Sembilan
"Jadi, sudah siap menjalankan tantangan hari ini, Nat?" tanya Panji, duduk sembari memakan roti.
Kutelan kunyahanku terlebih dahulu, "siap. Awas ya, Om, kalau sampai berbohong. Kusunatin lagi," ucapku dengan tegas.
"Rugi di kamu kalau sampai aku disunat lagi. Belum juga merasakan."
Astaga... Panji ini berbicara apa, tak ada filternya sama sekali. Tiap ngucap seenaknya. Setelah puas tersenyum karena melihat wajahku yang sudah jelas makin masam, Panji mengeluarkan dompetnya. Ulala... sudah tercium bau uang dari sini, sini sayang datang ke pelukan bunda...
Satu lembar, dua lembar, ti....
Dua lembar uang seratus ribuan disorong ke hadapanku. "Buat modal." begitu katanya. Melihat uang yang tergelatak di atas meja dengan hati nelangsa, aku mengembuskan napas berulang kali. Hari gini dua ratus ribu sampai mana?
Panji kemudian mengasongkan sebuah kunci, "kamu bisa naik motor, kan?" tanyanya.
Seriuskah Panji memintaku mengendarai sepeda motor? Ya Tuhan, kenapa banyak sekali cobaanku hanya demi bisa belanja akhir tahun saja. Aku mendesah kembali, pagi ini cobaan yang harus kuterima terasa bertubi-tubi. Untung aku seterong...
Apa aku harus sarapan semen tiga roda saat ini? Supaya kuat menghadapi hari ini yang akan lebih kejam dari ibu tiri. Panji sudah selesai dengan roti bakarnya, kemudian ia beranjak dari tempatnya menuju garasi samping rumah. Aku mengekori di belakangnya.
Panji terlihat gagah mengenakan kemeja biru tua panjang, lengkap dengan celana hitam kainnya, jam tangan, rambut rapi, dan kacamatanya. Ini pertama kali aku melihat Panji memakai pakaian kantornya. Ketika tiba di depan pintu, Panji membalikan badannya. Menatapku lama, aku balas menatapnya. 'Mau apa lo, Om.' Begitu pesan yang kusampaikan lewat netraku.
"Saya berangkat." tangannya terulur meraih ujung kepalaku, mengusapnya sekilas lalu digesernya tangan besar itu menuju belakang kepalaku. Mendorongnya ke depan. Aku tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Dikecupnya keningku. Aku tak memejamkan mata, diam saja, biasa saja. Tak ada riak-riak yang kurasakan. Hanya geli berdesir dari dadaku. "Good luck." dia mengusap ujung kepalaku kembali sebelum berlalu menuju CR-V hitam miliknya. Mobil itu sudah berlalu meninggalkan rumah. Panji memang tak memiliki Lamborgini, tapi di rumah ini masih ada Honda Brio. Kenapa aku hanya diberi Honda Scoopy?
Kuangkat kunci motor hitam itu, kugoyangkan ringan. "Jangan rewel hari ini Poppy, kalau kita dapat credit card. Kutambahkan Banmu dua lagi. Jadi empat."
---
Aku memilah-milah daging sapi segar yang bisa kugunakan sebagai bahan membuat rawon. Aku tadi memang ke rumah Mama dahulu, meminta si Mbak supaya berbelanja bumbu dapur ke pasar. Sementara aku, membawa si Jazzi ke hypermart mencari daging sekalian jalan-jalan. Serasa sudah lama sekali aku tak berkunjung ke mall sekedar membuang lemak.
Setelah selesai dengan daging sapi, aku mendorong troli berkeliling. Mataku terhenti di rak make up yang entah kenapa terlihat manja minta kudekati. Padahal belum ada seminggu aku tak berbelanja make up, tapi rasanya seperti sudah berabad saja. Aku sedang menggenggam beberapa alat make up. Meneliti komposisi, kegunaannya, cara pemakaian, dan lain-lainnya. Saat kurasakan troliku ditabrak seseorang.
Kutolehkan kepalaku. Waktu seolah berhenti saat tatapanku jatuh pada objek di sampingku. Mataku tak berkedip sama sekali, masih fokus pada objek yang berdiri tak lebih dari satu meter di hadapanku.
"Nata..."
"Gibran..."
Gibran maju dua langkah, aku menjatuhkan make up yang kupegang ke dalam troli. Saat dia hendak memelukku, kesadaranku hadir. Kudorong dadanya menjauh sambil mundur ke belakang.
"Aku sudah menikah." tiga kata itu langsung meluncur begitu saja dari mulutku.
Kulihat Gibran tampak terkejut. Membeku di tempatnya. "Kamu bohong," bantahnya tak percaya dengan ucapanku.
Kuangkat tangan kananku, memperlihatkan cincin pernikahanku dan Panji. "Udah ya, Bran. Aku buru-buru." aku berbalik, mendorong troli menjauh dari Gibran yang mungkin sampai saat ini masih terpaku di tempatnya.
Kalian pernah merasakan merindukan sekaligus membenci seseorang dalam waktu yang bersamaan? Itu yang kurasakan saat ini. Jujur saja, aku merindukan Gibran. Terakhir kali aku menatapnya adalah enam bulan silam. Itupun hanya lewat layar terpaku. Selebihnya, nihil. Suaranya pun tak terdeteksi olehku.
"Kenapa kamu sudah menikah, Nat?" tanya Gibran menyamai langkahku. Masih dengan troli yang kudorong.
"Aku cantik gini, ya banyak yang mau minang."
Karena kamu, tak pernah berniat memberiku kepastian. Aku benci, Bran. Karena kamu tak datang saat itu, jadi aku harus menikah dengan Panji. Andai saat itu aku tahu harus menghubungi kamu ke mana, tak mungkin sekarang aku menjauh dari kamu. Aku akan berlari ke arahmu, menjatuhkan tubuhku dalam pelukan hangatmu, bukannya malah mendorong troli hanya demi berbelanja akhir tahun.
Tapi, itu hanya ilusi.
"Kamu bilang mau menunggu, sampai kapanpun kamu akan terus menunggu. Lalu ini apa?" tuntut Gibran, memegang tanganku.
"Tolong lepas, aku wanita bersuami," kataku tegas.
Wajah Gibran terlihat pias mendengar bentakanku, mungkin karena merasa menjadi pusat perhatian "Oke..." dia melepaskan cekalan tangannya. "Kamu kenapa mengingkari janji?" tanyanya, kali ini lebih lembut dan lirih.
Bukan aku, tapi kamu. "Janji yang mana? Janji kamu mau pulang?"
"Nat..."
"Udah ya, Bran." Aku ikut berada dalam barisan antrian kasir. Meskipun aku membelakangi Gibran, aku tahu dia masih memandangku. Aku mencoba tak memperdulikannya. Antrian merangsek maju, aku menatap troliku. Lalu, satu kesadaran menerjangku. Bego. Uang pemberian Panji hanya tersisa 150 ribu dan make up yang kulihat-lihat tadi ikut terbawa dalam troli yang kudorong.
Giliranku tiba, aku memejamkan mata. Dadaku sesak karena bertemu dengan Gibran, lalu sekarang aku dihadapkan pada nota belanja 370 ribu. Dapat dari mana tambahan 220 ribu lagi?
Habis jatuh tertimpa tangga, masih kejatuhan beton. Pes... apes...
"Emmm... Mbak, saya sepertinya..." aku bingung merangkai kata paling halus supaya si kasir tak langsung memanggil satpam dan menendangku keluar dari sini.
"Pakai ini saja, Mbak." Gibran berdiri di sebelahku menyerahkan debit miliknya kepada kasir. Berdekatan dengan Gibran dalam jarak sedekat ini, membuat hidungku menangkap harum yang menguar dari tubuh Gibran. Harum yang sama dengan enam tahun lalu, harum tubuh yang dulu selalu kuhirup.
"Terima kasih, nanti uangnya akan kuganti," kataku sambil menutup pintu mobilku. Saat ini kami sedang berada di parkiran mobil. Kubuka kaca samping, melongokan kepalaku keluar.
Gibran berdiri di sisi mobilku, memberikan tatapan yang sama padaku. "Boleh kita bertemu lagi?" pintanya lirih, terdengar frustasi.
Aku mengangguk. Menutup kaca mobil dan melajukan Jazzi. Masih kutatap bayang lelaki itu lewat kaca tengah. Gibran tetap tampan. Selalu tampan. Semakin tampan. Badan tegapnya, lengan kokoh—yang dulu sering menjadi kujadikan tumpuan. Mata hitam bening. Alis tebalnya. Sempurna.
Aku rindu kamu, Bran.
Aku benci kamu, Bran.
Andai dua bulan lalu—saat Panji melamarku, kamu datang dan memintaku pada Papa, aku tak mungkin menjalani pernikahan dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Kita dapat membangun rumah tangga seperti khayalan-khayalan kita di masa sekolah dahulu. Andai... semua hanya berakhir dengan andai. Sekarang aku sudah menjadi istri orang.
Istri Panji.
Istri Panji.
---
Aku duduk di kursi dapur, mendengarkan si Mbak yang sedang mendemostrasikan nama-nama benda yang dibelinya di pasar tadi. Walau terlihat seperti menyaksikan dengan seksama, sebenarnya pikiranku masih melayang entah ke mana. Masih memikirkan tentang pertemuanku dengan Gibran tadi siang.
Inget, Nata. Belanja akhir tahun. Inget tas. Inget sepatu. Jangan ingat Gibran lagi, jangan!
Aku menarik napas, mengembuskannya secara perlahan. Mengulangnya kembali, memupuskan pemikiran-pemikiran soal Gibran. Saat tiba aku selesai mencoba mencari kendaliku, si Mbak ternyata sudah selesai dengan bumbu-bumbunya.
"Ini kluwek, Mbak, bumbu khususnya bikin rawon," terangnya, menunjukan benda terakhir.
Aku memegang benda yang bernama kluwek tersebut, "kok aneh gini, Mbak, bentuknya?" tanganku memutar kluwek tersebut.
"Ini ada isinya, Mbak. Nah, isinya itu yang dijadikan bumbu," jelas si Mbak. Berakhir.
Kila tak menjelaskan apapun soal benda yang kugenggam saat ini. Aku sudah parno saja sebelum memulai memasak, apalagi Kila tak ada menyebut soal kluwek. Kalau sampai terjadi hal-hal yang tak diharapkan, akan kutuntut anak tersebut.
"Gampang kok, rebus aja dagingnya. Terus haluskan semua bumbu. Kalau sudah halus, ditumis. Lalu, masukan dalam panci daging. Tunggu matang. Kelar "
Hanya seperti itu penjelas Kila soal cara memasak rawon, tak kurang, tak lebih.
Kugulung lengan bajuku tinggi-tinggi, berdoa dahulu sebelum memulai percobaan memasak rawon. Aku mencoba sesemangat mungkin, tapi sesekali bayangan Gibran kembali hadir. Menghalau fokusku, dan membuatku harus membaca resep berulang-ulang.
"Mbak, numisnya jangan sampai gosong," teguran dari si Mbak yang melongok ke dapur, menghapus pertemuan Gibran yang muncul di pikirannku. Menolehkan kepalaku pada wajan di depan mata, bumbu yang sudah kuhaluskan dan sedang kutumis sudah berwarna hitam.
Entahlah, hari ini rasanya amat berat. Mulai dari ketidak mahiranku dalam urusan memasak. Dan yang membelenggu fokusku saat ini adalah perjumpaanku dengan Gibran siang tadi. Aku tak galau, menangis tersedu-sedu seperti orang gila. Tak ada dalam kamus hidupku. Pikiranku saja yang sedikit kacau. Ragaku tetap harus terlihat baik-baik saja.
Menurut penuturan Kila, kuah rawon itu berwarna coklat. Namun, saat kuamati kuah rawon yang kumasak berwarna gelap. Coklat mendekati hitam. Kucicipi kuah tersebut, saat masuk pangkal tenggorokanku. Hoeks. Rasanya pahit, kutaburkan gula sebanyak satu sendok makan, kuaduk, dan kurasakan kembali. Rasanya tak jauh berbeda.
Aku ini adalah tipe manusia yang hanya mampu membedakan dua jenis makanan yaitu: makanan enak dan makanan sangat enak. Sementara saat aku merasakan masakan yang kubuat sendiri tak termasuk ke dalam dua kelompok makanan tadi. Jadi, kalian tahu maksudnya, kan?
Aku gagal.
---
Me : Din, tadi gue ketemu Gibran
Dinda : Gibran wiratama?
Me : siapa lagi?
Dinda : dia balik?
Me : yoi.
Kurasakan ponselku bergetar, mungkin balasan pesan dari Dinda. Saat hendak kubaca, terdengar deru mobil memasuki perkarangan rumah. Kuletakan ponselku sembarangan, berlari menyambut kedatangan Panji yang sudah pulang kerja.
"Assalamuallaikum," sapa Panji saat melihatku.
Melihat kedatangan Panji dengan wajah lelahnya membuatku dikerubungi perasaan bersalah. Aku memikirkan pria lain sementara ada seorang suami yang dengan tenaganya mencoba mencari nafkah guna menghidupiku.
"Walaikusalam." jawabku, menundukan kepala.
Panji mengusap rambutku perlahan, membuat sesuatu yang terasa hangat merekah di dalam sana.
"Gimana rawonnya?" tanyanya sembari melepas sepatu.
Aku menggelengkan kepala, mengulurkan tangan guna menerima jas dan tas yang dipakai kerja Panji.
Panji menahan tasnya saat hendak kuterima, "kamu nggak buat?"
Aku menggeleng kembali.
"Lalu?"
"Gagal," jawabku, lirih.
Panji akhirnya melepaskan pegangannya pada tas, memberikan padaku. Melangkahkan kaki memasuki ruang tengah. "Saya mau coba."
Aku berjalan menghadang jalannya, "serius mau dicoba, Om? Aku nggak beli obat buat sakit perut."
"Nggak apa-apa."
Panji mengiringku menuju meja makan, dia membuka tudung saji. Terpampanglah rawon—rawon buatanku. Dilihat dari bentuk penyajiannya saja kira-kira hanya dapat nilai enam, itu juga kalau dia katarak. Apalagi kalau dari segi rasa, dapat nilai enam pun pasti karena lidahnya mati rasa. Panji mulai mencicipi, baru satu sendok masuk dalam mulutnya. Keningnya langsung berkerut sempurna.
"Pahit, tapi ada manisnya juga dan nggak menyatu," katanya setelah menelan satu sendok kuah rawon. Panji tetap meneruskan makannya. Dia tahu rawon buatanku itu rasanya lebih hancur daripada poni Andhika Kangen Band tapi tetap ditandaskan. "Masih kurang sedikit lagi, sempurna." Komentarnya menilai.
Kurang sedikit?
"Jadi, rewardnya hangus dong, Om." kuletakan daguku di atas meja makan. Mataku masih memandang pada Panji yang sedang mengusap mulutnya dengan tisu.
"Masih ada rewardnya, kalau kamu mau mencoba kembali."
Kutegapkan tubuhku, "serius, Om?"
Panji mengangguk, "terima kasih. Saya kenyang sekali, bisa tidur dengan nyenyak malam ini." dia berjalan mendekat, duduk di sampingku, "capek?" tanyanya.
Aku gantian mengangguk.
"Istirahat saja dulu, saya ingin membersihkan badan terlebih dahulu." Panji menyempatkan mengusap kepalaku sebelum berdiri.
Kutatap punggung milik Panji yang bergerak saat dia menaiki tangga, jika dibandingkan dengan punggung Gibran yang dulu selalu kujadikan sandaran memang terasa jauh. Namun, bukankah punggung tak senderable milik Panji yang seharusnya kujadikan penopang? Yang kujadikan tumpuan. Bukan punggung kokoh milik Gibran yang sudah lepas dari seminggu yang lalu. Aku tersenyum miris, ada kata maaf ya terus kuucapkan dalam hati mengiringi langkah Panji menapaki tangga.
Dinda : lo nggak niat minggat sama Gibrankan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top