Tiga

"Om, serius mau nikah sama gue?" tanyaku pada lelaki yang duduk di kursi sebelahku.

Saat ini kami sedang duduk di teras samping rumahku yang langsung menghadap kolam ikan milik Mama. Setelah tadi sempat berbincang sejenak dengan keluarganya, Pakde Agus menyuruh kami pindah, mengobrol berdua di halaman belakang yang tujuannya untuk lebih mendekatkan kami. Katanya begitu. Akan tetapi, aku sebenarnya enggan.

"Memang kenapa kamu bertanya demikian?" Dia bertanya balik dengan kedua mata yang masih menatap lurus ke depan, ke arah kolam ikan.

Aku menoleh, menghadap lelaki itu. Dia tidak jelek, lumayan good looking, walau masih jauh dari standarku. Namun, dengan asetnya yang berlimpah, aku jamin banyak wanita realistis di luar sana yang pasti mau untuk diajak mengarungi kehidupan rumah tangga dengan sukarela, tanpa harus mengikuti proses perjodohan semacam ini.

"Om nggak jelek-jelek amat, duit juga banyak, masa depan terjamin, tapi kok mau-maunya terjebak dalam proses begini. Padahal tinggal tunjuk dedek gemes yang baru lulus sekolah juga pasti mau."

"Begitu, ya? Saya tidak berfikiran demikian. Kamu sendiri bagaimana?"

Kan, koplok ni orang! Pertanyaan belum dijawab, malah balik nanya.

"Gue dipaksa, Om," jawabku jujur.

Panji menghela nafas, "kalau saya, saya iklas menjalani semua ini."

"Yaelah, Om. Masa pasrahan begini? Yang sedikit laki, kek. Walau cuma omongan basa basi nggak ada bukti nyata, tapi pasti mampu membuat hati para wanita bahagia."

Sudut bibirnya berkedut, aku yakin melihatnya. Dia menahan tawanya dengan menipiskan bibir. "Baiklah, saya dengan senang hati menjalani perjodohan ini."

Sompret!

"Tapi, punya Om nggak encer, kan?" tanyaku, refleks.

Dia menoleh kearahku. Sebuah garis senyum melintang di bibirnya. Kupikir dia akan memuntahkan segala bentuk caci maki, tapi ternyata dia malah tersenyum. "Kita bisa tes kesehatan nanti. Atau kamu mau ngecek sendiri, punya saya encer atau tidak?"

Dih, males banget.

"Gue tanya sekali lagi ya, Om." Aku mengusap jam dipergelangan tangan kiriku, mencoba menghalau segala bentuk gugup di dalam diriku. Kebiasaan yang selalu aku lakukan tiap kali berfikir serius, "Om serius mau nikah sama gue? Ini nikah Om, bukan mainan." tanyaku kembali.

Dia menatapku seolah sedang berpikir, aku balas menatapnya. Dipikir aku takut apa? Cuma saling adu tatap saja!

Dia mengangguk, mengiyakan pertanyaanku. Dadaku rasanya kembang kempis sesak. Tuhan, dia serius mau nikah sama aku? Kenapa semudah itu dia yakin mau menikahi seorang gadis.

"Om nggak niat nyari yang lebih bohay? Ya, gue memang seksi memesona sih, tapi gue masih piyik, Om."

Dia tersenyum kembali, kali ini sedikit lebih lebar. Menampilkan sedikit dari deretan giginya.

"Nggak," jawabnya singkat, padat, dan jelas.

Jantungku berdetak tak menentu, aku tahu ini bukan perasaan cinta pada pandangan pertama. Aku yakin. Amat sangat yakin. Aku menggelengkan kepala, mencari cara kembali. Otakku sudah kusut, kalau mikir mendadak begini.

"Tapi nikah sama gue itu syaratnya banyak, Om. Sanggup nggak?" tantangku, kembali menatap pijar hitam pekat lelaki itu di balik lensa kacamata.

Merasa diperhatikan. Panji menengok, ikut menatapku sama intens dengan yang kulakukan saat ini, "Sebut saja."

Anjir, aku jual dia beli. Oke, kita lihat, Om.

"Gue mau tas Prada ori."

"Iya."

"Sepasang sepatu Louboutin."

"Boleh."

"Jalan-jalan ke Maldives, seminggu penuh."

"Oke."

"Terus ke Korea, keliling ke setiap sudut kota tanpa terkecuali."

"Noted."

Argh, ini orang sehat apa obatnya sudah habis, sih?

"Gue mau, undangannya jangan pakai nama Panji Mangkubumi."

"Nggak!" jawabnya lantang, memutar kembali pandangannya pada kolam ikan.

Aku terdiam memikirkan apalagi yang bisa kuminta pada Panji.

"Jadi, hanya itu permintaanmu?"

Hanya? Dia bilang hanya? Coba sebutkan berapa nominal semua permintaanku barusan.

Aku menelan ludah. Tahu bahwa dia tak mungkin bercanda, tahu bahwa dia akan mengabulkan semua permintaanku. Tahu bahwa terdapat keseriusan dibalik ucapannya. Kurapatkan pahaku, berharap tubuhku tak semakin gemetar. Aku tak sanggup membayangkan akan menikah dengan lelaki seperti ini.

"Nanti kalau ada tambahan lagi, gue kasih tahu."

Dia mengangguk, "Lalu, kamu mau mas kawin apa?"

Mas Gibran Wiratama saja boleh?

"Seperangkat alat salat saja, cukup." Sudah tak ada lagi yang mampu kujawab.

---

Seminggu sudah berlalu setelah kedatangan Panji dan keluarga. Belum ada omongan lebih lanjut soal perjodohan tersebut. Mama dan Papa juga anteng saja. Bolehkan aku menyimpulkan kalau mereka membatalkan perjodohan itu?

Cowok waras mana yang mau menikah dengan gadis, sementara belum apa-apa sudah main todong saja? Belum jadi istri saja sudah bikin bangkrut, apalagi kalau sudah? Yes! Aku batal nikah. Kubuka pintu samping balkon, angin luar langsung berembus. Menerbangkan surai hitam milikku.

Malam ini langit Jakarta tampak cerah. Bintang berkelip-kelip, bulan berpijar sempurna. Tapi, bohong. Jakarta tetap butek, suasana hatiku saja yang sedang cerah.

Abege tua, tingkahmu semakin gila... kau menjerat semua wanita, wanita yang ada di depan mata...

Aku berjoget sambil bernyanyi-nyanyi, mengeksplorasi rasa bungahku. Kusambar botol handbody, memegangnya laiknya sebuah mikrofon. Kuhentakkan kakiku mengikuti irama lagu yang kudendangkan.

Ayo goyang dumang... biar hati senang... pikiranpun tenang... galau jadi hilang...

Menikah muda itu tak termasuk dalam daftar impianku, membayangkan aku berpadu dengan segala kerepotan menjadi istri seperti bencana alam. Belum lagi, banyak sekali berita di televisi menayangkan gosip soal perceraian, membuatku semakin betah sendiri selama ini dan menunggu kekasihku. Lelaki pertama yang menjanjikan akan menikahiku. Menjanjikan masa depan padaku. Menjanjikan sisa hidupnya bersamaku. Jadi, ketika Panji tak memberi jawaban apa-apa. Pantaskan aku merasa bahagia?

Mungkin aku terlalu bahagia, hingga ketika kutengokkan kepala, diriku terasa disiram air raksa. Mendadak kaku begitu menemukan keberadaan Papa dan Panji berdiri di tengah pintu. Mereka menatapku. Papa dengan wajah pucat pasi, sementara Panji mengepalkan tangan di depan mulutnya. Menahan senyum. Aku tahu dia ingin tertawa terbahak, aku yakin.

Sial. Sial.

Tolong tendang diriku ke Pluto. Leburkan aku dalam Samudra Antartika. Aku malu!

"Ehm...." Papa berdeham, menormalkan raut wajahnya. "Ganti bajumu, lalu ke bawah!"

Aku mengangguk. Papa meninggalkan kamarku terlebih dahulu, sementara Panji masih sempat-sempatnya tersenyum ke arahku sebelum berlalu menyusul Papa. Setelah pintu tertutup, aku mengembuskan napas kasar. Merutuki kebodohanku sendiri. Kupukul-pukulkan botol handbody ke keningku.

Bagaimana bisa aku terlihat hanya mengenakan celana setengah paha lusuh, kaos kebesaran yang kubeli seharga sepuluh ribu di Malioboro, lengkap dengan rambut singa? Tak ada anggun-anggunnya sama sekali.

Aku duduk di antara Papa dan Mama, sementara Panji juga datang bersama Ibu dan Bapaknya. Panji terlihat lebih muda lima tahun dengan kemeja flanel berwarna biru tua, celana jeans hitam, kacamata dengan frame hitam tebal. Aku masih memperhatikan Panji, dia sedikit menunduk. Sesekali membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot.

Gerakan jari telunjuknya mendorong kacamata tersebut mengikuti lekuk hidungnya, entah kenapa membuat hatiku seperti disenggol bulu halus, geli berdesir aneh.

"Jadi, kedatangan kami hari ini ingin membicarakan kelanjutan perkenalan Panji dan Nata." Pakde Agus memulai pembicaraan.

Panji membuka mata, mengarahkan tatapannya padaku. Aku balas mentapnya seakan berucap 'apa lo, Om!' sambil menahan geli di hatiku.

Panji berdeham. "Saya, Panji Mangkubumi ingin meminta izin pada Om untuk menjalani hubungan serius dengan Nata, putri Om Arif," ucap Panji tegas, tanpa suara bergetar sama sekali. Tak ada keraguan di dalamnya, dan penuh dengan keyakinan.

Jedeeer!!!

Maksudnya apa?

Jantungku bertalu-talu, berdetak tak menentu. Jadi, sekarang ini aku sedang dilamar?

Dilamar?

Kuremas ujung gaunku di atas dengkul, menundukkan kepalaku.

"Terima kasih, Nak Panji. Kami terima niat baiknya. Namun, saya sebagai orang tua hanya bisa memasrahkan segalanya kepada Nata. Karna dia sendiri yang akan menjalani segalanya," balas papaku, tak kalah tegas.

Sementara aku? Badanku mendadak kaku. Patung pancoran saja jelas lebih lentur daripada aku.

"Bagaimana Nduk Nata?" Kali ini Budhe Tanti yang menanyai. Raut wajahnya jelas sekali terlihat mendamba.

Mataku menjelajah, menatap Pakde Agus lalu Budhe Tanti, beralih ke Papa, Mama, dan terakhir Panji. Kedua tangannya ditumpukan di atas dengkul. Seperti pesakitan menanti ketuk hakim.

Mama mengelus tanganku, menggenggamnya erat. Memberi separuh semangat padaku, memberi dukungan pada jawabku, menyalurkan segala bentuk keyakinan Mama. Mungkin tahu bentuk kebimbangan anak gadisnya. Aku ingin sekali menolak, akan tetapi aku tak mau membuat wajah orang tuaku malu.

Aku pun mengangguk.

"Alhamdulillah," ucap mereka serempak, kentara sekali buncah bahagia di sana.

Aku menghela napas, setidaknya aku memberi jawaban yang membahagiakan banyak orang. Saat kutatap Panji, dia mengangguk. Dari sorot matanya dia ingin mengucapkan terima kasih. Aku tetap diam, tak mengangguk atau memberikan kedipan barang sedetik pun. Kulakukan semua ini demi orang tuaku.

---

Rizka : Nata... Nata...

Kila : Nata de coco kemana ni? Dari kmren g nongol

Dinda : Nata Lagi ke barat mencari kitab suci.

Rizka : Uanjiiir...

Me : hmm...

Dinda : Nat, kenapa lo?

Me : Gue mau nikah 2 bln lagi.

Dinda : HAH?

Rizka : Alhamdulillah.

Zhio : serius??

Rivan : Cius miapah?

Dinda : Sama Panji2 itu?

Me : Y

Rizka : knp babe?

Me : G

Rizka : Si Nata minta dicekokin sambel, balesnya begitu banget.

Zhio : Nat, menikah itu menyempurnakan separuh agama, dijalani dengan iklas ya?

Rivan : Kultum bersama Ustad Zhio

Me : tapi gue ragu menjalani ini gaes

Rizka : Ragu knp? Yg realistis lah, Nat. Lo g mgkn nunggu Gibran terus, sementara bau kentutnya aja g kecium sama sekali.

Dinda : Buka mata cinta. Kalau lo nyari semodel Mas Langit, nggak akan ada di dunia nyata.

Kila : Ayah Radit juga nggak ada,

Tiara : Ayah Ello juga nggak ada,
Tiara : mereka adanya di dunia orange.

Me : doakan saja yang terbaik buat gue.

Rizka : Amin.

Dinda : Amin (2)

Kila : Amin (3)

Tiara : Amin (4)

Rivan : Barak Obama bilang amin.
Rivan : Jokowi bilang amin
Rivan : Rakyat Indonesia bilang amin.

Zhio : Amin. Alfatihah.

---

Bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatianku dari layar ponsel. Papa membuka pintu, mendorongnya hingga terbuka lebar.

"Boleh Papa masuk?" tanya Papa padaku. Tumben-tumbenan minta izin dulu. Biasanya nyelonong masuk aja.

"Masuk saja, Pa."

Beliau duduk di pinggir kasur. Meneliti keadaanku sejenak, kemudian memajukan tangannya dan mengusap rambutku secara perlahan. Ingin sekali rasanya mengamuk di depan Papa. Mengeluarkan segala bentuk cacianku.

"Papa bilang, kita cuma disuruh kenalan aja. Kenapa sampai serius begini?"

"Mbak Nata sudah dewasa, pasti sudah mengerti soal begini, kan?"

"Pa, aku sama Panji itu nggak saling kenal sama sekali. Nggak saling cinta, lalu harus menikah. Papa mau ngumpanin Nata, ya?"

"Nggak ada sedikit pun Papa berpikiran begitu, kamu anak Papa. Papa rawat dari kecil, Papa didik sepenuh hati. Nggak mungkin Papa umpankan ke hal yang buruk. Mbak Nata, dengar Papa. Dulu Papa sama Mama juga nikah karna dijodohkan. Karna eyangmu tahu mana yang baik dan buruk buat Papa."

Papa membelai rambutku penuh sayang. Terus tanpa henti. Menyorotkan segala doa lewat tatapan matanya.

"Papa sayang sama kamu, Nat. Menikah itu tak harus dengan lelaki yang Mbak Nata inginkan. Tetapi sama orang yang memang tepat buat Mbak Nata jadikan imam. Jadikan kepala keluarga, yang akan memimpin Mbak Nata sama anak-anak kalian kelak. Papa sudah kenal Panji dari dulu, anaknya nggak neko-neko, anteng, dan sopan. Bisa mengimbangi kamu, Nat."

Papa menatapku, "apa yang membuat kamu ragu, Nat?"

Apa? Apa yang membuatku ragu. Entahlah.

Papa menepuk pundakku, seolah mengerti kediamanku. "Kamu yakinkan dulu hatinya, biar dilapangkan segalanya. Banyak berdoa supaya diberi yang terbaik oleh Sang Pencipta."

Papa mengecup puncak kepalaku sebelum berlalu. Seperti yang beliau lakukan dulu, ketika aku masih berseragam merah putih. Kebiasaan yang sudah tak kurasakan beberapa tahun ini dan sekarang amat sangat kurindukan.

Papaku itu orang yang tegas. Tiap aku mogok makan karena tak diberi uang untuk belanja, beliau akan berkata 'ya bagus, malah hemat beras' atau ketika aku merengek setelah ngambek enggan berbicara dengan Papa, beliau akan berkata 'udah buka puasa ngomongnya?' Kenangan yang dulu selalu membuatku menangis, sekarang ingin kuulangi kembali.

Bolehkah aku tetap jadi putri kecilmu, Pa? yang tak perlu tahu harga beras, harga sembako, harga cabai dan sebagainya. Cukup tidur dalam dekapanmu sambil didendangkan dongeng sebelum lelap. Bolehkah, Pa?

Entah efek PMS atau hatiku saja yang memang selembut kapas, tiba-tiba air mataku mengalir membasahi pipi. Kutatap bayang diriku yang terpantul dari kaca lemari, sudah sebesar ini ternyata aku. Waktu berjalan secepat ini hingga tak kusadari bahwa aku akan segera menikah.

Ting!

From : +62852727xxxxxx

Kamu mau konsep pernikahannya seperti apa?

-Panji

Panji Mangkubumi. Panji Mangkubumi. Aku terus saja merapalkan namanya, nama lelaki yang dengan yakinnya meminta aku menikah dengannya. Menjadi istrinya.

To : +62852727xxxxxx

Gue mau temanya disney, kaya Sandra Dewi itu, Om.

Haha... kutunjukkan siapa calon istrimu yang cantik jelita seperti princess Aurora ini.

Ting!

From : +62852727xxxxxx

Boleh. Di Dufan?

DI DUFAN? WHAT?!#$^&*(!☆€+{

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top