Bab 11
Bab 11
"Mas, ak—"
"Sstt!" kataku menahannya. "Jangan kuatir, enggak perlu dipikirin. Apa yang pengen aku katakan, sudah terucap dan enggak ada satu kata pun yang ingin kutarik." Kuberanikan diri menyentuh lembut pipi Kenes. "Kapan aku bisa ketemu kamu lagi?"
Kenes tak segera menjawab, dia menggigit bibir gugup. "Besok," ucapnya ragu.
"Besok?" Meski tak ada senyum di bibirnya, tapi anggukan yang diberikannya sudah menjawab pertanyaanku. "Dea nginep tempat Gigih besok. Setelah anter dia, boleh aku ke sini?" kenes kembali mengangguk.
"Mas enggak marah?" tanyanya ketika langkahku baru saja kumulai. Meninggalkan Kenes yang kembali tertunduk memandang tangannya di atas pangkuan. "Karena aku enggak ngomong apa-apa."
Kuputar tumit dan bersimpuh di depannya. Menyejajarkan pandangan dengannya setelah memaksa Kenes untuk menegakkan kepala. "Enggak ada yang membuatku marah, Ke. Diammu? Itu tak akan membuatku marah." Mata itu masih memerah dan membuatku sedikit—hanya sedikit—menyesal mengatakan tentang perasaanku. "Istirahat, besok aku datang lagi." Kenes masih terdiam, dengan tatapan mata yang tak bisa kuartikan. Kualihkan mata ke puncak kepala dan bertanya, "boleh?" tak ada keraguan ketika Kenes mengangguk dan kumajukan kepala mencium puncak kepalanya sedikit lebih lama dari yang pernah kulakukan pada siapapun, termasuk Dea.
"Aku serius dengan semua. Setiap kata yang kamu dengar hari ini, datangnya dari hati, bukan hanya pemanis di bibir." Dengan kalimat penutup yang membuatku merasa sudah melakukan semuanya, aku berdiri dan melangkah keluar.
***
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendengar jeritan kedua anak gadis—yang baru saja bertemu beberapa hari lalu—tak lama setelah Gigih membuka pagar. Kami berdua hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan dua anak yang berbeda sifat dan tak terpisahkan. "Yakin bisa handle anak dua?" tanyaku setelah meletakkan badan di kursi. "Kalau enggak sanggup, telepon aku, Gih!"
"Ngremehno. Ini namanya latihan, Nu," jawab Gigih jumawa. "Sik, iki dino Minggu, kan?" aku mengangguk. "Kenapa rapi? Biasanya kalau cuma anterin Dea, pake celana pendek ama sendal jepit." Gigih bukan pria bodoh yang tak bisa menyimpulkan sesuatu. Bahkan aku yakin saat ini, otaknya mulai berputar mencoba mencari jawaban dari keanehanku saat ini. "Ya ampun ... Mas Ninu mau kencan?!"
Entah aku harus bersyukur atau sedih mendapati Gigih dengan mudah melihat sesuatu di balik semua yang kulakukan saat ini. Terlebih lagi ketika mendengar nama yang meluncur dari bibirnya. "Keke!"
"Hah?!" tanyaku dengan wajah sedatar yang kubisa. "Keke kenapa?"
"Jangan pura-pura, Nu!" pinta Gigih dengan nada perintah. "Aku ngerti kamu. Aku kenal kamu." Gigih masih memandangku dengan tatapan yang membuatku merasa berbeda. "Sebelum kamu marah, Nu. Menurutku ini sudah waktunya dan enggak ada yang bakalan ngehakimi kalau kamu pengen memulai lagi." Gigih meraih rokoknya. Batang nikotin yang sesekali merusak paru-parunya tersebut terkadang menjadi pengisi si antara pertemuan kami berdua. "Jadi ... beneran Keke?"
"Keke." Hanya itu jawaban yang kuberikan padanya. Gigih mengangguk dan tersenyum tanpa mengalihkan mata dari rokok di tangannya. "Aku titip Dea, telepon kalau ada apa-apa," pintaku mengetuk meja di samping Gigih dan berlalu untuk berpamitan pada para gadis yang sibuk meneriakkan lagu berbahasa korea yang tak bisa kumengerti artinya. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar pesan bernada ancaman dibelakangku.
"Aku ngerti kamu bukan laki-laki yang suka mainin hati perempuan, aku kenal kamu. Hati-hati." Aku masih tak berniat membalik badan mendengar peringatan Gigih. "Aku enggak ngerti cerita Keke, Cici juga enggak pernah cerita. Tapi aku ngerti ceritamu, jangan diterusin kalau ini hanya sesaat. Ada Dea yang harus kamu pikirkan!" Beberapa saat lalu, aku pernah memberikan peringatan yang sama pada Gigih. Betapa cepat dunia berputar, saat ini, aku merasakan berada di posisi Gigih beberapa waktu lalu.
"Suwun, Gih," kataku tanpa berniat untuk melihatnya sebelum menuju kamar Lala.
***
"Aku enggak ngerti Papa mau ke mana. Tapi kalau abis ini Papa mau pergi ngedate, aku senang banget." Kalimat yang Dea bisikan terngiang di telinga hingga mobilku berhenti tepat di depan rumah Kenes dan terkejut ketika mendapati pintu pagar yang tak terkunci. Langkahku terhenti ketika melihat banyak barang tersebar di carport rumah Kenes.
Aku meneriakkan salam, tapi tak ada seorangpun yang menjawabnya dan memutuskan untuk melangkah masuk melalui pintu garasi yang terbuka lebar. Pintu penghubung menuju dapur terbuka dan aku terkejut mendapatinya berantakan. Terliat jejak sisa air di atas lantai teraso berwarna putih. Lemari dapur terbuka dan isinya memenuhi seluruh lantai. Aku meneruskan langkah memasuki ruang tengah Kenes dan terkejut mendapati kekacauan.
"Mas Ninu! Ngapain di sini?!" tanya Kenes kaget melihatku, meski saat ini jantungku yang seketika berhenti melihatnya. Celana piama bergaris hitam di padu dengan tanktop putih melekat erat di tubuh Kenes. Wajah tanpa make dengan rambut di ikat asal di atas kepalanya. Di belakang Kenes kulihat Bu Nah dan dua orang gadis terlihat sibuk menggeser lemari berkaki rendah. "Ya ampun ... aku lupa kalau kita ada janji hari ini."
Aku masih sulit untuk bernapas, bukan karena mendapati Kenes lupa akan janji mereka berdua. Namun, karena mendapati Kenes yang terlihat cantik dan sexy meski aku tahu saat ini perempuan di depanku belum mandi. "Ini kenapa? Semalam ada putting beliung yang aku enggak tahu?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri dan menunjuk ke sekeliling ruangan.
Kenes tak terlihat menyadari efek dirinya padaku, dengan santai dia berjalan menghampiriku dan berjinjit sebelum aku menyadari niatnya. "Nunduk, dong!" perintah Kenes. Sebelum aku sempat bertanya, Kenes menarik lenganku dan mencium pipiku. "Sorry, semalam pipa air di dapur bocor. Kita semua tahunya pas udah pagi, air udah kemana-mana. Suami ibu—panggilan Kenes untuk Bu Nah—juga lagi pulang kampung. Untung anak dua itu pas ada di rumah, jadi tadi pagi kita menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan."
Mata lelah Kenes terlihat jelas saat ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah yang tampak seperti kapal pecah. Aku berharap bisa menghabiskan waktu berdua, tapi melihat kekacauan rumah Kenes membuatku tak tega menariknya dari semua ini.
"Kalau mau pergi, pergi aja. Ibu bisa kerjakan sama anak-anak!" Kenes tak mengindahkan perintah asisten rumah tangganya. Perempuan yang sudah melepas lengan tanganku itu menunduk dan meraih buku di lantai yang terlihat basah kuyup.
"Ada beberapa novel di rak bawah yang rusak," katanya terdengar sedih. "Aku sampai lupa kalau udah janji mau pergi sama kamu, Mas."
"Aku bisa bantu apa?" tanyaku sambil melepas kemeja polos yang melapisi kaos oblongku dan menyampirkan di pundak Kenes. "Tapi aku enggak bisa bantu kalau lihat kamu begini," kataku pelan sebelum beranjak meninggalkannya dan membantu Bu Nah dan kedua anak gadisnya. Penolakan perempuan yang terlihat lelah tak membuatku berubah pikiran. Aku sudah menekuk celana panjangku dan siap untuk bekerja.
Aku bisa merasakan tatapan tajam Kenes menembus punggungku. Bahkan aku bisa membayangkan saat ini, perempuan itu berkacak pinggang tanpa menyadari tanktop yang dikenakannya tak menyembunyikan apapun dari mataku. Hal terakhir yang kubutuhkan adalah godaan, karena aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
"Mas," panggil Kenes. "Sorry, aku benar-benar lupa. Atau Mas pulang aja dulu, nanti kalau rumah udah beres aku kabari."
Aku memutuskan untuk menghadapi cobaanku saat ini. Setelah mempersiapkan diri, aku berdiri dan memutar badan hanya untuk berhadapan dengan Kenes yang masih menolak untuk memakai kemejaku. Terlihat dari bajuku yang ada di lengannya. "Ke, aku ngerti kamu butuh bantuan. Lagian aku udah terlanjur di sini. Dea nginep di rumah Lala, enggak ada siapa-siapa di rumah. Aku lebih berguna di sini ketimbang di rumah."
"Mas, aku—" Aku menghentikan kalimat Kenes ketika meraih kemeja di lengannya. "Mas ...."
"Aku enggak bisa konsentrasi kalau kamu pakai baju seperti ini, sadar enggak, sih!" ucapku sebelum membalik badan dan meneruskan membantu Bu Nah membereskan salah satu lemari berisi kain-kain batik peninggalan eyangnya Kenes menurut cerita Bu Nah. Tak lama kemudian aku mendengar Kenes berlari setelah berteriak.
"Kenapa enggak bilang dari tadi, sih!"
"Mbak Keke kenapa, Mas?" tanya Fifi anak pertama Bu Nah. "Perasaan tadi baik-baik aja." Meneruskan membantu Bu Nah tanpa menjawab pertanyaan Fifi, tanganku dengan sigap merapikan semua yang bisa kuraih. Air masih terlihat menggenang di beberapa tempat, tapi sebagian besar sudah terlihat mengering.
Siang itu aku membantu mereka mengepel lantai dan merapikan semua yang terkena aliran air. Aku pun bersyukur mandor yang biasa bekerja sama denganku dan Gigih bisa membantu meski harus membayar dari kantongku sendiri. Menjelang sore hari, kebocoran sudah teratasi dan Bu Nah bisa bernapas lega.
"Saya siapkan makan siang yang terlambat, nggih, Mas," ucap Bu Nah meninggalkanku berdua bersama Kenes yang masih menolak untuk memandang ke arahku.
Hening terasa di antara aku dan Keke di salah satu kamar yang terdampak paling parah. Karena berisi berbagai kardus barang-barang peninggalan mendiang eyangnya. Kulirik Kenes yang sesekali selalu membuang muka ketika mendapatiku memandang ke arahnya. Pipinya terlihat merona dan itu membuatku harus menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Kenapa sampai merah gitu wajahnya?"
"Jangan pura-pura enggak ngerti!" jawab Kenes ketus. "Harusnya Mas bilang, dong. Aku kan enggak nyadar kalau ...."
Aku meletakkan beberapa bingkai foto setelah mengelapnya hingga kering. "Ke ... aku harus bilang gimana?"
"Ya bilang aja! Aku kan malu."
Aku beranikan diri untuk mendekati Kenes, menarik pelan pundaknya hingga berhadapan denganku sebelum menarik dagunya. Memaksa tatapannya tertuju padaku. "Katakan gimana caranya aku harus ngomong kalau payudaramu terlihat jelas di balik tanktop putih kamu. Gimana aku harus bilang kalau aku enggak bisa mengalihkan pikiran kotorku darimu. Gimana caranya aku menyembunyikan nafsu yang tiba-tiba muncul sejak aku melihatmu tadi pagi. Gimana?"
Terikan napas Kenes terdengar jelas ketika aku mengatakan isi kepalaku. Perempuan yang tak memutus tatapannya itu terlihat ragu, terlihat dari reaksinya saat ini. "Aku laki-laki normal yang terakhir berhubungan dengan perempuan lima tahun lalu. Aku beruntung bisa menahan diri, Ke. Jadi, kamu enggak perlu malu. Isi kepalaku lebih memalukan. Iya, kan."
Diluar dugaanku, Kenes menangkup pipi dan menarik kepalaku mendekat. "Aku senang Mas ngomong isi kepalamu seperti tadi. Meski itu bikin pipiku makin merah." Mata yang menatapnya saat ini terkunci padaku. Emosi yang mengikat kami berdua seakan menghentikan waktu di sekeliling kami berdua. Aku tak mendengar teriakan Bu Nah atau tawa kedua anaknya, entah menceritakan apa. Mata dan telingaku hanya tertuju padanya. Perempuan berambut panjang dengan senyum yang membuat jantungku berhenti berdetak. Perempuan yang sejak pandangan ketiga membuatku tak bisa memikirkan siapapun kecuali dia.
"Mas, ibu dah panggil dari tadi," bisik Kenes tak membuatku mengaihkan pandangan. "Makan dulu, yuk." Suara nyaring perut tak membuatku ingin beranjak dan membuyarkan momen yang tercipta antara aku dan Kenes. Aroma parfum yang memenuhi hidungku saat ini mampu mengusir semua rasa lapar—meski itu tak mungkin. "Mas."
"Ayo!" ajakku. "Sebelum aku pengen makan kamu!" Mata Kenes membelalak tidak percaya dengan ucapanku, tapi ia memilih untuk mengabaikannya, mundur dan meninggalkanku sendiri di tengah ruangan penuh dengan kenangan eyangnya.
Ini hari Minggu, kan?
Yuhuuuuu ... jangan lupa ikutan PO cerita sebelah, ya, guys
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top