5. Menunggu
Bagi kebanyakan orang, menunggu itu sangat membosankan, akan tetapi bagi Fay, menunggu itu sangat menyedihkan.
Bagaimana tidak, setelah acara kencan pertama mereka, sudah seminggu yang lalu Fay tidak pernah bertemu Ardo lagi. Jangankan bertemu, mendengar kabar dari Ardo pun tidak pernah.
Perlu dicatat, Fay tidak mempunyai nomor telepon Ardo. Lebih tepatnya ia tak pernah berani meminta nomor telepon secara langsung pada Ardo. Ia terlalu malu.
Ia pikir, mungkin dari pihak cowoklah yang pantas meminta nomor telepon pada ceweknya. Ia teramat takut, jika dia yang mempunyai inisiatif pertama, Ardo akan berpikir cewek macam apa dia yang begitu berani meminta terlebih dahulu pada seorang cowok. Atau, mungkin saja Ardo akan berpikir bahwa Fay termasuk cewek yang nggak benar, yang sukanya mengejar para cowok seperti cewek di luar sana. Tidak, tidak! Fay tidak mau dianggap seperti itu, Fay juga tak mau karena perbuatannya Ardo akan berbalik membencinya.
Memang, ada sebersit keinginan untuk meminta nomor telepon melalui mama atau papanya, tapi tidak, menurut Fay, perbuatan itu nantinya akan menimbulkan kecurigaan baru. Bisa jadi, mama papanya akan berpikir yang aneh-aneh tentang hubungan mereka. Bayangkan saja, mana ada sebuah hubungan tetapi nomor telepon pacar sendiri tidak tahu?!
Ah, semua itu membuat Fay frustrasi. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang ini. Yang bisa ia lakukan hanya mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah.
Fay menggigiti kecil-kecil kukunya sambil berpikir beberapa kemungkinan.
Apakah Ardo sibuk? Apa Ardo banyak tugas di sekolahnya? Apakah mungkin ia terlalu lelah akan semua aktivitas di sekolah?
Ya, mungkin saja. Tahun ini 'kan mereka sudah kelas XII, sebentar lagi juga akan menghadapi ujian nasional. Tunggu, tapi ini 'kan masih tahun pertama naik kelas XII, masa iya sudah penuh dengan berbagai kegiatan, sementara di sekolahnya sendiri masih terbilang senggang.
Fay semakin mempercepat acara mondar-mandirnya. Fay benar-benar bingung. Ia tahu persis apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ia sangat merindukan Ardo. Rindu yang benar-benar menyiksa pikiran dan hatinya. Ia tak pernah merasakan rindu sebesar ini pada cowok mana pun. Hanya Ardo yang mampu membuatnya seperti ini.
Fay menghela napas panjang, kemudian berjalan menghampiri meja belajarnya. Ia segera duduk dan meraih sebuah pigura yang terdapat fotonya bersama Ardo. Foto mereka ketika diambil di mall.
Ditatapnya lekat foto Ardo, pikirannya melayang pada kenangan saat kencan pertamanya. Ia ingat, waktu itu ia sungguh malu ketika Ardo menggandeng tangannya untuk masuk ke sebuah photobox dan mengajaknya foto bersama. Pose kedua tangan kokoh Ardo yang merengkuhnya dari belakang, kontan membuatnya sukses mengeluarkan keringat dingin bersamaan dengan darah yang berdesir hangat melalui tubuhnya.
Ia juga sangat kaget tatkala tanpa direncanakan ada satu pose lagi yang membuat wajahnya blushing seketika, saat mendapati Ardo mencium pipinya. Ia sampai menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia salah tingkah sekaligus tersipu malu, sampai-sampai Ardo tergelak melihatnya. Dan semua foto tersebut Fay memilikinya, kini telah terpasang manis di atas meja belajarnya.
Fay yang beberapa saat lalu tersenyum cerah kali ini mulai meredup dan wajahnya tak lagi berbinar. Kini yang tertinggal hanya sebuah senyuman pedih yang dipaksakan dengan suara hati yang bergemuruh hebat menghantam dadanya.
Punggung tangannya refleks mengusap air matanya yang mulai merebak. Ia merutuki dirinya sendiri. Sebegitu cengengnya dia padahal dia sendiri belum tahu alasan kuat Ardo yang sampai saat ini belum bisa menghubunginya.
Mungkin, ini disebabkan rasa rindunya yang tak tertahankan untuk Ardo. Bisa jadi, 'kan?
Fay memantapkan hatinya. Ia harus kuat menahannya. Ya. harus. Ia tak ingin Ardo menganggapnya sebagai cewek posesif, yang selalu ingin tahu di mana pun cowoknya berada dan menanyakan semua kegiatannya. Ia juga tak mau mengekang kebebasan Ardo. Siapa tahu Ardo memang sedang sibuk dan belum bisa menghubunginya.
Akan tetapi, lagi-lagi suara-suara di kepalanya berteriak mengganggunya.
Sesibuk apa hingga memberi kabar lewat pesan saja tidak sempat? Memangnya dia direktur perusahaan? Presiden? Atau, pahlawan yang sedang berjuang di tanah musuh?
Fay menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir prasangka jahat yang mengganggu pikirannya. Kemudian ia menguatkan hatinya bahwa ia tak akan apa-apa. Ia meyakinkan bahwa ini hanya sementara. Pasti sebentar lagi Ardo akan menguhubunginya.
Ia berkali-kali menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Mencoba menstabilkan pernapasannya berharap pikiran dan hatinya juga ikut stabil seperti sedia kala.
Namun sayang, semua itu hanya bertahan beberapa menit, karena setelahnya hati Fay kembali risau memikirkan Ardo.
Ya, Tuhan ... tenangkan hatiku, kumohon....
Berulang kali ia menutup matanya sambil berdoa, agar ditenangkan hatinya. Dagunya ia tumpukan pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja.
Ia terdiam sesaat. Fay menatap ponsel warna putih kesukaannya yang tergeletak tepat di depan matanya. Tiba-tiba ide melintas di pikirannya begitu saja. Bibirnya mengerucut lucu, kedua bola matanya bergerak ke kiri dan kanan, lalu kembali memandang ponselnya lagi.
Tak selang berapa lama, tubuhnya seketika menegak. Tangan kanannya ia ketuk-ketukkan di atas meja sembari berpikir dan memantapkan pilihannya.
Senyum mulai terbit dari bibir tipisnya. Ia segera meraih ponsel itu dan mencari nama kontak mana yang bisa menjawab keraguannya.
Ketemu! Mungkin dia bisa membantuku.
Sesuatu yang sangat mudah jika hanya menekan tombol yang berlogo telepon pada ponsel digenggamannya, tetapi bagi Fay, itu sebuah perkara sulit. Ia harus mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya, apalagi seseorang yang akan ia hubungi ini pernah ia tolak cintanya sebulan yang lalu.
Bukan menolak secara kasar. Itu bukan sifat Fay. Ia sebisa mungkin menolak dengan kata-kata yang halus jika ada cowok menyatakan cinta padanya. Ia selalu mengucapkan terima kasih di awal jawaban sebelum menolak cinta mereka.
Tak pernah sekalipun ia berniat mempermalukan mereka di depan umum. Dan seperti biasa, hari-hari berikutnya jika suatu ketika harus berpapasan dengan mereka di sekolah, Fay pun tak ragu dan tetap menyapa dengan ramah disertai senyuman yang akan membuat para cowok semakin terpesona akan daya tarik dari seorang Fay.
Sampai beberapa menit lamanya, ia baru menggerakkan jari menekan tombol tersebut. Tak ada beberapa detik sambungan itu diangkat dan terdengarlah suara cowok di ujung seberang sana.
"Halo?" sapanya. Terdengar suara grasah-grusuh di telinga Fay. Seolah-olah dari suaranya seperti gesekan antara kursi dan lantai beradu dengan suara hiruk-pikuk dari beberapa orang. "Ini, Fay, 'kan? Fay? Halo?"
Hening sesaat. Bukannya Fay tak mau menjawab, hanya saja ia mendadak diserang keraguan yang membuat nyalinya menciut, sementara di seberang sana seorang cowok berjalan cepat keluar kafe hanya untuk menjauhkan diri dari suara berisik yang ada di dalam.
"Eee ... apa aku mengganggumu?"
Helaan napas lega meluncur dari bibir cowok tersebut. Jantungnya pun berdetak keras meski hanya sebatas mendengar suara Fay. "Enggak sama sekali, Fay. Aku malah senang kau meneleponku. Apalagi ini kali pertama kau menghubungiku." Ia berdeham. Sudah lebih dari dua kali ia berdeham untuk mengurangi kegugupannya sembari menunggu ucapan Fay masuk ke gendang telinganya.
"Aku ..., mau tanya sesuatu, boleh?"
Sontak senyuman tersungging dari bibirnya, wajahnya ikut berseri-seri mendengar pertanyaan Fay barusan. "Tentu boleh dong, Fay. Katakan saja, aku akan melakukan semua yang kau mau."
Fay tersenyum getir mendengar ucapan dari cowok yang pernah ia tolak cintanya itu. Dia cowok yang sangat baik, populer dan tampan, cowok yang menjadi pujaan hampir semua cewek di sekolahnya. Banyak cewek yang rela mengantre untuk dijadikan kekasih olehnya.
Tapi sungguh, ia bingung mengapa dari sekian banyak cewek cantik di sekolahnya, ia lebih memilih dirinya yang jelas-jelas dari awal bertemu, Fay tak pernah menunjukkan rasa suka padanya.
Ah, andai saja jantungnya dag-dig-dug seperti saat ia berada di dekat Ardo, Fay pasti akan dengan senang hati menyambut cintanya. Namun, apa boleh buat, Fay tidak akan mau menjalin ikatan yang tak didasarkan rasa cinta.
"Fay? Kau masih di sana?"
Fay tersentak. Ia gelagapan. "I-iya. Aku masih di sini, kok."
Suara cowok di seberang terkekeh. "Kau mau ngomong apa?"
Fay menggigit bibirnya sebelum melanjutkan perkataannya, "Kau ..., pernah punya kekasih 'kan, sebelumnya? Mak-maksud aku, waktu awal pacaran kau setiap hari sering kasih kabar, enggak? Pernah enggak selama seminggu kau enggak pernah menghubunginya sama sekali?"
"Tunggu-tunggu, Fay. Kau ini sebenarnya membicarakan siapa? Apa kau meragukan perasaanku? Apa itu berarti kau masih memberikan kesempatan pada—"
"B-b-bukan seperti yang kau maksud. A-aku hanya sekadar tanya saja, kok. Aku enggak bermaksud memberi kesempatan itu," Suara Fay semakin mengecil, "sepupuku yang bertanya padaku."
Ada helaan napas kecewa dari suaranya. Meski begitu ia tetap memaksakan bibirnya untuk tersenyum walaupun Fay tak bisa melihatnya. Ia berusaha menegarkan hatinya sekalipun Fay telah menolaknya berulang kali. "Sebagai cowok, aku pasti akan lebih dulu menghubunginya setiap hari, berbagi kabar, dan mengajaknya jalan-jalan, mungkin."
"Kalau si cowok terlalu sibuk, apa ia akan tetap menghubunginya?" sahut Fay cepat.
Kedua alisnya berkerut, heran. Ia sebelumnya tak pernah mendapati tingkah Fay yang tak biasa ini. Agak ... aneh, menurutnya. Lebih tepatnya ia seolah merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Fay darinya. "Sesibuk apa pun, tetap saja aku akan mencari waktu untuk menghubunginya, meski hanya sekali saja."
Seketika Fay menarik napas berat. Kedua bahunya melorot tak berdaya. Jawaban yang ia dengar membuatnya tak bisa berpikir apa-apa.
Awalnya, ia pikir semua keraguan yang bersarang dalam benaknya akan sirna setelah menanyakan pada sesama cowok, ia pikir jawaban yang ia peroleh nanti akan sesuai dengan apa yang Ardo lakukan padanya seminggu ini, tapi ternyata tidak, bahkan jawaban yang ia dapatkan kini bertolak belakang dengan keinginan hatinya.
"Fay, kau enggak apa-apa?"
"A-aku enggak apa-apa. Makasih, ya," ucap Fay dan langsung memutus sambungan tanpa menjelaskan apa pun.
Tubuhnya lemas, pasokan udaranya seakan-akan ikut menipis. Fay beranjak ke arah jendela kamarnya. Pandangannya kosong, air matanya kembali membasahi pipinya.
Apakah salah bila aku berpikir yang macam-macam kepada kekasihku sendiri?
Tak sengaja penglihatannya mengarah pada dua ekor burung yang bertengger di sebuah dahan pohon rindang yang tak jauh dari jangkauannya. Burung-burung itu saling berdekatan, berkicau saling sahut-menyahut dengan suara merdunya layaknya sepasang kekasih yang bercengkerama dengan senangnya.
Fay tertegun, kedua burung itu mengingatkan tentang hubungannya dengan Ardo. Kicauannya seolah-olah ditujukan untuknya.
Fay terdiam sejenak. Sekarang ia mengerti apa yang harus ia lakukan. Beberapa detik kemudian, ia kontan berlari keluar menuju ruang kerja papanya.
Papanya ini tipe workaholic. Ia yakin meskipun hari minggu, di saat siang begini papanya biasanya berada di ruang kerja berkutat bersama berkas-berkas penting sang papa.
Begitu sampai di depan sebuah model pintu minimalis berbahan kayu, tanpa pikir panjang Fay mengetuk pintu itu dan tak berapa lama keluarlah sang papa dengan kerutan heran di dahinya.
"Ada apa, Fay? Cari Papa?"
Fay mengangguk, kikuk.
"Wah, tumben anaknya Papa di hari minggu gini cariin Papa. Minggu ini enggak jalan sama teman-temanmu, Fay? Atau, sama sang pacar, mungkin?" tanya papa sembari menaikturunkan kedua alisnya, sementara Fay tersenyum salah tingkah sekalipun ada rasa sedih tatkala papanya menyebut nama "pacar" di bagian akhir pertanyaannya.
Fay menggelengkan kepalanya, berusaha sekuat tenaga tetap biasa saja di depan papanya. "Emm ... Fay, mau ngomong sama Papa, boleh?"
Sang papa terdiam sesaat. Ia merasa anak gadisnya akan membicarakan sesuatu yang sangat penting. Sudah menjadi kebiasaan putri kesayangannya, jika sampai meminta izin untuk berbicara seperti ini, bisa dipastikan pasti ada sesuatu yang penting yang sedang mengganggu pikirannya.
Sang papa menghela napas pelan, selepas itu ia memasang senyuman menenangkannya dan menjawab, "Boleh. Ayo, masuk. Kita ngobrol di dalam saja."
...............................***................................
Aku bikin novel ini antara dalam keadaan frustrasi sama pengin nendang beton sekaligus, kalian tahu karena apa? Tak lain dan tak bukan karena di novel ini aku nyoba pakai POV3, sedangkan aku biasanya lancar di POV1 seperti di judul Frel novelku satunya, jadi susahnya minta ampun wkwkkk..
Tapi tenang aja, di novel ini tetap akan kuusahakan buat selesaikan sampai tamat kok hitung-hitung buat belajar hehe...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top