11. Siswa Baru
Sepasang bola mata menatap risau ke arah pintu masuk kelas. Ia sedari tadi duduk di bangkunya dengan gelisah. Jemari terasa dingin, jantung yang berdetak semakin cepat, serta tubuh menggigil setiap kali bayangan sang pria melintas di benak.
Ia melirik sekali lagi benda pipih yang melekat di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 7.20 pagi. Kurang sepuluh menit lagi bel akan berbunyi, namun, pria yang ia tunggu belum juga datang.
Ia menghela napas panjang. Jemari tangannya berketuk-ketak di atas meja sembari tatapannya tak pernah berhenti memandang pintu masuk.
Sementara Septi—teman sebangkunya—mengernyit bingung melihat tingkah Fay.
"Fay, kau ini kenapa?" tanya Septi setelah ia menyerah menebak gerak-gerik Fay.
Fay tersentak. "I-itu, a-aku—" ucapannya terhenti begitu seseorang yang ia tunggu memasuki kelas.
Spontan kepalanya memutar ke arah datangnya si pemilik hati. Jantung itu kembali berulah saat tatapan mereka bertemu dalam beberapa detik. Ada rasa senang juga ketika ia tak mendapati cewek mana pun bergelayut manja di lengan kekasihnya.
Serta-merta Septi menggeleng-gelengkan kepalanya begitu tahu apa yang menjadi penyebab sahabatnya bertingkah aneh pagi ini. Septi tersenyum geli mengingat segugup apa Fay tadi.
Dan, tatkala kesadaran memenuhi pikiran Fay, seketika ia menunduk dan mencari buku catatan yang menjadi tujuan utama. Ia mengaduk isi tas. Tangannya memilah beberapa buku, dan mengambil salah satu buku yang bersampul warna biru.
Fay menghirup napas panjang melalui hidung, lalu diembuskannya dari mulut. Ia mencoba mengatur napasnya agar bisa sedikit lebih tenang. Matanya pun terpejam sejenak, sebelum akhirnya ia berdiri dan menghadap Ardo.
Di tempat duduknya, Septi terus saja memperhatikan Fay.
"Ini. Buat kau, Do." Ardo mengangkat sebelah alisnya dan melemparkan tatapan bertanya. "Kemarin jam pelajaran ketiga, aku lihat kau enggak ikut pelajaran Pak Ahsan. Ujian nasional semakin dekat, aku enggak mau kau sampai tertinggal pelajaran." Fay membasahi bibirnya dengan perasaan gugup. "Jadi, emm ... aku sudah salin semua penjelasan beliau di buku ini dan sudah kukasih tanda untuk rumus mana saja yang bisa dipakai agar bisa cepat mengerjakan soal."
Ardo bergeming, masih menatap lurus ke dalam mata Fay. Tangannya mulai meraih buku pemberian gadis itu, membuka beberapa lembar kertas yang sudah terisi banyak rumus dan penjelasan dengan tulisan tangan yang sangat bagus dan rapi.
Deni yang duduk diam saja sedari tadi, ikut menyikut lengan Ardo. Memberikan peringatan melalui matanya bahwa Fay masih berdiri, menunggu balasannya.
Ardo menghela napas lalu mengangguk pelan. "Thanks, ya."
Fay mengangguk-angguk kecil.
Rona merah tercetak di kedua pipi Fay. Ia menunduk, menyembunyikan senyum bahagia di bibirnya. Astaga, ia bahkan tak habis pikir, hanya sebuah ucapan kata "terima kasih" saja, sudah berhasil menimbulkan euforia seperti ini.
Septi menahan tawa, bersandar pada dinding di sampingnya sembari melihat tingkah lucu Fay jika sudah berdekatan dengan Ardo. Benar-benar sesuatu yang menghibur dirinya.
Beberapa detik keheningan tercipta di antara mereka berdua. Fay masih belum bisa menggerakkan seinci pun kakinya untuk sekadar melangkah menuju bangkunya sendiri. Ia merasa kakinya memiliki akar dan menancap kuat pada lantai, sehingga teramat sulit digerakkan, apalagi di saat mata hitam milik Ardo menghujaninya dengan tatapan yang sulit ia artikan.
Beruntung, tiba-tiba ada Bu Siska datang menyelamatkannya, menarik kesadaran Fay untuk segera kembali duduk di bangku semula. Suara gaduh kelas pun langsung sunyi karena kehadiran beliau, terutama pada sosok siswa yang berdiri di sampingnya.
"Anak-anak, Ibu minta perhatiannya sebentar." Suara itu menggema di seluruh ruangan, cukup menyita perhatian para siswa-siswi di dalamnya. "Karena Pak Bandi hari ini ada keperluan mendadak, maka untuk penyambutan dan perkenalan untuk siswa baru, kali ini diserahkan kepada saya." Bu Siska beralih pada siswa tersebut dengan senyuman ramahnya. "Nah, kamu bisa memperkenalkan diri pada teman-temanmu yang ada di sini."
Siswa tersebut tersenyum seraya mengangguk. Tatapannya menyapu seluruh ruangan kelas yang sudah dipenuhi tatapan terpesona dari para cewek, termasuk Sisil yang pandangannya tak mau teralihkan ke tempat lain.
Namun sayang, dari sekian cewek di depannya, ternyata cowok itu hanya tertarik pada satu cewek yang kini tengah membelalakkan matanya tak percaya. Cewek yang menjadi faktor utama kepindahannya kali ini.
"Eh, eh, kenalannya nanti sebutin nomor handphone-nya sekalian, dong," serobot Ratna, salah satu teman Sisil. Ia sontak menciut ketika mendapat pelototan tajam dari pemimpinnya.
Sisil berdeham dan berdiri sambil mengangkat sebelah tangannya.
"Ada apa, Sil?" tanya Bu Siska.
"Aku mau tanya sama cowok keren di depan kok, Bu." Suara sorakan terdengar di mana-mana. Sisil tak peduli, matanya sudah keburu berwarna ijo melihat sosok idamannya yang lain telah berdiri di depan papan tulis. Senyumannya merekah dengan gaya anggun yang sengaja ia buat-buat. "Eee ... situ sudah punya pacar belum?"
Hening menyelimuti, lalu sedetik kemudian meledaklah suara tawa seisi kelas. Semua berbau meledek. Bagaikan perang dunia terbalaskan, para musuh bahkan semua di antara siswa-siswi yang selama ini tak suka dengan kelakuan Sisil, semuanya kompak menertawai Sisil segempar dan sekeras yang mereka bisa. Bahkan Bima memakai kedua tangannya menabuh meja dengan pukulan bertubi-tubi, sementara si Hari ikut berpartisipasi berteriak ala Tarzan dan bertepuk tangan dengan semangat, menambah kegaduhan.
Semua menjadi kacau dan gempar. Mereka seakan lupa masih ada guru di depan sana.
Sisil melotot seraya berkacak pinggang. "Heh, kalian. Memangnya apa yang salah? Aku cewek, wajar dong tanya begituan."
Mulut Septi gatal, lantas ikut menyerang. "Iya, Sil, iya. Wajar, kok. Apalagi kau macam cewek ayan. Tahu 'kan, ayan? Penyakit kalau kambuh bisa kejang-kejang tuh, persis kayak kau. Ada cowok keren sedikit, langsung kumat deh, ayannya."
Suara tawa kembali menggelegar layaknya gemuruh ombak di pantai. Wajah Sisil sudah berubah merah padam. Ia benar-benar malu ditertawai habis-habisan oleh teman-temannya. Dan, biang kerongnya selalu Septi.
"Sudah-sudah. Kalian akan Ibu hukum semua jika tidak mau diam!" Bu Siska mengentakkan penghapus segi panjang pada papan tulis. Kontan semua terdiam, kaku. "Sekarang, kamu bisa lanjutkan perkenalannya."
Siswa itu mengangguk santun, dan segera kembali memfokuskan perhatiannya pada seluruh teman barunya.
"Nama saya, Reza Ardian. Kalian bisa panggil Reza."
"Namanya saja keren, sekeren orangnya," ucap salah satu cewek yang refleks menutup mulutnya tatkala Bu Siska melirik tajam ke arahnya.
Memang jika diperhatikan, Reza juga tak kalah tampan dengan Ardo. Reza mempunyai rahang tegas, alis tebal, wajah bersih dan hidung yang mancung. Mungkin yang membedakan dari segi tinggi badannya. Ardo lebih tinggi beberapa sentimeter dan tegap badannya. Tatapan Ardo juga lebih tajam ketimbang Reza.
Bisa dikatakan, Reza ini sikapnya lebih ramah dan manis daripada Ardo. Tatapannya membuat tenang bagi siapa saja yang memandangnya. Tidak heran, para cewek di kelas XII IPA 1 ini seperti ikut terhanyut ke dalam mata jernihnya. Dan juga paras wajahnya.
"Saya pindahan dari SMA 1 Persada," lanjut Reza.
Seketika semuanya mengarah pada satu cewek yang kini terlihat terkejut.
"Baiklah, sekarang Reza bisa duduk di sebelahnya Hari."
"Terima kasih."
Reza melangkah dengan santai. Pandangannya tetap terpaut pada satu gadis berambut panjang gelombang itu.
Langkahnya terhenti tepat di sisi gadis yang kini tengah mengerjap. Ia tersenyum geli melihat tingkah menggemaskan si gadis, dan ia juga rindu akan semua yang ada padanya.
Reza menunduk. Menunjukkan senyuman hangatnya. "Hai, Fay. Senang, akhirnya aku bisa melihatmu lagi."
.............................***............................
Ini dia siswa baru kita, REZA.
2 Bab selanjutnya bisa dibaca di aplikasi KBM App ya, bisa download di play store di hp kalian masing-masing.
Terima kasih😊🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top