9. Bekal Makanan
Ketika rasa sakit datang kian menerpa, ketika sebuah harapan tak kunjung padam, dan tatkala rasa cinta itu masih terbelenggu di antara puing-puing kepiluan, lalu, apakah kita akan membenamkan perasaan kita kemudian memilih mundur seketika, atau malah kita rela mendekap rasa sakit itu sendiri dan memilih berjuang terus-menerus?
Untuk beberapa orang mungkin dengan tegas menjawab, "Aku akan memilih mundur daripada menyakiti diri sendiri."
Atau, bisa jadi ada yang merespons dengan lantang, "Aku bukan orang bodoh. Aku akan mencari yang lebih baik lagi di luar sana."
Tetapi, tidak dengan Fay!
Fay, sesosok gadis yang masih percaya bahwa sebuah ketulusan cinta akan berakhir membahagiakan. Tak peduli seberapa banyak luka yang ia dapatkan. Ia tetap yakin, suatu hari nanti perasaannya pasti terbalaskan. Kelak, Ardo akan membisikkan kalimat cinta hanya untuknya, cinta yang benar-benar keluar dari dasar hatinya.
Sepolos dan sesederhana itu pikiran Fay.
Hanya saja, Fay tidak tahu, seberapa panjang proses untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Butuh pengorbanan besar untuk mencapai itu semua. Terutama persiapan hatinya.
Setelah pembicaraan terakhir mereka-di hari pertama sekolah-Fay seakan tidak kenal kata menyerah.
Berulang kali ia mencoba mendekati Ardo, memberikan perhatian yang lebih padanya, berharap dengan itu semua, Ardo bisa luluh dan memberikan sedikit celah untuk hatinya agar dapat ditempati Fay. Akan tetapi, semua seakan sia-sia belaka.
Ardo seperti membangun tembok yang tinggi untuk Fay. Cowok itu tak hanya tidak mengizinkan gadis itu masuk, tetapi ia juga tak sekalipun memberi kesempatan Fay untuk menaruh harapan sekecil apa pun padanya.
"Do, aku tadi sengaja bangun pagi buat masak ini," ucap Fay hati-hati sembari membuka dua kotak bekal di atas meja. "Ada bento bentuk panda sama rilakkuma. Kau mau yang mana?"
Senyuman yang berpadu rasa was-was itu terukir, tangannya bergerak canggung menggeser bekal makanan yang ia bawa ke arah Ardo yang berada di hadapannya.
Tanpa melirik sedikit pun bekal pemberian Fay, cowok itu memasang wajah dingin dan segera berdiri dari duduknya. "Den, kita ke kantin sekarang!" ujar Ardo, kemudian berlalu melewati Fay begitu saja dengan diikuti Deni di belakangnya.
Fay menelan ludahnya, menunduk dan berusaha membesarkan hatinya.
"Jangan bawa bekal lagi." Fay tersentak. Suara itu masih dari cowok yang sama. Dengan cepat ia menolehkan kepalanya, pada cowok yang kini tengah berdiri tak seberapa jauh darinya. "Percuma, Fay. Sampai kapan pun aku enggak akan memakannya."
Sakit. Serasa ada yang mencubit hati Fay.
Fay menatap nanar langkah Ardo yang kian menjauh, lalu menghilang dari belokan pintu kelas yang kini menyisakan sesak di dadanya.
Ia masih mencoba tersenyum. Berusaha tegar. Meskipun kekasihnya tidak menghargai hasil jerih payahnya, paling enggak, hari ini Ardo mau berbicara dengannya. Paling enggak, hari ini Ardo tidak membuang atau melempar lagi bekal makanan yang ia bawa untuknya.
Seperti hari-hari sebelumnya, ia hanya bisa menekan perasaannya sembari merapikan kembali salah satu kotak bekal di depannya dalam diam. Memasukkan kembali sendok dan garpu yang telah ia siapkan untuk Ardo. Namun, lagi dan lagi, sebelum ia berhasil menutup menu bento buatannya, tangannya telah ditahan oleh Septi.
"Boleh buatku lagi, enggak?" Septi menyengir lebar.
Fay tersenyum geli sembari mengangguk pelan. "Tentu, Sep."
"Asyik." Septi bersorak sambil bertepuk tangan. "Aku mau yang bentuk rilakkuma." Ia merebut kotak bekal yang sempat akan ditutup Fay. Gerakan tangannya dengan cepat meraup makanan ke dalam mulutnya. "Ini sudah kelima kalinya aku makan masakanmu, Fay, tapi, aku enggak pernah bosan. Enak banget tahu, enggak!" Septi menyendok lagi.
"Iya, kelima kalinya juga Ardo menolak pemberianku, Sep."
Seketika Septi terdiam dengan posisi sesendok makanan yang mengambang di depan mulutnya. Ia tak jadi melanjutkan makannya begitu melihat Fay yang kini melipat kedua tangannya di atas meja dengan wajah yang menyedihkan. Pandangannya juga terlihat kosong.
Septi memegang pelan lengan Fay sekadar menarik perhatiannya. "Sabar ya, Fay. Apa kau mau sudahi saja hubunganmu dengan Ardo? Itu 'kan yang dia mau?"
"Ya." Fay meluruskan pandangannya pada Septi. "Tapi, itu bukan mauku, Sep."
Dengkusan kasar yang keluar dari hidung Septi mengundang kekehan kecil Fay. Ia tahu Septi peduli padanya.
Tangan Fay bergerak ikut mengambil sendok dan garpu, lalu memakan bento panda buatannya.
Keheningan mereka ciptakan. Fay tetap lirih mengunyah setiap suapan makanannya seraya tangannya sibuk mengaduk-aduk nasi tanpa selera hingga bentuk panda dalam nasinya hilang dalam sekejap. Ia bahkan tak sadar tatapan matanya tak berpindah sedikit pun kecuali pada satu titik di depannya--entah-mungkin pada bagian nasi yang dihancurkan atau pada sesuatu bagian lain makanannya. Yang jelas, pikirannya kini masih berkelana dengan hal-hal yang sedang berkecamuk dalam benaknya.
Sedangkan Septi, justru sebaliknya. Ia saat ini seakan-akan sedang bermetamorfosis menjadi pelahap internasional. Ia tidak memilih-milih apa saja yang tersaji di hadapannya, cara makannya teramat dahsyat, ia bahkan bernafsu akan menghabiskannya dalam hitungan kurang dari lima menit.
Di tengah-tengah waktu istirahat yang mereka isi dengan makan bersama di ruang kelas, tiba-tiba....
"Malang nian nasibmu, Fay. Sudah berkali-kali ditolak, tetap saja bebal," celetuk Sisil yang telah berdiri di samping bangku Fay. Ia melirik bekal makanan yang tak jadi dimakan Ardo. Ia mendengkus sinis sambil melipat tangannya di depan dada. "Dasar bodoh!" Sisil tertawa merendahkan dan disusul oleh kedua temannya.
Mereka baru tersadar masih ada biang pengganggu di ruangan ini. Dan Septi, jelas tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Septi berdiri dan menggebrak meja keras. "Heh, Sil!" Ia berkacak pinggang. "Kau ini benar-benar enggak tahu diri, ya. Enggak punya kaca ya, di rumah? Sekali-kali ngaca, dong. Kau ini lebih parah dari yang terparah." Suaranya naik beberapa oktaf. "Masih mending Fay, statusnya masih diakui Ardo, daripada kau, sudah ditendang saja, belagu!" ucapnya sembari menekan pada satu kata terakhirnya.
Sisil melotot selebar-lebarnya. Gigi bagian atas dan bawahnya saling bergesekan dengan kuat, kedua tangannya terkepal erat, bahkan wajahnya kini sudah berubah warna layaknya orang yang kemarahannya sedang dalam puncak teratas.
Baru saja ia akan balas mendamprat Septi, tetapi mendadak batal. Matanya beralih memicing tajam ke arah Fay yang wajahnya terlihat cemas memperhatikan kondisi yang kian memanas.
Tak ada beberapa detik, pandangan Sisil kembali mengarah pada Septi. Dagunya sedikit terangkat seraya tersenyum miring. "Setidaknya aku bukan kayak dia," katanya sambil melirik Fay sinis, "status pacar tapi enggak dianggap."
Jleb!
Kontan Fay terdiam, kaku. Kalimat Sisil sungguh menyakiti perasaannya. Perkataannya sangat kejam. Ia sudah tidak tahan.
Tanpa mencoba menghalangi perdebatan antara Septi dan Sisil yang berlanjut lagi, ia langsung cepat-cepat menutup kedua kotak bekal yang tergeletak di meja dan segera dibawanya lari keluar ruangan.
"Lho-lho, mau dibawa ke mana itu, Fay? Aku 'kan belum selesai mak-" Ucapan Septi terputus setelah bayangan Fay tak terlihat sedikit pun di ujung pintu. Ia kemudian menatap tajam Sisil. "INI GARA-GARA KAU, SIL!" Septi berteriak horor membuat nyali Sisil dan kawan-kawannya agak menciut.
"K-kenapa aku yang salah? Dia aja yang cengeng."
Rasanya Septi ingin membenturkan kepala Sisil sekeras mungkin ke arah dinding kelasnya. Untung saja ia masih ingat nama baik om-nya bakalan dipertaruhkan jika ia bersikeras menjalankan niatnya barusan.
Argh! Septi benar-benar jengkel kelakuan Sisil. Lebih parahnya lagi, ia sekarang tidak bisa menyerang balik, karena kali ini ia terpaksa harus memilih mengejar Fay yang sudah hilang dari pandangannya.
***
Fay berlari menerobos lalu-lalang siswa di koridor sekolahnya. Ia tak menghiraukan tatapan aneh mereka padanya. Yang ia pikir hanya satu tempat yang kini menjadi tujuan utamanya.
Fay terus berlari dengan membawa dua kotak bekal bento di kedua tangannya. Rambut gelombangnya pun berkibar mengikuti gerak tubuh yang melawan tiupan angin. Ia mengaduh saat dirasakannya sebelah kakinya terantuk sesuatu benda keras. Namun, ia tak kunjung melihat benda apa yang menghalangi jalannya. Ia hanya mampu berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang nyaris jatuh, kemudian meneruskan langkahnya.
Fay berhenti sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Ia menyeka keringat di wajah dengan punggung tangannya.
Ditatapnya gerobak besar yang ada di paling belakang bangunan sekolah. Matanya mencari seseorang di rumah kecil dekat gerobak-rumah yang memang khusus untuk penjaga sekolah sekaligus bertugas sebagai tukang bersih-bersih-tapi, sepertinya tidak ada orang lain di sana.
Pandangannya kini kembali terfokus pada gerobak di depannya. Pada gerobak yang sudah terisi tumpukan beberapa sampah.
Dengan menahan segala sakit di hatinya, ia mengangkat tinggi-tinggi kotak bekal yang ada di kedua tangannya, lantas dilempar bersamaan ke dalam gerobak tersebut.
"Ini, 'kan, Do, yang kau mau? Kau membuangku seperti aku yang membuang makanan ini, 'kan? Apa salahku? Segitu bencinya kau sama aku, Do, sampai-sampai mencicipi sedikit saja makanan buatanku pun, kau tak sudi?" jerit Fay.
Air mata Fay perlahan menetes. Ia mundur beberapa langkah menjauhi gerobak hingga punggungnya terhalang oleh tembok keras di belakangnya. Fay kemudian berjongkok seraya menghapus lelehan air mata di pipinya. Kilasan balik tentang ucapan Ardo yang melarangnya membawa bekal kembali menyerangnya.
Fay menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan bayangan dan suara Ardo. Namun, itu sungguh sulit.
Fay frustrasi. Kini ia memindai jemari tangan kirinya-pada bekas luka yang tak sengaja teriris pisau-membuatnya terpaku.
"Lihat, Do, jariku teriris pisau tadi pagi. Aku nangis waktu lihat darahku keluar, aku juga nangis waktu kau tolak bekal yang aku buat. Bukan cuma itu, aku juga ingin nangis waktu Sisil bilang aku pacar yang enggak dianggap olehmu. Cengeng banget 'kan aku, Do?" Ia tersenyum getir. "Dan bodohnya lagi, aku enggak bisa benci sedikit pun sama kalian. Terutama kau, Do."
Fay menangkup mukanya ke dalam lipatan tangan di atas lututnya. "Aku harus gimana lagi, Do, agar kau enggak cuekin aku kayak gini? Aku sangat mencintaimu, Do." Ia menangis terisak. Bahunya berguncang hebat. "Gimana caranya biar kau percaya bahwa aku benar-benar tulus mencintaimu, Do? Gimana, Do, gimana?"
Fay menangis sesenggukan. Suara tangisnya terdengar menyayat hati. Ia tak peduli lagi penampilannya yang sudah berantakan maupun anak rambutnya yang setengah basah karena air matanya.
Mumpung tidak ada orang di sini, selagi tidak ada siapa pun yang bisa mendengarnya. Ia hanya ingin mengutarakan seluruh emosinya, meneriakkan semua isi hatinya, dan segala perasaan yang menyesak di rongga dadanya.
Yang Fay tidak tahu, sebetulnya ada satu cowok yang bersembunyi di balik tembok sedari tadi mendengarkan semua teriakan dan tangisannya. Cowok yang langsung mengikutinya dari belakang begitu pandangannya menangkap sosok Fay yang berlari kencang sambil membawa dua kotak bekal di tangannya.
..............................***................................
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top