Bab 10
Bab 10
Jejak lelah terlihat jelas di wajah Kenes ketika ia duduk tak jauh dariku. Kami berdua terdiam memandang jajaran pohon di kebun belakang yang terlihat jelas ketika Kenes membuka pintu penghubung. Tanpa mempedulikan berapa puluh atau bahkan ratus nyamuk yang masuk menyerbu kami berdua, aku dan Kenes menikmati malam diiringi lamat-lamat gamelan dari arah depan.
"Mereka ada pagelaran tari di gedung Cak Durasim dua bulan lagi," kata Kenes meski aku tidak menanyakannya. "Mas ingat bapak-bapak yang kumisnya seperti Pak Raden tadi?" aku bergumam menjawabnya. "Percaya atau enggak, namanya memang Pak Raden. Dulu selalu bantu eyang kalau ada pagelaran tari, dan sekarang beliaulah yang bertanggung jawab. Dia penata artistik dan juga sutradaranya, aku hanya bantu-bantu sedikit."
Alunan musik kembali terdengar dan aku menoleh dengan cepat ketika Kenes menggerakkan tangan dengan anggun. Matanya tertutup. Senyum di bibir membuatnya terlihat, bersinar. Aku terpana. Perempuan yang saat ini tak peduli dengan tatapan mataku seolah menyatu dengan ketukan alat musik. Jari lentiknya bergerak-gerak, mengalir dengan indah. "Meski dulunya terpaksa, tapi sekarang aku mencintai duniaku, Mas. Saat menari, aku bisa menjadi seseorang yang berbeda. Tidak ada masalah yang menggunung di kepalaku. Tak ada sedih yang terkadang mengisi hati. Tidak ada apapun kecuali aku dan musik yang mengiringi gerakanku."
Mataku tak mampu berpaling. Ada ketenangan yang kurasakan saat ini, meski aku tak tahu isi pikiran Kenes. Namun, aku tahu yang ada di kepalaku saat ini. Perempuan cantik yang saat ini masih memejamkan mata terlihat hilang dalam gerakan tarinya. Tak tersentuh, meski terasa dekat. Sekian menit aku memandang perempuan yang tak menyadari efek dirinya padaku. "Cantik." Tanpa sadar aku mengucapkannya.
"Aku?" tanya Kenes membuka mata menatapku. "Jangan bilang kalau sekarang Mas Ninu lagi muji orang lain." Kerling jail bisa kulihat di mata yang tertuju padaku saat ini.
"Di antara kita berdua, jelas hanya kamu yang cantik, Ke," kataku tanpa melepas mata darinya. Senyum di bibir yang menyita perhatian membuatku tak bisa berpaling. "Atau kamu lebih suka aku bilang kamu ganteng?"
Aku bukan pria dengan banyak joke yang dengan mudah kukatakan. Bahkan aku tak punya jokes bapak-bapak seperti yang beredar di internet. Berbeda dengan Gigih yang selalu memiliki stok joke tak terbatas, atau Putra. Pria yang membuatku kaget beberapa hari itu selalu tahu apa yang harus di katakan. Mendapati tawa Kenes yang terdengar ikhlas dan tidak terpaksa membuat kepercayaan diriku sedikit meningkat.
"Kamu lucu, Mas."
"Aku?!" tanyaku keheranan dengan jari menunjuk hidung. "Enggak mungkin," ucapku tanpa ragu. "Lucu itu Gigih, karena aku yang selalu jadi orang serius di antara kami berdua." Meski Kenes terlihat meragukannya, ia cukup sopan dengan tidak membantah setiap kata yang kuucapkan. Namun, aku bisa melihat dari senyum tertahannya saat ini.
"Nah, kan. Itu kenapa aku bilang Mas Ninu lucu." Kenes terdiam seperti teringat sesuatu. "Mas belum jawab cinta monyet yang mengubah hidupmu, kan!"
Aku mengingat masa-masa remaja yang terasa sudah berlalu beberapa abad dan tak menemukan siapapun membuatku menarik atau berubah seperti Kenes. "Rasanya enggak ada cinta monyet yang membuatku berubah sepertimu." Kenes memicingkan mata dan menggeleng, tapi yang membuatku tertawa adalah bibir cemberutnya. "Aku bercita-cita jadi orang kaya, setiap kali ada yang bertanya." Kekehan Kenes terdengar lembut di telingaku, tapi aku masih enggan untuk mengalihkan pandangan. "Aku bukan dari keluarga kaya. Bapak ibu harus banting tulang untuk menyekolahkanku, dan aku beruntung Tuhan memberiku kemampuan. Beasiswa memungkinkanku untuk menyelesaikan kuliah, dan itu membuatku semakin gila bekerja."
Meliat reaksi yang Kenes tunjukkan membuatku merasa bangga dengan pencapaianku selama ini. Kerja keras yang kulakukan sejak usia remaja, kini membuatku semakin menghargai apa yang Tuhan beri. "Jadi enggak ada cinta monyet yang membuatku jadi rajin bekerja, Ke."
"Aku kagum sama kamu, Mas," gumam Kenes. "Aku enggak punya bapak ibu, eyang yang menjadi orang tuaku selama yang bisa kuingat. Apalagi setelah Mas Bimo memutuskan untuk kuliah di Bandung."
Aku kembali mendengar nada sedih itu dan memutuskan untuk memandangnya. Napasku tercekat ketika mendapati Kenes menyandarkan kepala di atas lengan di punggung sofa dan menatapku. "Mas Ninu punya aura yang sama seperti Mas Bimo waktu pertama kali kita ketemu. Mungkin itu yang buat aku enggak banyak ngomong, tapi." Kenes terdiam sesaat. "Di beberapa kali pertemuan kita, dan melihat sayangmu ke Dea. Aku tahu kamu berbeda dengan Mas Bimo."
"Emang kenapa kalau aku mirip kakakmu? Buruk, kah?"
Kenes menatapnya dengan berbagai emosi terlihat dari sorot matanya. Tanpa kusadari, aku sudah mengulurkan tangan padanya. Kata orang, menunggu itu menjemukan. Namun, ketika aku menanti Kenes menyambut uluran tanganku, bukan jemu yang kurasakan, karena aku menahan napas. Hingga jari lentik itu mengisi sela-selajariku. "Bukan buruk." Kenes terdiam dengan mata menerawang. "Mas Bimo orang yang banyak ngomong, seperti kamu, Mas. Dia selalu menemukan kata yang pas untuk semuanya," jawab Kenes. "Berbeda denganmu, Mas Bimo itu ramah banget—bukan berarti kamu enggak ramah—tapi dia selalu menemukan kata yang tepat untuk semuanya. Your go to guy banget, gitu, lah."
"Tunggu!" selaku. "Jadi aku enggak ramah?" tanyaku penasaran ingin tahu pendapat Kenes tentang diriku. "Jadi sebenarnya beda dong sama kakakmu."
Senyum manis tercetak jelas di bibirnya, "bukannya enggak ramah. Mas Ninu itu kadang bikin orang segan karena enggak banyak ngomong, itu kesan pertama waktu kita kenalan." Kenes menatapku lama. "Seperti Mas Bimo, Mas Ninu bisa buat orang sekitarmu itu merasa nyaman. Ngerti maksudku, kan?" Bukan sesuatu yang mudah kumengerti karena dari cerita Kenes, aku merasa perbedaan yang sangat besar antara aku dan kakaknya. Aku hanya mengedikkan pundak karena tak ingin semakin lama membicaran seseorang yang belum pernah aku kenal.
Ada getir yang terdengar di cerita Kenes, membuatku mengeratkan genggaman dan bersyukur Kenes tak menampiknya. Ia menunduk menatap jalinan jari di antara kami berdua membuatku ingin merengkuh dan memeluknya. "Jadi ... aku enggak mau Mas Ninu mirip Mas Bimo."
"Aku bisa jadi apapun yang kamu mau, Ke." ucapku. "Tapi aku tahu itu enggak mungkin. Karena perempuan terakhir yang dekat denganku bilang kalau aku mencekiknya, menjebak dan membuatnya tidak bahagia. Jadi ...." Aku tahu saat ini Kenes mengerti siapa yang kumaksud, tapi ia hanya diam dan menutup mulutnya. "Kita seperti lagi lomba siapa yang paling melas nasibnya," ucapku tanpa menghapus getir yang terdengar jelas di setiap kata keluar dari bibirku.
Aku bukan pria yang mudah untuk berbagi cerita. Selama ini hanya Gigih dan Putra yang terkadang menjadi tempatku bercerita. Namun, merasakan hangat yang mengalir dari genggaman tangan Kenes seakan memberi jalan untuk membuka diri. Sesuatu yang selama ini selalu kutahan.
"Bukan lomba dong, Mas!" protes Kenes setelah meredakan tawa. "Ini namanya sharing. Kata orang sharing is caring, kan?" Masih sambil menggengam tangannya, aku menggeser tubuh hingga tak berjarak dengannya tanpa mengharapkan sesuatu akan terjadi. Namun, ketika Kenes menarik tangannya, napasku tercekat. Saat ia melingkarkan tangan di lenganku, duniaku berhenti bergerak.
"Mas," panggilnya. "Makasih sudah sharing tentang hidupmu. Aku tahu itu bukan sesuatu yang mudah untuk kamu lakukan. Aku mengharai itu." Sepanjang ia mengatakan terima kasih, tak sekalipun Kenes mengangkat kepala. Bahkan saat ini, aku bisa merasakan kepalanya menyandar di pundakku. "Aku harus jujur. Ini pertama kalinya aku dekat sama seseorang dan merasa nyaman meski baru beberapa kali bertemu."
"Tiga kali," kataku menyebut jumlah pertemuanku dengannya.
Kenes tak menjawab atau menegakkan punggungnya. Perempuan yang saat ini memeluk lenganku erat, hanya terdiam, "empat kali, Mas!" katanya tiba-tiba.
Saat ini aku harus menahan diri. Jika sedikit saja aku menundukkan kepala, puncak kepala Kenes bisa kucium. "Aku tahu berapa kali kita berdua bertemu, Ke. Tapi bagiku, pertemuan kedua itu enggak masuk hitungan karena kita cuma say hai, sebelum aku keluar ngejar Dea. Jadi, bagiku tetap tiga kali." Tiga kali pertemuan yang membuatku jatuh cinta, tambahku dalam hati.
"Berapapun itu ... aku seneng."
Kami berdua terdiam dengan pikiran melayang. Aku menikmati kedekatan yang entah bagaimana hari ini meningkat drastis. Bukan hanya sekedar dua orang orang tua murid dan guru. Bukan tentang dua sahabat Gigih dan Yanti, tapi antara Wisnu dan Kenes yang saling menemukan kenyamanan.
"Kita aneh enggak, sih?" tanya Kenes yang terlihat masih enggan untuk meninggalkan pundakku. "Beberapa hari lalu kita masih dua orang asing yang memiliki teman sama." Kenes terdiam sesaat. "Beberapa hari lalu, Mas Ninu adalah orang tua muridku. Tapi sekarang ... aku enggak ngerti."
Kulirik kepala yang masih dengan manjanya menyadar di lenganku karena tak ingin dengan tidak sengaja mencium puncak kepalanya. Meski saat ini aku sungguh ingin ketidaksengajaan itu. "Pertama lihat kamu, yang kupikirkan hanya satu. Untuk orang yang memiliki nama Kenes, kamu terlalu pendiam." Aku tahu saat ini, dia menahan senyumnya. "Pertemuan kedua—bukan yang hanya say hello—aku melihat Kenes versi yang lain. Jujur, aku terkesima melihatmu saat menari. Siapapun bisa melihat kamu menikmati setiap detiknya. Senyum di bibirmu terlihat berbeda, dan yang membuatku tak bisa berpaling adalah, matamu terlihat lebih hidup. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku enggak bisa berhenti memikirkanmu. Bayangan itu melekat di kepalaku, hingga saat ini."
Kenes memundurkan kepala dan mendongak menatap mataku. "Makasih," ucapnya sebelum kembali menyandar di lenganku.
"Di atas itu semua, caramu menghadapi Dea lah yang membuatku ja ...." Aku berhenti ketika menyadari apa yang hampir terucap dari bibirku. Menyadari nama perasaan tidak nyaman yang muncul di hati sejak pertemuan mereka berdua.
"Ja apa, Mas?" tanya Kenes yang mesih enggan untuk menegakkan punggung. "Terusin!" perintahnya. "Aku itu susah tidur kalau penasaran, lho" aku Kenes membuatku tersenyum.
"Enggak bisa tidur karena mikirin aku? Aku seneng banget dengarnya."
"Terusin!"
Aku terkekeh mendengar suara manja yang untuk pertama kali memasuki ruang dengarku. Kenes memiliki suara yang lembut, tapi tegas. Tidak mendayu-dayu atau menggoda seperti suara Dara. Namun, manja yang kudengar beberapa saat lalu tak ayal membuatku merasa istimewa, karena hanya aku yang mendengarnya.
"Ja." Aku sengaja menjeda sesaat. "Jadi membuatku lebih mengenalmu." Tak bisa melihat wajah Kenes membuat jantungku berdetak kencang, kuingin bisa melihatnya. "Tapi ... pertemuan ketiga lah yang membuatku semakin mengenalmu." Kembali menjeda bukan karena ingin memperpanjang penantian Kenes, tapi aku mencoba untuk mengenali perasaan yang mengendap di hatiku sejak pertemuan pertama kami berdua.
"Nyaman," ucap Kenes. "Itu yang kurasakan, enggak tahu kalau Mas Ninu."
"Seperti menemukan safety blanket. Perasaan pulang ke rumah, membuat tak ingin beranjak. Menentramkan hati, menghilangkan semua yang selama ini membuatku lumpuh. Menghilangkan lelah."
Hening. Tak ada sepatah katapun, dan itu tak membuatku gugup ataupun takut. Setelah mengatakan apa yang kurasakan beberapa saat lalu, hanya perasaan nyaman dan lega yang mengisi hatiku. Kenyataan Kenes masih setia memeluk lengan, aku bisa menyimpulkan bahwa saat ini bukan hanya aku yang merasakannya.
"Mas tahu, itu terdengar seperti pernyataan cinta di telingaku," kata Kenes setelah entah berapa menit kami berdua hanya diam memandang halaman belakang.
"Gimana kalau itu memang pernyataan cinta?" tanyaku. "Gimana kalau aku bilang jatuh cinta padamu di pandangan ketiga. Gimana kalau aku ingin kita berdua saling mengenal lebih jauh. Gimana kalau aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu. Giman—"
"Gimana kalau Mas Ninu diam dulu dan kasih aku kesempatan untuk menjawab semua gimana itu!"
Kami berdua tertawa dan dengan gerakan yang seirama, Kenes dan aku mundur dan melepaskan diri. Bukan untuk saling menjauh, karena sebelum jarak memisahkan kita, kutangkup pipinya dan berkata, "aku enggak ngerti apa yang terjadi padaku sejak pertemuan pertama kita. Perasaan enggak nyaman selalu kurasakan setiap kali bertemu. Mungkin gugup atau takut, entah. Tapi semenjak semalam, aku mengerti. Itu bukan perasaan enggak nyaman. Justru perasaan nyaman yang selama lima tahun atau mungkin lebih enggak pernah kurasakan."
Kenes tak memutus pandangannya. Wajah tanpa senyum yang menatapku dengan lekat kini membuatku ingin membenamkan kepalanya dalam pelukanku. Mendekapnya erat dan tak ingin kulepas lagi.
Happy reading guys
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top