kamar utama, dapur dan juga bangunan terpisah untuk asisten rumah tangga."
"Tunggu ... kamu tinggal sendiri di sini?" Rumah sebesar ini memerlukan perawatan yang tidak murah. Terlebih lagi rumah lama selalu memiliki banyak masalah. Namun, sepanjang aku melihat setiap sudut rumah Kenes, aku bisa melihat perawatan berkala di sana. "Enggak mungkin kamu melakukan ini semua sendiri, kan?"
Kenes tersenyum dan menggelengkan kepala. "Enggak, lah, Mas. Ada keluarga yang tinggal di bangunan itu." Kuikuti arah yang Kenes tunjuk dan bisa melihat rumah bercat putih di bagian belakang halaman. "Ada keluarga Bu Nah di sana, dia sudah kerja di rumah ini sejak masih gadis. Suaminya yang ngerawat halaman depan dan belakang. Anak-anaknya sudah besar, sesekali mereka bantu aku dan ibunya bersih-bersih juga kalau hari minggu gini."
Aku tak mendengar Kenes menyebut orang tua dan saudara ketika perempuan yang terlihat mungil berdiri di sampingku itu menceritakan tentang rumahnya. Sebesar apapun rasa penasaranku, aku tetap menutup bibir dan tidak menanyakan hal itu. Aku kembali mengikuti langkah Kenes memperlihatkan satu persatu kamar yang terlihat kosong meski terdapat perabotan di sana. "Kamu enggak takut tinggal di sini sendirian?"
"Maksud Mas Ninu, aku enggak takut sama hantu?" Meski konyol, itulah yang pertama terlintas ketika melihat banyaknya ruang kosong di rumah ini. "Aku udah tinggal di sini sejak kecil, Mas. Jadi bisa dibilang aku udah akrab sama mereka semua?"
"Ada banyak?" tanyaku tak menahan diri. Tawa Kenes menyambut pertanyaanku, dan itu membuat ketidaknyamanan yang terasa semakin besar.
"Aku ajak ke belakang, yuk. Mas Ninu pasti suka. Surabaya panas banget, tapi di halaman belakang selalu terasa sejuk. Mungkin karena di bawah pohon, ya."
Seperti yang Kenes katakan, halaman belakang terasa sejuk. Pohon rindang melindungi dari teriknya sinar matahari yang terkadang membuat kepala pusing. Berbeda dengan halaman depan, di sini terdapat banyak pohon buah dan terlihat terawat. "Kamu suka berkebun, Ke?" tanyaku menunjuk pohon kelengkeng yang terlihat berbuah.
"Awalnya sih, enggak, Mas. Aku nancepin serai aja mati, tapi beberapa tahun lalu coba tanam kelengkeng itu, dan berhasil." Kenes tertawa seolah mengingat sesuatu. "Itu kamar paling besar dan aku jadikan tempatku latihan, karena ukurannya paling besar dan punya view paling bagus. Dulu ... aku rencana untuk pasang pintu sliding, jadi aku bisa buka semuanya, tapi." Seolah teringat sudah terlalu banyak memberiku informasi, bibirnya terkatup seketika.
Masih memandang arah yang sama dengannya dan mengakui jika ini miliki, aku akan melakukan rencana Kenes. Aku bisa melihat perubahan yang Kenes inginkan, membawa banyak cahaya dan udara di kamar utama bisa jadi daya tarik tersendiri. "Sorry ... aku harus tanya, seberapa banyak budget yang kamu siapkan?" tanyaku menghapus pikiran tentang kamar utama.
Kelegaan yang terlihat jelas di wajah Kenes membuat tawaku terlontar tanpa kurencanakan dan itu membuat perempuan yang saat ini memandangku tajam terlihat tak nyaman. "Sorry ... aku bukan ngetawain kamu, hanya saja ... wajah legamu itu lucu."
"Baru kali ini ada yang bilang aku lucu." Kenes menyembunyikan rona di wajahnya dengan menundukkan kepala hingga menciptakan tirai dengan rambut panjangnya. Sesuatu yang tidak pernah aku harapkan dari pertemuan sore ini. "Mas ... aku belum pernah ngelakuin ini. Staging rumah maksudku." Kenes menambahkan ketika melihatku membuka bibir. "Bener enggak sih sebutannya staging rumah?"
Aku mengangguk kagum dengan pengetahuan Kenes tentang rumah. "Redecorating, reerranging furniture, clening atau perubahan estetik untuk menunjang penjualan rumah kamu. Dan aku siap untuk membantumu, Ke." Kembali aku melihat senyum lega di bibir Kenes, dan itu membuatku semakin tidak nyaman hingga tanpa sadar berkali-kali melirik jam di pergelangan tanganku.
"Mas Ninu enggak nyaman, ya?" pertanyaan yang membuatku terkejut itu justru seolah menjadi validasi dari kecurigaan Kenes. Bahkan perempuan yang kini terlihat nyaman itu tak menahan senyum di bibirnya. "Mas Ninu enggak harus nunggu Mas Putra di sini, kok."
Aku tak mengira akan mendapati Kenes yang ceplas ceplos seperti Dara. Selama beberapa ja mterakhir, aku mengira dia perempuan pendiam yang terkadang sulit untuk mengatakan isi kepalanya. Namun, ternyata aku salah, "ternyata begini rasanya diusir cewek," kataku mencoba untuk mempertahankan ekspresi seriusku, tapi seketika gagal ketika melihat mata membelalak Kenes. Keningnya mengernyit sambil mengigit bibir. "Guyon, Ke."
"Aku belum bisa bedakan Mas Ninu yang serius dan guyon, jadi aku kira beneran." Kenes memandangnya ragu sebelum mengalihkan pandangan. "Ada sesuatu yang harus Mas Ninu perbaiki juga di garasi. Aku yakin calon pembeli enggak bakalan suka lihatnya kalau dibiarin."
Seperti yang Kenes lakukan beberapa saat lalu, perempuan itu mengalihkan arah pembicaraan dengan mudah. Entah ia tak suka meneruskan apapun yang sedang jadi bahan pembicaraan atau cara kerja otaknya memang begitu. "Kenapa?" tanya Kenes ketika melihatku tak beranjak. "Ada yang salah?" tanya lagi, tapi kali ini, aku tak memberinya kesempatan untuk bertanya untuk ketiga kalinya. Kakiku melangkah mengikutinya menuju garasi."
Melewati dinding roster aku kembali dibuat terkejut ketika mendapati mobil ford everest berwarna hitam yang terlihat terawat. Mobil yang pernah menjadi incaranku kini berada tepat di depan mata. "Mobil kamu?" tanyaku tanpa menutupi keterkejutan yang pasti bisa Kenes dengar.
"Kenapa,Mas?" tanya Kenes yang tak tampak keberatan dengan pertanyaanku. "Aneh ya,badan kecil tapi mobilnya segede gaban. Akungerti kok, jangankan Mas Ninu. Sampai sekarang Yanti dan Dara aja heran setiapkali lihat aku pakai mobil. Meski kadang agak ribet kalau parkir di tempat yangagak sempit, tapi aku suka. Mungkin buat Mas Ninu biasa, tapi untuk orang yangberbadan enggak terlalu tinggi, duduk di balik kemudi dan memiliki pandanganluas di depannya terasa ... puas. Ngerti maksudku, kan?" Aku masih membuka mulutkeheranan mendapati jawaban panjang lebar yang Kenes berikan. Jawaban yang takpernah aku duga.
Ngapain ikut, sih?
Aku kan sudah bilang, Cici ingin ngenalin aku sama temannya. Ngapain kamu ikut, Puput! Kamu juga, Nu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top