Sebelas

Bayangan Panji sudah hilang di balik pintu meninggalkan aku yang masih terduduk di atas ranjang. Kudekap erat kemeja yang menutupi tubuhku, meski badanku masih bergetar tapi sudah tak separah tadi. Kekosongan kamar ini kugunakan untuk mengisi rongga dadaku yang terasa sesak karena tatapan Panji barusan.

Aku terkejut dengan perubahan sikap dari diri suamiku yang semula pendiam menjadi sebrutal itu. Dia marah karena aku bertemu dengan Gibran atau karena aku pergi dari rumah tanpa pamit.

Aku beranjak menuju kamar mandi guna membersihkan diri. Kutatap bekas merah yang mulai memudar di leherku, belum lagi yang berada di atas dada. Separah tato jawa alias kerokan.

Setelah bajuku terganti, aku keluar dari kamar mandi. Masih mencoba meyakinkan diri, aku keluar dari kamar. Kutengok ke kanan dan ke kiri mencari Panji tapi hingga badanku keluar dari sangkar, tak ada Panji di sana. Gila ya habis ngukir terus ngilang, harusnya Panji memberikan sedikit penjelasan atau sekedar basa-basi.

Mobilnya masih berada di garasi tapi pemiliknya hilang entah ke mana. Aku berjalan menuju dapur. Dapur sudah rapi. Bersih. Padahal sebelum pergi dapur ini seperti kapal pecah. Lalu, siapa yang membersihkan? Panji?

Rawon yang kubuat dalam mangkok juga sudah tak ada. Dimakan tikus?

Suara pintu belakang rumah terbuka, dan masuklah sosok yang kucari tadi. Panji sudah berganti dengan kaos putih polos dan celana pendek khaki. Saat pandangannya bertemu denganku dia menunduk.

Panji berjalan melewatiku masih dengan wajah menunduk. Terdengung kembali kata maaf yang diucapnya tadi, lirih dan sarat luka. Aku mengikuti pergerakan Panji, dia hendak membuka pintu kamar tapi diurungkannya kemudian memilih keluar dan duduk di teras samping.

Aku masih marah pada sikap Panji tadi, tapi seperti pepatah tak ada asap jika tak ada pembakaran. Mungkin kemarahan Panji juga karena diriku. Kutarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan dan lama.

Berjalan ke teras samping, kulihat Panji tiduran di kursi kayu berbantal lengan. Napasnya menderu, matanya terpejam, dan kerutan di keningnya tampak jelas.

"Om, sudah makan?" tanyaku.

Mata Panji terbuka dan langsung duduk, tatapannya hanya seperkian detik menatapku--yang berdiri di samping pintu--kemudian menunduk kembali.

"Aku nggak masak, kalau Om laper, aku belikan di warung ujung komplek gimana?" tawarku.

Panji berdiri dari kursi, mendekati tubuhku meski wajahnya tetap menunduk, "Saya sudah makan rawon yang di atas meja."

"Tapi itu kan rasanya aneh, Om."

"Enak," jawabnya lirih.

Mengheningkan cipta, dimulai. Lebih dari sepuluh menit kami sama-sama diam, tak ada yang berniat membuka suara. Baik aku atau Panji.

"Mmm ... Om, aku ngantuk, mau tidur dulu," putusku akhirnya, memutuskan kebisuan di antara kami.

Panji hanya mengangguk sekilas.

Dia ini kenapa sih?

---

Me : Kil, lo dirumah? Ke sini dongs...

Kila : punya apa lo, ngajak gue kerumah?

Me : gw knalin sama tmn gue, mau nggak?

Kila : OGYAH... temen lo banci semua,

Me : Anjeeeer, Rivan tenen gue dan dia udah bisa bikin anak tau.

Kila : anak SD sekarang juga pinter bikin anak, salah2 lubang juga dilakuin.
Kila : ada apaan?

Me : dateng aja,

Kila : Panji di rumah?

Belum sempat aku membalas pesan dari Kila, Panji terlihat membuka pintu dan masuk ke dalam kamar sepelan mungkin.

Panji membaringkan tubuhnya, jika biasanya dia akan tidur terlentang. Malam ini, dalam sejarah seminggu pernikahan kami, Panji tidur membelakangi diriku.

"Maaf, tadi saya terbawa emosi." Begitu katanya. Tangan kirinya terulur mematikan lampu tidur. "Selamat malam, Nat."

Aku diam, memutar tubuhku menghadap punggung Panji. Panji mungkin bisa menyembunyikan pijaran matanya di balik gelapnya ruangan ini, tapi aku sadar dia belum lelap karena mendengar deru napasnya yang belum teratur.

"Om... besok aku mau pergi sama Kila. Boleh?" Aku bicara sedikit bergetar. Entahlah seperti ada rasa ketakutan.

"Iya. Boleh," jawab Panji singkat.

Ini manusia kampret nggak ada mau nanya ke mana kek, ngapain kek? Ish! Pantes 32 tahun betah jomlo.

---

Pagi hari aku terbangun dan tak menemukan Panji di sebelahku. Aku terlonjak. Ya elah, ini mahkluk satu seneng banget ngilang.

Kuusap wajahku sekilat mungkin, beranjak dari kamar mencari sesuatu untuk mengisi perutku yang belum terisi sejak kemarin sore. Kakiku terhenti di ujung dapur, ada Panji di sana dengen kemeja kerja sedang menggoreng sesuatu.

"Om, masak apa?" tanyaku sesekali menguap. Membuat polusi udara di dapur saja memang aku ini. Hahaha.

"Saya buat nasi goreng, kamu mau?"

Ya maulaaah, Om. Gila selama pindah kemari aku cuma bisa makan dengan roti bakar tiap pagi karena keahlianku dalam dunia masak memasak setara dengan anak TK nol kecil.

Aku duduk di depan Panji. Dia sudah rapi, sudah wangi sementara aku masih mengenakan piyama hello kitty lengkap dengan jigong di mana-mana. Hebatnya Panji masih saja nikmat memakan nasi goreng di piringnya.

Agak malu memang. Tapi ya, kahanannya memang seperti ini. (Kahanan : keadaan)

Nasi goreng buatan Panji enak. Serius enak. "Om, pakai bumbu instan ya?"

"Nggak, gampang kok bikinnya."

Dari semalam, kuperhatikan. Panji selalu menunduk setiap kali berhadapan denganku. Misal tak sengaja bertemu pandang denganku pasti dia langsung menjauhkan pandangannya.

"Nat..."

Dia mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Satu credit card, satu atm, dan kunci mobil. Menyodorkannya di depanku.

"Buat kamu." Begitu ucapnya.

"Tapi masakanku nggak enak kan, Om." Kutatap tiga benda tersebut, "lagian kemarin bilangnya cuma credit card aja, ini berlebihan."

"Nggak apa-apa. Pakai saja."

"Oke. Tapi aku kasih peringatan ya, Om, kalau belanja aku suka lupa digit."

"Hmm ... asal jangan lupa sama status kamu, Nat."

Astaga. Panji ini sekalinya ngomong nyelekit mulu ya.

"Om..." belum aku menyelesaikan ucapanku. Panji sudah beranjak. Aku mengikutinya menuju garasi.

"Saya pergi dulu." begitu pamitnya. Tangannya sedikit ragu menjangkau diriku.

Yaelah, Om. Semalem aja begitu sekarang malu-malu. Aku maju selangkah. Mengambil tangannya dan meletakannya di ujung kepalaku.

Kurasakan Panji sedikit kaget. Tapi tak urung mengusapkan tangannya di rambutku. Rambutku masih lepek, semoga tak ada ketombe nyangkut di tangan si Panji.

"Hati-hati."

Ya, tak apa bukan mendoakan Panji selamat. Toh, baiknya memang kita berdoa untuk siapa saja. Iya.

---

Me : Gengs
Me : Cus kemana kita? Credit card dan atm sudah di tangan

Kila : Anjiiiir... gue langsung otw deh

Dinda : Rawon lu jadi?

Tiara : nggak lu sianida kan?

Rizka : Anjiiir lo maling ya?

Me : weits, jgn salah. Inilah buah kesabaran yang gue tuai

Dinda : enak banget sih lo...

Kila : tuker tambah Din, si Rivan sama Panji

Rivan : yang bersyukur, -_-

Dinda : eh iyaa...

Kila : gue butuh pewaris tahta...
Kila : Anak tunggal juragan cengkeh...
Kila : hueeee gue mau

Rizka : katanya krtu kredit doang.

Me : ada mobilnya blm d foto.

Dinda : servis lo pasti memuaskan.

Aku cekikikan sendiri membaca chat temen-temanku. Membiarkan mereka berspekulasi sendiri-sendiri. Aku mencomot kripik kentang dalam toples.

Sebuah ketukan pintu membuatku menghentikan kegiatanku. Kuintip dari jendela. Siapa yang datang di jam-jam kantor seperti ini.

Ternyata Kila.

"Cepet amat lo, Kil sampai sini."

"Iya, express si. Jadi, cepet."

"Lo naik apa?" Aku celingukan melihat ke belakang. Tak ada kendaraan parkir depan gerbang rumah.

"Dianter," jawab Kila singkat. "Masuk yuuuk. Masa tamu lo biarkan ngejogrog di depan pintu gini."

Aku mundur mempersilakan Kila masuk. Dia mengenakan rok span hitam ketat dan blus berwarna putih.

"Lo dari kantor?" tanyaku.

"Nggak. Gue habis lembur semalem. Hari Ini ijin," balasnya duduk di kursi depan televisi.

"Lembur sama bos lo?" Kila ini memang yang paling beringas di antara temanku yang lain.

"Enak aja. Ogah banget. Bos gue udah 55 tahun. Bininya udah dua. Seronde juga langsung keok."

Aku hampir menyemburkan minumku. Emang ini manusia satu tak pernah disaring mulutnya.

"Jadi, gimana soal rawon?" Aku tahu, dia pasti menanyakan soal itu.

Kuceritakan segalanya. Aku kenal Shakila ini dari masih duduk di bangku SMA. Dia memang terlihat tak beraturan, lebih liar tapi dia orang yang dapat dipercaya.

"Lo gemeter karena takut? Serius deh, Nat. Lo kaya orang diperkosa."

"Yakali, si Kil gue masuk artikel aku diperkosa suamiku. Gitu? Setres."

"Ya lo, kek orang tertekan gitu. Lo gemeter karena takut apa tegang doang? Sampai mewek gitu."

"Yaaa... awalnya gue takut. Gila teori dari Dinda itu nggak ada semua. Trus gue coba relaks. Udah gue coba tau, Kil. Tapi, gue kayaknya belum mampu. Sampai mewek gitu. Dan pas dia bilang maaf gitu gue merasa bersalah. Ketika dia pergi gue merasa terhina tau, Kil. Kesannya gue nggak menarik banget."

"Bukan lo nggak menarik, Nat. Tapi karena dia tau lo enggan melayani dia. Lo sebenarnya kenapa? Masih cinta sama Gibran?"

"Cinta? Nggak deh kayaknya. Soalnya kemaren gue ketemu sama dia tu malah kepikiran gimana bikin rawon buat Panji biar bisa belanja. Tapi, gue akui nyaman sama Gibran. Cuma pas ketemu sama Panji di sana langsung blank gue."

"Wait. Panji di sana?"

Aku mengangguk.

"Ya ampun Nata... lo bego kenapa dipiara sendiri sih. Panji tu marah karena cemburu."

"Ah mana mungkin? Dia aja kek orang kesetanan gitu."

"Tatap gue, Nat." Merinding langsung aku, si Kila kaya tukang hipnotis gini.

Aku menatap wajah cantik milik Kila.

"Dia makan rawon aneh lo?"

Aku mengangguk.

"Dia nggak protes lo nggak bisa masak?"

Kugelengkan kepala.

"Dia nggak marah lo nggak ngasih dia jatah?"

Aku menggeleng kembali.

"Serius ya, Nat. Kalau lo masih begini terus. Jangan heran nanti kalau ada cewek bunting datang ke sini ngaku dihamilin sama Panji."

Kila mengatakan itu tanpa tedeng aling-aling. Membuat darahku naik, langsung kugeplak kepalanya dengan sendok. Mauku geplak pakai gelas tapi takut gegar otak.

"Sekarang terserah elo, Nat. Kalau lo masih nyaman sama Gibran, dan masih berharap sama dia. Ya lo lepas Panji. Kasihan gue sama cowok kalem begitu. Gue siap kok jadi tempat sampah si Panji. Dengan senang hati."

Aku diam. Kalau dipikir-pikir selama nikah, Panji tak pernah menuntut apa-apa, cuma sekedar nyuruh bikinin rawon dan itu juga dikasih reward.

---

Malam ini Panji tiba di rumah pukul delapan lewat. Aku sudah bergelung dalam selimut. Hujan di luar sana membuat suhu udara menurun.

Panji keluar dari kamar mandi, duduk di tepi ranjang. Aku ikut duduk dengan selimut menutupi tubuhku.

"Om, lagi banyak kerjaan ya? Kelihatan suntuk begitu."

"Iya, kalau akhir tahun memang suka ada pembukuan dan sebagainya." Panji sedikit menjelaskan pekerjaannya yang kutanggapi dengan biasa karena aku tak mengerti. "Besok sore kita diundang ke rumah Mbak Rahma. Tasyakuran anaknya yang menang olimpiade. Kamu bisa?"

"Boleh."

Ponselku bergetar.

Gibran : bisa kamu pikirkan ulang, Nat?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top