Bab 18


Bab18  

Dua hari setelah Kenes menceritakan tentang ancaman Bimo, hari ini aku sengaja meminta Dara untuk bertemu di kantor selepas menjemput Dea. Namun, pertemuan kali ini terasa berbeda karena Kenes juga akan berada di sana. Meski di dalam hati aku tak ingin semua orang tahu tentang hubungan kami berdua—kecuali Gigih—tapi situasi dan kondisi karena kemunculan Bimo membuat semua rencanaku dan Kenes berubah.

"Mas Ni ... kenapa Kenes di sini?" kata Dara yang berdiri di ambang pintu dengan mata membelalak. "Aku ... bukannya hari ini aku janjian sama kamu, Mas, tapi ...." Dara menunjuk Kenes dan aku bergantian. Untuk sesaat wajah bingungnya tak membuatku ingin menjawab pertanyaannya, hingga senyum dan kerling jahil di matanya membuatku menyadari Dara bisa membaca situasi dalam sekejap. "Kalian jadian?! Mulai kapan? Kenapa aku enggak tahu?"

Kenes menoleh ke arahku sebelum menatap Dara dengan bibir terkunci. "Tunggu, mulai kapan kalian berdua jadian? Yanti tahu enggak?" Kenes masih terdiam dan sesekali melirikku. "Aku ngerti Mas Ninu yang ngerjakan rumahmu, Ke. Tapi aku enggak tahu kalau kalian bedua dekat." Dara masih berusaha untuk mencari jawaban. Meski aku tahu di dalam hatinya, Dara pasti sudah tahu jawaban dari semua pertanyaannya.

"Jawab!" teriak Dara tanpa menyadari di mana mereka berada. "Aku enggak bakalan bisa tahu kalau kalian berdua cuma saling pandang bertukar informasi lewat telepati, dong!"

"Heh! Enggak usah jerit-jerit!" kata Gigih yang mendengar teriakan Dara. "Kenapa, sih, Ra?!"

"Kamu ngerti, Mas? kamu ngerti kalau mereka jadian?" tanya Dara menunjukku dan Kenes yang masih setia menutup bibir.

"Keke sama Ninu? Iyalah, emang kenapa?" Dara terlihat terkejut dan segera menatap tajam Kenes dengan marah. "Kamu kenapa?" tanya Gigih bingung melihat sikap Dara.

Kuulurkan tangan pada Kenes yang menerimanya dengan senyum sebelum menatap Dara. Perempuan yang saat ini terlihat marah meski aku bisa melihat sedikit senyum di ujung bibirnya. "Kalau mau senyum ... senyum aja, Ra. Dari pada di tahan jadi kentut, ntar," ucap gigih pada Dara yang masih terlihat menahan marah.

"Tega kamu, Ke. Aku sering curhat masalah Put." Dara diam seketika seolah teringat sesuatu. "Tega kamu! Kenapa enggak cerita kalau kamu dekat sama Mas Ninu!" Meski aku, Kenes dan Gigih tahu siapa yang menjadi topik curhatan Dara, tapi tak ada seorangpun mengatakan apapun. "Dan kamu!" kata Dara menunjuk wajahku. "Beberapa kali kita ngobrol akhir-akhir ini, dan Mas Ninu enggak kepikiran untuk cerita kalau lagi dekat sama Kenes?!"

Kulirik Kenes yang masih menggenggam erat tanganku. "Iya, Ra. Aku sama Kenes, tapi bukan itu yang jadi masalah hari ini." Kenes meminta Dara dan Gigih duduk sebelum sebelum menceritakan tantang Bimo dan semua tuntutannya tanpa mengatakan tentang orang tua mereka.

"Sebulan! Bimo pancen gendeng!" ucap Dara setelah mendengar cerita Kenes. "Gimana caranya jual rumah dalam sebulan. Dan gimana aku bisa diam aja ngelihat kamu kehilangan rumah keluargamu atau bahkan harus nikah sama pria yang entah siapa."

Gigih menatapku dengan penuh tanya, dan aku memilih untuk menggeleng pelan. Pria yang sejak tadi berdiri menyandar di kusen pintu dan melipat tangan mengangguk mengerti saat ini bukan untuk menanyakan sesuatu padaku. "Kamu ada klien yang cari rumah di tengah kota, enggak, Ra?" tanya Gigih memecah keheningan. "Atau kita bisa cari solusi yang bisa penuhi keinginan si Bimo ini. Aku belum pernah kenal, tapi kok ya, ikutan kesel dengarnya."

Setelah mendengar Kenes malam itu, aku mencoba mencari jalan keluar, tapi hingga hari ini, yang bisa kulakukan hanya mempercepat pekerjaan. Berharap rumah keluarga yang Kenes sayangi akan segera terjual dan mimpi buruk bernama Bimo akan meninggalkan Surabaya untuk selamanya. Semoga. "Ada ide, enggak, Ra?"

"Kenapa hidupmu seperti novel, sih! Terpaksa nikah karena kakak terlilit hutang." Meski saat ini tidak ada yang lucu dari keadaan di sekitarnya, Kenes dan Dara tertawa terbahak-bahakn. Bahkan Gigih pun tak bisa menahan tawa dan menggelengkan kepala sambil berlalu setelah mengatakan akan menjemput Yanti untuk makan siang bersama mereka semua, kecuali Putra.

***

"Gimana kalau dikontrakkan?" tanya Dara ketika mereka berenam duduk mengelilingi meja di salah satu restoran di jalan Manyar. Kami berlima seketika memandang Dara yang mengangguk dan tersenyum pada setiap orang. "Iya, dikontrakkan," kata Dara lagi yang belum memberi informasi apapun yang membuat semua kegundahan Kenes menghilang.

"Dikontrakkan bisa buat aku kasih bagian Mas Bimo enggak, Ra?" tanya Kenes. "Dia jelas-jelas minta setengah bagian, Ra." Kenes menyandar di pundakku tanpa ragu setelah tak mendapatkan jawaban dari Dara atau siapapun. "Aku enggak bayangin bakalan berakhir dengan pria yang—"

"Kamu bakalan berakhir denganku, hanya aku!" selaku. "Enggak ada Bimo atau siapapun yang bisa menghalangi itu."

"Jangrik! Keri krungune, Nu!" umpatan Gigih membuat semua orang tertawa melihatku. Aku yang dulu tak pernah menunjukkan keterarikan pada siapaun, hari ini tanpa sadar menunjukkan pada semua orang tentang perasaanku. Sesuatu yang belum pernah kulakukan selama hidupku. "Mas Ninu ternyata romantis gitu, ya. Mas Ninu iiihh ...." Gigih tak berhenti menggodaku, meski saat ini aku melotot ke arahnya. Gigih akan selamanya menjadi Gigih yang suka menggoda siapapun.

"Jancuk! Nggilani, Gih!" umpatku melihat Gigih melambaikan tangan dengan gemulai. Pria yang akan resmi menyandang gelar suami minggu depan tersebut tak terlihat malu meski saat ini mendapatkan banyak lirikan curiga dari beberapa orang. Gigih tak pernah malu menjadi pusat perhatian, berbeda denganku yang memilih menjadi pengamat.

"Aku punya klien yang suka dengan bangunan Belanda. Aku coba hubungi nanti, Ke," ucap Dara mengembalikan perhatian pada masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini. "Terakhir aku tahu, mereka renovasi rumah jadi restoran fine dinning yang pengen banget aku datangin, tapi aku masih waras dan sayang dompetku."

Dara belum pernah mengatakan tentang klien yang dikatakannya, tapi mendengar ada setitik harapan keluar dari kekacauan Bimo membuat napasku sedikit lega. "Kabari aku kalau kamu udah ketemu sama mereka, Ra. Apapun hasilnya, setidaknya kita tahu." Kenes terlihat sedikit bersemangat, mengingat hingga saat ini, mereka berdua belum memiliki jalan keluar apapun

"Atau ketemuannya sama kamu aja, Mas. kalau perlu sekalian di rumah Keke, biar mereka bisa lihat langsung," jawab Dara terlihat bersemangat. "Kamu pasti suka sama mereka berdua, orangnya santai banget masio wonge sugih. Mereka paling suka kalau diajak ngobrol tentang kerjaan. Tunggu, aku bikin janji dulu." Dara berdiri meninggalkan kami berempat dengan senyum terkembang tanpa menungguku untuk menjawabnya. Aku bisa menduga teleponnya berbuah manis karena tak lama kemudian terdengar suara merduanya menjawab salam siapapun di ujung sambungan.

"Kemungkinan terbaik—atau terburuk—mereka mau beli rumahmu, gimana, Ke?" tanya Yanti dengan raut wajah kuatir. "Aku ngerti arti rumah itu buatmu, Ke."

Kenes tak segera menjawab pertanyaan Yanti, dan aku tahu apa yang ada dipikirannya saat ini. Hanya ia dan Kenes yang tahu semua ini mengarah pada siapa ayah kandungnya. Membuat Kenes tak bisa memilih satu di antara semuanya, karena mengetahui pria yang pernah menjalin hubungan dengan ibunya menjadi tujuan akhir.

"Aku enggak ngerti, Ti," jawab Kenes mengedikkan pundak. "Kalau emang pada akhirnya aku harus ngelepas rumah Eyang, berarti aku harus mencari rumah dan juga tempat untuk latihan. Enggak mungkin aku berhenti ngajar, kan."

Gigih melirikku ketika mendengar jawaban Kenes, ia berusaha untuk berkomunikasi denganku lewat tatapan mata yang membuatku mengernyitkan kening. Berkali-kali mata itu melotot hingga Yanti yang duduk di sebelahnya tertawa terbahak-bahak. "Sayang, kamu ngapain, sih! Telepati atau pengen ke belakang?"

"Aku berusaha telepati sama Ninu, tapi dianya enggak peka!" jawab Gigih jengkel. "Ninu gob—"

"Kenapa aku enggak tahu kalau kalian semua janjian makan siang?" Tiba-tiba terdengar suara di belakangku menyela umpatan Gigih. "Kalau tadi aku enggak ngenalin mobil Wisnu, enggak bakalan tahu ternyata kalian enggak setia kawan!"

Putra yang terlihat rapi dengan kemeja ditekuk hingga siku terlihat berbeda. Bahkan rambutnya yang lebih sering terlihat awut-awutan kini tersisir rapi. Bahkan rambut di dagunya pun terpotong rapi. "Kamu rapi?" tanpa Gigih keheranan.

"Ketemu cewek?" tanyaku yang mendapat pelototan Putra bersamaan dengan kemunculan Dara. "Beneran ketemu cewek," ucapku tak peduli meski tatapan mata Putra terlihat semakin tajam.

"Siapa ketemu cewek? Kamu, Mas?!" tanya Dara sedikit kencang membuat semua orang terkejut. Dara yang selalu terlihat tak peduli kini memandang tajam Putra. Senyum yang terkembang di bibirnya beberapa detik lalu kini menghilang. "Beneran ketemu cewek ternyata," ucap Dara kembali membungkam Putra yang sudah membuka bibirnya.

"Aku udah bikin janji, nanti sore Mas Ninu bisa?" tanya Dara mengalihkan pandangan tak mengindahkan Putra dan juga keheranan Gigih dan Yanti. Perempuan yang terlihat tak sabar menanti jawabanku tersebut berkacak pinggang di depanku. "Mas! Bisa, enggak?!"

"Eh, iya bisa, Ra!" jawabku semakin keheranan. "Kenapa tiba-tiba nyolot gitu, sih. Laper?"

"Iya, laper! Pengen makan orang!" Jawaban Dara semakin membuatku curiga ini semua ada hubungannya dengan Putra. Bahkan sikap Putra yang berusaha untuk menarik perhatian Dara semakin memperkuat dugaanku. Dari sudut mata, aku bisa melihat Gigih pun melihat keanehan sikap Dara dan Putra sebelum memandangku sambil menggerakkan alis kanannya.

"Kamu kenapa, Ra?" tanya Yanti yang tak mengetahui telah terjadi sesuatu antara Dara dan Putra. "Tadi senyum-senyum cerah, kok tiba-tiba pengen makan orang?"

Kenes pun menanti jawaban Dara, ia melepas genggaman tanganku dan mendorong kursinya mendekati perempuan yang diam-diam melayangkan pandangan membunuh ke arah Putra. Aku dan Gigih hanya bisa menahan senyum tak ingin memperkeruh masalah. "Ra, janjian sama orangnya jam berapa?" tanyaku ingin mengalihkan perhatiannya dari Putra yang semakin terlihat mengenaskan.

"Mas Seno sama Mas Ganin bisanya jam setengah lima. Gimana?"

"Mas Seno, maksudnya Senopati?" tanya Putra mengembalikan perhatian Dara padanya. Aku yang tak mengenal satu namapun yang Dara sebut hanya bisa diam menanti jawaban. "Aku kenal mereka berdua," kata Putra setelah melihat anggukan Dara. Aku masih menutup bibir dan sesekali melirik Gigih yang menanti drama sahabat calon istrinya dan Putra.

"Mereka berdua itu kerjaannya nanam modal di sana sini, Nu. Kebanyakan restoran, tapi dengar-dengar mereka barusan invest juga di star up company bikinan anak lulusan ITS kalau enggak salah." Putra yang berkutat dengan perusahaan rintisannya menjelaskan tentang dua orang tersebut.

"Kamu kenal mereka dari mana, Ra?" tanya Putra yang hanya dijawab Dara dengan kedikan pundak. "Aku boleh ikut, enggak?"

"Enggak!" bentak Dara.

Aku tersentak ketika mendengar jawaban Dara. Siapapun bisa merasakan ada marah yang tersimpan di jawaban itu. Kulirik Kenes yang bertukar tatapan dengan Yanti sebelum keduanya memandang Dara dengan penuh tanda tanya. Namun, perempuan yang segera berdiri ketika ponsel di tangannya berdering terlihat lega bisa menghindari suasana meja makan yang mencekam.

"Cerita! Kamu apain temenku, Mas?!" bentak Kenes membuatku terkejut. Perempuan yang selama ini tak pernah meninggikan suara menatap tajam Putra. "Jangan lirik-lirik Mas Ninu, jawab!" bentak Kenes lagi ketika Putra melirikku mencari bantuan untuk menjawab pertanyaan Kenes.

Aku tahu Putra tidak membutuhkan bantuan. Aku juga tahu Putra bukan pria yang mudah untuk menceritakan tentang dirinya pada semua orang, kecuali padaku dan Gigih. Putra menjawab pertanyaan Kenes dengan senyuman, dan itu semakin membuat kekasihku naik pitam. Namun, sebelum suasana semakin runyam, Putra berdiri menuju arah yang Dara tuju, menyisakan tanya di wajah Yanti dan Kenes.

"Mas Ninu tahu ada apa antara Dara dan Mas Putra?" tanya Kenes. "Dan enggak cerita sama aku!"

"Sayang, apapun yang terjadi antara Dara dan Putra, bukan tempatku untuk bercerita." Kuusap lengan Kenes yang masih terlihat marah. "Putra pria yang baik, aku bisa pastikan itu. Jadi jangan punya pikiran buruk tentang dia."

"Betul. Mas Ninu emang bijak," goda Gigih. "Dari pada bahas Dara dan Putra, gimana kalau bahas hubungan kalian berdua aja." Aku berterima kasih dengan usaha Gigih untuk mencairkan suasana, tapi setelah mendengar apa yang diucapkannya, aku harus menahan diri untuk tidak melempar sepatu ke arahnya. "Kapan mau nyusul kita berdua?" tanya Gigih dengan mata jahilnya. "Mas Ninu pasti udah enggak tahan pengen buka puasa, Ke."

"Cuk! Ojo ngomongin buko, Gih!" umpatku yang membuat Kenes tertawa lebar dan melupakan polemik antara Dara dan Putra yang beberapa saat lalu mengganggu pikirannya.


Bimo memang gila

Geli dengarnya, Nu.

Meski orang kaya

Jangan ngomongin buka puas


Di Karyakarsa sudah tamat, jadi untuk teman-teman yang pengen baca duluan, bisa kesana.
Di sana juga ada beberapa cerita yang belum ada di wp.
Cerita terbaru di sana adalah Cinta dalam Angka.
Dolan KK, yuk!

Happy reading guys
Love, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top