Bab 14
Bab 14
"Goblok!" umpatan Gigih terdengar jelas saat kubuka pintu ruang kerja di pagi berikutnya. Meski saat ini masih terlalu pagi untuk berkumpul, tapi Putra—yang memiliki jam kerja paling fleksible di antara kita bertiga—sudah terlihat nyaman duduk ditemani segelas kopi. "Wis tuwek tapi kelakuan koyok arek cilik ae, Put. Ngisin-ngisini!" kata Gigih semakin membuatku penasaran.
"Jik isuk, Gih!" kataku. "Anake wong kok wis mbok pisuhi?" Kupandang Putra, wajahnya memerah karena tertawa, dan aku tak tahu apa yang membuat keduanya sudah berada di dalam ruanganku. "Ini kenapa to pagi-pagi udah nongkrong di sini?!"
"Awakmu kesuwen, Nu. Putra tadi cerita kelanjutan misinya sama Dara." Selain progress persiapan pernikahan Gigih, kisah antara Putra dan Dara selalu menjadi topik pembicaraan kita bertiga. Tarik ulur dan semua ketidakjelasaan keduanya seolah menjadi bagian dari cerita mereka. Tanpa ingin tahu cerita dibalik umpatan Gigih, aku membuka pekerjaan dan segera mengerjakan rumah Kenes yang akan segera di mulai minggu depan.
Gigih masih sibuk mendengarkan cerita Putra yang sengaja tidak kudengarkan. Semenjak mendengar pilihan yang Kenes punya, aku mencoba memikirkan tentang rumah peninggalan keluarganya. Semua karena aku tak ingin harus melihat perempuan yang secara "resmi" dengan tanpa kutip menjadi kekasihku. Suatu hubungan yang kami berdua tak ingin orang lain ketahui, setidaknya untuk saat ini. Kecuali Dea dan Gigih.
"Dea pasti tahu, atau mungkin sudah curiga kalau Papa lagi dekat sama tante Keke. Iya, kan?" tanyaku sesaat setelah kami berdua menyelesaikan makan malam. "Papa sudah janji kalau bakalan cerita semuanya sama kamu, jadi malam ini ... Papa akan jawab semua pertanyaanmu." Setelah Dea mendapatiku pulang dini hari, aku berjanji akan menjawab semua pertanyaannya hari ini.
"Mulai kapan Papa suka sama tante Keke?"
Mulai kapan? Pertanyaan yang ada di kepalaku sejak beberapa hari lalu, karena aku tak pernah tahu mulai kapan rasa suka, sayang atau bahkan cinta itu hadir dihatiku untuknya. "Papa enggak pasti mulai kapan, tapi sejak pertemuan pertama waktu tante Yanti ngenalin tante Keke ke Papa, Om Gih dan Om Puput, Papa merasa tertarik. Tapi belum ada kata suka waktu itu."
Mungkin ini bukan pembicaraan yang sehat untuk dilakukan antara orang tua dan anaknya yang berusia sepuluh tahun. Namun, semenjak berjanji untuk tidak berbohong dan menceritakan semua tanpa ada yang harus aku sembunyikan, aku merasa memiliki hubungan yang lebih sehat dengan Dea. Bukan sekedar bapak dan anak, karena aku ingin dia bisa menceritakan apapun padaku. Seperti saat ini, aku berusaa untuk terbuka padanya.
"Papa bakalan nikah sama tante Keke?" Kukedikkan pundak karena aku tak memiliki jawaban untuk itu. "Kenapa?"
"Menikah bukan keputusan yang bisa diambil dalam waktu singkat, Sayang. Kalau kamu tanya, Papa sayang enggak sama tante Keke. Papa jawab iya. Kalau Dea tanya Papa cinta enggak sama tante Keke, Papa juga bakalan jawab iya. Tapi kalau Dea tanya Papa bakalan nikah sama tante Keke, enggak? Papa jawab enggak tahu. Karena kita enggak pernah tahu apakah seseorang yang kita pilih saat ini adalah jodoh yang Tuhan kirimkan atau bukan."
Dea terlihat berpikir, dan aku mengerti ketika bibir gadisku tak kunjung terbuka. Aku tetap sabar menanti, karena tahu ada banyak pertanyaan di kepalanya saat ini. Keningnya mengernyit dengan bibir cemberut membuat Dea terlihat menggemaskan. "Tapi Papa pengen nikah sama tante Keke, kan?"
"Pengen, lah!" jawabku tegas membuat kami berdua terkejut, karena tak pernah sekalipun aku mengatakan keinginan itu dengan lantang. "Dea keberatan?"
Anak gadisku kembali terdiam, dan seketika aku memikirkan kemungkinan Dea menolak kehadiran Kenes dalam kehidupan mereka berdua. "Bukan keberatan, cuma aneh aja, sih."
"Aneh kenapa?"
Dea terlihat berpikir menyusun kata. Ia tahu apapun jawabannya tak akan membuatku marah atau tersinggung, tapi anak kecil berusia sepuluh tahun itu tetap berhati-hati dalam menjawab pertanyaanku. "Selama ini, kita hanya berdua. Ngebayangin ada orang lain, rasanya aneh aja, sih!" Dea terdiam sesaat. "Aku pernah ngobrol sama Lala, tanya gimana perasaannya mau punya Mama lagi. Tapi aku sama Lala, kan beda, Pa. Om Gih sebenarnya kan Omnya Lala bukan papanya, beda sama aku."
"Dea takut kalau sayang Papa berkurang?" tanyaku berhati-hati, dan diamnya seakan menjawab pertanyaanku.
"Sebenarnya bukan takut seperti itu." Dea kembali diam.
"Ninu Ninu Ninu!" teriak Gigih menirukan suara anak-anak membuyarkan lamunanku. Pembicaraan semalam bersama Dea memberiku perspektif baru dalam melihat hubunganku bersama Kenes. "Ojo rame ae, Gih!" bentakku ketika suara Gigih menarikku dari kejadian semalam.
"Kenapa?!" tanyaku terkejut mendapati Gigih dan Putra memandangku tajam.
"Aku tanya untuk rumah Keke gimana?" tanya Gigih tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya. "Biar enggak bentrok ama yang lainnya, jadi harus ngatur waktu." Beberapa proyek yang berjalan saat ini terkadang membuat Gigih kewalahan, dan terkadang aku pun turun ke lapangan menggantikannya.
Berusaha untuk tidak menarik perhatian Gigih, aku mencoba mengatakannya dengan sambil lalu. Dengan mata tertuju pada layar laptop meski saat ini tidak ada yang menarik perhatianku. "Atau aku yang handle rumah Keke?" Tidak ada jawaban yang terdengar, tapi itu tak membuatku menurunkan kewaspadaan.
"Biasanya males ke lapangan?" kata Putra yang mengenalku sebaik Gigih.
"Dari pada calon pengantin pria jadi item dan bulukan waktu hari H, ntar Yanti mikir dua kali. Kalau terus dia milih mundur, gimana?" jawabku asal yang berhasil membuat Gigih mengumpat dan aku berusaha menutupi napas legaku saat ini.
"Jancuk! Dungomu kok elek, Nu!" umpat Gigih yang masih memandang ponselnya. "Jare Cici, masio ireng tetep ngangeni!"
"Kepekso iku jenenge, Gih!" jawab Putra.
Tawa kami bertiga mengisi ruang dengar, memecah keheningan yang biasa mengiringiku. Wajah dua orang yang terkadang membuatku jengkel, kini seakan menemaniku mengerjakan tugas. "Kerjo, kono!" bentakku ketika keduanya tak terlihat segera beranjak dari kursi.
"Males! Sebagai calon pengantin pria, aku berhak untuk mendapatkan dispensasi pengurangan jam kerja. Iya, kan?" kata Gigih jumawa karena di antara kami bertiga, dia yang akan segera melepas masa lajangnya. Berbeda dengan Putra yang memiliki hubungan tidak jelas dengan Dara atau aku.
***
Kuhentikan langkah ketika mendengar suara Bu Nah dan Kenes di ruang makan setelah menunjukkan satu persatu item pekerjaan pada mandor yang bertanggung untuk mengawasi rumah Kenes. Dua perempuan yang tak menyadari saat ini aku hanya berjarak beberapa langkah terdengar kuatir.
"Ibu mau bilang apa?" tanya Kenes yang terdengar sedih.
"Beneran mau di jual, Nduk? Kamu memutuskan untuk menjual rumah peninggalan eyangmu ini?" Siapapun bisa mendengar marah dan sedih yang terdapat di setiap kata Bu Nah. Jika berada di posisi Kenes, aku juga pasti marah dan sedih saat terpaksa melepas rumah yang selama ini menjadi tempatku pulang.
"Aku harus memilih yang jelek di antara yang paling jelek, kan, Bu." Suara Kenes membuatku semakin ragu untuk menganggu. "Meski enggak ada satupun pilihan Mas Bimo yang membuatku bisa bernapas lega, tapi—"
Keningku mengernyit mendengar kata pilihan dan ingatanku kembali saat Kenes menceritakan tentang ultimatum kakaknya. "Gimana kalau di kontrakkan, mungkin Mas Bimo masih mau terima kalau itu. Ibu enggak ngerti kenapa Mas-mu itu jahat banget sama kamu, pake ngancam untuk cerit—"
"Bu, jangan! Nanti Mas Ninu dengar!" Peringatan yang terdengar jelas itu membuatku memundurkan langkah dan sengaja membuat suara sebelum kembali mengambil langkah memasuki dapur. Memberi waktu pada Kenes dan Bu Nah sebelum aku menemui keduanya. Namun, mendengar jawaban Bu Nah, aku tak bisa bergerak.
"Ibu tahu kalau malam itu Mas Wisnu pulang pagi! Ibu enggak tanya kalian berdua sudah ngapain aja, itu bukan tempat ibu untuk bertanya. Ibu cuma mau bilang kalau dia sepertinya sayang banget sama kamu, Nduk. Mungkin cerita sama Mas Wisnu bisa ngentengno pikiranmu."
Bukan hanya tentang rahasia Kenes yang membuat kakiku tak mampu untuk bergerak. Namun, kenyataan tentang Bu Nah tahu aku meninggalkan rumah ini di jam tiga pagi membuatku malu. Di usia mendekati empat puluh, aku masih bersikap seperti remaja.
"Kalau dia tahu dan mutusi aku enggak cukup baik untuk dia dan Dea, gimana, Bu?"
"Cerita dulu, dari pada disimpan dan bikin kamu enggak bisa kerja!"
Apapun yang keduanya bahas jelas bukan untuk aku dengarkan. Perlahan aku memundurkan langkah dan memberi mereka waktu untuk menyelesaikan apapun yang sedang dibahas. Kembali ke garasi, aku kembali melihat item pekerjaan yang harus dikerjakan sebelum berjalan keluar dan memandang tampak depan rumah terlihat sedikit kusam. Beberapa bagian cat dinding mulai mengelupas memberi kesan tak terawat.
Mengingat Dara akan mencarikan pembeli untuk Kenes, aku menghubungi perempuan yang menjadi topik pembicaraan Putra tadi pagi. "Ra," sapaku setelah mendengar halo di ujung sambungan. "Kamu udah mulai pasang iklan untuk rumah Keke, belum?"
"Belum, Mas. Rencana baru besok mau foto-foto. Tapi aku udah masukkan ke list dari kapan hari."
"Aku fotoin aja, mumpung aku di rumah Keke abis ketemu sama mandor tadi."
"Sip. Kalau gini kan tambah ganteng Mas-kuuuh," goda Dara yang membuatku segera memutus sambungan meski aku tahu tak lama kemudian pasti ada pesan masuk berisi umptan. Dara, perempuan yang tak pernah takut untuk mengumpat itu membuatku semakin sering menggodanya.
Dari kamera yang hari ini sengaja kubawa, aku mengambil foto dari sudut tertentu. Menampilkan fitur terbaik dari rumah yang sudah berusia puluhan tahun tersebut. Taman yang terawat menjadi salah satu daya tarik tersendiri, dengan pendopo berdiri gagah di tengah lapangan menjadikan rumah Kenes terlihat berbeda.
Memanggil nama Kenes, aku membuka pintu utama dan kembali mengambil foto. Sebelum masuk semakin dalam dan menemukan dua orang perempuan yang tampak terkejut melihatku. "Sorry, sekalian mau ambil foto untuk Dara. Nanti di update lagi setelah pekerjaan selesai." Aku menjawab pertanyaan tak terucap dari Kenes yang memandangku dengan mata membelalak. "Izin foto bagian belakang ya, Bu." Tanpa menanti jawaban dari keduanya, aku melanjutkan langkah menuju bangunan tempat Bu Nah dan keluarganya tinggal.
Sambil menenteng kamera di tangan, aku kembali menuju ruang makan di mana Kenes dan Bu Nah berada. "Bu," sapaku pada wanita yang segera beranjak ketika aku menarik kursi di sebelah Kenes. Lirikan tajam yang kudapatkan saat ini membuat keningku mengernyit. Bahkan wanita yang beberapa hari lalu bersemangat untuk menyiapkan makan siang untukku, kini tampak menjaga jarak. Aku bertanya tanpa suara pada Kenes, tapi ia hanya mengedikkan pundak dan menggeleng.
"Ibu tahu Mas Ninu pulang pagi waktu itu!" Senyum di bibirku menghilang ketika mendapati Bu Nah berhenti dan membatalkan langkahnya meninggalkanku dan Kenes. "Ibu hanya rewang di rumah ini, tapi Keke sudah seperti anak ibu sendiri, Mas. Mungkin ini lancang, tapi harus ibu katakan." Kupandang Bu Nah dengan serius tanpa ada perasaan marah ataupun tersinggung, karena aku tahu sebesar apa arti wanita di depanku bagi Kenes. "Ibu suka sama Mas Ninu, karena sepertinya dari semua laki-laki yang pernah ada di hidup Keke, hanya Mas Ninu yang membuat dia banyak tersenyum. Tapi bukan berarti Mas Ninu bisa mempermainkannya atau bahkan mengambil keuntungan darinya. Kalau antara Mas Ninu dan Keke hanya sekedaar bersenang-senang, Ibu sarankan untuk berhenti. Keke enggak butuh itu Mas!"
Kulirik Kenes yang terlihat tak nyaman mendengar ancaman Bu Nah padaku, tapi dengan cepat kuraih tangan di atas pangkuannya. "Bu, sayangku untuk Keke, bukan cuma untuk main-main. Selama mengenal Keke, aku berusaha untuk selalu ada untuknya, membantunya dan meringankan beban nya. Malam itu ... Ibu bisa tenang, aku dan Keke enggak melakukan apapun." Meski terdengar lucu, karena aku berusaha untuk menjelaskan maksud hati pada seorang asisten rumah tangga, tapi wanita yang memiliki rasa sayang tak terbatas untuk Kenes tersebut sudah menjadi ibu baginya.
"Ibu minta maaf kalau kelewat batas, tapi ... makasih Mas Ninu sudah temani dan bantu Keke. Meski ibu di sini hanya rewang—"
"Ibu bukan hanya sekedar rewang!" selaku. "Ibu sudah menjadi orang tua bagi Kenes, dan aku menghormati itu." Bu Nah meninggalkanku dan Kenes setelah beberapa saat menatapku dengan tajam.
Setelah memastikan keberadaan Bu Nah, aku menarik pundak Kenes dan memeluknya erat sebelum menangkup pipinya dan mencium bibir merah itu dengan lembut. Kerinduan yang ada di hatiku saat ini membuatku melupakan semuanya. Pekerjaan yang menungguku di atas meja pun tak membuatku ingin segera bergegas kembali ke kantor.
"Aku kangen," kataku setelah memundurkan kepala sebelum kembali mengecup bibirnya. "Kangen enggak?"
Kenes tak menjawabku. Matanya tertuju padaku dengan perasaan yang tergambar jelas di sana. "Kangen banget," jawab Kenes menarikku dan dan bibirnya kembali menjadi satu-satunya yang menjadi pusat perhatianku saat ini.
"Kita harus berhenti," ucapku di sela-sela ciuman yang enggan kuhentikan. "Sebelum ibu kembali dan aku enggak diterima lagi di rumah ini." Meski penolakan terdengar lemah di bibirku, tapi suara langkah yang mendekat membuat kami berdua menjauh dengan senyum terkulum.
"Mas makan siang di sini baru balik kantor, ya," pinta Kenes yang berhasil menyembunyikan senyum di bibirnya ketika Bu Nah memasuki ruang makan dengan mangkuk sayur ditangannya.
Sudah tua tapi kelakuan seperti anak kecil. Malu-maluin.
Masih pagi
Kamu kelamaan
Jumpa Mas Ninu lagi
Happy reading guys
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top