Bab 1
Pagiiiii ... aku bawa cerita baru, yang juga udah tamat di Karyakarsa.
Untuk teman-teman yang pengen baca dulua, bisa dolan ke sana.
happy reading ... moga-moga menikmati perjalanan mereka berdua
Love, ya!
Shofie
Bab 1
Semenjak kecil, aku selalu menjawab ingin menjadi orang kaya setiap kali ada yang bertanya tentang cita-cita. Di saat semua teman menyebut ingin menjadi pilot, dokter, polisi, insinyur bahkan presiden, aku tetap dengan jawabanku. Aku ingin jadi orang kaya. Bagi orang lain, itu hanya mimpi anak kecil yang tidak tahu di balik kekayaan seseorang, ada banyak hutang dan tagihan yang harus di bayar. Namun, mereka semua salah. Semenjak kecil aku tahu itu semua.
Lahir dan besar di keluarga serba kekurangan tak membuatku meratapi nasib, mengutuk kemalangan atau bahkan marah dengan keadaan. Aku beruntung memiliki orang tua yang selalu mengajarkanku untuk berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan yang kuinginkan. Masih segar dalam ingatanku ketika mengatakan pada keduanya tentang cita-citaku. "Nek pengen dadi wong sugih, kowe kudu kerjo, Le. Ora onok seng gratis. Jungkir walik nganti nangis, kudu tetep di lakoni nek pengen sugih. Intine, kowe kudu siap kerjo!"
Bapak bukan dari keluarga kaya, begitu juga ibu. Keduanya terbiasa bekerja semenjak kecil sebagai buruh tani seperti kedua orang tua mereka. Keduanya cukup beruntung mendapat kesempatan bersekolah dan lulus SMA sebelum memutuskan untuk merantau ke Surabaya setelah melangsungkan pernikahan sederhana.
Aku tahu semua pekerjaan yang keduanya lakukan untuk bertahan hidup di Surabaya dengan bekal ijazah SMA hingga mereka berhasil diterima sebagai buruh rokok. Tak jarang cerita perjuangan itu mengisi makan malamku. Ditemani tahu, tempe goreng dan sambal kecap, cerita kedua orang tuaku membuat semuanya menjadi lebih istimewa.
Bapak dan ibu tak pernah menyembunyikan apapun dariku. Mereka tak memandang apakah umurku cukup dewasa untuk mengerti. Setiap kali ada masalah, keduanya akan mengajakku duduk dan membicarakan semuanya hingga tuntas. Walaupun tidak ada jalan keluar yang berhasil kita bertiga pikirkan, tapi keduanya merasa lega karena tidak menutupi apapun dariku. Kekagumanku pada mereka semakin besar. Kegigihan keduanya membuatku terpacu untuk bisa menjadi lebih baik. Ya Tuhan, jadikan aku orang kaya yang bisa membahagiakan bapak dan ibu. Bunyi doaku setiap saat.
Aku suka bekerja, seperti pesan bapak. Aku menikmati setiap detik yang kuhabiskan bersama pekerjaan yang menumpuk di atas meja kerjaku. Semakin banyak pekerjaan, perasaan bahagia di hati semakin besar. Meski ada harga yang harus kubayar.
"Aku enggak bisa tinggal di sini lebih lama lagi, Mas. Rumah ini. Kamar ini. Bahkan kamu." Cica terdiam sesaat dan memandangku dengan mata memerah. "Bahkan kamu membuatku tercekik. Aku merasa tenggelam dan enggak bisa bernapas. Aku enggak bisa bernapas, Mas!"
"Ca—"
"Seandainya malam itu kita enggak ...." Aku tahu malam yang Cica maksudkan. Namun, aku tidak menyesali itu semua. Meski saat ini penyesalan berselimut duka di setiap kata yang Cica ucapkan seolah merobek hatiku.
Bibirku terkatup rapat. Diam tanpa tahu harus berkata apa. Beberapa saat lalu aku melangkah memasuki rumah setelah lebih dari delapan jam bekerja di kantor. Banyak desain yang harus kukerjakan, bahkan beberapa masalah yang harus aku dan Gigih selesaikan sebelum mengakhiri hari. Badanku lelah dan yang kuinginkan adalah pulang dan memeluk Cica dan Dea—gadis kecilku yang berusia lima tahun.
"Beberapa bulan lalu, aku bertemu dengan seseorang yang membuatku menyadari banyak hal. Aku merasa melewatkan sesuatu. Aku merasa menyia-nyiakan potensi diriku selama ini." Duniaku terasa hancur, tapi tak mampu untuk membuka bibit. "Aku mau kita bercerai!" Walaupun tak terdengar suara ledakan, tapi saat ini aku merasa terlempar ke dasar lubang hitam yang menarik semua inderaku. Menyita kemampuanku untuk merasakan.
"Pa." Suara De menyadarkanku dari lamunan yang kerap muncul setiap kali aku berhenti bekerja. "Ini udah jam dua belas lebih, lho!" Dea dengan piama bergambar tokoh kartun Jepang terlihat menahan marah meski aku bisa melihat kantuk menggantung di matanya. "Bisa dikerjakan besok lagi, kan?!"
Tumpukan kertas di atas meja kerja kembali memenuhi mata dan segera menyadari beberapa menit yang terbuang ketika pikiranku penuh dengan kejadian malam itu. "Maaf, Non. Papa enggak nyadar kalau udah malam banget." Aku segera merapikan meja kerjanya. Satu lagi ajaran kedua orang tuaku, kerapian. Semenjak dulu, aku diajarkan untuk merapikan semuanya. "Kalau meja kerjamu rapi, pikiranmu enggak sumpek, Le!" semenjak mendengar nasehati itu, aku selalu merapikan barang-barangku hingga kini.
"Yuk, balik tidur," ajakku pada Dea setelah memastikan meja kerja kembali rapi. Sambil berjalan menuju kamarnya, aku melingkarkan lengan ke pundak anak gadis yang tak pernah berhenti membuatku dipanggil ke sekolah karena kelakuan ajaibnya. "Kenapa kebangun? Besok sekolah, kan?"
Dea tiba-tiba berhenti dan memandangku dengan kening mengernyit. "Ya ampun, Pa ... besok, kan, hari Sabtu!" Seketika aku tersadar. "Aku boleh main ke rumah Om Gigih besok?" Bibirku siap untuk menolak, tapi ketika mendapati pandangan Dea yang penuh harap, aku tak sampai hati untuk itu. "Lala bilang tadi habis ketemu idolanya di toko bahan kue, Pa. Jadi boleh, enggak kalau ...."
"Lala mau nyoba resep apa besok?" Lala, anak gadis Gigih—partner kerjaku—tersebut menemukan ketertarikan dalam membuat kue beberapa tahun lalu. Berbeda dengan Dea yang hingga saat ini belum menemukan sesuatu yang membuatnya tertarik. Kecuali bermain dengan anak lelaki yang membuatku sering datang ke sekolah menemui guru BP.
Dua anak gadis yang memiliki sifat bertolak belakang itu dekat semenjak keduanya bermain bersama di usia tiga tahun. Meski keduanya berbeda sekolah dan hanya sesekali bertemu, tapi keakraban mereka tak pernah berubah hingga saat ini. "Kok Om Gih enggak bilang apa-apa sama Papa, Non?"
Aku kembali mengajak Dea meneruskan langkah hingga memasuki kamar yang didominasi warna biru muda. Helaan napas panjang lolos dariku dan itu menjengkelkan Dea, karena aku bisa melihat lirikannya dari ujung mata. Meja belajar penuh dengan buku yang terlihat berantakan. Baju kotor di ujung kamar terlihat menumpuk meski tak jauh dari sana terdapat keranjang yang sudah kupersiapkan. Keengganan anak gadisku untuk merapikan kamarnya terkadang membuat tanganku gatal dan ingin merapikan semuanya.
Namun, aku belajar dari pengalaman. Beberapa bulan lalu Dea marah ketika mendapati kamarnya rapi, "Aku enggak bisa mikir kalau kamarku rapi gini, Pa!" Semenjak hari itu, aku harus menahan diri untuk tidak meraih bajunya di lantai dan merapikan kamar setiap kali melangkah memasuki kamar Dea. Seperti malam ini, aku kembali harus mengepalkan tangan ketika dorongan untuk merapikan meja belajarnya kembali muncul.
"Pa, boleh, enggak?" tanya Dea menarik perhatianku dari baju kotor di ujung ranjang. "Papa jangan ngeliatin kamarku horror gitu, dong! Biasa aja ngelihatnya!"
Dengan berat hati, aku mengalihkan pandangan dan melihat Dea yang terlihat jengkel. "Kenapa Papa baru dengar ini?" tanyaku keheranan. Pasalnya Gigih tidak mengatakan apapun padaku hingga semalam kita berdua sempat membicarakan pekerjaan.
"Kita baru bikin janji malam ini, Pa. Palingan besok pagi Om Gih baru bilang Papa." Kutarik selimut bergaris hitam hingga di bawah dagu Dea sebelum membungkuk dan mencium keningnya lama. "Boleh?" tanya Dea lagi.
"Kamu enggak mau ngabisin hari libur sama Papa aja?" tanyaku berharap Dea akan memilih dirumah. "Kita bisa nonton film yang kamu suka." Sekali lagi aku mencoba untuk merayunya. Walaupun aku tahu jawaban yang Dea pilih.
"Gimana kalau kita berdua ke rumah Om Gih. Papa bisa ngobrol sama Om Gih, aku ngelihat Lala bikin kue." Sejak lima tahun lalu, aku hanya tinggal berdua dengan Dea. Anak gadis yang terlihat lebih dewasa di usianya sepuluh tahun itu mengenalku dengan baik. Begitu juga denganku. Tawa tak bisa kutahan ketika mendengar Dea menekankan kata melihat. Aku tahu anak gadisku tidak memiliki kesabaran mencoba membuat kue seperti Lala. Seperti diriku, Dea menikmati semua makanan, tapi tidak berencana untuk membuatnya. "Enggak pengen belajar bikinnya?"
"Males!" Tak ingin membuat Dea semakin lama terjaga, aku beranjak dan mematikan lampu di atas meja nakas sebelum melangkah menuju pintu. "Berarti boleh, kan!" suara Dea kembali terdengar ketika aku hendak menutup pintu.
"Lihat besok," jawabku sebelum menutup rapat pintu kamar Dea. Namun, sebelum itu ia masih bisa mendengar teriakannya.
"Berarti boleh. Love you Papa."
Masih dengan senyum di bibir aku beranjak menuju kamar yang berada tepat di seberang ruang kerja. Kamar yang hanya kufungsikan untuk tidur, dan tak pernah lebih dari itu semenjak resmi menduda lebih dari lima tahun lalu. Ruangan dengan banyak kenangan yang masih membuatku tertekan.
Aku mengusap kasar wajahku ketika ingatan tentang malam itu kembali memenuhi kepalanya. Di keheningan malam ini, aku masih bisa mendengar suara Cica yang menyayat hati. Perempuan yang kukenal sejak duduk di bangku SMA terdengar menahan sakit. Sesuatu yang tak pernah kusadari selama pernikahan mereka, Cica tersiksa, dan itu membuatku merasa gagal.
Menghalau ingatan yang mulai menguasai hati dan pikiran, aku menuju kamar mandi dan bersiap untuk memejamkan mata dan berharap tidak ada wajah Cica muncul di dalam mimpinya. "Please, Ca ... jangan datang malam ini," pintaku pada gelapnya malam.
***
Gigih membuka pintu pagar rumahnya tak lama setelah Dea membunyikan bel. Tanpa menunggu pintu terbuka dengan sempurna, anak gadisku berlari memasuki rumah yang sudah akrab bagi mereka berdua. "Dea!" teriakku.
"Sorry, Om," ucap Dea setelah memundurkan langkah dan mencium punggung tangan Gigih dan kembali berlari memasuki rumah. Tak lama kemudian terdengar pekikan dari arah dapur, membuatku dan Gigih menggelengkan kepala memaklumi kelakuan mereka berdua.
Aku mengikuti langkah Gigih ke teras samping, tempat yang selalu ia gunakan untuk merokok. Fitra—adik perempuan Gigih—melarangnya untuk merokok di dalam rumah. Aku sudah berhenti merokok sejak kehadiran Dea, tapi aku tak pernah menghindari setiap kali Gigih menghisap nikotin itu didekatnya.
"Om Ninu mau kopi?" tanya Lala yang memiliki sifat bertolak belakang dengan Dea dengan senyum di bibir.
"Boleh, La," jawabku ketika anak gadis yang berbadan mungil itu mencium punggung tanganku.
"Tante Pit, Om Ninu mau kopi!" teriak Lala membuat tersentak.
"Ya ampun, Gih! Sarapan opo anakmu? Toa masjid?" tanyaku sambil mengusap telinganya yang mendengung setelah mendengar teriakan Lala.
"Sarapan kroto!" jawab Gigih enteng bersamaan dengan Fitra—adik Gigih—meletakkan dua cangkir kopi. Perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan BUMN itu terlihat rapi.
"Lembur, Fit?" tanyaku setelah mengucapkan terima kasih. Perempuan sudah ia anggap adiknya sendiri itu tak menjawabnya, hanya mengedikkan pundak dan berlalu. Ia tahu dengan rencana resign Fitra, tapi aku tak berencan untuk menanyakan hal itu. Tidak semua orang menikmati bekerja sepertiku.
"Mas Ninu tahu cewek yang lagi deket ama Mas Gih, enggak?" gerakan tanganku terhenti ketika tiba-tiba adik Gigih kembali berdiri di sebelahku. "Aku ngerti kalau dia lagi deket sama cewek, tapi kalau di tanya pasti diem aja. Aku juga tahu kalau Mas Ninu pasti tahu siapa cewek itu. So ... siapa perempuan beruntung atau enggak beruntung yang udah bikin mas-ku terkadang senyum-senyum sendiri?!"
Aku memandang Fitra dan Gigih bergantian dengan bibir terkatup rapat. Walaupun saat ini aku tahu perempuan yang Fitra maksudkan, aku tak akan mengatakannya. "Nah, kan!" teriak Fitra menunjukku dengan mata membelalak. "Jangan bikin kode-kode enggak jelas sama Mas Gih, Mas!" perintah Fitra berusah menghalau pandanganku. "Mas Ninu kenal?" Aku mengangguk memutuskan untuk menjawab pertanyaan Fitra.
"Nu!" cegah Gigih yang terlihat tak ingin siapapun mengetahui tentang pertemuannya dengan mantan gebetan saat kuliah beberapa hari lalu. "Ojo cerito Fitra, tak antemi koen!" ancaman Gigih semakin membuat Fitra panasaran. Terlihat dari wajah perempuan yang terlihat penuh tanda tanya di depannya.
"Mas Ninu enggak seru!" ucap Fitra meninggalkanku dan Gigih yang terlihat lega melihat adiknya berlalu.
Kisahcinta Gigih sudah menjadi rahasia umum bagiku danPutra. Mengubahsahabatku menjadi bak remaja yang barupertama kali jatuh cinta ketika kesempatan keduadatang padanya. Membuatku berpikir tentangkisah cintaku yang berhenti, terhempas danhancur berantakan lima tahun lalu.Aku bukan tidak percaya pada cinta, tapi masa lalu membuatkupesimis setiap kali memikirkan tentang hati.
Kalau ingin jadi orang kaya, kamu harus kerja, Le (sebutan anak lelaki). Tidak ada yang gratis. Jungkir balik hingga menangis, tetap harus bekerja kalau ingin kaya. Intinya, kamu harus siap bekerja.
Jangan cerita Fitra, aku pukul kamu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top