Bab 15


Bab15 



Pekerjaan di rumah Kenes sudah berjalan beberapa hari, dan aku selalu menghabiskan waktu satu atau dua jam di sana setelah menjemput Dea. Kecuali hari ini. Gadis kecil yang semakin lama semakin terlihat mirip mamanya tersebut menolak untuk kuantar pulang terlebih dahulu.

"Aku tahu tante Keke enggak ngajar hari ini, jadi ada teman ngobrol waktu papa kerja," ucap Dea bersemangat. "Aku pengen dengar cerita tante Keke waktu nari sampai ke luar negeri. Hebat, ya, Pa."

Kulirik Dea dengan heran, belum terlalu banyak cerita hidup Kenes yang kudengar selama ini. Bahkan kami jarang berbagi cerita karena godaan bibir merah perempuan yang selalu menerima ciumanku dengan senyuman tersebut lebih sering memintaku untuk bercerita. Terkadang aku merasa ia tak ingin aku menanyakan sesuatu padanya, seolah cerita hidupnya tak membuatku tertarik. Meski di dalam hati, aku menginginkan cerita tentang dirinya.

"Papa enggak tahu? Kok bisa?" tanyanya setelah melihatku menggelengkan kepala. " Bukannya kalau pacaran itu saling cerita gitu."

"Tante Keke sempat cerita tapi enggak banyak. Papa heran aja kapan Dea denger ceritanya. Emang tante Keke kalau ngajar ama cerita? Papa kok lebih sering dengar tante Keke teriak-teriak."

Dea tertawa mendengar jawabanku. "Pasti keingat waktu pertama kali mulai ikut kelas tante Keke," kataku mengingatkan Dea tentang pengalaman pertamanya. Aku masih bisa mengingat wajah anak gadisku ketika menceritakan pengalamannya.

"kalau Papa di dalam kelas,pasti kaget juga. Tante Keke kan badane kecil gitu, tapi kalau teriak kenceng banget." Tawa lolos dari bibir kami berdua. Hingga aku menghentikan Mobil di depan rumah Kenes, sisa tawa masih terlihat di wajah Dea.

Suasana rumah Kenes terlihat sepi, tapi enam orang perempuan—termasuk Kenes—terlihat menari dalam satu gerakan yang seirama di Pendopo. Ayunan tangan terlihat lemah lembut menyihirku dan Dea di tempat. Kami berdua terdiam di tempat dengan mata tertuju pada keenam orang yang tampak larut dalam tarian.

"Cantik, ya, Pa?" kata Dea yang memasuki ruang dengarku.

"Cantik." Aku menjawab tanpa melepas pandangan dari kekasihku yang terlihat menikmati tariannya. "Cantik banget."

"Maksudku tariannya, bukan tante Kekenya, Pa. Tapi tante Keke juga cantik, sih." Saat itulah aku menyadari kebodohanku. Kuacak-acak puncak kepala Dea yang langsung memundurkan badannya, menghindari lengan panjangku. "Gitu, ya! Udah berani ngerjain Papa!" Dea tertawa lepas dan berlari menuju Kenes yang menyudahi tariannya dengan menangkup kedua tangan di depan wajah.

Senyum yang terkembang di bibir Dea dan Kenes membuat semua masalahku menghilang. Kekuatiran dan keraguan ketika memutuskan untuk kembali membuka hati seolah menghilang. Aku menyadari semua yang terjadi antara aku dan Kenes seolah berjalan dengan kecepatan penuh. Aku jatuh cinta padanya pada pandangan ketiga, dan tak ingin menghabiskan waktu lebih lama untuk menyimpannya di dalam dada. Setelah mengatakan perasaanku padanya, semua terasa berjalan lancar, hingga saat ini.

"Ini yang namanya keluarga sempurna." Aku menoleh ke arah asal suara dan mendapati kakak lelaki Kenes menatap ke arah dua orang yang berjalan ke arahnya. Melihat dari ekspresi wajah Kenes, aku tahu saat ini ada marah yang bergumul di dalam hati kekasihnya. "Ini siapa namanya?" tanya Bimo ketika Dea berhenti di depannya.

"Dea," kata anak gadisku tanpa mengulurkan tangan. "Om siapa? Teman papa?" Aku bisa merasakan lirikan Bimo, meski saat ini pria yang bertubuh tinggi sepertiku tersebut menunduk menyejajarkan pandangan dengan anak gadisku.

Bimo menegakkan badan dan melirikku sebelum tersenyum ke arah Kenes. "Kamu bisa panggil Om Bimo atau Pakdhe juga enggak apa-apa." Siapa saja bisa melihat kemarahan Kenes, dan aku yakin Bimo pun bisa merasakannya. Namun, pria yang terlihat rapi dengan kemeja lengan panjangnya tersebut terlihat tidak peduli.

"Kamu suka nari juga?" Dea mengangguk. "Kamu tahu, tante Keke dulu enggak suka nari." Aku bisa melihat ketertarikan di wajah Dea mendengar kalimat Bimo. "Om bisa cerita ten—"

"Mas, cukup!" kata Kenes. "Jangan ganggu Dea," pinta Kenes yang semenjak kehadiran Bimo tak memandangku. "Mas Bimo mau ketemu aku, kan?"

"Enggak juga," jawab Bimo membuatku dan Kenes terkejut. "Kalian berdua kalau mau pacaran, pergi aja. Aku bisa jaga Dea." Ketidaknyamanan kurasakan sejak kehadiran Bimo semakin membesar. Lirikan tajam Kenes bisa kurasakan. "Kecuali Wisnu enggak percaya sama calon kakak iparnya sendiri."

"Sorry, aku emang enggak percaya sama kamu. Meski sama calon kakak iparku sendiri!" jawabku tegas. "Aku ada pekerjaan di dalam. Dea ikut Papa aja. Ibu pasti punya makanan di dalam buatku." Keakraban anakku dengan seisi rumah Kenes menjadi pelengkap hubungan kami berdua. "Aku tinggal ke dalam dulu," kataku mengusap lengan atas Kenes yang masih menatap tajam kakaknya tanpa menyapa Bimo.

"Itu kakak kandungnya tante Keke, Pa?" tanya Dea setelah kami berdua jauh dari kedua saudara yang terlihat tegang. "Kok beda, ya."

"Beda kenapa?" tanyaku penasaran.

Dea yang mengikuti langkahku menuju salah satu ruangan menarik lenganku. "Dea enggak suka. Om itu aneh aja, pokoknya aku enggak suka." Kuusap puncak kepala Dea sebelum berbelok menuju dapur. Tempat yang kutahu pasti ada Bu Nah di sana.

"Lho, cah ayu kok ikut Papa kerja?" sambut bu Nah yang terlihat sibuk mengaduk panci di atas kompor. "Ibu enggak tahu kalau Dea ke sini, enggak ada kue. Mau digorengin pisang, enggak?" Dea segera menarik lepas tangannya ketika mendengar salah satu makanan kesukaannya. Aku menggeleng melihat kelakuannnya, tapi senyum terkembang bu Nah membuatku sedikit lega. "Ditinggal kerja aja, Mas. Dea aman sama ibu, kok."

"Iya, Papa kerja aja. Mending sama ibu dari pada sama om aneh!" Bu Nah segera memandangku dengan mata membelalak penuh tanya. Aku segera menjawab dan perempuan yang segera mengusirku itu mengangguk paham.

Kutinggalkan Dea bersama wanita yang selama ini sudah menjadi orang tua Kenes dengan hati tenang. Mengecek pekerjaan setiap orang tanpa mempedulikan kedua saudara yang terlibat pembicaraan di halaman belakang. Dari wajah tegang dan marah Kenes, aku bisa memperkirakan apa yang menjadi topik keduanya. Namun, aku berusaha untuk menahan diri dan tidak mendekati keduanya.

Hampir satu jam aku mengecek dan melihat kerusakan yang tak terlihat setelah mereka membongkar plafon di salah satu ruangan ketika mendengar bentakan Kenes.

"Kamu enggak bisa seenaknya gitu, dong, Mas!"

"Aku bisa, Ke. Dan aku bakalan lakukan itu, kalau kamu enggak penuhi permintaanku!"

Aku tak tahu apa yang keduanya pertengkarkan, meski saat ini aku curiga mereka bukan hanya membicarakan tentang rumah. Kemarahan yang Kenes tunjukkan membuatku semakin curiga ada banyak hal yang belum perempuan itu ceritakan padaku. "Kamu bisa bayangkan apa yang bakalan terjadi kalau dia tahu yang sebenarnya, Ke! Aku yakin bukan senyum yang ada di bibir calon suamimu itu!" Langkahku terhenti ketika Bimo menyebutku. Beberapa saat lalu, aku beranjak menjauh dari pusat pertengkaran, tapi suara itu membuatku berhenti.

"Please, Mas. Aku enggak pernah ganggu hidupmu, tolong jangan bawa-bawa Mas Ninu ke dalam masalah kita." Seketika kemarahan memenuhi hati ketika mendengar suara Kenes di antara isakannya. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi mendengar sakit di setiap kata Kenes membuatku hampir melupakan sopan santun dan membuka pintu yang tak sepenuhnya tertutup itu. "Aku cari cara untuk penuhi keinginanmu, dengan syarat jangan bawa-bawa dia dan jauhkan temanmu dariku! Kamu tahu aku enggak akan memilihnya!"

Semakin banyak pertanyaan di kepalaku saat ini. Ketika mendengar suara pintu dibuka, aku memundurkan langkah dan kembali menuju ruangan di mana beberapa orang masih sibuk membongkar plafon yang sebagian besar sudah lapuk.

Beberapa saat aku berada di dalam ruangan tanpa tahu di mana Kenes dan Bimo berada. Setelah mendengar potongan pembicaraan keduanya, aku tak yakin bisa menyem bunyikan kecurigaanku dari Kenes. Namun, aku tak ingin membuat kekasihku itu semakin sedih atau marah jika mengetahui apa yang kudengar beberapa saat lalu.

"Mas," panggil Kenes dari arah belakang membuatku terkejut. "Mau ikut makan sama kita, enggak?" kulirik jam di tangan. Makan siang sudah lewat dan belum waktunya makan malam, tapi aku tahu Kenes pasti belum makan setelah latihan tarinya beberapa jam lalu. Kuhampiri dan menarik pundaknya dalam pelukan sebelum berjalan menuju ruang makan dan langkahku terhenti ketika melihat Bimo duduk berdua dengan Dea.

"Mas Bimo mau balik ke Jakarta besok, jadi ...." Aku mengangguk mengerti dan segera menarik salah satu kursi untuk Kenes sebelum duduk tepat di sebelahnya. "Kalau masih kenyang, temeni aja di sini. Enggak apa-apa, kan?" tanya Kenes terlihat ragu.

"Aku belum makan siang, Yang," bohongku sebelum mengedikkan sebelah mata ke arah Dea yang mengetahui ketidakjujuranku.

Kenes dengan sigap mengisi piringku dan Dea, melewatkan piring yang Bimo angkat. Bahkan aku bisa merasakan Kenes menahan geraham ketika Bimo dengan sengaja mendorong piring kosongnya ke depan wajah adik perempuannya. Keenganan Kenes tak sulit untuk dilewatkan. Beberapa detik kedua kakak beradik itu beradu tatapan hingga terdengar suara Bu Nah menarik salah satu kursi dan menambah tumpukan lauk di pirig Dea.

"Makan yang banyak, cah ayu!" perintah yang mendapat senyum lebar Dea itu tak memecah perang antara Kenes dan Bimo. "Mas Ninu mau kopi?" tanya Bu Nah.

Kenes yang mendengar itu segera menoleh dan membelalakkan mata, seolah berkata sudah berapa gelas kopi hari ini? "Bikinin teh hangat aja, Bu!" perintah Kenes ketika melihat kelima jari kananku terangkat.

Aku bisa merasakan pandangan menyelidik Bimo ketika melihat keakrabanku dan Bu Nah yang mengusap pundakku pelan sebelum berlalu kembali ke dapur. Aku bisa merasakan keheranan dan ketidaksukaan yang pria itu tujukan padaku. Sesekali lirikan tajam Bimo berikan ketika melihat keakraban Kenes dan Dea. Aku tak tahu apa yang ada di kepala kakak lelaki Kenes saat ini, tapi perasaanku semakin tak menentu. Terlebih lagi setelah mendengar ancaman beberapa saat lalu.

"Renovasinya gimana, Nu?" tanya Bimo. "Lancar? Atau ada hambatan?" Sejak pertama kali bertemu, Bimo tak pernah menanyakan sesuatu tentang renovasi yang kulakukan. Namun, hari ini, pria yang selalu terlihat menyembunyikan sesuatu itu menunjukkan ketertarikannya. "Udah banyak yang lapuk, kan?"

"Wajar, rumah lama. Kalau diperbaiki juga masih bagus." Aku tak ingin membicarakan tentang rumah dengannya, tapi keinginan untuk mencari tahu apa yang keduanya bicarakan mulai mengisi kepalaku. "Ada kerjaan di Surabaya?" tanyaku sengaja mencari tahu.

Bimo tak segera menjawabku. Matanya melirik Kenes dengan senyum di bibir sebelum mengembalikan pandangan padaku. "Sengaja pengen bikin kejutan buat Keke, enggak tahunya malah aku yang kaget. Kalian berdua sudah lama jadian?"

Di bawah meja, Kenes tiba-tiba meraih pahaku dan mencengkeramnya erat. Meski terkejut dan hampir melonjak, aku menjawab pertanyaan Bimo dengan tenang. "Lumayan," jawabku samar. "Kenapa? Ada masalah?" Kali ini cengkeraman Kenes semakin mengerat, tapi bukan sakit yang kurasakan, karena jari lentik itu membuatku ingin melakukan sesuatu yang lain.

"Enggak ada masalah. Aku seneng lihat Keke bisa kembali buka hati. Setelah pengalaman buruknya waktu kuliah, aku kira dia enggak bakalan mau berhubungan sama siapapun." Aku tak tahu apa yang Bimo katakan, saat kupandang Kenes, ia hanya menunduk dan menghindari tatapanku, meski saat ini tangannya tak berhenti mencengkeram pahaku.

"Kita enggak pernah tahu kapan dan dimana bakalan ketemu jodoh, kan." Aku kembali menjawab ke arah Bimo. "Pertemuan dengan Kenes juga enggak sengaja, dan ternyata kami berdua memiliki banyak persamaan." Kulirik Dea yang berusaha untuk makan tanpa terganggu dengan pembicaraan dewasa yang beredar disekitarnya.

"Tapi kalian berdua udah benar-benar saling kenal enggak ada yang disembunyikan, kan?" Aku bisa merasakan tubuh Kenes menegang di sampingku. "Maksudku, sebelum kalian menikah, pasti harus saling terbuka. iya, kan?" Bimo melirik Kenes yang terlihat sibuk mengaduk-aduk isi piring tanpa terlihat ingin memakannya.

"Pelan-pelan. Buatku, saling mengenal enggak harus dilakukan saat ini juga. Karena pernikahan bukan akhir dari sebuah hubungan. Buatku, pernikahan adalah proses. Aku dan Kenes punya waktu sepanjang usia untuk saling mengenal." Untuk sesaat semua orang diam dan menyelesaikan makan tanpa bertukar kata, bahkan lirikan tajam yang sesekali kudapatkan dari Bimo pun berkurang. Entah apa yang membuat kakak lelaki Kenes tiba-tiba menutup mulutnya.


Anak cantik


Happy reading guys

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top