6. Pindah Sekolah
Sapuan angin segar di pagi hari membelai wajah cantik seorang cewek yang berdiri di depan pintu masuk sekolah barunya, membuatnya seketika memejamkan mata sesaat, menyunggingkan senyum kebahagiaan yang mampu membuat siapa saja terbuai akan keelokan wajahnya.
Demi cowok yang dicintainya, dia terpaksa mengambil keputusan pindah sekolah agar lebih dekat dengan sang kekasih. Ia bersyukur papanya juga tidak keberatan sama sekali saat ia meminta pindah sekolah, justru sang papa menggoda habis-habisan ketika alasan yang sesungguhnya terucap dari bibir anaknya.
Orang tuanya sangat paham apa yang dialami anaknya. Mereka pun pernah muda dan tak akan sanggup jika harus dipisahkan jarak dalam suatu hubungan. Maka, tanpa berpikir panjang mereka menyetujui dan mengurus hal kepindahan untuk putri semata wayangnya hanya dalam beberapa hari saja.
Dan di sinilah dia—Fay Elvina Bellvania—berdiri di depan sebuah gedung sekolah yang akan menjadi tempat menimba ilmu untuk hari-hari ke depannya.
Fay menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkan secara perlahan saat dirasa ia sudah siap memasuki sekolah barunya tersebut. Ia mulai berjalan dengan pandangan yang menyapu sekeliling.
Sejauh matanya memandang yang ia temui hanyalah kesunyian. Mungkin itu semua disebabkan masih di jam pelajaran yang mengharuskan para siswa mendekam di ruang kelas masing-masing hingga waktu istirahat tiba.
Sembari mendekap beberapa berkas persyaratan yang telah ia siapkan di dalam map berwarna biru, ia mengambil belokan terakhir sesuai arahan yang ia dengar. Untung saja tadi Fay sempat menyapa Pak Satpam dan menanyakan letak ruang Kepala Sekolah, sehingga ia bisa lebih mudah mengetahui posisi ruangan yang ia tuju.
Fay memang sengaja menolak diantar sang papa, menurutnya, ia akan lebih nyaman jika berangkat sendiri tanpa pengawalan siapa pun.
Di sebuah pintu yang bertuliskan "Ruang Kepala Sekolah", ia mengetuk beberapa kali hingga suara dari dalam terdengar untuk mempersilakannya masuk.
"Fay, Putri dari Pak Rama, 'kan?" Fay terlonjak kaget, pasalnya ia bahkan belum selesai menutup pintu sepenuhnya, tiba-tiba sudah dikagetkan suara yang menanyakan tentang dirinya. Ia berbalik cepat dan refleks mengangguk sebagai jawabannya. "Silakan duduk. Maaf, pertanyaan saya membuatmu kaget. Baru saja saya menerima telepon dari Pak Rama, mengabarkan putri kesayangannya sebentar lagi sampai. Saking semangatnya menyambut kamu, sampai Bapak lupa memintamu duduk hahaha...."
Fay tersenyum kikuk. Ia lalu duduk dan menyerahkan berkas persyaratan yang ia bawa.
"Persyaratan kamu sudah lengkap, Fay. Mari Bapak antar ke kelas baru kamu," ujar Pak Kepala Sekolah setelah memeriksa kelengkapan persyaratan yang diminta, sementara Fay kembali mengangguk sopan lantas mengikuti beliau keluar ruangan dengan perasaan tegang.
Dalam perjalanan, rasa was-was menyerang Fay, apalagi ia masih ingat betul papanya sendiri mengatakan, ia akan sekelas dengan Ardo. Pemikiran-pemikiran aneh pun berseliweran di benaknya.
Gimana kalau Ardo marah saat tahu dia pindah ke sekolahnya? Apa yang harus dia lakukan saat mereka bertemu nanti? Gimana jika Ardo tidak peduli padanya? Atau tidak mengakuinya sebagai pacarnya, mungkin? Ah, enggak. Enggak mungkin Ardo seperti itu. Tapi ... bisa jadi, 'kan?
Argh...! Semua itu membuat kegelisahan Fay semakin bertambah dan rasa cemas kian menerpa tatkala seruan di kepalanya berkoar-koar, mengabarkan waktu yang kian mendekat bertemunya Ardo dengan dirinya.
Puncaknya, saat pintu kelas XII IPA 1 dibuka oleh Pak Kepala Sekolah, tiba-tiba ia merasakan gugup yang luar biasa. Laju langkahnya perlahan melambat, bahkan ketika sudah sampai di bibir pintu, ia panik, kakinya spontan mundur menghalangi dirinya dilihat oleh teman sekelasnya.
Oh, bukan! Bukan karena teman sekelasnya. Ada hal lain yang membuat Fay menjadi segugup itu. Ardo. Ya, Ardo. Fay takut terlihat olehnya.
"Maaf Bu Rani saya mengganggu waktu mengajar Anda sebentar."
"Oh, Pak Bandi, tidak apa-apa. Bisa saya bantu, Pak?"
"Saya mau memperkenalkan siswi baru yang akan menjadi bagian dari kelas ini," jawab Pak Bandi dengan wajah semringah, sedangkan Bu Rani terlihat agak kaget meski hanya sebentar.
Semua sudah tahu jika ada anak baru dan yang mengantarnya bukan wali kelas melainkan Pak Bandi sendiri, sudah bisa dipastikan ada keistimewaan dari anak pindahan tersebut.
Bu Rani tersenyum sopan. "Baik Pak Bandi, silakan diperkenalkan."
Pak Bandi masuk dengan langkah tegas dan berwibawa. Ia berdiri di depan papan tulis menghadap anak-anak didiknya yang langsung diam meski terlihat jelas raut penasaran yang terpancar dari wajah mereka.
"Anak-anak, kali ini Bapak akan memperkenalkan siswi baru yang sangat cantik dan berprestasi. Selama dua tahun berturut-turut dia selalu menjadi juara umum di sekolahnya. Dan kalian harus tahu, orang tuanya juga menjadi salah satu donatur terbesar kedua di sekolah kita ini." Pak Bandi mengedarkan pandangan ke segala arah di depannya, sedangkan para siswa-siswi celangak-celinguk semakin penasaran akan sosok yang dibicarakan. "Jadi, walaupun dia siswi baru di sini, Bapak tidak mau dengar satu pun dari kalian yang berani mengganggu atau menindasnya. Mengerti kalian?"
"Mengerti, Paaaaak," jawab mereka, koor.
"Masalahnya, sekarang mana anaknya, Pak?" celetuk Hari yang berada di bangku paling belakang sembari menjulurkan lehernya.
"Benar tuh, Har. Siapa tahu setelah kami kenalan nanti, habis gitu jadian. Ya, enggak? Hehe...," sahut Bima, cengengesan.
"Huuuuuuuuu...," sorak yang lainnya.
"Apaan sih kalian pada, norak banget," sewot Sisil. Ia melengos pada cowok di sebelahnya yang masih bergeming sembari melipat tangannya santai. Sisil mengedipkan matanya dan bergelayut manja di lengan si cowok, "Kau enggak bakalan tertarik sama itu cewek 'kan, Sayang." Sementara yang ditanya hanya tersenyum kecil tanpa meliriknya sedikit pun.
"Sudah, sudah, diam!" bentak Pak Bandi. Beliau menoleh ke samping, agak terkejut melihat Fay tiba-tiba tidak ada di sana. Mencoba berjalan ke arah pintu, Pak Bandi melongok dan mendapati Fay menunduk sambil meremas-remas tangannya. "Fay, ayo masuk." Sontak Fay terkesiap. Pak Bandi tersenyum menenangkan. "Tidak akan terjadi apa-apa. Perkenalkan dirimu. Ayo!"
Fay tergagap. "I-iya, Pak."
Fay menunduk seraya berjalan memasuki kelasnya dengan perasaan yang tak menentu. Ia berdiri di samping kanannya Pak Bandi, tepat di depan menghadap seluruh temannya.
Perlahan namun pasti, Fay sedikit demi sedikit mengangkat wajahnya. Mata bening dihiasi bulu mata lentik, kulit wajah putih dan mulus tak bebercak, alis tipis yang sesuai bentuk parasnya, bibir indah nan manis, serta rambut gelombang alami yang menyempurnakan penampilannya menciptakan kekaguman para cowok di kelasnya. Semuanya terpesona akan kecantikan yang dimiliki Fay. Bahkan, tak jarang cewek di kelasnya ikut memuji penampilannya.
Di tengah binar-binar mata yang menatap takjub akan dirinya, Fay malah sibuk melawan lututnya yang mulai gemetar kala pandangannya menyisir ke seluruh penjuru ruangan, bersirobok pada cowok yang melipat tangannya dengan senyum miring di bibirnya. Berada di baris ketiga, di deretan meja guru.
Mata tajamnya berhasil menjungkirbalikkan jantung Fay, menghipnotisnya lewat tatapan yang sudah lama tak pernah dilihatnya, menyentak halusinasi yang sempat singgah beberapa detik lalu bergantikan rasa gembira yang tiada terkira. Akhirnya ia bisa bertemu dengannya.
Ardo. Fay melihat dia sekarang. Matanya membelalak ketika melihat kehadirannya, tetapi itu hanya sejenak. Fay paham ekspresi itu. Wajar saja, dari awal memang Fay tidak mau ada yang mengetahui kepindahannya. Termasuk Ardo.
Rasa rindu itu kembali bergumul di dadanya bercampur perasaan lega yang tak bisa ia jelaskan. Kekasih yang seminggu lebih tak memberi kabar ataupun menghubunginya, kini ia bisa melihatnya secara langsung. Mengobati sebagian hati yang terasa kosong tanpa adanya dirinya.
"Fay, ayo." Sekali lagi suara Pak Bandi terdengar di pendengaran Fay. Mendatangkan sebuah dorongan agar ia bisa menyelesaikan perkenalan ini secepatnya.
Fay membasahi bibirnya seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Menutupi rasa gugup meskipun merasa gagal di bagian jantungnya. "Hai semua ..., eee, namaku Fay Elvina Bellvania. Panggil saja Fay. Semoga kalian bisa menerimaku sebagai teman baru kalian," ucapnya sambil tersenyum manis. Sangat manis hingga kaum adam dibuat terpukau melihatnya.
Setelah memperkenalkan dirinya, Bu Rani memerintahkan agar Fay mencari duduk di bangku yang kosong. Ada dua bangku kosong di kelasnya, Fay memilih duduk di bangku paling belakang bersama Hari yang sang empunya langsung lonjak-lonjak seperti orang gila.
Bu Rani dan Pak Bandi mengernyit, Heran.
"Fay, kamu tidak mau duduk dengan Septi? Dia cewek dan tempat duduknya ada di nomor dua, pastinya lebih nyaman buat kamu," tutur Pak Bandi.
Tapi, enggak akan bisa nyaman buat kesehatan jantungku, Pak!
Tempat duduk Septi berada tepat di depan bangku Ardo. Ia belum siap bila harus mendapat pengusiran dari Ardo. Bisa saja nanti Ardo akan risi atau terganggu akan adanya dia di dekatnya, apalagi yang ia lihat sekarang ada cewek cantik tengah menempelkan kepalanya manja di bahu Ardo. Salah satu yang mendatangkan sesak di dada Fay. Paru-parunya seolah dirampas oleh cewek itu dan sialnya lagi, Fay tidak bisa berbuat apa-apa. Hatinya perih.
Fay menggeleng dan tersenyum seramah mungkin. "Tidak apa-apa, saya lebih nyaman duduk di bangku belakang, Pak."
Pak Bardi manggut-manggut. Walaupun ada niatan menjelaskan kemungkinan terburuk duduk di bangku belakang, tapi tetap saja beliau tidak bisa memaksa jika memang itu kehendak dari Fay sendiri. Sesudahnya, Pak Bandi tersenyum. "Ya, sudah, kalau itu membuatmu nyaman, Bapak tidak bisa memaksa," ujarnya kemudian.
Pak Bandi beralih menghampiri Bu Rani yang masih berdiri di sisi mejanya. "Bu Rani, saya tunggu di kantor sekarang, ada yang perlu saya sampaikan untuk para guru."
"Baik, Pak Bandi," jawab Bu Rani, cepat.
Kendati sudah diberikan tugas soal yang harus dikumpulkan segera, suara gaduh masih saja tercipta begitu Bu Rani meninggalkan kelas. Namanya juga kebebasan tanpa adanya guru, diberikan segudang tugas apa pun, yang namanya siswa pasti akan lebih banyak bersorak gembira ketimbang kecewa. Begitu pun kelas XII IPA 1.
Terutama pihak cowok!
Secepat kilat mereka berlari menyerbu ke bagian kursi paling belakang, apalagi kalau bukan berkumpul di bangkunya Hari, padahal biasanya sepi tak berpenghuni kini berubah bagaikan pasar dadakan.
Berbagai tawaran membanjiri Hari.
"Har, tukar posisi, dong."
"Har, enak banget hidup kau, semalam mimpi apaan bisa dapat teman bangku secantik Fay."
"Har, ayo kita tukar bangku. Nanti kubelikan es cendol sebulan."
"Jangan mau, apaan es cendol. Mending tukar sama aku, Har. Paket internet gratis tiga bulan."
"Paket internet mah, keciiiil. Mending tukeran sama aku, Har. Aku kasih adikku yang paling subur buat kau, Har." Serta-merta yang mendengarnya sontak tertawa, semua sudah tahu adik si Bima kelas X-3 itu sesubur apa, menyaingi perutnya Bima yang melambung tinggi.
Sementara Hari sedari tadi hanya plonga-plongo, cengengesan tidak jelas. Dia menggeleng tegas, menolak semua tawaran dari temannya. "Enggak mau. Kapan lagi aku bisa punya teman secantik dan sepintar Fay." Ia cekikikan.
Hari memang bisa dikatakan makhlus siswa paling aneh, pemahaman sangat rendah terhadap pelajaran tetapi mau saja diajak tukar jurusan oleh temannya yang menolak dimasukkan kelas IPA. Alhasil, ia sering dijadikan bahan candaan dan pelengkap jumlah kelasnya saja. Bangkunya pun selalu sunyi, bahkan Septi saja lebih memilih duduk sendiri daripada ikut bergabung bersamanya. Palingan bangku Hari ramai hanya di saat-saat tertentu, di waktu ada anak yang mau menyendiri ke belakang atau yang lagi suntuk menerima pelajaran, bangku Hari adalah pilihan paling tepat bagi mereka. Begitulah nasib Hari, kadang sendirian, terkadang juga harus bergonta-ganti pasangan di setiap harinya.
Di tengah kicauan mulut-mulut para jomblo yang berjubel di bangku Fay dan Hari, tiba-tiba ada suara tegas cowok menginterupsi dengan kepercayaan diri tinggi.
"Kalian enggak akan bisa mendekati Fay. Dia sudah punya cowok." Mendengar suara yang lama tidak didengarnya, Fay mematung. Aliran darahnya seketika membeku melihat Ardo berdiri dari duduknya sembari memasukkan kedua tangannya di saku celana. "Fay pacarku. Dia datang ke sini untuk menemuiku." Semuanya terperangah tak terkecuali Fay. Ardo menatap lekat dirinya. "Ya, 'kan, Fay?"
Seluruh pasang mata itu kini menatap Fay, meminta jawaban. Fay menggigit bibir bawahnya, ada rasa senang menyusup diam-diam tatkala Ardo mau mengakuinya sebagai kekasihnya. Namun, takut dan cemas juga ikut menggerogoti hatinya. Ia lalu mengangguk pelan. "I-iya."
Para cowok melotot, syok. Pupus sudah harapan mereka. Mereka tak akan bisa mengalahkan saingan seberat Ardo. Pangeran sekolah sekaligus idaman para cewek.
Senyum Ardo merekah, menyadari kemenangannya. Puas sekali melihat kekecewaan di mata teman-teman cowoknya. "Kalian bisa memilikinya," lanjutnya, hingga membuat pandangan seluruh penghuni kelas tertuju padanya, "setelah Fay sendiri mengucapkan kata putus itu."
Ardo menyeringai.
Kelas menjadi hening.
Saat detik itu juga Fay merasa dunianya menggelap.
..............................***...............................
Ini dia si Fay, cantik kan? Hihiii....
Nah, ini cogan Ardo hehe.... 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top