8. Keinginan
Melihat seragamnya yang kotor akibat ketumpahan makanan dan minuman di kantin tadi, membuat Fay harus segera berganti pakaian sebelum bel masuk dibunyikan. Septi mengajak Fay ikut dengannya, berjalan ke ruang koperasi sekolah untuk memesan sepasang seragam lagi buat Fay.
Cepat-cepat Fay ke toilet dan berganti pakaian di sana.
"Gimana, sudah selesai?" tanya Septi setelah melihat Fay keluar dari bilik toilet.
Fay tersenyum tipis sembari mengangguk. "Sudah." Tatapannya sekarang terpaku pada rambutnya yang begitu lepek dan kotor. Ia sedikit mengernyit, ngeri melihat nasib rambutnya melalui cermin di depannya. "Rambutku kotor banget, Sep."
"Terus gimana? Apa perlu kumintakan izin pulang ke Pak Bandi? Tenang saja, Pak Bandi itu Om-ku, Fay. Beliau enggak akan pernah bisa nolak kalau sama aku." Septi melipat tangannya di depan dada dengan bangga.
"Kau pasti sering ambil keuntungan dari ketidakberdayaan Pak Bandi." Septi terkikik sendiri, sementara Fay menggelengkan kepalanya melihat tingkah temannya. "Kalau izin pulang kayaknya enggak perlu, Sep. Cuma ...," Fay berpikir sejenak, agak ragu ia melanjutkan perkataannya,"apa boleh aku diizinkan keluar sebentar?"
***
"Gila! Kenapa aku enggak kepikiran ke salon, ya? Tempatnya cuma seratus meter dari sekolah kita, lagi," ujar Septi sambil berjalan di samping Fay. Ia sesekali mengamati rambut Fay yang sudah tergerai indah, hasil keramas di salon yang tak jauh dari sekolahnya. "Gimana kalau tiap selesai jam olahraga, kita keluar ke salon itu lagi? Manjakan rambut kita lagi, Fay," lanjut Septi bersemangat seraya menyibak rambutnya yang ikut dikeramas bareng Fay.
Fay terkekeh. "Memangnya saat itu Pak Bandi bisa kasih izin ke kita lagi?"
"Hehehe ... ya, enggak juga, sih. Harus ada alasan masuk akal dulu kalau mau izin keluar." Koridor yang sepi terlihat ramai diisi celotehan Septi. Ia selalu heboh jika sudah berbicara sesuatu hal, terlebih dia sudah nyaman dengan Fay. "Oh, ya, aku jadi penasaran gimana cara Sisil bersihkan noda rendang buatan ibu kantin. Pasti tuh cewek kalang kabut hilangin tuh noda." Tawa Septi menggelegar bersama tepukan kedua tangannya yang berlebihan.
"Kuperhatikan, kau sepertinya senang sekali lihat Sisil sengsara? Ada sesuatu di antara kalian atau—"
"Tidak-tidak. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Sisil memang layak dapat ganjaran, dia dari dulu hobi banget nindas orang lain. Aku cuma kasih pelajaran sedikit padanya biar tuh anak enggak buat ulah lagi." Septi menarik napas dalam. Ia berkacak pinggang, lantas memutar tubuhnya ke samping menghadap Fay. "Kau tahu, Fay," ujarnya lagi sambil menatap Fay dengan serius, langkahnya tiba-tiba berhenti membuat Fay kontan ikut terhenti, "tuh cewek kayaknya sekali-kali perlu dirukiah biar iblis yang bersemayam di tubuhnya hilang, deh. Aku sudah berkali-kali buat dia malu di depan umum, tapi ya itu, enggak pernah kapok. Dia benar-benar kayak setan yang enggak pernah jera mengganggu manusia!"
Fay menanggapi perkataan Sisil dengan sebuah senyuman simpul. "Setiap orang ada waktunya untuk berubah, Sep. Terkadang, sebuah kejahatan enggak harus dibalas dengan tindak kejahatan juga, tapi—"
"Aduh-aduh, pusing kepalaku, Fay." Kedua tangan Septi spontan memegang kepalanya. Ia mulai mengayunkan langkahnya kembali sembari memiringkan tubuhnya melihat Fay yang berjalan di sebelahnya. "Kau itu terlalu baik jadi orang, Fay. Pantas saja kau mudah teperdaya sama bujuk rayu Ardo."
Mata itu langsung meredup begitu mendengar nama Ardo disebut. "Gitu, ya?" Wajah Fay berubah keruh, senyuman getir terlukis dari bibirnya. Serta-merta pandangannya menunduk menatap lantai koridor yang ia lewati, mencoba menyembunyikan raut wajahnya dari Septi. "Jika cinta tulus enggak bisa buat dia menyadari kehadiranku, maka aku akan berbalik menyusuri jalan yang berbeda untuk membuatnya bisa menatapku, Sep."
"Fay?" Septi tergagap. "A-aku enggak bermaksud menyinggung pera—"
"Enggak apa-apa." Fay kembali menatap Septi. Ia mencoba tetap tersenyum. "Kau benar. Hanya saja, ini cinta pertama buat aku, dan aku enggak akan nyerah sebelum berusaha lebih dulu."
"Tap-tapi Fay, Ardo itu—"
"Kita sudah di depan pintu kelas. Masuk, yuk?"
Pintu kelas kurang ajar! Bisa-bisanya muncul di saat yang tidak tepat. Rasa-rasanya pengin sekali Septi menggempur pintu kelas di depannya biar hilang mendadak. Agar tidak ada siapa pun yang berani menghentikan percakapannya bersama Fay.
Septi mengumpat pelan sebelum akhirnya mengembuskan napas pasrah.
Mereka berdua berjalan bersisian memasuki kelas XII IPA I. Beruntung, kelas lagi merdeka tanpa adanya guru. Hanya terlihat beberapa tulisan di papan tulis yang sedang disalin para siswa di bukunya masing-masing.
Penghuni kelas—terutama para cowok—seketika terdiam melihat Fay masuk dengan anggunnya diiringi senyuman manis yang tersungging di bibirnya. Meskipun masih terlihat agak kikuk dengan tatapan polos disertai anggukan kecil setiap ada yang memandangnya, tetapi entah kenapa, justru di situlah letak daya tarik seorang Fay.
Berbeda lagi dengan Septi, sejak memasuki kelas ia berjalan dengan langkah tegas yang kelewat percaya diri sembari mengangkat dagu tinggi, pandangan menyusuri tiap bangku dengan gerak tangan dan mimik muka yang cenderung lebih ekspresif.
Tak selang berapa lama, ketika Septi menemukan target yang ia cari, suara tawanya meledak memenuhi seluruh ruangan dengan sorot mata yang berhenti pada satu titik. Ke arah bangku paling pojok di bagian belakang.
Ada Sisil di sana—dengan rambut setengah basah—memancarkan perasaan kesal yang teramat besar kepadanya.
Septi tak terpengaruh sama sekali akan tatapan horor yang dilayangkan Sisil, malahan ia berteriak gaduh dengan suara cemprengnya, "Woaaaah, rambutnya itu sudah bersih belum, ya? Sudah keramas? Kok, bau rendangnya masih tercium sampai sini??" Sontak terdengar gelak dari berbagai arah. Sorak-sorai ejekan dan cemoohan pun silih berganti menyerang Sisil.
Tidak terima diperlakukan seperti itu, Sisil menggebrak meja dan mengeluarkan ancamannya, "Lihat saja, kubalas nanti kau, Sep. Kau bakalan menyesal berhadapan sama aku!" Lalu setelahnya ia langsung hengkang keluar kelas bersama dua teman setianya.
"Okeee, kutunggu lho pembalasannyaaa," teriak Septi girang sambil memegang perutnya yang sakit akibat terlalu banyak tertawa.
Beberapa detik kemudian, Septi baru sadar apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia berhenti tertawa.
Melihat bangku di sebelah Ardo yang sudah berganti Deni—penghuni aslinya—Septi kontan saja bergerak menemui Fay yang sudah duduk di dekat Hari.
"Ayo pindah bangku, Fay," ucap Septi tiba-tiba.
"Eh-eh, pindah ke mana, Sep?" tanya Fay yang bingung melihat tangannya ditarik-tarik Septi.
Septi berhenti dan menatap tak percaya Fay. "Mau ke mana lagi? Ya pindah ke bangku akulah, Fay."
Fay membeku di tempat, sedangkan Septi memutar bola matanya malas. Ia tahu Fay belum siap, tapi sampai kapan?
Septi mengikis jarak beberapa langkah menghampiri Fay. Ia berbisik lirih, "Kau ingin berusaha membuatnya menatapmu, 'kan? Sekarang waktunya, Fay. Mumpung si cewek centilnya sudah terlempar jauh." Septi terkikik-kikik mengingat tampang Sisil beberapa menit yang lalu. "Oh, ya, tas kau mana?"
Septi celangak-celinguk mencari tas yang kini telah disembunyikan Hari. Memperhatikan gerak-gerik Hari yang aneh, ia urung mencarinya lagi, ia langsung melototi Hari sambil berkacak pingang. "Balikin enggak tasnya?"
Hari cengengesan pakai tampang bodoh. "Ayolah Sep, aku baru kali ini dapat pasangan bangku secantik Fay, masa belum sehari sudah mau kau rebut." Hari menghela napas dalam, pundaknya terkulai lemas sembari menekuk wajahnya sedemikian rupa guna mendapat simpati dari cewek di depannya.
Septi ingin tertawa, tapi ia tahan. Sebenarnya ia tidak tega melihat wajah melas Hari, akan tetapi misinya dalam membantu Fay harus segera terlaksana.
Di tengah hiruk pikuk kelasnya, Septi berusaha menaikkan satu oktaf suaranya. "Kau kira aku akan berubah pikiran setelah menyaksikan tampang idiot kau, hah! Dasar bodoh. Cepat, kemarikan tasnya!!"
Dengan terpaksa Hari menyerahkan tas yang berada dibalik punggungnya. Hari cemberut sebelum akhirnya meringis tatkala gaplokan tangan mendarat di bahu kanannya. "Cepat, Har!"
"Iya-iya, Ndoro Putri. Ini!"
Senyum puas terlukis jelas di wajah Septi. Sesudah menyambar tas pemberian Hari, segera ia mengajak Fay agar duduk di sampingnya. Kali ini Fay tak menolak. Ia hanya diam saat tangannya digamit Septi menuju bangkunya.
Sewaktu Fay sampai di bangku barunya, ia tak kunjung duduk. Ia terdiam sejenak, lantas menoleh ke bangku tepat di belakangnya. Ada keraguan dalam setiap geraknya.
Memilih antara duduk langsung atau menyapa pada cowok yang kini masih sibuk berbincang dengan teman sebangkunya?
Fay sempat mendengar obrolan tersebut, teman sebangkunya sedang menceritakan permainan futsal pada cowok yang telah memorakporandakan hatinya, yang posisinya kini duduk menyamping menghadap lawan bicaranya, sesekali menanggapi seraya kedua tangannya bertumpu pada meja dan sandaran kursi.
Mencoba memantapkan hati, Fay membalikkan tubuhnya. Ia sepenuhnya menghadap pada bangku di belakangnya.
Tampak cowok yang mendominasi pembicaraan itu mulai terdiam kala pandangannya tertuju pada Fay yang menatap takut-takut pada sahabatnya, sementara yang ia ajak bicara sedari tadi, kini sudah mulai sibuk memainkan game di ponselnya.
Kedua alisnya bertaut melihat kejanggalan itu. Ia saja menyadari keberadaan Fay, tapi kenapa tidak dengan sahabatnya?
Ia mulai mencium hal yang tidak biasa pada tingkah sahabatnya.
"Hai, Fay," sapanya sembari tersenyum. "Namaku Deni. Senang ada cewek secantik kau di kelas ini."
Fay tersentak, seketika ia menoleh pada pemilik suara dan tersenyum canggung. "Hai, Den. I-iya, makasih," jawabnya kemudian.
Tatapannya kembali tertuju pada cowok yang sampai saat ini tak bergerak atau menoleh sedikit pun padanya.
Miris!
"Ehm. Do, kayaknya Fay mau bicara," ucap Deni.
"Eh?" Fay gelagapan. Ia tahu Ardo kini berpaling padanya, dan menunggu jawaban lewat matanya. "Hai, Do."
Hanya respons gumaman dari Ardo, setelah itu ia kembali menunduk memainkan game di ponselnya.
Fay menghela napas pelan. Ia tak habis pikir secepat itu sikap Ardo berubah padanya. Awalnya ia begitu ramah dan manis, tapi kenapa sekarang kebalikannya?
Andai saja rasa ini bisa lekas menghilang secepat ia datang, Do....
Deni terdiam sambil mengamati setiap tingkah Ardo, sedangkan Septi sibuk menyalin rumus-rumus fisika yang ada di papan ke buku tulisnya, walaupun demikian ia tetap memasang telinganya lebar-lebar untuk mencuri dengar perkembangan usaha Fay.
"Do," Baru satu kata terucap, namun, yang ia dapatkan berupa embusan napas kasar Ardo serta hempasan ponsel ke meja. Meski tak terlalu keras tetapi entakannya membuat Fay terkesiap. Seakan-akan Fay merupakan pengganggu bagi Ardo.
"Ada apa?" tanyanya seraya menatap datar Fay.
Fay meneguk ludahnya. Boleh enggak, aku batal bicara?
Ingin rasanya Fay menggeleng dan duduk kembali saja di bangkunya jika tahu reaksi Ardo akan seburuk ini padanya. Tapi itu semua tidak mungkin 'kan, bila melihat Ardo yang kini menaikkan sebelah alis menunggu jawabannya dan menatapnya dengan penuh intimidasi seperti sekarang.
"A-aku mau bicara, Do," Sebelum Ardo menjawab, buru-buru Fay menambahkan, "tapi enggak di sini."
Ardo menatap Fay tepat di manik matanya, datar dan hanya diam—entah memikirkan apa—Fay hanya sanggup berdoa semoga Ardo mau menuruti permintaannya.
Fay masih berdiri, mulai keram dan pegal di bagian kakinya, tapi ia tetap bertahan. Ia mencoba menggoyang-goyangkan kakinya yang sudah berontak minta duduk sembari menatap Ardo gelisah.
Ardo menghela napas sesaat. "Oke, kita keluar."
Tanpa menoleh pada Fay, Ardo berdiri dan langsung keluar kelas, diikuti Fay dari belakangnya.
***
"Sampai kapan kau diam, Fay? Kita sudah di sini hampir sepuluh menit yang lalu." Ardo memulai percakapan setelah menunggu Fay yang tak kunjung bicara.
Mereka kini berada di depan kelas yang terdapat bangku panjang menghadap lapangan futsal. Ardo hanya berpikir dan memilih tempat di mana ada kursi sebagai tempat duduk untuk gadis di sebelahnya.
"Baru sepuluh menit 'kan, Do. Aku bahkan menunggu kabarmu sudah lebih dari seminggu, Do." Fay mengatakannya sambil menunduk, meremas-remas jemarinya.
"Jadi karena alasan itu, kau sampai pindah ke sekolah ini?" Fay mengangguk. Ardo mendengkus sembari tersenyum miring. "Ternyata semua cewek masih sama."
Seketika kepala Fay terangkat. "Mak-maksudnya?"
"Hanya sebuah obsesi, kalian bisa melakukan segala cara untuk mendapatkannya." Di tempat duduknya, Ardo menatap datar ke arah lapangan. "Sekalipun hal itu bisa mematahkan hati seseorang yang sudah mulai berhenti berlaku brengsek demi mereka."
Fay semakin tak mengerti arah pembicaraan Ardo, tetapi ia masih bisa menangkap inti perkataannya. "Tapi ini bukan obsesi, Do. Aku ke sini, a-aku—"
"Lihat, kau bahkan enggak bisa jawab. Sudah jelas itu hanya obsesimu, Fay." Ardo berdiri. "Masuk, dan berhenti melakukan hal yang sia-sia."
Ardo berjalan meninggalkan Fay yang kini berdiri diam.
"Berhenti, Do!" Fay memekik, membuat Ardo kontan berhenti tanpa membalikkan tubuhnya. "Salahkah kalau aku meminta penjelasan hubungan kita selama ini, Do? Seminggu aku menunggumu, Do. Seminggu juga aku kayak cewek bodoh yang terus berpikir positif tentang kemungkinan kau menghilang setelah kencan pertama kita." Fay meraup napas sebentar. "Jika memang kau enggak menginginkan hubungan ini, kenapa saat itu kau memintaku jadi pacarmu, Do?"
"Lalu kenapa kau mau?" Bukannya menjawab, Ardo malah melemparkan pertanyaan balik.
"Karena waktu itu, a-aku sudah mencintaimu, Do." Fay perlahan menunduk, ia memilin lekukan baju seragamnya. "Bodoh memang, aku langsung menyukaimu meski lewat selembar foto yang Papa tunjukkan padaku." Fay makin menunduk. "Kupikir dengan kepindahanku, aku akan tetap bisa melihatmu di sekolah, walaupun nantinya kau enggak akan kasih kabar apa pun padaku, Do."
Ardo berbalik menghadap Fay. Tatapan datarnya belum lepas dari sorot matanya.
Fay mendongak. Setetes air mata jatuh di pipinya. "Tapi, dengan teganya kau berucap pada teman sekelas, mereka bisa miliki aku setelah aku minta putus darimu. Maksudmu apa, Do?"
Ardo berjalan tenang seraya kedua tangannya ia masukkan dalam saku celananya.
Langkahnya terhenti tepat di depan Fay. Ia menilik raut muka Fay yang kini berurai air mata karenanya. Ada tebersit keinginan untuk menghapus air mata itu dengan tangannya sendiri. Namun, ia urung melakukannya.
Ardo berdeham. "Kau satu-satunya cewek yang aku kasih kesempatan buat mutusin aku secara langsung. Harusnya kau senang, Fay."
Fay menggelengkan kepala sembari menyeka air matanya. "Demi Tuhan, Do, tolong jangan gini. Aku yakin kau tahu apa yang aku inginkan."
"Memangnya apa yang kau inginkan, Fay?"
Fay memejamkan matanya sesaat. Ia mengatur napasnya. "Aku ingin hubungan kita layaknya sepasang kekasih pada umumnya, bukan kayak gini. Kau seolah-olah tak menganggapku ada, Do."
Ardo tertawa sinis. "Kau yakin menginginkan sebuah hubungan? Katakan padaku, hubungan kekasih yang gimana? Kau saja menerima pernyataan cinta cowok dalam sekali pertemuan, Fay." Fay menggeleng panik. Ardo mendengkus sambil menatap Fay tajam. "Dengarkan aku, jangan terlalu berharap sama hubungan ini, Fay. Jangan bertahan jika sudah tahu itu enggak akan berhasil. Lebih baik kau mundur daripada harus menyiksa dirimu terlalu lama. Kau hanya perlu ucapkan putus itu padaku, dan semuanya selesai."
Dan setelahnya, Ardo berbalik dan benar-benar pergi dari hadapan Fay. Meninggalkan rasa nyeri yang terasa menikam di hati Fay.
Tak sadarkah Ardo, semua ucapannya itu sangat melukai perasaannya?
............................***..............................
Aneh, makin Fay tersiksa aku makin suka karakter Fay wkwkkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top