Lima

Bagiku, melek setelah salat subuh itu hukumnya haram. Tapi berbeda dengan Panji. Iya, Panji yang kemarin SAH menjadi suamiku, baginya bangun setelah salat Subuh itu hukumnya Fardu 'ain. Akan berbuah dosa jika tidak dilaksanakan. Akan diazab neraka jika disepelekan.

And here I am... berdiri di depan pancoran air dengan tangan berlumur busa yang menutupi keanggunan kuku luthu-luthu batok milikku yang berwarna-warni seperti pelangi di pagi hari. Ngawur. Ah, aku sedang nyupir alias nyuci piring. Akhirnya, dalam sejarahnya aku mencuci piring juga. Walau kuping rasanya kebas karena sedari tadi nyonya besar selalu berkomentar 'itu di sebelah sana masih ada busanya', 'ini masih bau banget sabunnya. Bilas lagi!'

Siap Kanjeng Mami.

"Wiiiih, seksi kali pembantu baru kita, Ma." Suara seorang lelaki menginterupsi acara membilas piring yang sedang kulakukan sekarang.

Aku memutar badan, menyipratkan air pada adikku yang duduk di meja makan. "Gue kepret, ilang lo."

"Widiiiw, manten anyar mah tenaganya greeeng terus," godanya.

Kampret!

"Akibat pergulatan kalian yang berskala sepuluh skala richter itu, hampir runtuh atap kamar gue semalem. Malam pertama itu yang kalem dululah, malu-malu kucing gitu, nggak langsung akrobat kaya di sirkus."

Astagaaa.... Ya Tuhan, kenapa Kau lepehkan manusia kampret ini dari rahim Mama dan berstatus sebagai adikku yang lemah lembut ini?

"Huuus! Mending kamu bawa itu makanan ke meja makan." Begitu titah Mama pada Fikri, adikku yang bermulut biadab tadi.

"Kamu dari tadi baru dapet lima piring?" tanya Mama, melongokkan kepalanya dari samping leherku.

"Habis dari tadi masih bau sabun, jadi aku bilas terus."

Beliau berdecak. Kecewa. "Astaga, Nata. Nyuci lima piring saja bisa habis air sesumur kalau begitu caranya. Nanti kalau kamu ikut suamimu mau bagaimana?

DEG. Aku langsung berasa diguyur air satu kolam ikan mendengar pertanyaan mamaku. Ya ampun, aku melupakan sesuatu. Hakikat seorang istri adalah mengikuti suaminya ke mana saja. Itu artinya aku harus ikut Panji?

"Nata di sini aja ya sama Mama?" rengekku memelas.

Walau anakmu ini bagai benalu yang setiap hari ingin kau basmi, bagai jerawat yang tiap saat gemas ingin dipites, tapi aku tetap anakmu. Tolong, jangan usir anakmu ini Mama... Tolonglah, Ma....

"Kamu sekarang sudah jadi tanggung jawab Panji. Sudah seharusnya kamu ikut dia. Panji yang harus kamu hormati, yang harus kamu utamakan kebutuhannya, Nat." Mama memberikan penjelasan.

Langsung lemas kaki akika dengan jawaban mamake. Serius, gimana kalau Panji ternyata psiko? Gimana kalau Panji ternyata punya Red Room kayak milik Mr. Grey? Aku bahkan belum tahu menahu apapun soal Panji.

Gimana?

"Udah lanjutin nyuci piringnya nanti lagi, lelet banget kamu kaya siput gitu. Mending kamu sarapan dulu, sudah pada kumpul yang lainnya."

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menurut saja. Duduk di sebelah Panji yang pagi ini mengenakan kaos berkerah berwarna biru dongker, lengkap dengan garis-garis kecil di bagian depan. Celana hitam selutut. Grrr... segar sekali. Sementara rambutku kumpel bekas cipratan air dari keran. Padahal, biasanya aku selalu tampil totalitas. Tak boleh ada cacat satu pun.

Aku sudah semangat 45 mengambil nasi, memberi asupan pada cacing yang sudah goyang ngebor di perut—apalagi setelah perjuangan berat membunuh segala kuman dari piring-piring tadi. Namun, baru kupegang centong nasi, tanganku sudah dipukul Mama.

Apalagi sih, Ma?

"Ambilkan nasi buat suamimu dulu." Begitu titahnya.

Lah, Panji aja punya tangan sendiri masa masih perlu diambilkan? Apa perlu sekalian disuapin? Manja banget laiknya anak kecil.

"Ayo ambilkan!" kembali Mama berseru. Memberi perintah.

Papa yang ikut menatapku juga ikut menganggukan kepala.

Dengan terpaksa, aku mengambil piring milik Panji. Kuisi dengan dua centong nasi. Sayuran dan lauknya pun kutumpahkan semua dalam piringnya. Ini nasi apa Bukit Pariangan? HAHAHA.

Kudengar Panji menghela napas perlahan. Kasihan juga sebenarnya, tapi apa boleh buat nasi, sudah terlanjur tumplek blek di piring dia.

"Dimaklumi ya, Nji. Nata memang dari kecil nggak pernah pisah dari ketek Mamanya. Apa-apa sudah disediakan, tinggal pakai, tinggal suruh. Jadinya kolokan gini." Papa ambil suara pertama.

"Nata memang sedikit berontak kalau di kasih tahu. Tapi kamu harus tetap ngarahin dia ya, Le. Kalau Natanya sudah salah jalan tolong diluruskan. Kami percayakan Nata sama kamu." Mamaku ambil suara dua. Beliau menatap Panji penuh permohonan.

"Mbak Nata kalau bangun pagi susah, Bang. Makanya sedia air tiap pagi, lebih afdol lagi kalau dibacakan ayat Kursi. Pasti langsung siap grak." Fikri penyumbang suara ketiga.

Biadaaab... nggak ada yang lebih bikin terharu gitu?

"Mulut lo beneran minta dicabein!" geramku, tak terima dengan perkataan Fikri barusan.

Ya memang sih, aku susah bangun. Tapi, tadi pagi begitu lenganku bersentuhan dengan lengan Panji, efeknya lebih dahsyat daripada ayat kursi ataupun surat yasin. Langsung bangun tanpa ngulet terlebih dahulu.

"Cabe-cabean maksud lo? Berapa kilo?"

"Fikri!" Papa bersuara. Tegas, hening kemudian menyeruak di meja makan.

Mpoooos, Paduka Raja langsung menyemburkan larva panas. Fikri sendiri langsung kicep, lemah tak berdaya.

Fikri ini adik lelakiku satu-satunya, beda empat tahun di bawahku yang sekarang sedang mengenyam bangku Akademi Militer—mengikuti jejak Papaku dulu. Dia tinggi, kulitnya tetap kuning langsat walau kujamin hampir tiap hari dia dijemur layaknya ikan teri di bawah sinar matahari, dan kepala plontos. Mungkin kutu jalan pun, kelihatan.

"Jadi, kapan kalian mau pindah?" tanya Papa, mengganti topik lebih normal.

Kualihkan pandanganku ke arah Panji, dia masih mengunyah makannya. Mulutnya tertutup rapat, tetapi gerakan rahangnya saat mengunyah terlihat menggairahkan, apalagi jakunnya yang ikut turun tiap kali ia menelan makanan. Duh, Gusti... ini musibah atau anugrah?

"InshaAllah besok, Pa." Begitu jawabnya, membuatku membisu.

Besok itu setelah hari ini kan?

---

Aku memang sengaja bertanya sama Dinda. Ibarat balapan Moto GP. Dinda ini berada di barisan paling depan kalau soal urusan undang-undang pernikahan. Berbanding terbalik dengan Kila, bertanya pada dia sama saja mencari jalan sesat menyesatkan.

Me : Din, lo ikut Rivan?

Dinda : Jelaslah, cinta.

Me : bisa nggak sih, kita tetap dtmpat orang tua?

Dinda : bisa aja, kalau misal lu anak bungsu dan g ada yg rawat ortu. Lo boleh ikut ortu. Mending di rembuk dulu sama Panji.
Dinda : btw gimana semalem?
Dinda : saking asyiknya sampai nggak nongol di grup.

Andai kau tahu yang terjadi sesungguhnya, Din. Semalam tak ada adegan mengharu biru seperti yang selalu kubaca di Wattpad, bukan pula yang sering jadi bahan obrolan di grup soal malam pertama.

Bukan itu semua.

Baru akan kubalas chat dari Dinda, pintu kamar terbuka. Panji masuk ke dalam kamar dan duduk di sampingku, mengarahkan tatapannya kepadaku.

Aku mendengus sebal.

"Ada yang mau kamu bicarakan?" tanya Panji karena melihatku hanya diam.

Iya, ada. Banyak.

"Utarakan aja yang jadi beban pikiranmu, nanti saya jawab."

"Kok lu nggak ada ngomong dulu sama gue, Om, kalau kita mau pindah besok?" Permulaan yang manis dengan suara bernada satu oktaf. "Kenapa nggak nanya dulu apa gue setuju buat pindah apa enggak? Dan kalaupun gue setuju pindah, kenapa nggak nanya dulu kapannya gue bisa pindah dari sini?"

Mama pernah bilang dia punya usaha di Solo, kalau sampai aku diajak kesana bagaimana?

"Gue bahkan nggak tahu kita mau pindah ke mana. Kalau jauh, gue harus salam perpisahan dulu sama sanak keluarga, sama sahabat-sahabat gue. Nggak bisa langsung lari kaya kucing garong habis ngawinin betinanya. Tanam benih terus ditinggal pergi." Kali ini sudah oktaf nada suaraku. Oke, lebay. "Memangnya Om fikir kalau pindah besok kita nggak—"

CUP!

Belum selesai aku menumpah ruahkan segala amarahku, Panji sudah lebih dulu menempelkan bibirnya padaku. Pada bibirku lebih tepatnya. Cuma sekilas, tapi efeknya luar biasa sekali.

"Maaf, tapi kita akan tetap pindah. Besok. Dan nggak ada tawar menawar, Nata. Kamu istriku sekarang," jawab Panji santai. "Kamu nggak perlu takut nggak bisa lagi temu kangen sama sanak saudara dan sahabat-sahabatmu, kita pindah lima rumah ke kanan samping rumah Papa."

Aku diam membeku seperti pinguin yang terkubur dalam suhu dibawah nol derajat celsius.

Bukan karena jawaban Panji barusan. Tapi karena apa yang dilakukannya barusan. Kecupan singkat tadi. Cuma nempel, tapi rasanya bibirku langsung kesemutan. Kaku. Sengkring-sengkring nggak jelas.

Bibirku bukan bibir suci Dewi Kwan-in. Aku sudah pernah berciuman dengan Gibran jaman SMA. Pergulatan benda empuk itu, sudah pernah. Sembur-semburan air liur pun sudah pernah kualami. Hisap-hisapan daging, aku pernah juga. Gigit-gigitan doang, jelas pernah itu mah level cetek.

Serius, aku tak bohong. Kalau sampai aku berbohong, besok aku kawin lagi sama CEO.

Tapi ini dicium Panji yang statusnya cuma nempel tak ada lima detik. Kenapa efeknya membuat aku seperti anak baru beger yang direnggut kesuciannya. Awalnya kaget, nolak, sakit, terus malu-malu minta grepe-grepe.

Grrrr.... minta diguyur benar otakku ini.

"Kenapa? Mau lagi?" ucap Panji. Nada biacaranya masih datar seolah tak terjadi apapun pada kami.

Kutatap Panji yang juga menatap ke arahku, sebelah bibirnya terangkat membetuk seringaian. Kutembus pijar hitam pekat miliknya yang tertutup di balik lensa. Kali ini lebih lama dan lebih dalam.

Bagaimana rasanya akrobat bibir dengan kacamata sebagai penghias?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top