Tujuh

"Lo masih perawan?"

Aku langsung membekap mulut Dinda yang seperti petasan tahun baruan. "Nggak perlu pakai toa juga kali," balasku sambil melepas tanganku dari mulutnya.

"Trus dua malam ini kalian ngapain? Tadarusan? Main catur? Jaga lilin?"

"Yaaa... tidur," jawabku malu. Apalagi semalam, ketika aku sampai kamar, aku menemukan Panji sudah terlelap dengan lengan menutupi matanya. Lalu ketika bangun, mulut Panji seperti tertempeli lem alteko. Tertutup rapat. Diam. Berbicara hanya jika diperlukan saja. Sampai kami pindahan rumah pun, dia masih berkata seadanya. Padahal dia berbicara banyak pun tak mungkin diminta tagihan berapa kata yang udah diucapkan. Emang parah om satu itu.

"Terus ilmu yang selama ini gue ajarkan mubazir dong?" tanya Dinda, tingkat penasarannya memang melambung tinggi.

Aku mengedikan bahu.

"Ajaran dari si Kila, percuma dong babe?" tanyanya lagi, kali ini dengan muka sok memelas.

Aku mengangguk. "Ajaran si Kila, sesat begitu. Nggak ada yang bener. Ngikutin dia makin bubrah otak gue."

"Lagian kenapa sih, Nat? Apa yang membuat lo harus berfikir ribuan kali. Tinggal pasang badan, terus terima dengan hati legowo, keluar. Udah."

"Nggak segampang itu, gue sama Panji itu belum ada ikatan jiwa," sanggahku.

Iya, kan? Aku dan Panji itu memang hanya seperti dua orang asing yang secara terpaksa terjebak dalam buku nikah.

Dinda menatapku bingung, "ikatan jiwa apaan, sih? Cinta maksud lo?"

Aku mengangguk. Dinda menyerongkan badannya menghadap ke arahku. Aku menatapnya malas. Dinda ini otaknya sudah pindah ke selangkangan semenjak nikah, karena kebanyakan digauli suaminya.

"Dengarkan gue. Ini gue serius. Menurut artikel yang sering gue baca dan gue muntahi, pergulatan para kecebong-kecebong memperebutkan tahta di sarang induknya itu bisa jadi ikatan. Lem. Penyatuan antara lo sama Panji. Apa sih yang lo takutkan, Nat? Mau sekarang atau tahun depan, lo enak-enakannya juga pasti sama Panji. Mau nggak mau. Secara dia laki lo sekarang. Sah secara agama dan negara.

"Lagian ya, Nat. Siapa tahu setelah Panji sukses menyemburkan lelehan coklat putih di ladang lo, tiba-tiba lo panen rupiah berlimpah," ucapnya sambil cekikikan. Dinda pasti sedang membayangkan sesuatu. Sesuatu yang aneh.

Serius, analogi Dinda soal perkara beginian lebih rumit daripada kisah tukang bubur naik haji yang tak kunjung berakhir mengalahkan episode cinta fitri.

"Menyenangkan suami itu pahala. Hadiahnya surga. Bonusnya ATM, Credit card, sama mobil. Lagi ya, anak-anak kemaren pada ngiler lihat si Panji. Nggak kalah hawt sama Gibran. Bahkan si Kila aja siap jadi pemeran pengganti kalau lu nggak mau, katanya."

"Geblek lo!" Aku menoyor kepalanya ringan.

"Ih... orang serius juga. Laki itu yang penting perut kenyang, hasrat tersalurkan, mau lo minta tanah sehektar juga dia kasih." Dinda tersenyum menyeringai. "Asal ada duitnya, hahaha," lanjutnya.

Kan. Kan. Salah memang mendengarkan petuah si Dinda ini.

"Udah ah, capek gue ngomong. Tapi lo diem aja. Laki gue dah jemput di depan. Yuk?" ajaknya.

Aku beranjak dari kursi samping teras, masuk ke dalam rumah guna mengantar Dinda menemui suaminya yang sudah datang menjemput. Rumah ini, rumah Panji. Bangunan dua lantai dengan model minimalis. Cat dan segala furniturnya dominan putih gading. Memiliki ruang keluarga yang langsung menyatu dengan ruang tamu, sehingga membuat lantai bawah terlihat lebih luas.

Kulihat Panji dan Rivan sedang bercengkerama. Panji terlihat lebih rileks berhadapan dengan suami Dinda. Aku duduk di sebelah Panji. Tepat di sebelahnya. Hanya berjarak setengah jengkal, dan Panji tak menoleh satu derajat pun, saudara-saudara. Luar biasa!

Uuuh... Sakit hati Adek kau abaikan, Bang.

"Terus gimana prospek pembangunan hotel lo yang ada di Solo? Hotel apa itu namanya? Itu termasuk hotel bintang tiga, ya?" tanya Rivan.

Perbincangan lelaki memang berbeda dengan wanita. Lelaki yang dibahas, kalau tidak segala berbau otomotif, bisnis, ya olahraga. Lah kalau wanita? Baju, sepatu, dan berujung dengan hal- hal yang dianggap tabu.

"Saya serahkan semua pada adik saya. Biar dia yang mengelola semua. Hotel tersebut memang bisnis keluarga. Lagipula, mertua saya belum mau berpisah jauh dengan anaknya."

Oh... oh... aku bahkan baru mengetahui fakta teraktual ini. Aku menoleh ke arah Panji dengan tatapan menuntut penjelasan. Akan tetapi, dilihat dari frame hitam kacamatanya pun, dia sama sekali tak terusik dan tetap terlihat santai saja.

Ini manusia kenapa, sih?

"Pulang yuk, Yang? Keburu hujan." Dinda terlihat menarik lengan Rivan, mungkin menyadari atmosfer panas yang keluar dari dalam tubuhku.

Rivan dan Dinda berpamitan, aku dan Panji pun mengantar mereka hingga depan rumah. Rivan sudah duduk di atas motor Beat putihnya saat Dinda berbisik di telingaku, "Inget pesen gue, pakai lingeri, terus wewangian." Begitu katanya. Lalu mengecup pipiku sekilas.

"Balik dulu ya, Mas. Mumpung hujan, bisa anget-angetan," goda Dinda pada Panji.

Panji hanya tersenyum lalu mengangguk. Setelah Dinda duduk di boncengan Rivan dan berlalu, Panji membalikkan badan, masuk ke dalam rumah tanpa repot mengajakku. Aku mengekorinya memasuki rumah.

Panji ini ngambek gitu?

Iya?

Aku salah apa?

Kulihat Panji berjalan menuju dapur, mengambil air dalam panci kecil, dan merebusnya di atas kompor.

"Kamu lapar? Indomie mau?" Begitu tanyanya ketika aku berdiri di depan meja bar.

"Boleh. Enak mendung gini makan mi." Aku bersedekap di atas meja bar. Mengamati punggung milik Panji yang tertutup kaos putih.

Panji memotong kecil beberapa cabe rawit dan sayuran putih berlapis-lapis itu ke dalam panci. Terlihat sekali dia sudah terbiasa dengan yang dikerjakannya sekarang. Aku jadi merasa kebanting. Jangankan masak, aku membedakan lengkuas dan jahe saja tak bisa. Poor me.

"Kamu biasa masak, ya?" Aku bertanya saat dia membuka bungkus mi dan memasukan isinya dalam air rebusan.

Dia menoleh kepadaku, terlihat terkejut dengan pertanyaanku. "Kan di luar bungkusnya sudah ada cara pembuatannya."

"Ya... siapa tau, kan? Dulunya kuliah di luar negeri dan ngekos terus belajar masak. Kaya di novel yang sering kubaca."

Dia terkekeh. Eh... dia tertawa juga akhirnya setelah puasa ngomong dari semalam.

"Kamu kebanyakan baca cerita fiktif. Saya sekolah dan kuliah di Indonesia, dan nggak pernah ngekos."

Panji meletakkan dua mangkok mi yang tercium sedap di depanku. Padahal ini Indomie bukan Mie Sedap. Dia pun ikut duduk di sampingku. Mulai menyantap minya.

"Tapi pinter masak, ya."

"Kamu sendiri bagaimana?"

DEG! Dia nanya aku bisa masak apa tidak, kan?

Aku tersenyum polos. "Nggak bisa masak sama sekali, dulu waktu kecil pernah kesiram air panas karna mainan di dapur. Habis itu nggak pernah lagi menapakkan kaki di dapur. Tiap ke dapur diusir terus sama Mama karena menurutnya malah ngeganggu."

Agak malu juga sebenarnya mengetahui Panji lebih hafal perkakas di dapur daripada aku yang wanita ini. Tapi, mau bagaimana lagi?

"Jadi, pas kamu ngekos. Makan selalu jajan?"

Aku menelan mi dalam mulutku sebelum menjawab.

"Aku nggak pernah ngekos, tinggal jauh dari orang tua pun hanya sekadar study banding dan sejenisnya. Jadinya kolokan begini. Itu sebabnya orang tuaku minta kita nggak tinggal jauhan, ya?"

Kutatap Panji yang sedang memakan minya. Dia akan menggulung mi dengan garpu lalu menuangkannya di sendok. Baru memakannya. Benar-benar tak efisien. Membuang-buang waktu.

Tanpa aba-aba lebih dulu, Panji menegakkan wajahnya. Bola matanya bertemu dengan milikku yang tidak punya kesempatan untuk berpaling."Itu salah satunya. Alasan lainnya karena saya memang sudah terbiasa hidup di Jakarta," jawabnya kembali menekuni mie dalam mangkoknya.

"Jadi, kamu sama Gibran Wiratama udah pacaran sejak SMA?"

Heee... kok dia tau nama panjang Gibran?

"Iya."

"Oh...."

Lalu... Mengheningkan cipta, dimulai.

Setelah habis semua mi dalam mangkok. Panji berdiri, berjalan menuju tempat pencucian piring. Aku ikut berdiri setelahnya, membawa mangkokku dan berdiri di sampingnya.

"Aku bisa kalau cuma cuci piring kok," ucapku, mengambil spon cuci dari tangannya.

Aku menggeser badanku sementara Panji tak beranjak sejengkal pun dari tempatnya. Untuk seorang amatir sepertiku, mencuci dua mangkok, dua sendok, dua garpu, dan dua gelas memakan waktu lebih dari menit.

Setelah selesai, kubalikkan badan. Belum maju selangkah pun kakiku, jidatku sudah membentur sesuatu. Ketika kulirik ke atas, ternyata terbentur dengan bibir milik Panji. Panji terlihat menegapkan badannya. Tangannya kaku di kedua sisi, napasnya tidak beraturan. Ahaaay... si Om salting.

"Ehm... saya mau nonton televisi dulu," ucapnya, pergi meninggalkanku dengan wajah memerah.

Umur sudah 32 tahun, kebentur gitu doang salting? Padahal ini kali kedua dia mencium keningku. Ya, walau insiden tadi tak sengaja.

Kupegang keningku. Senyumku terangkat ke permukaan. Dadaku kembali berdetak tak menentu. Gila. Gila. Daripada aku semakin gila oleh penunggu dapur ini, kuputuskan melangkah memasuki kamar.

---

Aku menatap bayangan diri yang terpantul di kaca lemari. Tanktop pink ketat, celana hotpans sejengkal diatas dengkul, dan tali beha yang terlihat sebagai pemanis buatan. Kumiringkan badanku ke kanan dan ke kiri. Kubenarkan letak behaku, membuat isinya sedikit menonjol di balik tanktop. Kutarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Kulangi selama tiga kali. Sudah kubulatkan tekadku. Harus malam ini.

Ketika terdengar derap langkah kaki mendekat,aku langsung melompat ke atas ranjang. Menutupi seluruh tubuhku dengan selimut dan hanya menyisakan bagian mata hingga ke rambut.

Pintu terbuka. Dari ujung mata, aku memperhatikan Panji yang sedang melangkah memasuki kamar. Dia tidak langsung menghampiri ranjang, tetapi berbelok ke kamar mandi lebih dulu.

Jantungku berdebar tak karuan. Antara siap dan tidak siap. Antara takut dan berani. Membayangkan aku dan Panji bakal... itu, membuat bulu kudukku meremang. Cengkramanku pada ujung selimut semakin kuat.

Setelah menunggu beberapa menit, Panji keluar dari kamar mandi. Kulirik dirinya dari balik selimut. Panji keluar tanpa mengenakan kaos. Topless. Dengan boxer yang mencuat dari balik celana pendeknya. Dan jangan lupakan kacamata dengan frame hitam tebalnya.

Badan Panji tidak gelap, tidak putih. Sawo matang tapi bersih. Tak ada bulu sama sekali di dadanya. Tak ada pack di perutnya. Tak buncit juga.

Panji menatapku, kerutan langsung timbul dari keningnya. Kakinya berjalan mendekat ke arahku. Tak menghilangkan fokusnya dari aku.

Aku sendiri sudah panas dingin di dalam selimut. Gerah. Gerah karena tubuh Panji dan karena selimut tebal ini.

Ketika tiba di samping ranjang, Panji menunduk, meneliti diriku. Kulepaskan cengkraman tanganku di selimut. Lalu, memejamkan mata. Embusan napas milik Panji menerpa kelopak mataku, membuat bulu mata anti tornado itu bergoyang samba.

"Nat, ayo kita...."

Eng... ing... eng...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top