3. Rencana Awal

Fay dan Ardo sekarang berada di luar, tepatnya di taman bagian belakang rumah. Karena Fay sendiri lebih suka melihat bintang, ia akhirnya berdiri di sini, di sebuah gazebo yang di sekelilingnya terdapat berbagai macam tanaman bunga dan beberapa lampu berwarna kekuningan untuk menerangi malam ini.

Fay menghirup udara malam dengan memejamkan matanya. Sejuk dan lega rasanya.

"Kau suka bintang atau malam?" tanya Ardo. Kini Ardo telah berada di samping Fay, sama-sama memandang bintang yang jauh di langit.

Fay berpegang pada pagar kayu di depannya, menikmati udara yang bertiup tanpa terhalang penutup pada tiap sisinya. "Aku lebih suka bintang."

"Kenapa?" tanya Ardo sembari menatap Fay dengan rasa ingin tahu.

Fay menoleh sejenak ke arah Ardo, ia tersenyum lalu kembali memandang bintang. "Kalau dalam gelap, bintang masih akan bisa memberi kita harapan. Sedangkan kalau malam, aku rasa semuanya akan terasa gelap tanpa ada setitik harapan apa pun."

Ardo tersenyum kecil. "Apa itu berarti tiap ada harapan, kau selalu menatap bintang?"

"Enggak selalu, sih. Cuma ... kadang-kadang." Fay kontan menunduk menutupi rasa malunya.

"Sering juga enggak apa-apa kok."

Fay mencoba mendongak menatap Ardo. Begitu ia tahu Ardo memandangnya dengan mata tajamnya, seketika ia kembali menunduk dan refleks mundur. Gadis itu tidak mau Ardo sampai mendengar detakan kencang jantungnya.

"Kau selalu seperti ini?"

"Hah?" Fay tidak sepenuhnya mengerti apa yang ditanyakan Ardo.

"Selalu menunduk setelah mengatakan sesuatu?" tanya cowok bersuara bass itu sembari menilik perubahan raut wajah Fay yang bingung menjawab pertanyaannya. "Apa kau gugup aku di sini?"

Fay terkesiap. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, akan tetapi jawabannya bertolak belakang dengan gerakan tubuhnya yang lain.

"Kau yakin?" Pria itu berjalan maju perlahan mendekati Fay, sementara Fay mundur dan mengalihkan pandangan ke tempat lain. "Masih enggak mau ngaku, ya?"

"I-iya deh, aku ngaku. A-aku memang gugup."

Serta-merta Ardo tergelak dan menjauh beberapa meter dari Fay. Ia sempat berpikir, ternyata masih ada juga cewek sejujur Fay.

Tapi tak lama kemudian ia kembali mendekati gadis itu. "Kau punya kekasih, Fay?"

"A-apa? K-kekasih?" Fay mengulang pertanyaan dari Ardo.

"Ya. Kekasih," kata Ardo memperjelas. "Jangan bilang kau enggak pernah pacaran, Fay!"

Fay menggeleng dengan rasa malu, sedangkan Ardo menatap Fay dengan ekspresi kaget dan tak percaya. Ia tak menyangka Fay sangat lugu dan polos. Ardo tidak tahu saja, banyak sekali cowok yang menginginkan Fay menjadi kekasih mereka, hanya saja Fay tidak pernah menerima jika tidak berdasarkan cinta.

"Serius? Belum pernah sama sekali?" Fay mengangguk lagi. Ardo membelalak.

"Kenapa? Apa salah jika ada yang belum pernah pacaran sepertiku?" Fay menatap Ardo untuk menuntut jawaban, tapi setelah matanya bertemu dengan mata hitam Ardo, ia kembali mendadak grogi dan salah tingkah.

Ardo tertawa kecil. "Maaf, jika pertanyaanku terdengar seakan menyinggungmu. Enggak ada yang salah, cuma heran saja, cowok bodoh mana yang enggak tertarik dengan cewek secantik kau, Fay."

Seketika wajah Fay merona merah tanpa bisa dicegah. Fay baru menyadari ini kali pertama ia merasakan jantung berdebar saat menatap manik mata seorang cowok, salah tingkah dan serba salah saat berada di dekat seseorang, serta wajah memerah dan panas saat si cowok memuji kecantikannya. Dan cowok itu hanya Ardo yang bisa membuat Fay tak berdaya akan sikap dan pikirannya.

"Makasih," respons Fay, lagi-lagi kembali menunduk. Ardo tersenyum geli sambil menekan tombol lampu di sebuah tiang sisi kanan gazebo.

Beberapa detik kemudian lampu yang awalnya kuning berubah menjadi putih terang di sepanjang jalan menuju taman. Fay tercengang ketika tanaman bunga di sekelilingnya sekarang terlihat lebih jelas di depannya. Ia kagum begitu banyak beraneka macam bunga di taman ini.

Kedua alis Fay bertaut dan melangkah keluar dari gazebo mendatangi sebuah tanaman bunga yang ia rasa unik. Fay menyentuh tanaman bunga hias yang berwarna merah dan tak berbatang serta daunnya berbentuk memanjang, berwarna hijau dengan pinggiran daun bergerigi besar.

"Itu namanya bunga gerbera. Di Indonesia bunga ini lebih dikenal sebagai herbras."

Fay terkesiap dan menoleh ke sumber suara di belakangnya. "Aku menyukai macam-macam bunga, tapi, eee ... belum pernah melihat dan mendengar nama bunga ini."

Ardo menatap mata Fay yang bening dan polos. "Nama latinnya Gerbera jamesonii. Bunga ini merupakan salah satu bunga pendatang dari luar negeri, masuk ke Indonesia sekitar abad 19. Dan juga, merupakan bunga potong yang paling banyak diperdagangkan di dunia bersama-sama dengan bunga mawar, anyelir, seruni dan tulip."

"Ah, bunga kesayanganku!"

Ardo mengangguk pelan, terasa bingung juga melihat mata Fay berbinar-binar bagaikan mata kucing yang imut. "Kenapa? Apa dari nama bunga yang aku sebutkan, ada salah satu yang kau suka?"

Fay mengangguk-angguk dengan antusias. "Ya. Aku sangat suka nama bunga terakhir yang kau sebut."

Sebelah alis Ardo terangkat. "Tulip?"

"Ya. Aku suka sekali bunga tulip." Senyum Fay merekah. "Bagiku bunga tulip merupakan bunga yang paling menarik dengan penuh kesederhanaan."

Fay mengedarkan pandangannya, lantas menghampiri bunga tulip yang tak jauh dari posisinya berdiri. Ia berjongkok dan menghirup wangi bunga tulip berwarna putih yang berada dalam pot di bawahnya. "Sesederhana warnanya yang putih ini."

"Sesederhana seperti orangnya juga, 'kan?" Ardo tersenyum manis, sementara Fay terkejut saat mendapati Ardo di sampingnya dengan jarak yang begitu dekat.

Jantungnya kembali berdetak cepat, dan rasa panas menjalar di sekujur tubuhnya. Ia mencoba berpaling untuk menyembunyikan rona merah di sekitar pipinya, namun suara dari Ardo kembali menyapa pendengarannya. "Kau tahu arti dari tulip merah ini, Fay?"

Fay menggeleng polos.

"Tulip merah memiliki arti sebagai pengakuan cinta. Orang-orang banyak menggunakan tulip merah untuk melamar wanita yang dicintainya."

Deg!

Degup jantung Fay kian meliar manakala dugaan dalam pikirannya semakin kuat. Tatapan Fay tak pernah lepas dari gerakan tangan Ardo yang memetik salah satu bunga tulip merah.

"Tulip merah adalah lambang keyakinan cinta, sehingga cinta sejati dapat dikaitkan dengan bunga tulip merah ini." Tubuh Fay kian menegang tatkala Ardo menatapnya intens. "Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku pikir lebih cepat lebih baik. Fay, maukah kau jadi kekasihku?"

Sontak bola mata Fay membulat sempurna. Ia sangat terkejut akan pernyataan mendadak dari Ardo. Ia semakin merasa ada yang aneh. Bukankah ini terlalu cepat?

Bukannya Fay tidak mau, karena sudah jelas dari awal memang Fay telah mengakui perasaan cintanya untuk Ardo. Tapi, kalau Ardo? Ia rasa tidak akan secepat itu Ardo menyadari perasaannya, apalagi awal perkenalan tadi, ia yakin bahwa sikap Ardo terlalu dingin dan bahkan bisa dibilang Ardo terlihat membencinya.

Tapi, bukannya dalamnya hati tidak ada yang pernah tahu? Fay merenung, mungkin saja dari awal Ardo sudah tertarik padanya atau bahkan merasakan cinta yang sama seperti dirinya. Bisa saja, 'kan? Ya. Semoga saja.

"Fay? Apa aku boleh meminta jawabannya sekarang?" Fay tersentak akan suara lembut Ardo. Matanya mengerjap-ngerjap lucu. "Kau sangat cantik, Fay. Semoga saja aku bisa menjadi cowok yang paling beruntung mendapatkanmu. Jadi, apa jawabanmu, Fay?"

"A-aku—" Fay tergagap dan berulangkali membasahi bibirnya yang hanya terpoles lip gloss berwana pink natural.

"Ya?" Ardo makin mendekat merapat ke tubuh Fay. Hampir tak ada jarak sama sekali, sampai-sampai harum parfum Ardo menguar dan langsung menyapa indra penciuman Fay.

Gadis itu mengaku kalah akan kecurigaan tentang Ardo, hatinya lebih mendominasi daripada logikanya. Pesona Ardo memang begitu kuat. Ia tak mampu menghindar ketika harapannya kali ini sudah di depan mata.

"A-aku mau jadi kekasihmu, Do," jawab Fay akhirnya.

Ardo menatap Fay dengan seulas senyum manis yang membuat tubuh Fay bergetar. Wajah Ardo makin bertambah dekat hingga hembusan napasnya menerpa kulit wajah Fay namun juga membuat matanya tak teralihkan.

Ardo sangat menyadari jika Fay sangat gugup dan tegang. Tapi bukan Ardo namanya jika dia tak mampu menyelesaikan rencananya berakhir dengan indah sesuai kemauannya.

"Makasih, Fay," bisik Ardo tepat di telinga Fay, kemudian beralih mengecup pipi Fay singkat.

Seakan terkena listrik bertegangan tinggi, tubuh Fay bereaksi dengan cepat. Seketika tubuhnya kaku, napasnya seolah-olah berhenti sejenak. Kontan ia menunduk malu. Fay tak pernah membayangkan ternyata begini rasanya dicium oleh seseorang yang sangat ia cintai. Sangat membahagiakan.

Hening selama beberapa saat, kemudian Ardo memutuskan untuk mengajak Fay ke dalam.

"Ayo kita ke dalam. Dingin banget di sini, nanti takutnya kau sakit, Fay," ucap Ardo lembut dan disambut anggukan Fay.

Ardo menggenggam tangan Fay kuat, seolah-olah menegaskan tidak ada yang mampu mengalahkan pesonanya. Ia tersenyum menang. Rencana awal sudah berada di genggaman!

***
Di depan orang tua mereka, Ardo nekat meminta izin untuk mengajak Fay berjalan-jalan di hari minggu besok.

Di luar dugaan, mereka semua bertepuk tangan dan bersorak hore. Seperti layaknya remaja alay, kedua orang tua mereka saling berpelukan hingga membuat Ardo dan Fay geleng-geleng kepala, pasrah.

"Kau enggak keberatan 'kan, sayang?" tanya Ardo.

Fay tak bisa menjawab hanya mampu menggelengkan kepalanya, karena lidahnya sendiri kelu hingga tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun saking bahagianya.

Sayangnya Fay harus terpaksa ikut pulang saat mama dan papanya berkata sudah terlalu malam. Dari sorot matanya Fay sebenarnya enggan untuk berpisah dari Ardo. Dia hanya takut status ini hanya ada di dalam mimpinya. Seandainya saja ini memang benar berupa bunga tidurnya, ia berharap tidak akan pernah terbangun dalam alam mimpi yang indah ini.

Fay beserta keluarganya akhirnya pamit pulang. Ardo berlari dan membuka pintu mobil untuk Fay yang disambut oleh godaan dari kedua orang tuanya.

Saat mobil Fay sudah tidak terlihat lagi, papanya bersiul di depan Ardo dan menggodanya habis-habisan.

"Jangan lupa, Pa!"

Dahi papanya berkerut. "Soal apa?"

"Enggak usah berlagak lupa. Siapkan saja hadiah mobil yang kita sepakati." Ardo menyeringai. "Fay tadi sudah resmi jadi pacar Ardo, Pa."

Mata papanya melotot. "Apa??"

...............................***..............................
Akan semakin seru kelanjutannya.
Coment ya😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top