4. Kencan Pertama
Besoknya Ardo benar-benar menepati janjinya. Minggu siang ia menjemput Fay untuk kencan pertama mereka.
Dari siang sampai sore hari, Ardo mengajak Fay berkencan di sebuah mall yang cukup besar di kotanya. Sebagaimana kencan yang pernah dilakukan para remaja seusianya, mereka juga melakukan hal yang sama seperti: main ke game center, nonton film romantis, berfoto saat di photobox, mengunjungi toko buku kesukaan Fay, dan kini mereka sedang berada di sebuah restoran bernuansa hijau dominan yang terlihat jelas dari warna meja, kursi dan perabotan lainnya.
"Kau yakin cuma pesan es krim, Sayang? Enggak mau nambah makanan lain?" tanya Ardo dengan suara beratnya.
Fay yang mendengar pertanyaan Ardo sontak terdiam, ia merasa masih perlu belajar mengatur detak jantungnya agar cepat kembali stabil setiap kali mendengar panggilan kata "sayang" dari Ardo.
Di tengah keterdiamannya, tatapannya masih terpaku dengan es krim bertabur toping kismis di depannya. Tak selang berapa lama, ia menarik napas pelan untuk mengurangi kadar gugup yang ia rasakan, kemudian dengan perlahan ia mendongak, tersenyum dan mencoba menggelengkan kepalanya berharap agar Ardo bisa menangkap maksud gerakannya.
Ia tak sanggup menjawab pertanyaan Ardo meski hanya sekadar mengeluarkan satu kata saja. Bibirnya seolah-olah terkunci otomatis tatkala gugup dan panik menyerangnya.
Ardo terdiam menatap Fay yang kini kian resah. Bibirnya mengulum senyuman saat didapatinya Fay lekas menunduk ketika mata mereka bertemu. Selalu saja seperti itu.
Diperhatikannya cara makan Fay yang begitu cepat dan terkesan terburu-buru. Alis sebelahnya terangkat.
Segugup itukah dia?
Sesungguhnya, sampai saat ini Ardo masih diambang batas antara percaya dan tidak percaya atas semua tingkah dan respons Fay terhadapnya. Menurutnya, Fay teramat polos jadi cewek. Terlalu lugu. Sedari tadi pun yang mengawali pembicaraan dan memulai hal romantis hanya Ardo, sementara Fay selalu terlihat malu-malu akan perhatian yang diberikan Ardo.
Kalau boleh jujur, perlakuan Fay kepadanya agak sedikit mengganggu pikirannya. Selama ini Ardo tak pernah sekalipun menemui cewek seperti Fay. Hampir semua cewek di sekitarnya akan histeris, berlomba-lomba mencari perhatiannya, bahkan tak jarang yang dengan berani menggodanya habis-habisan bila melihat Ardo dengan niat akan digoda balik olehnya. Berbeda dengan Fay.
Jika dipikir-pikir cewek semacam Fay ini sangat langka. Sebenarnya tidak masalah buat Ardo. Justru sikap Fay yang seperti inilah yang membuat rasa penasaran Ardo semakin kuat dan ingin membuktikan bahwa Fay tak lebih dari cewek yang penuh dengan kepura-puraan sebagaimana cewek di luar sana, yang hanya mengagumi wajah tampannya saja atau lebih parahnya lagi ingin ikut menikmati kekayaan dari keluarganya.
Ya, memang begitulah cara pandang Ardo tentang semua cewek yang mengaguminya, hingga saat ini belum berubah. Sampai sekarang pun ia tidak pernah percaya ada cewek yang benar-benar murni mencintainya, sama halnya dengan dirinya yang selama ini berganti-ganti pasangan hanya untuk sekadar bersenang-senang semata. Dan, akan Ardo pastikan Fay termasuk dalam cewek seperti mereka.
Ardo menyeringai. "Setelah ini kita mau ke mana lagi?"
"Aku ingin pergi ke suatu tempat," jawab Fay cepat. Fay memakan suapan terakhir es krim dari tangannya, setelah itu ia memberanikan diri menatap Ardo. "Nanti a-aku yang tunjukkan jalannya."
Hening. Ardo tertegun di tempatnya. Ardo memandang Fay yang kini tengah duduk gelisah, takut akan penolakan Ardo. Alih-alih ardo menjawab pertanyaan dari Fay, pada menit kedua Ardo malah menunjukkan tawa gelinya.
Fay ternganga, ia tak sempat bertanya gerangan apa yang membuat Ardo tertawa, ia justru menikmati ketampanan Ardo yang semakin bersinar tatkala bibir itu merekah dengan indahnya.
"Usiamu berapa, Sayang? Caramu makan es krim kayak anak kecil tahu, enggak?" Ardo meraih tisu yang telah disediakan di atas meja dan segera menyapu lelehan es krim di bibir Fay dengan lembut. Fay mematung. "Tapi, enggak apa-apa, aku suka."
Deg! Jantung Fay kembali berulah. Wajahnya merah padam, malu bercampur senang manakala kata "suka" meluncur dari bibir Ardo.
Ia tak tahu sampai kapan rasa senang ini bisa bertahan menghampirinya, yang ia harap semoga rasa bahagia ini tak akan berakhir.
***
Kerumunan berbagai macam orang dari beraneka kalangan usia bercampur menjadi satu di sebuah lokasi yang kata orang tempat untuk menghibur diri, melepaskan lelah, maupun bagi para muda-mudi berkencan. Pencahayaan kelap-kelip, warna-warni yang begitu indah menambah keseruan malam ini. Di mana lagi kalau bukan di pasar malam.
Hampir semua penataan dekorasi di setiap stan menampilkan berbagai jenis makanan, pakaian dan pertunjukan.
Di tempat inilah yang Fay maksud. Fay memang sengaja mengajak Ardo ke pasar malam tidak bermaksud untuk berbelanja atau apa, melainkan ingin mencoba beberapa wahana yang ada.
Pasar malam memang suatu hiburan masyarakat sederhana karena di sana banyak wahana yang bisa kalian coba dengan harga tiket murah, tapi bagi Fay dari letak kesederhanaan itulah keceriaan tercipta. Membuatnya selalu nyaman berada di antara mereka.
Di saat Fay sibuk mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, beda lagi dengan Ardo yang saat ini tengah dibuat terheran-heran akan tingkah Fay yang lebih memilih pasar malam untuk kencan pertama mereka.
Bukan berarti Ardo tidak pernah ke tempat semacam ini, ia beberapa kali juga telah menikmati wahana di dalamnya. Hanya saja, bila bersama teman kencannya, sekalipun mereka tak ada yang mau jika diajak ke sini. Katanya, misal terjadi hujan, maka pasti jalannya akan becek dan faktor itulah yang banyak dijadikan alasan cewek sombong, manja seperti mereka.
Sementara Fay, ia tak mengerti jalan pikirnya. Menurut Ardo, Fay tergolong cewek dari keluarga yang kaya raya. Bisnis keluarganya berkembang pesat sampai di beberapa kota. Hidupnya jelas tak akan jauh dari kata glamor. Akan tetapi, apa yang ia lihat sekarang, Fay ikut berbaur bersama mereka tanpa ada rasa risi sama sekali.
"Kau sering ke sini, Sayang?" tanya Ardo setelah melihat langkah Fay terhenti di sebuah stan permainan lempar gelang.
Seketika Fay menoleh dan terperanjat begitu mengetahui Ardo ada di sampingnya. Ia hampir lupa kalau ia datang tak sendiri. "Eee ... enggak juga. Pasar malam ini diadakan enggak setiap hari, biasanya tiga bulan sekali, jadi ya ... aku ke sininya juga enggak setiap hari," terang Fay lalu tersenyum menatap Ardo.
Ardo terpana menatap senyuman Fay yang teramat manis, tapi saat itu juga ia segera menepis perasaan yang tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Ia berdeham sebentar. "Sendirian saja?"
Fay mendesah ketika lemparannya tak satu pun membuahkan hasil. Padahal ia sudah mengarahkan lemparannya ke salah satu gelas yang bernomorkan sembilan.
"Enggak. Terkadang ditemani sama Mama dan Papa, kadang juga sama teman-teman." Fay berpaling ke arah Ardo, hanya sejenak lantas memulai membidik angka nomor sembilan lagi.
Ardo sendiri mengikuti arah pandangan mata Fay yang tertuju pada nomor sembilan kemudian beralih ke rak hadiah bernomorkan yang sama. Ardo mengernyitkan keningnya. Biasanya kebanyakan cewek akan memilih hadiah boneka, kenapa Fay malah menginginkan bingkai foto?
"Duh, gagal lagi!" gerutu Fay pelan. Tanpa sadar Fay mengentakkan kakinya berulang kali namun terlihat menggemaskan di mata Ardo.
Ardo terkekeh dan mengambil alih dua gelang yang tersisa dari tangan Fay. Dalam sekali lemparan, dua buah gelang tersebut meluncur sukses ke nomor sembilan dan empat. Sontak Fay terpukau atas aksi heroik Ardo.
"Untukmu, Sayang," ucap Ardo seraya menyerahkan bingkai foto dan cokelat dengan gaya cool-nya.
"Makasih, S-sayang," jawab Fay tergagap dan salah tingkah menyadari kekakuan lidahnya ketika mengikuti panggilan sayang seperti Ardo.
Refleks Fay membenamkan wajahnya dibalik bingkai foto pemberian Ardo. Ia sungguh malu. Sedangkan Ardo mati-matian menahan senyumnya. Ia tak mau jika nanti kelepasan tertawa malah akan mengakibatkan Fay semakin canggung kepadanya.
"Itu ada es krim. Mau ke sana?"
Serta-merta Fay menegakkan wajahnya kembali lalu menggeleng kuat. "Enggak. Aku mau yang di sana."
Tanpa menunggu jawaban Ardo, Fay langsung berjalan agak cepat sambil mendekap erat bingkai foto pemberian Ardo. Ia sangat senang akhirnya bisa mendapatkan hadiah incarannya.
Dari awal ia memang bermaksud hasil foto dia dan Ardo waktu di photobox akan ia pasang di bingkai foto tersebut dan nantinya akan ia taruh di atas meja belajarnya. Ia tersenyum sendiri membayangkan foto mereka sebentar lagi akan selalu bisa ia lihat kapan pun ia mau.
Fay berhenti di jajanan pentol goreng dan mengambil beberapa tusuk. Ia membalikkan badannya, niatnya akan membagikan pada Ardo, tapi dengan sengajanya Ardo menggeleng dan menunjuk bibirnya.
Gleg! Fay tahu arti kode itu. Ia menelan ludahnya susah payah dan agak ragu ia menyuapi Ardo dengan menahan napasnya beberapa detik. Karena akan sia-sia jika ia berusaha mengontrol jantungnya yang berdetak tak normal begini. Terlalu cepat, seolah-olah dengan sekali tarikan napas bunyi jantungnya akan meledak seketika itu juga.
Fay berlanjut ke stan jajanan lainnya, satu alasan ini juga yang membuat Fay tadi tak mau makan di mall, karena ia ingin menikmati sensasi berpetualang aneka jajanan di antara banyak orang di pasar malam.
Kali ini Ardo menggenggam erat tangan Fay dan menuruti semua kemauannya, tentunya diiringi banyak tatapan iri dan memuja para cewek dan cowok yang dilewatinya.
Kaki Fay sangat lincah bergerak ke sana kemari dengan wajah berseri-seri seperti anak kecil yang senang menemukan dunianya sendiri.
Ardo mengikuti ke mana pun Fay pergi. Dari saling mencicipi jagung bakar, kacang rebus, es putar sampai arum manis. Tak lupa juga mereka menaiki beberapa wahana seru, salah satunya: roller coaster, ombak banyu, perahu layar besar yang digantung dan dibiarkan berayun ke depan belakang, dan yang terakhir sekarang mereka mulai menaiki wahana yang paling romantis yang belum pernah Fay coba, lebih tepatnya Fay dengan sengaja tak pernah ingin menaiki wahana satu ini meskipun atas paksaan dari teman-temannya.
"Kenapa? Kok, tegang?" tanya Ardo. "Jangan bilang kau belum pernah naik bianglala?"
Fay menggeleng sembari menggigit bibirnya. Kedua tangannya meremas kuat sweater rajut berwarna merah marun yang ia kenakan.
Mungkin benar ia sengaja tak pernah mau menaiki bianglala sebelum ia merajut kasih dengan pasangannya kelak. Suatu hari nanti ia pengin merasakan romantisnya saat berada di atas bersama kekasihnya. Melihat panorama indah dari atas, menyaksikan pemandangan pasar malam dari ketinggian. Alasan konyol memang, tapi itulah keinginan sederhana Fay.
Dan sekarang waktu itu telah tiba. Akan tetapi, jangankan menikmati pemandangan sekitar, ia bahkan tak sanggup menggerakkan badannya walaupun hanya seinci. Lebih-lebih lagi dalam keadaan genting seperti ini ketika mesin harus mati dan mengakibatkan bianglala berhenti berputar. Sontak Fay menutup matanya erat-erat dan keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya.
"Fay, tenang. Aku di sini, oke," ucap Ardo sembari berdiri dan mendekati Fay. Rasa khawatir tiba-tiba menyelusup ke dalam hatinya.
Fay tetap bergeming. Ia merasa seakan-akan telinganya berubah tuli. Hanya dengungan dan potongan-potongan gambaran kecelakaan yang keluar dari imajinasi ketakutan yang menguasainya sekarang. Fay sangat takut. Takut jikalau sesuatu yang buruk akan terjadi.
Perlahan Ardo meraih jemari Fay, mengajaknya berdiri. Ia sedikit lega ternyata Fay masih merespons sentuhannya dan turut berdiri meskipun agak ragu dan tegang.
"Fay? Hei, tenanglah. Enggak akan terjadi apa-apa." ujar Ardo seraya memegang kedua pundak Fay serta membimbingnya secara perlahan. "Buka matamu, Sayang. Please."
Bagaikan sebuah hipnotis, Fay perlahan berani membuka matanya namun tiga detik setelahnya, lagi-lagi Fay menutup matanya lalu spontan memeluk Ardo erat kala ada pergerakan tempat yang ia pijaki hanya turun satu tingkat kemudian berhenti lagi.
"Enggak apa-apa. Kayak gini sudah biasa." kata Ardo berbisik di telinga Fay sembari mengelus rambut panjangnya. "Aku akan menjagamu, Fay. Percaya sama aku."
"A-aku takut, Do. Aku—"
"Ssttt, nggak ada apa-apa. Oh, ya, bukannya kau tadi enggak takut naik roller coaster, kenapa naik bianglala malah takut, hm?"
"I-itu, kalau naik roller coaster aku bisa teriak, tapi kalau naik ini, aku 'kan enggak mungkin teriak, Do." Fay semakin menenggelamkan wajahnya di dada Ardo. Kontan Ardo tertawa dan saat itu juga ia pun mendapat tambahan hadiah cubitan dari Fay di perutnya.
Fay malu sebenarnya mengatakan itu semua. Tapi mau bagaimana, sudah terlanjur. Tidak mungkin ia menarik kata-katanya sendiri.
Tawa Ardo mulai mereda dan kini bergantikan kekehan halus dari bibirnya. Ia tak menyangka seharian ini bisa menemukan berbagai macam sifat di diri Fay. Selain pemalu, apa adanya, lugu, ia juga bisa ceria, cengeng, penakut, lucu, bikin gemas dan terkadang bisa manja juga. Kombinasi yang begitu unik.
Senyum miring Ardo terbit. Wajah keras dan datarnya pun ikut menghampirinya.
Permainan akan semakin menarik, Fay. Tunggu saja.
Sepersekian detik wajahnya kembali melembut. "Sekarang sudah enggak takut lagi, 'kan?" Sunyi. Dahi Ardo berkerut. Kini ia beralih mengangkat dagu Fay untuk menatapnya. "Sayang, kau sudah merasa—"
Kalimat Ardo terhenti tatkala tatapannya beradu dengan manik mata Fay. Tatapan polos bagaikan anak kecil yang selalu menarik hati dengan menyuguhkan mata bening yang indah dihiasi bulu mata yang lentik.
Pandangannya kini mulai merambah ke bagian alis tipis Fay, wajah putihnya yang polos dan cantik, hidung mancung, bibir tipisnya yang berwarna pink natural.
Tiba-tiba Ardo semakin tertarik untuk mendekat, ia menundukkan kepalanya dan menyapukan bibirnya ke bibir Fay yang kini tengah terkejut atas apa yang dilakukan Ardo. Hanya sebentar, karena selanjutnya Fay lebih memilih menutup matanya dan membiarkan Ardo menciumnya walaupun bianglala sudah bergerak seperti semula.
Dan itulah awal ciuman pertama bagi seorang Fay yang membuatnya terhanyut ke dalam cinta yang tak bertepi walaupun ia harus rela menanggung rasa sakit dan lukanya setiap hari.
Hanya teruntuk cinta yang entah sampai kapan terbalaskan.
............................***..................................
ARDO :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top