Bab 12


Bab 12



Sayur asem, sambal terasi, empal daging, ikan asin, tahu dan tempe goreng terlihat menggoda ketika Kenes membawaku menuju meja makan. "Seadanya ya, Mas Wisnu. Ibu belum sempat ke pasar gara-gara bocor semalam." Suara Bu Nah menyambutku dan Kenes. Kedua anak gadisnya terlihat sibuk menata meja sebelum duduk dan menanti semua orang bergabung.

"Enak semua ini, Bu. Makasih sudah disiapin, bisa-bisa ngabisin nasi ini." Aku duduk di sebelah Kenes yang dengan sigap mengisi piringku dengan nasi dan juga lauk. Lirikan Bu Nah tak membuat Kenes menghentikan gerakannya, bahkan aku bisa melihat wanita yang sebagian besar rambutnya berwarna putih tersebut mengulum senyum. Air liurku terbit ketika aroma sambal terasi membawaku kembali ke rumah sederhana di masa laluku. "Aroma sambelnya bikin kangen ibu saya ini."

Nostalgia memenuhi pikiranku. Aku bisa melihat kedua orang tuaku duduk bersama, menikmati sajian makan siang yang membuatku semakin mengenal Kenes. Perempuan yang selama beberapa hari mulai mengisi pikiranku, selain Dea. "Silahkah, Mas," kata Kenes yang memulai makan tanpa menungguku. Perempuan yang tak terlihat malu menunjukkan sisi lain dari dirinya tersebut tampak tersenyum puas. "Mas Ninu bakalan ketagihan sambelnya Ibu. Aku jamin itu!"

"Ya berarti aku harus sering-sering makan di sini, ya, Bu," jawabku memandang Bu Nah yang mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya. "Asal kamu enggak bosen aja lihat aku sering muncul di rumah kamu!"

Kenes menghentikan makan dan memiringkan wajah, melirikku dengan senyum terkulum. "Halah, paling kamu yang bakalan bosen, Mas." Aku tahu saat ini kami berdua saling menggoda, dan aku menikmati setiap detiknya. Mendapati wajah Kenes bersih tanpa make up, terlihat lebih muda dan bebas tanpa beban yang terkadang terlihat jelas di wajahnya.

Kedua anak Bu Nah membuat suasana makan siang semakin ramai dengan cerita masa kecil mereka. Dari keduanya aku semakin mengenal perempuan yang duduk di sebelahku. Kebaikan hatinya membiayai sekolah keduanya, membuatku semakin kagum. Bahkan ketika Bu Nah menceritakan tentang sakit yang di deritanya beberapa tahun lalu, membuatku tak bisa menutupi kekagumanku. Walaupun aku tak bisa menghilangkan pertanyaan bagaiman Kenes bisa melakukan itu semua.

"Perutku kenyang, Bu. Terima kasih, ini enak banget. nggak ada restoran yang bisa nandingi sambel Ibu. Keke benar, sepertinya bakalan ketagihan makan di sini, nih." Aku mengusap perutku yang terasa sesak setelah suapan terakhirku.

Kenes mengusap pelan pundakku, "duduk di depan aja, Mas," pintanya sebelum berdiri membantu Bu Nah dan kedua anaknya merapikan meja. Namun, ketiganya kompak menolak bantuan Kenes. Bahkan saat ini kami berdua diusir keluar dari area ruang makan. "Ya wis ... nanti minta tolong bawain Mbak es teh, ya, Nduk," kata Kenes ke salah satu anak Bu Nah yang segera mengatakan siap dengan tegas.

Aku tak pernah membayangkan akan menghabiskan berjam-jam bersama Kenes dan semua orang yang ia anggap keluarga. Dari senyum dan keakraban mereka, siapapun bisa melihat rasa sayang yang Kenes rasakan. Aku tak tahu cerita di balik keluarga yang jarang Kenes sebutkan, dan tak ingin memaksanya untuk bercerita. Namun, setelah pengakuan dadakan kemarin, aku berharap Kenes akan terbuka dan menceritakan padaku.

"Setelah kenyang, duduk di bawah pohon begini bisa biking ngantuk, Ke." Aku menengadah dan memandang arak-arakan awan yang terlihat tenang di atas. "Aku harus jujur sama kamu, ini hari Minggu paling tenang yang pernah aku punya selama ...." Aku terdiam mengingat kapan terakhir kali aku duduk diam tanpa melakukan apapun seperti saat ini.

"Minggu tenang? Yang bener aja, Mas. Kita harusnya pergi entah kemana bukannya beres-beres rumah karena kebocoran pipa. Dan ini kamu bilang Minggu tenang?" Nada keheranan yang terdengar jelas saat ini justru membuatku tenang. Aku semakin menutup mata menikmati keberadaan Kenes di sebelahku. Meski saat ini ada jarak yang memisahkan kami berdua, tapi aku merasa dekat.

"Lima tahu lalu aku resmi bercerai dengan mamanya Dea, namanya Cica. Dia perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta setelah kegagalan pengakuanku saat kuliah." Aku tak mendengar kekehan dari bibir Kenes dan memutuskan untuk meneruskan cerita. "Semenjak itu, hari Minggu kuhabiskan untuk Dea. Saat dia berada di rumah mamanya, aku selalu menggunakan waktu untuk bekerja atau menganggu Gigih seperti waktu itu." Kali ini aku mendengar kekehan yang terdengar lembut di telingaku ketika menyebut gangguan yang aku dan Putra lakukan di perkenalan Gigih.

"Aku suka bekerja. Apalagi setelah bercerai, bekerja menjadi pelarianku. Tapi hari ini ... tidak ada pekerjaan, tidak ada Dea dan asal kamu tahu, kekacauan yang kamu bilang ... itu semua membuatku benar-benar tenang."

Kututup mata kembali dan mencoba untuk menghirup udara sebanyak yang kubisa. Memenuhi paru-paruku, meski saat ini bukan udara bersih yang kudapat, tapi itu tak membuatku ragu. Aroma parfum Kenes, menyeruak, bercampur dengan wangi dari bunga yang bermekaran di halaman belakang rumah Kenes. "Mas," kata Kenes tiba-tiba mengenggam tanganku erat. "Kalalu boleh tahu ... pisahnya kenapa?"

Kuhembuskan napas panjang setelah terdiam beberapa saat. "Kalau terlalu berat untuk cerita, aku ngerti," kata Kenes membuatku membuka mata dan bertemu dengan tatapan sepasang mata yang membuatku ingin memeluknya erat.

"Kamu tahu yang aku pengen saat ini?" Kenes menggelang. "Aku pengen peluk dan cium kamu." Tak pernah aku melihat perempuan tersipu seperti Kenes saat ini. Mungkin pipinya tidak terlihat merah, tapi dari senyum yang ada di bibir penuh itu bisa menjawab semuanya. "Jangan senyum-senyum gitu!"

"Lha, emang kenapa?!" tanya Kenes yang terlihat kesulitan untuk menahan tawa. "Aku kan enggak ngomong apa-apa, Mas!"

"Tetap aja bikin aku tambah pengen cium kamu!" Aku tak sempat berpikir apakah yang kulakukan benar atau salah, karena saat ini, tubuh Kenes terhuyung kedepan ketika aku menariknya mendekat dan melingkarkan lengan di pundaknya. "Pindah ke dalam aja, yuk! Enggak enak di lihat ibu." Tanpa menunggu jawaban Kenes, aku menariknya berdiri masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk meski tidak ada pendingin di ruang tengah.

Sofa yang sudah mulai akrab denganku kini kembali menjadi pilihan kami berdua. Tanpa ragu Kenes meletakkan kepala di pundakku dan aku bisa merasakan helaan napas panjangnya, seolah melepas beban besar yang menghimpitnya selama ini. "Setelah bercerai, Mas pernah pengen nikah lagi?"

"Sebelum ketemu kamu, enggak!" jawabku tegas. "Tapi bukan berarti aku enggak ingin menikah sama kamu. Maksudku enggak sekarang ralatku." Kenes tertawa mendengar jawabanku. "Cica enggak bahagia hidup bersamaku. Sepanjang pernikahan kami berdua, dia merasa aku memerangkapnya." Kenes menegakkan punggung dan membelalakkan mata. Perempuan yang siang itu menggunakan rok di atas lutut kini bersila di sampingku. "Cica memutuskan untuk menghentikan semua mimpinya ketika hamil Dea, dan sepertinya itu membuatnya tidak bahagia. Aku sebagai suami enggak cukup peka untuk melihat itu. Bisa dikatakan aku gagal menjadi suami Cica." Kenyataan Cica mendapat penghiburan dari lelaki lain tak ingin kusampaikan pada Kenes, karena untuk saat ini, itu bukan cerita yang patut kubanggakan. Satu lagi kegagalan karena ketidakpekaanku.

"Kamu enggak gagal, Mas! Meski aku belum kenal kamu waktu itu, aku percaya kalau kamu sudah melakukan semuanya, tapi mungkin jodoh kalian berdua sudah habis."

"Jodoh. Terkadang aku ragu, apakah Tuhan menghukumku karena pilihan yang kuambil membuat perjodohan yang sudah Dia persiapkan menjadi kacau." Pikiran burukku kembali muncul dan segera menghilang ketika tepukan keras kurasakan di paha. "Ya ampun Ke, belum jadi istri udah KDRT begini!" kataku sambil mengusap paha yang terasa panas.

"Heh! Bukan gitu konsep jodoh, ya, Mas!" bentak Kenes. "Kita enggak pernah tahu kapan, dimana atau siapa jodoh kita nanti. Mas kira Tuhan itu EO yang marah kalau kamu kacaukan rencana-Nya. Mas enggak tahu kalau sekacau apapun pilihanmu, itu udah ada dalam rencana-Nya. Iya, kan?!"

"Bisa jadi jodohku itu sahabat calon istri sahabatku, ya?" tanyaku dengan wajah datar tanpa emosi, meski saat ini jantungku berdegup kencang.

"Bisa jadi, kita enggak tahu siapa jodoh kita, kan," jawab Kenes yang membalas tatapan mataku tanpa ragu. "Emang mau berjodoh sama sahabat calon istri sahabat kamu itu, Mas?"

"Siapa takut!" jawabku tanpa jeda. "Kita enggak pernah tahu, kan. Tapi sebelum kita ngebahas jodoh ... semalam bisa tidur enggak?" tanyaku mengingat pengakuan dadakan semalam. Tanpa direncanakan aku mengucapkan apa yang kurasakan, meski belum sepenuhnya yakin. Namun, setiap kali memandang wajah Kenes aku mendapat perasaan yang tak pernah kurasakan selama ini. Ketenangan dan kenyamanan yang seolah menghilang dari sejak kegagalanku lima tahun lalu. Bisa jadi Kenes hanya datang dan berlalu, tapi aku mencoba untuk mencari tahu apakah dia datang untuk menetap?

Gelengan kepala Kenes menjadi jawaban dari semuanya. Senyum di bibirnya menjadi penentu apakah semua yang kurasakan saat ini akan bersambut. "Tapi kita belum saling kenal, kan?"

"Gimana kalau kita enggak labeli dulu apa yang ada di antara kita," kataku. "Kita sepakat untuk saling mengenal, saling terbuka. Jika suatu saat—setelah mengenalku dengan baik—ternyata aku enggak masuk kategori jodoh yang selama ini kamu cari, tolong kasih tahu." Aku menyambut tangan Kenes yang terulur padaku. "Setuju?" tanyaku.

"Setuju, tapi aku pengan nentukan deadline perkenalan ini." Keningku mengernyit mendengar permintaannya. "Saat pernikahan Yanti dan Mas Gigih, kita berdua harus saling kasih jawaban. Gimana?" Satu setengah bulan. Kurang lebih dalam waktu empat puluh lima hari, aku harus bisa meyakinkannya untuk menjadi milikku. Aku tak tahu apakah Kenes akan menyukai apapun yang ia ketahui tentangku. Satu hal yang kutahu, aku yakin pada saat Gigih menikah aku bukan datang sebagai pria single, karena perempuan yang saat ini masih menggenggam erat tanganku akan menjadi calon istriku.

"Siapa takut," jawabku. "Tapi ... kenapa harus ada deadline untuk perkenalan ini?" Ketidaknyamanan terlihat jelas di wajah Kenes ketika ia mendengar pertanyaanku. Kerutan di keningku pasti semakin dalam, karena saat ini Kenes mengusap pelan keningku tanpa menatap kedua mataku. "Ke ... kita sudah sepakat untuk saling terbuka, kan?"

"Jangan terlalu sering gini, ntar cepat tua, lho, Mas." Kenes masih mengusap keningku sebelum tiba-tiba ia maju dan mengecup bibirku singkat. "Sorry."

Selama ini, aku tak pernah bertemu dengan perempuan yang membuatku bingung seperti Kenes. Terkadang bibirnya lebih banyak terdiam, tapi di saat yang berbeda, ia tak berhenti berbicara. Sikap periangnya, terkadang berubah sendu, entah apa yang terjadi. Namun, dari semuanya, kecupan beberapa saat lalu lah yang membuatku semakin bingung.

"Jangan minta maaf," ucapku sebelum menahan tengkuknya dan mencium bibirnya dengan lembut. Meski aku merasakan Kenes terkejut, tapi aku tersenyum di sela-sela ciuman kami ketika merasakannya membalas ciumanku. Bibirnya manis, membuatku tak ingin menyudahi. Bibirnya membuatku tak mampu untuk menarik diri, hingga terdengar Bu Nah meneriaki kedua anaknya.

"Aku enggak tahu apa yang terjadi di antara pertemuan kita selama ini. Tapi aku tahu kalau aku jatuh cinta sama kamu pada pandangan ketiga." Kenes mengangkat kepala dan mengerutkan keningnya. "Karena pertemuan pertama kamu lebih banyak diam. Kecuali waktu cerita tentang mobil dan tarianmu. Pertemuan kedua, aku mulai mengenalmu. Tapi, di pertemuan ketiga aku jatuh cinta sama kamu."

"Mas ... kalalu ternyata ada sesuatu yang buat kamu enggak suka. Gimana?"

"Gimana kalau ternyata aku yang enggak becus membahagiakan seseorang. Gimana kalau ternyata—seperti tuduhan Cica—aku mencekiknya, memenjarakannya dan membatnya enggak bahagia. Gimana?" Kenes terlihat membuka bibir sebelum kembali menutupnya. Apapun yang ingin dikatakannya terlihat berat untuk di ucapkan. Membuat rasa penasaranku semakin besar. "Kita akan selalu menemukan sesuatu yang buruk tentang seseorang. Selalu ada sesuatu yang membuat kita kecewa. Setelah perceraian, aku belajar untuk tidak meletakkan kebahagiaanku pada seseorang. Letakkan pada Tuhan, Sayang."

Kenes kembali tersipu malu ketika mendengar panggilan sayangku. Perempuan yang hingga saat ini belum terlihat ingin membuka diri tersebut terlihat semakin sulit untuk menahan senyumnya. "Kalau mau senyum ... senyum aja, Yang!"


Setelah event kelar, kita lanjutin cerita Mas Ninu.
sesekali InsyaAllah aku repub cerita yang lain juga

Happy reading guy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top