Sembilan Belas
Semilir angin, canda tawa bahkan tangis beberapa anak, tak membuatku menoleh. Aku tetap duduk di bangku taman, sesekali menyeka air mataku yang terus meleleh membasahi pipi.
Kulirik ponsel dalam genggaman, sinyal dalam keadaan penuh tapi tak ada satu pun panggilan masuk. Isakku kembali menyeruak menyadari Panji ternyata tak peduli padaku. Tak sadarkah Panji akan kealfaanku? Tidakkah lelaki itu merasa kehilangan? Tak berartikah aku untuk Panji?
Ponselku berdering... hatiku menghangat, tapi seketika teredam air dingin. Bukan Panji yang menghubungiku. Bukan lelaki yang kuharapkan.
"Halo..."
"Hallo, Kil..." ucapku disela tangis.
"Nata, lo mewek? Kenapa?"
"Kila..." rengekku menjadi. Dasar si manja.
"Nata, lo lagi di mana? Rame amat," tanyanya kembali, kali ini terdengar lebih khawatir.
"Nggak tahu."
"Lo tersesat?"
Aku menggeleng. Bego.
"Lo di mana? Share location, gue ke sana sekarang," ucapnya, bertambah panik.
Aku mengangguk. Bego.
Setelah memutuskan sambungan dan mengirimkan lokasiku berada, aku kembali terdiam. Mengusap pipiku dengan kasar sembari terus merutuki sikap cengeng yang melekat di diriku. Pandanganku beralih pada kursi di seberang, ada sejoli yang terlihat sedang bercengkrama. Dulu aku dan Gibran pun demikian. Kugelengkan kepalaku perlahan, untuk apa memikirkan sesuatu yang sudah berlalu?
"Ya ampun, Nat, lo ngapain di sini kaya anak ilang?"
Aku menoleh kaget, menemukan Kila berdiri dengan pakaian kerjanya. Tak perlu kupinta, Kila membawa tubuhku dalam pelukannya. Kubalas dekapannya sama erat, mengeluarkan isakan yang kutahan sedari tadi.
Setidaknya masih ada tubuh langsing Kila yang bisa kujadikan sandaran, bukan pundak hangat milik Panji.
"Kenapa?"
Aku menggeleng, memilih mempererat pelukan. Menceritakan apa yang barusan kualami saat ini sama saja menaburi bubuk merica pada luka yang masih basah.
"Ke tempat gue yuk, lo acak-acakan banget."
Aku mengangguk dalam pelukan sahabatku. Tak ada usapan hangat seperti yang selalu diberikan Panji. Panji mungkin sedang memeluk seorang gadis yang seharusnya menjadi istrinya. Iyakan?
"Jadi..." ucap Kila meletakan minuman di meja.
Saat ini kami sedang di apartemen Kila. Selain lumayan dekat dengan taman tadi, aku tak punya pikiran harus apa dan ke mana. Jadi, aku menurut saja saat Kila melajukan mobilnya ke apartemen.
Kutegak air dalam gelas, setelah merasa lebih tenang, akhirnya kuceritakan apa yang barusan kualami. Masih lengkap dengan bayangan kemesraan keluarga bahagia dan nyeri yang terus meremas hatiku.
"Segitu cintanya lo sama Panji sampai dia ketawa dikit sama cewek lain aja udah mewek begini," ungkapnya.
Cinta? Aku pada Panji?
"Cinta?"
"Iya, Sayang. Perasaan sakit yang lo rasakan tiap kali lihat Panji ketawa ketiwi sama cewek lain itu cinta," jelasnya. Kila menggeser duduknya semakin mendekat. "Lo inget jaman Gibran rangkulan sama temen-temennya, lo masih bisa mengerjakan ulangan tanpa harus ada drama mewek. Lah ini cuma lihat Panji ketawa aja, lo mewek kaya orang gila."
Aku tetap terdiam.
"Intinya, perasaan sakit, perasaan ingin memiliki, perasaan lainnya yang sekarang lo rasakan itu namanya cinta." Kila menatapku tajam, "lo, Natalia, jelas udah jatuh cinta sama Panji."
Mungkin benar semua perasaan ini cinta. Aku cinta sama Panji. Tapi lelaki itu?
Aku tersenyum miris, "nggak guna sekarang cinta atau bukan, gue sama Panji juga bakal berakhir. Gue nggak pantes jadi pendamping Panji dan dia juga nggak sepenuhnya mengharapkan gue jadi istrinya."
Kila menepuk pipiku dua kali, "wake up, Dear... mana Natalia yang masih bisa cekikian tiap kali dapat nilai D makul Pak Bambang. Di mana Natalia yang selalu bisa tersenyum tiap nggak dibolehin nonton konser?" Kila memegang pundakku, "di mana Nata yang optimis dan pantang menyerah?"
Aku menggeleng, "gue harus apa?"
"Maju. Lo nggak punya pilihan lain selain memantaskan diri buat Panji. Lo punya hak penuh atas Panji, sementara nenek lampir itu cuma figuran. Ngerti?"
Aku masih diam, menggeleng kemudian mengangguk.
"Sekarang lo balik ke tempat mertua lo," titahnya.
Aku terlonjak, "nggak mau, Kil," tolakku.
"Kenapa? Nggak ada yang perlu lo takutin. Kenyataan harus tetap dihadapi, entah sekarang atau nanti, semua bakalan sama. Lo nggak bisa menghindar."
"Kil... gue..."
"Lo mau tetep di sini? Gue sih nggak apa-apa malah ada temennya, tapi lo siap melihat Panji nikah sama orang lain karena ditinggal istrinya?"
Aku menggeleng kuat.
"Ya udah, sekarang balik," titahnya.
Dengan embusan napas berat, aku mengangguk.
"Ini baru temen gue." Kila menepuk pundakku, tersenyum hangat.
"Makasih ya, Kil," ucapku, memeluk Kila kembali.
"Gue harus minta ganti rugi sama Panji nih, kena pinalti gue ini, minggat dari kantor tanpa keterangan apapun," guyonnya.
"Makasih ya, Kil, makasih banget," kubersit hidungku.
"Santai aja kali sih, Nat. Beha aja kita suka joinan, masa masalah gini aja lo masih sungkan. Mumpung gue masih jomlo, belum ada yang harus gue utamakan, jadi lo boleh cerita apapun dan kapan pun."
Aku kembali memeluk Kila erat, terus melontarkan ucapan terima kasih yang tiada tara. Untuk semangat dan kehadiran Kila saat ini.
---
"Mau gue temenin nggak?" tanya Kila, memberhentikan mobil di depan gerbang rumah ibu mertuaku.
Aku menggeleng, melepas seatbelt, "nggak usah, biar gue sendiri yang masuk."
"Serius?" tanyanya, meyakinkan.
Aku mengangguk.
"Lo pucet banget kaya mau sidang skripsi," guraunya.
Aku hanya mendengus, membuka pintu mobil. Terus berdoa dalam hati, memompa semangat dalam diriku. Semangat, Nat.
Kupijakan kakiku di lantai marmer teras ibu mertuaku. Mengetuk pintunya perlahan, terus menundukan kepala sambil meremas jari-jariku sendiri.
Pintu terbuka, "astaga Nata... kamu ke mana aja, Nak? Ibu sama Panji bingung nyari kamu." Satu pelukan kembali bersemayam di tubuhku.
"Maaf, Bu. Tadi sama Kila," jawabku, beralasan. Memeluk tubuh mertuaku, kemudian kutemukan Panji berdiri di belakang beliau menatapku tajam.
"Kenapa nggak pamit dulu kalau mau main? Ibu khawatir pas nemu mobil kamu di depan tapi nggak ada orang. Takut kamu kenapa-kenapa." Beliau masih memelukku. "Panji coba hubungi kamu tapi masuk di mailbox terus. Udah muter-muter komplek tapi nggak ketemu, udah pulang juga tetep nggak ada."
"Maaf, Bu," ucapku lirih.
"Iya..." beliau melepas pelukannya, menggenggam tanganku hangat, "masuk dulu ya, udah makan belum?"
"Kita langsung pulang aja, Bu," jawab Panji. Lelaki itu akhirnya bersuara. "Ibu pasti capek, butuh istirahat. Aku sama Nata pulang dulu, kita juga mau istirahat," lanjutnya, mencium punggung tangan Ibu mertuaku.
Aku pun melakukan hal yang sama dan mengikuti Panji. Tiba di depan gerbang, aku bingung hendak menggunakan mobilku atau ikut Panji. Namun, melihat tatapan Panji membuatku meragu.
"Ayo masuk," ucap Panji. Membuka kaca CR-V hitamnya tanpa mengalihkan pandangannya padaku.
Aku mengangguk. Duduk di samping lelaki ini membuatku merinding. Ditambah dengan aura Panji yang selalu berubah tiap kali menahan emosi.
"Kamu memang selalu begini? Pergi nggak pamit, nggak mikirin orang lain. Ibu khawatir sama kamu. Takut kamu diculik atau kenapa-kenapa," ucap Panji ketika tiba di dalam rumah. "Bisa nggak kamu memikirkan orang lain? Gimana kalau orang tua kamu dengar? Apa yang mereka pikirkan? Kamu memikirkan sampai sana?"
Aku menunduk dalam, "maaf," ucapku lirih.
"Bisa jangan kekanakan, Nat," ucap Panji, kali ini dibarengi helaan napas lelah.
Iya, aku memang kekanakan. Aku manja. Aku sukanya memikirkan diriku sendiri. Iya. Semua benar.
"Maaf. Mas harus nikah sama aku yang kekanakan ini," ucapku, bergetar menahan isakan. Membalikan badan berderap menuju ke dalam kamar. Berniat mengurung diriku dalam senyap dan kesendirian. Kutarik selimut menutupi tubuhku, mencoba melelapkan tubuhku yang sudah lelah di ranjang Panji. Dalam tangis, aku tersenyum miris. Semua ini milik Panji. Aku bahkan tak memiliki apapun. Lalu, aku menuntut pada Panji. Konyol. Harusnya aku kembali sadar diri. Bagaimana bisa aku memantaskan diri jika sedari awal tak ada yang pantas padaku?
Pergerakan di ranjang belakangku memintaku untuk menahan napas pun tangis. Aku tak mau terlihat semakin konyol dan menyedihkan. Tubuh Panji ikut menyusup masuk dalam selimut, menarik tubuhku dalam pelukannya.
"Maaf, Mas nggak bermaksud buat bentak kamu. Mas cuma kasihan lihat Ibu khawatir sama kamu, kelimpungan nyariin sana sini."
Isakanku lolos begitu saja. Panji jelas hanya memikirkan Ibunya, dia pun menikahiku karena Ibunya menginginkan demikian.
Bodoh, Nata.
Panji menggiring tubuhku makin erat dalam pelukannya, "sssst... kenapa malah nangis," ucapnya, membuka selimut yang menutupi wajahku.
"Maaf." Maaf untuk kekanakanku. Maaf untuk keegoisanku. Maaf karena membuat Ibu khawatir. Maaf karena harus merelakan diri untuk menikahiku.
"Mas juga minta maaf," ucapnya, kali ini lebih lembut.
Aku membalikan badan, memeluk tubuh Panji. Mungkin akan ada seseorang yang akan menggantikan posisiku. Mungkin pelukan ini tak akan kurasakan kembali. Tapi biarlah aku memilikinya saat ini.
Satu kecupan terasa di ujung kepalaku berlanjut pada usapan hangat di punggungku. Panji memintaku untuk lelap. Dan aku menurut padanya. Membaui wangi Panji yang menusuk indra penciumanku.
Tidurku terusik saat merasakan semilir angin membelai belakang telingaku. Mataku terbuka, menatap pada jam dinding. Pukul tujuh malam, dan semua lampu rumah belum menyala.
Aku terduduk. Kepalaku sedikit pening karena terlalu lama menangis. Besok pasti bengkak. Kutengok Panji yang terdengar mendengkur halus. Masih lengkap dengan kemeja kerja yang sudah kusut. Rambut acak-acakan. Pun dengan kacamata. Lelaki ini bahkan belum membersihkan diri tapi entah bagaimana tetap nyaman terlihat di mataku.
"Maaf, belum bisa jadi istri idaman Mas," bisikku di samping telinganya.
Panji tak merespon.
"I love you...," bisikku kembali. Terlambat menyadari perasaan yang selama ini selalu kubiarkan liar dan menjalar. Meraba setiap jengkal tapi tak menuju titik ujung. Sekarang aku tahu tanpa perlu meraba. Ini cinta.
Panji tetap tak merespon.
"Bolehkan Nata jadi istrinya Mas sampai nanti? Boleh?" tanyaku lirih menahan getar suara. Mengecup pipi lelaki ini lembut.
"Eung...." Panji menggeram. Tak membuka mata hanya memindahkan tangannya.
Aku keluar dari kamar. Menyalakan lampu seluruh penjuru ruangan. Setelahnya, masuk kembali ke dalam kamar hendak membersihkan badan. Namun, saat kulihat Panji terduduk dengan pandangan takut, aku mendekat.
"Kenapa, Mas?"
Pandangan takutnya pun berbinar saat melihatku, "dari mana?"
"Ngidupin lampu rumah, Mas mau mandi dulu nggak? Mau aku masakin air panas?"
Panji menggeleng. "Mandi bareng aja biar anget," ucapnya menyeringai.
Dasar lelaki dan lelakinya.
"Mas nggak makan?" tanyaku meletakkan teh hangat di depan Panji.
Selepas mandi secara berjamaah, kami memutuskan untuk duduk di depan televisi. Karena sudah lelah tidur, mata sudah tak berniat kembali terpejam.
"Nggak, udah kenyang." Panji menerima uluran gelas.
Aku duduk di samping Panji. Canggung. Sore tadi Panji kembali mengeluarkan emosinya. Kemudian tidur dan bangun seolah semua hanya hal biasa. Padahal jika boleh jujur, aku masih sesak.
Apa semua pernikahan selalu seperti ini?
"Nat," panggil Panji. "Maaf," lanjutnya.
Aku menoleh, "aku harusnya yang minta maaf. Maaf udah kekanakan."
Panji menggeleng, "nggak, bukan maksud Mas buat ngomong begitu."
Aku tersenyum, kali ini lebih tulus, "Mas baik banget, sayangnya punya istri kaya aku."
"Kaya kamu itu apa maksudnya?"
Aku menggeleng. "Makan ya?" ajakku mengalihkan pembicaraan.
Panji kemudian mengangguk, "udah kenyang sama kamu. Tapi tiba-tiba lapar lagi."
Aku berjalan duluan ke meja makan. Menyiapkan rawon yang kubuat tadi pagi sebelum membeli ponsel. Sudah kupanaskan tadi saat membuatkan Panji teh.
Panji sudah duduk di kursi. Menarik mangkok rawonnya mendekat. Dengan wajah berbinar, Panji menyendokan rawon, "Mas tadi bawa rawon dari rumah Ibu. Dikasih sama Luri, Nat," terangnya menyuapkan rawon.
Aku terdiam.
Panji mengerutkan kening, "kok aneh gini rasanya. Tadi enak kok yang Mas makan, Mas taruh di kursi belakang mobil. Ini kan?" ucapnya tanpa sadar.
Jantungku mencelos. Bibirku memucat. "Mas... itu rawon buatan Nata."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top