Bab 13


Bab 13 



Semenjak pulang dari rumah Kenes beberapa malam lalu, aku tak bisa menghilangkan pikiran tentang Dea. Aku tak mungkin menutupi apapun darinya. Dia mengenalku, meski terkadang aku tak mengenal diriku sendiri. Matanya selalu bisa menangkap sesuatu yang kusembunyikan. Seperti suatu malam ketika kami berdua dalam perjalanan menuju rumah Kenes untuk latihan tari.

"Papa punya pacar, kan!" Bukan pertanyaan tapi pernyataan yang sulit untuk di bantah. Matanya tajam menatapku dengan tangan terlipat di depan dada. "Aku ngerti kalau Papa punya pacar, cuma aku enggak tahu siapa orangnya." Aku masih menutup bibir hingga berhenti di depan rumah Kenes yang terlihat ramai. "Papa beruntung kita udah nyampe di rumah tante Keke, tapi jangan harap aku enggak nunggu jawaban Papa!"

Gadis kecil yang beberapa saat lalu memintaku untuk menyuapinya makan berubah dalam sekejap mata. Tanpa menungguku, Dea keluar dan berjalan menuju pintu di mana Kenes berdiri dengan seorang pria. Langkahku terhenti bukan karena mendapati perempuan yang saat ini menjadi pusat perhatianku bersama lelaki lain, tapi wajah kaku Kenes membuatku terkejut.

"Itu siapa, ya, Pa? Pacarnya tante Keke?" tanya Dea.

"Bukan!" jawabku cepat.

"Papa ko tahu? Jangan-jangan—"

"Malam," sapaku. Aku dan Dea hanya berjarak beberapa langkah ketika pria yang beberapa saat lalu membelakangiku membalik badan. Tak berbeda dengan Kenes, wajah pria itu pun terlihat kaku. "Sorry, ganggu?" kataku ragu.

"Enggak, Mas. Dea masuk aja, nanti tante temeni," ucap Kenes meraih lenganku tanpa memandang Dea yang membelalakkan mata melihatnya. Aku menggeleng memintanya untuk tidak mengatakan apa-apa sebelum kembali memusatkan pehatian pada pria yang masih terlihat menahan marah. "Kenalin ini Mas Bimo, kakakku. Dan ini Mas Wisnu, calon suamiku, Mas." Kaget tak bisa menggambarkan apa yang kudengar saat ini. Perempuan yang hingga saat ini belum menceritakan apapun, mengatakan aku adalah calon suaminya. Aku tak tahu rencana Kenes. Namun, aku tahu, aku mempercayainya.

"Maaf, aku enggak tahu kalau kakakmu datang, Yang. Kenapa enggak bilang?" tanyaku melepas lilitan tangannya dan menarik pinggangnya, hingga saat ini aku dan Kenes tak terpisahkan. Mungkin terkesan aku menandai daerah kekuasaanku saat ini, aku tak peduli. Hanya Kenes yang saat ini menjadi pusat perhatianku, bukan pria yang menatapku dari ujung kaki hingga kepala dengan mata dan senyum yang membuatku was-was.

"Bimo," ucap pria yang menerima uluran tanganku. "Aku enggak tahu kalau Keke udah punya pacar. Kapan-kapan kita harus ngobrol," ajak Bimo seketika membuatku mengingat cerita Kenes tentang kakaknya. Sikap ramah saat ini terlihat persis dengan cerita kekasih gadungannya.

"Aku balik dulu, Ke, Wisnu," kata Bimo dengan senyum yang tak terlihat terpaksa sebelum menepuk lengan atasku dan berjalan menjauh. Menyisakan banyak pertanyaan. Namun, ketika aku melayangkan pandangan pada Kenes yang masih terdiam di sebelahku, sesuatu yang buruk pasti telah terjadi. Aku tahu dengan pasti ketika melihat wajah pucat pasi Kenes.

"Ke, kamu enggak apa-apa?" tanyaku.

"Aku ngajar dulu, Mas tunggu di dalam aja. Ibu udah siapin teh sama gorengan buat teman Mas kerja." Kenes meninggalkanku dengan perasaan campur aduk. Senyum terbit mendengar Kenes mengenalku dengan baik. Ia tahu aku mengisi waktu kosongku dengan bekerja. Namun, kedatangan Bimo membuatku bertanya-tanya, dan Kenes menghindar untuk melegakan rasa penasaranku.

Musik gamelan kembali menjadi temanku bekerja malam ini. Suara hitungan Kenes mengisi di sela-sela musik yang semakin akrab di telingaku. Suasana rumah yang terasa nyaman membuat waktu tak terasa berlalu begitu saja hingga Dea duduk di sebelahku sambil menopang dagu. "Sudah?" tanyaku bergerak merapikan pekerjaan. Namun Dea menghentikan gerakanku hanya dengan pertanyaan tanpa basa-basinya.

"Mulai kapan Papa pacaran sama Tante Keke?" Saat inilah aku sedikit menyesali peraturan jujur dan terbuka antara aku dan Dea yang kuterapkan sejak dulu. "Jangan pake bohong, lho, Pa!"

Dari sudut mata, aku bisa melihat gerakan Kenes yang ragu untuk melanjutkan langkahnya. Perempuan cantik yang beberapa saat lalu terlihat marah, sedih dan juga kuatir kini terlihat ragu. "Kamu tahu kalau Papa enggak bakalan bohong sama kamu, Non. Tapi untuk saat ini, Papa boleh minta waktu. Papa janji akan cerita semuanya sama kamu, tapi nanti."

"Kenapa?" Semenjak kecil, Dea selalu bermasalah ketika mendapat penolakan. Bukan karena ia tak bisa menerima kata tidak, tapi Dea selalu menuntut jawaban. Meski terkadang jawaban itu tidak akan memuaskannya, tapi bisa membuatnya mengerti. Seperti saat ini, ia bertanya alasan dibalik penundaan yang kuminta darinya.

Kutarik kursi Dea hingga tubuhnya berhadapan denganku. Dari puncak kepalanya, aku bisa melihat Kenes berdiri tak jauh dari ambang pintu. Aku tahu saat ini, ia ingin tahu jawaban yang akan kuberikan pada Dea. "Iya, Papa lagi dekat sama seseorang," jawabku sambil menatap Kenes yang menggeleng pelan. "Tapi untuk saat ini, Papa simpan dulu informasi tentang siapa orang yang berhasil bikin Papa enggak bisa tidur, selain kamu." Aku bisa melihat senyum Kenes dan Dea bersamaan.

"Papa sayang sama orang itu?" tanya Dea yang masih enggan untuk menyerah, meski saat ini kami berdua berada di rumah orang lain. "Papa cinta enggak?"

Aku menutupi gugupku dengan tawa, karena menceritakan tentang kehidupan cintaku pada anak remaja bukan sesuatu yang mudah untuk kulakuakn. "Untuk saat ini, Papa dan dia berada di tahap untuk saling mengenal. Cinta ... sepertinya iya. Papa jatuh cinta padanya," kataku menghentikan pertanyaan Dea. "Tapi kami berdua sepakat untuk saling mengenal dan terbuka. Kalau apa yang Papa dan dia punya sudah fix, orang pertama yang berdua kasih tahu adalah kamu. Papa juga yakin kalau kamu bakalan sayang sama dia. Puas dengan jawaban Papa, Non?"

Dea terdiam, matanya tetap tertuju padaku. Sesekali aku melihat ke arah Kenes dan berharap saat ini bisa memeluk dan menciumnya. "Oke," jawab Dea membuyarkan lamunanku. "Sebenarnya aku bisa tebak siapa orangnya, tapi karena Papa minta waktu, jadi aku enggak bisa maksa." Kutarik tubuh Dea masuk dalam pelukan, kucium puncak kepalanya dan berkata, "I love you, Sayang." Meskipun saat ini kata sayang itu bukan hanya untuk Dea. Melihat Kenes yang menutup mulut dengan kedua tangan, aku bisa menduga dia mengerti dengan maksudku. "Love you so much."

Setelah beberapa saat Dea mengendurkan pelukan. "Pa, aku enggak nyadar kalau lagi di rumah orang. Tante Keke enggak keberatan, kan?"

"Tante Keke enggak bakalan keberatan," jawab Keke membuat Dea terkejut. "Tante malah seneng, karena biasanya sendiri di sini. Ada kamu, rumah terasa lebih rame."

Dea melirikku dan Kenes bergantian sebelum mengedikkan mata ke arahku sebelum berdiri. "Makasih,Te," jawab Dea sopan. "Sekarang, aku tunggu Papa di luar aja. Aku tahu Papa pasti mau ngomongin pekerjaan sama tante." Tanpa memberiku atau Kenes kesempatan untuk menjawab, anak gadis yang kembali terlihat riang itu berjalan menuju pendopo.

Setelah memastikan Dea keluar, kupeluk Kenes dengan sepenuh hati. "Mau aku temani malam ini?" tanyaku. "Hari ini Tatik nginap di rumah lagi, karena suaminya ada pekerjaan di luar kota," ucapku ketika melihat keraguan diwajah Kenes. Kucium bibirnya dan berkata, "aku anter Dea pulang dulu dan balik ke sini. Boleh?"

Kenes tidak menjawabku, ia hanya berjinjit dan mencium bibirku lembut. "Makasih, Mas. Biasanya mereka latihan sampai malam," kata Kenes. "Aku tunggu." Kucium bibir merah itu sekali lagi sebelum keluar mencari keberadaan anakku.

***

Aku kembali ke rumah Kenes dua jam kemudian, setelah mengatakan pada Dea ada sesuatu yang harus kuselesaikan tanpa menceritakan kemana aku pergi. Meski biasanya dia selalu bertanya, malam ini Dea tahu kemana tujuanku dan tak memaksaku untuk menceritakan padanya. Tatik yang malam ini tidur di rumah membuatku tenang meninggalkan Dea dan menemui Kenes. Perempuan yang berdiri di teras menyambut kedatanganku dengan senyum meski aku masih bisa melihat saat ini pikirannya sedang kalut.

"Mas," katanya ragu sebelum melingkarkan lengan di pinggangku, dan aku bersyukur saat ini tidak ada seorang berada di halaman rumah Kenes yang selalu ramai. Aku tidak bertanya kemana mereka yang beberapa jam lalu berlatih untuk pagelaran seni. Bibirku tertutup rapat tidak bertanya apakah malam ini keberadaanku akan membuatnya bermasalah. Aku hanya membalas pelukannya. Mencium puncak kepalanya. Mencoba memberinya sesuatu yang Kenes butuhkan, dada untuk bersandar.

Setelah beberapa saat kami berdua diam dalam pelukan, kini Kenes membawaku menuju sofa yang sudah menjadi tempat kami berdua menghabiskan waktu. Lenganku kembali menariknya masuk dalam pelukan, menantinya hingga siap untuk mengatakan isi kepalanya. Mengurangi gundah yang terlihat jelas di wajahnya.

"Sayang ... mau cerita atau mau gini aja?" tanyaku pelan. "Aku sih enggak keberatan meski harus meluk kamu sampai pagi, tapi ntar badannya capek lho!"

Tak berapa lama, Kenes mendorong tubuhnya, membuatku telentang di atas ranjang dan perempuan yang masih belum mengatakan apa-apa padaku tanpa ragu tidur di atas tubuhku. Membuatku harus menahan diri. "Sayang ... ujian ini terlalu berat untukku. Harap diingat, ya, aku sudah puasa lima tahun lamanya!" ucapku penuh peringatan yang hanya mendapat kekehan dari bibirnya.

"Puasa sedikit lagi, aku tahu Mas Ninu kuat." Keningku mengernyit mendengar jawabannya, dan berharap saat ini aku tak salah mengartikan kalimat Kenes.

"Jadi maksudnya ... ada kemungkinan aku buka puasa dalam waktu dekat?" Kenes kembali terkekeh dan semakin menyamankan tubuh di atasku. "Sayang! Jangan banyak gerak, dong! Kesabaranku hanya setebal tisu ini!"

Tawa kenes terdengar merdu meski aku harus menahan diri, karena saat ini, bibir perempuan yang tak berhenti mengusap dadaku pelan berada tepat di ceruk leherku. "Mas Bimo kasih aku waktu sebulan untuk menjual rumah dan memberinya separuh bagiannya."

Menjual rumah tak semudah itu, semua orang tahu. Namun, mendengar tuntutan Bimo terdengar tak masuk akal. Ia bahkan belum memulai proyek renovasi untuk menarik calon pembeli rumah Kenes. "Sebulan?" tanyaku keheranan. Aku berusaha untuk mengangkat tubuh, tapi Kenes semakin mengeratkan pelukan dan memintaku untuk tetap di tempat. "Jual rumah, kan, enggak seperti jual kacang goreng!"

Helaan napas panjang Kenes semakin membuatku tak bisa berkutik. "Gini aja dulu, aku pengen dengar suara detak jantungmu. Aku butuh merasakan hangatnya pelukanmu ketika aku menceritakan sisi kacau keluargaku." Ada sesuatu yang Kenes sembunyikan, entah apa yang membuatku merasakan itu. Lengan yang memelukku saat ini seolah menahanku untuk tidak menatap langsung ke dalam matanya membuatku semakin yakin ada sesuatu yang tersimpan di hatinya. "Sayang."

"Mas Bimo seumuran Dea waktu aku lahir, dan lima tahun kemudian aku dan dia pindah ke sini setelah ibu meninggal, seperti yang pernah aku ceritakan sama Mas Ninu." Aku diam tak menyela ceritanya.

Tanganku tak berhenti mengusap punggung Kenes. Memberinya kekuatan dan kehangatan yang dibutuhkannya saat ini. "Waktu Mas Bimo lulus SMA, dia kuliah ke Bandung dan sejak itu enggak pernah pulang. Setiap kali aku tanya sama Eyang, selalu di jawab kalau dia sibuk dan enggak sempat pulang. Aku enggak tahu kalau dua atau tiga tahun setelah Mas Bimo lulus kuliah, dia pulang ke Surabaya tapi Eyang mengusirnya."

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Karena Mas Bimo menjual rumah ibu di Malang tanpa sepengetahuan Eyang. Jangan tanya bagaimana caranya dia bisa menjual rumah itu, aku enggak tahu." Kenes terdiam. "Ternyata itu semua karena Eyang menghentikan semua kiriman dana untuk Mas Bimo setelah ketahuan dia sempat di penjara karena penipuan. Aku seperti enggak kenal Mas Bimo yang selam ini selalu lemah lembut dan enggak pernah mengecewakanku ... hingga di pergi ke Bandung. Aku kehilangan dia, benar-benar kehilangan satu-satunya keluarga yang kupunya, meski ada Eyang."

"Kamu tahu itu semua dari mana?"

"Ada surat Eyang di dalam sertifikat rumah ini. Aku dapat waktu ngerapikan kamar. Eyang ninggalin semua hartanya untukku. Aku aja enggak tahu kalau rumah ini sudah atas namaku. Setelah tahu cerita di balik ngilangnya Mas Bimo, aku enggak ngerti harus marah atau bersyukur." Kenes menarik napas panjang dan menghembuskan dengan perlahan. "Ibu bukan dari keluarga kaya raya, Mas. Rumah ini satu-satunya peninggalan dari eyang. Susah payah aku berusaha mempertahankan, dan sekarang dia datang meminta separuh bagian dari rumah tempatku pulang selama ini."

"Tunggu!" kataku memecah keheninggan. "Jadi beliau ninggalin semua untuk kamu dan bukan Bimo karena masa lalu kakakmu?" Kenes mengadikkan pundak menjawabku.

Kenes kembali menguji kesabaranku ketika tiba-tiba dia mengangkat kepala dan memandangku lekat. Jarak tipis antara kami berdua membuat pertahanan diriku semakin berkurang. Aku hanya perlu memajukan kepala dan bibir merah itu akan berada dalam lumatanku. "Aku boleh cium kamu?" tanyanya pelan sambil cemberut yang membuat kesabaranku melayang jauh. Kutangkup pipi Kenes dan kucium bibirnya hingga aku bisa mendengar desahan lolos dari bibirnya.

"Sayang," ucap Kenes tertahan.

"Lima menit," kataku di sela-sela ciuman yang membuatku berhenti berpikir. "Aku pengen kita berdua berhenti memikirkan semuanya dan menikmati lima menit ini, bisa?" tanyaku ketika menghentikan lumatan bibir meski saat ini kami bedua tak berjarak. Anggukan samar dan juga senyum simpul di bibir Kenes memberiku izin untuk meneruskan semuanya.

"Bibirku bengkak!" protes Kenes ketika kulepas pagutan bibir kami berdua. "Lima menit itu lama!" Meski saat ini bibir cemberutnya semakin membuatku ingin kembali menciumnya. Kenes menegakkan punggung dan sayangnya justru membuatku kembali mengerang. Saat ini, Kenes duduk tepat di atas tubuhku.

"Sayang, kalau kamu bakalan lama duduk di situ, aku bakalan butuh lebih dari lima menit. Ingat, aku puasa lima tahun!" ucapku kembali memperingatkannya. Namun, seolah itu memberinya izin untuk semakin mengujiku, Kenes menggeser duduknya meski tak sepenuhnya membuatku bernapas lega. "Sayang!" kataku sambil menggeram yang membuat tawanya lolos. Kusapu bibirnya dengan ibu jari dan membuat napasnya tercekat. Kenes menangkup pipiku dan kembali merendahkan tubuh, menciumku lembut. Aku tahu saat ini ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, dan itu berhasil, semua karena ketidakmampuanku menahan diri untuk tidak mencium bibir Kenes.

***

Rumah masih gelap ketika aku membuka pintu depan. Keheningan yang menyambut kedatanganku membuat semua lelah dipundakku semakin terasa. Meninggalkan Kenes menjadi semakin susah seiring berjalannya waktu. Terlebih lagi setelah apa yang terjadi hari ini. Aku bisa melihat efek kedatangan Bimo padanya, meski Kenes tak mau mengakuinya. Sepanjang ia bercerita atau ketika sibuk membalas ciumanku, aku merasa ia menahan sesuatu dariku.

"Papa dari mana?!" suara Dea menghentikan langkahku. "Dari rumah tante Keke. Iya, kan?" Untuk pertama kalinya, aku merasa berganti peran dengan Dea. Dia berdiri di depan pintu kamarnya, berkacak pinggang, dan mata membelalak tidak percaya. Berbeda denganku yang hanya diam memantung tanpa ada kata meluncur dari bibirku.


Happy reading guys

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top