Enam Belas
Hari ketiga.
Mataku terbuka ketika merasakan ada penerangan di dalam kamar. Lampu tidur di sisi sebelah Panji menyala. Kugapai ponselku di nakas, kulihat jam yang tercantum di layar. Baru pukul dua dini hari, masih terlalu pagi untuk bangun.
Panji sudah tak ada di tempatnya tapi saat kulihat lampu kamar mandi ikut menyala, aku yakin lelaki itu sedang berada di sana. Enggan beranjak dari tempat, aku memilih memainkan ponselku. Membuka obrolan sampah di grup, membaca novel online, sampai membuka instagram. Namun, hingga jenuh dari kegiatanku, Panji tak kunjung keluar. Sakit perutkah lelaki itu? Atau pingsan di dalam kamar mandi.
Aku bangkit, menyibak selimut, dan berjalan menuju kamar mandi. Pintu yang tak sepenuhnya tertutup membuatku ingin mengumpat. Bagaimana jika lelaki itu sedang buang hajat? Polusinya sampai ke mana-manalah.
Namun, ketika kakiku tiba di depan pintu. Tubuhku seketika menegang. Sembari membekap mulut, kutahan keterkejutanku. Dari sini kulihat Panji sedang berjongkok membelakangiku, dengan suara desahan dari ponselnya.
Air mataku mengalir, Kila pernah menyebutkan kegiatan yang tengah dilakukan Panji. Aku lupa, tapi yang jelas Panji sedang memuaskan hasratnya sendiri. Pipiku kian basah menyadari bahwa Panji selama ini menahan segalanya di depanku.
Apa gunaku sebenarnya selama ini? Aku seorang istri tak menyadari bahwa suaminya memiliki kebutuhan, dan itu tak hanya makan. Sama halnya dengan orang lapar yang akan mudah emosi, susah tidur, dan badan terasa nyeri. Menahan hasrat bagi seorang lelaki juga sama demikian. Aku sadar tapi masa bodoh. Masa bodoh akan apa yang sudah Panji lakukan agar terlihat baik-baik saja di depanku.
Bekapan mulutku makin erat, menahan isakkanku agar tak lolos. Seburuk inikah aku sebagai seorang istri? Istri yang hanya mampu bersikap egois dan memikirkan dirinya sendiri. Yang dengan teganya memikirkan lelaki lain padahal ada suami di depan mata.
Mendengar bagaimana desahan Panji meluncur dan getaran dari punggungnya, membuat dadaku makin sesak. Panji pasti tengah kecewa padaku, pada istri tak bergunanya. Lelaki itu pasti tengah tenggelam dalam lautan penyesalan karena telah menikah dengan wanita yang salah.
Kugigit bibir bawahku kuat, dadaku sudah kembang kempis menahan sesak. Aku tahu jawaban yang akan kusampaikan nanti tepat. Panji pantas mendapatkan balasan untuk semua keikhlasannya.
Pintu kamar mandi terbuka lebar, Panji berdiri dengan wajah tegang dan terkejut layaknya seorang pacar tertangkap selingkuh. Tak kutahan lagi, kulepas tanganku yang semula berada di mulut. Meloloskan satu isakkan, ketika Panji maju selangkah.
Panji membawa tubuhku dalam dekapannya, mengelus punggungku perlahan, "sssssttt... kenapa nangis? Nggak ada yang jual balon malem-malem gini," gurau Panji, menenangkanku.
Harusnya Panji murka padaku, menyentakku, memarahiku, bahkan mendiamkanku. Bukannya memeberikan dekapan dan usapan hangatnya.
Tangisku bukannya mereda malah makin pecah. Menyadari kegagalanku sebagai seorang istri. Apa sih guna lo, Nat.
"Ssst... kok makin kenceng, nanti kalau ada tetangga denger malah dikira kamu kenapa-napa lagi. Udah, ya?" Usapan Panji berpindah pada belakang kepalaku.
Pelukkanku mengerat pada tubuh Panji, "maaf... Mas, maaf," ucapku, terbata. Sesekali tersedak tangisku sendiri.
"Iya, tapi udahan nangisnya," ucapnya tenang, mencoba mendorong pundakku tapi aku mempererat pelukkanku, enggan menampakan wajah kacauku pada Panji.
Masih dengan pelukkanku yang kuat, Panji melipir ke arah ranjang. Mendudukkanku di sana, barulah aku melepaskan diri dari tubuh Panji.
Panji mengusap pipiku dengan ibu jarinya, "kenapa?" tanyanya, menyampirkan rambutku yang menjuntai menutupi wajah.
Aku masih menunduk, "maaf ya, Mas," ucapku, masih sedikit terisak.
"Tak ada yang perlu dimaafkan, karena kamu nggak salah," ujar Panji. Membelai ujung kepalaku lembut. "Tidur lagi kalau masih ngantuk," ajaknya.
Aku menggeleng, "Mas menyesal menikah sama aku?" Takut-takut kutegakkan wajahku yang sedari tadi menunduk.
Panji tengah menatapku tanpa penghalang kacamatanya. Makin terlihat bagaimana bening dan tulusnya lelaki itu. Mengapa aku terus mengelak untuk belajar menerima Panji?
Panji menyugar rambutnya, "untuk apa menyesal? Sekarang tidur udah ada yang nemenin, kan?"
Aku memukul lengannya, bisa-bisanya bercanda di saat seperti ini. Mencebikkan wajah, aku melengos ke sembarang arah.
Diusapnya kantung mataku, "kamu nggak takut besok jadi panda? Muka bengep karena nangis kaya tadi," godanya lagi.
Aku menepis tangannya, "yang bener ih, nggak dijawab malah ngomong macem-macem."
Panji akhirnya duduk menyamping, mengarahkan tubuhnya padaku, "menikah itu bukan tentang menyesal atau tidak, Nat. Menikah itu seperti terjebak macet, kita nggak bisa mundur lagi. Yang bisa kita lakukan hanya bertahan dan mencari celah supaya bisa maju."
Penjelasan Panji membuat senyumku terbit, "aku udah punya jawaban untuk pertanyaan Mas tempo hari, nggak perlu menunggu sampai hari ke enam."
Panji terlihat tak mampu mengantisipasi keterkejutannya, "kenapa, Nat? Kita belum coba tiga hari lagi, kan?"
Aku menggeleng, "karena jawabannya akan tetap sama walau harus nunggu enam hari. Jadi, daripada buang-buang waktu lebih baik secepatnya, kan?"
"Nat...." Panji terlihat bingung, dan... takut. Takut akan apa?
"Kita tidur, Mas. Besok Mas masih kerja, kan?" Aku bangkit dan merebahkan tubuhku. Menangis ternyata menguras tenaga juga.
Panji masih duduk di tempat semula, lelaki itu terlihat kosong. Aku duduk hendak menepuk pundaknya, tapi Panji lebih dulu bangkit dan merebahkan diri di tempatnya. Menarik tubuhku dalam dekapannya.
"Katanya kalau tidur sambil pelukkan bikin kebas tangan," godaku.
"Hmm," gumamnya, mencium kepalaku sekilas.
"Aku belum keramas loh," godaku lagi.
"Hmm, tidur, Nat," tegurnya.
Aku mengangguk, makin terbuai kantuk saat dinina bobokan oleh aroma tubuh Panji dan usapan lembut di punggungku.
Selamat tidur, pemirsah.
---
Jika malam tadi mataku dipaksa terbuka karena lampu yang hidup, pagi ini aku dipaksa bangun karena hidungku mencium bau semerbak dari luar sana. Kusibak selimut dan berjalan pelan keluar kamar tanpa alas kakiku.
Dengan mengikuti harum yang tercipta, kakiku berhenti di depan pintu pembatas dapur. Menemukan Panji berdiri membelakangiku, sudah rapi dengan kemeja kerja, dan celemek di tubuhnya.
"Mas," panggilku, Panji menoleh dan tersenyum. "Lagi apa?" tanyaku.
"Duduk aja dulu, hampir jadi," titahnya, aku berjalan menuju meja bar, mengamati Panji yang sibuk menuangkan sesuatu ke dalam mangkok.
Lelaki itu berjalan ke arahku, meletakkan mangkok di hadapanku. Hidungku langsung mencium aroma sedap dari masakan ini.
"Ini rawon?" tanyaku, takjub.
Panji mengangguk, mengambilkan sendok, dan mengapitkan pada tanganku, "iya, ayo cobain."
Aku mengikuti perintah Panji, memasukan satu sendok penuh rawon ke dalam mulutku, "wow! enak banget, sama kaya yang kita beli waktu itu," ucapku, mengacungkan dua jempolku di hadapan Panji, "aku kalah sama Mas Panji, nih."
Panji tergelak, mengusap rambutku, "habiskan kalau begitu, Mas mau siap-siap dulu," pamit Panji.
Aku kembali sibuk dengan rawon di mangkok ini, ketika kurasakan satu usapan bersarang di kepalaku. Saat menoleh, Panji sudah membuka pintu kamar.
Karena terlalu menikmati rawon buatan Panji, aku tak menyadari jika Panji sudah duduk di sebelahku lengkap dengan perlengkapan tempurnya. "Mas sudah mau berangkat? Nggak mau sarapan dulu?"
Panji menggeleng, tangannya menjumput rambutku yang menutupi wajah, "kamu nggak bisa berfikir ulang, Nat? Kita masih belum coba hari esok, besok lusa, dan besoknya lagi."
Aku menggeleng, menarik tangan Panji dari rambutku, "aku udah bilang sama Gibran mau ketemu ngomongin ini, Mas. Sekalian juga kan biar cepet," jelasku tanpa menyadari perubahan raut wajah Panji.
"Tetap sama, ya?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Panji ganti mengangguk, bangkit, dan berjalan menuju carport. CR-V hitam itu sudah dipanaskan sejak tadi. "Kamu nggak akan berubah pikiran?"
Aku menggeleng, mendorong tubuh Panji, "udah siang ini, Mas, telat nanti malu sama anak buah."
Panji mengusap puncak kepalaku ganti mengecup keningku lebih lama dari biasanya. Diambilnya tangan kananku, digenggamnya kemudian dibawa ke dahiku.
"Aku berangkat dulu, Istriku," pamit Panji masuk dalam mobil. Ucapannya seolah ini adalah terkhir kalinya kami akan bertatap muka.
---
"Inget nggak sih, Nat, dulu kita sering banget masuk BK karena telat masuk kelas," ucap lelaki tampan di hadapanku. Sore ini dia berkunjung dengan kaos putih polos dan celana jeans hitam. Gibran memang selalu terlihat menyenangkan. Entah dulu ataupun sekarang, tak ada perubahan sama sekali. Bedanya tubuh Gibran lebih kekar dan berisi, dulu dia cungkring.
"Iyalah, situ enak karena ketua OSIS, ponakan guru BK pula. Lolos terus kalau dikasih hukuman, lah aku? Tanda tangan terus, nyapu halaman terus." Aku ganti tertawa mengenang masa SMA, ketika masih berstatus sebagai kekasih Gibran. Mengenangnya saja sudah menyenangkan, apalagi menjalaninya dulu.
"Terus yang paling konyol pas kamu dilabrak sama Aira, yang ngira kamu ngedeketin aku dulu." Gelak tawa Gibran menggema di luar rumah.
Iya, aku tak mungkin membawa Gibran masuk ke dalam rumah. Sementara tak ada satu pun orang di rumah.
"Ingetlah, itu anak emang songong banget, sok cantik banget, tapi untung ada Kila, dia yang bantuin nyakar sama ngejambak itu orang sampai kapok. Masa ya dia ngatain aku jablay," tertawa karena malu, merasa konyol akan hal yang telah kita lakukan di masa lampau.
"Emang Kila juaranya labrak-labrakan," ucap Gibran menyetujui.
"Kamu juga pakai ngerespon sikap dia, kan merasa kamu kasih harapan," ucapku, mendorong lengan Gibran.
"Harapan palsu."
"Dasar tukang PHP," jedaku, "gimana kabarnya si Aira ya sekarang?"
"Nat," panggil seseorang yang suaranya sudah kuhapal mati. Panji berdiri di tangga teras rumah. Tatapannya tertuju padaku dan Gibran. Sejak kapan Panji datang?
Aku bangkit, mendekati Panji, "udah pulang? Kok aku nggak kedengeran suara mobilnya," tanyaku, mengambil tas Panji.
Panji terdengar mendengus, "kamu terlalu sibuk tertawa dari tadi," sindirnya. Pandangannya beralih pada Gibran.
Gibran terlihat santai, dia menyandarkan punggungnya pada kursi kayu itu. Mengangguk sambil tersenyum. Aku mendelik pada Gibran, tapi bukannya takut, Gibran malah tersenyum. "Aku pulang ya, Nat. Terima kasih atas jamuannya." Gibran mungkin jengah dengan tatapan Panji. Lelaki itu menyempatkan diri menepuk pundak Panji sebelum berlalu.
"Gibran sudah dari tadi?" tanya Panji, pandangannya menjelajah seluruh isi halaman rumah.
"Nggak, tadi juga dia kerja dulu. Terus ke sini pas selesai dari kerjaan luar kantor. Males balik katanya," jelasku. "Lagian aku juga gak bisa nunggu buat kasih jawaban ke Gibran."
"Segitu nggak sabar ya, Nat." Panji tersenyum sinis.
Panji membuka pintu kemudian masuk ke dalam rumah tanpa mengajakku. Aku terdiam melihat sikap Panji barusan. Mengekori di belakang Panji, aku ikut masuk ke dalam kamar.
Panji berdiri di depan jendela dengan kedua tangan yang dimasukan dalam saku. Melihat itu aku ikut berdiri di depannya, menghalangi pemandangan samping rumah. "Kenapa jam segini udah pulang? Kerjaan kantor nggak banyak ya, Mas?" tanyaku, karena tak biasanya Panji tiba di rumah sebelum pukul lima sore. "Aku jadi belum masak, apa mau makan di luar aja, Mas?"
Panji menggeleng, menatap wajahku sendu. Tangannya terulur mengusap pipiku, "kamu serius mau kembali sama Gibran?" tanyanya dengan suara bergetar.
Aku tahu maksud lelaki ini.
Dengan senyum menyeringai, "emang kenapa kalau aku kembali sama Gibran?"
"Mas nggak rela, Nat." Panji mengapit kedua pipiku dengan tangannya, "sekali pun jawaban kamu tetap memilih dengan Gibran, Mas tetap akan menahan kamu tetap di sini," tegas Panji. Suaranya penuh penekanan.
"Kalau aku...." ucapku, tapi terputus oleh ucapan Panji.
"Bilang nggak, Nat. Bilang kamu nggak akan balik sama Gibran," ucapnya semakin kuat mengapit pipiku.
Aku terdiam, takjub pada perubahan sikap Panji. Sedikit meringis karena nyeri di pipiku.
Panji ikut diam, apitannya melonggar, lalu lepas dibarengi desahan berat.
"Mas, aku...."
"Nggak apa-apa, Nat. Semua pilihan ada di tangan kamu," ucapnya.
"Ish, jangan dipotong dulu," keluhku, mencebik, "Mas bilang, menikah itu bukan cuma perkara sesal akan masa lalu, tapi gimana cara kita bertahan untuk nggak mengulang kesalahan yang terdahulu. Sama kaya aku, Mas."
"Maksud kamu?"
"Nata mungkin nggak bisa menjanjikan perasaan yang tulus untuk Mas. Nata juga belum bisa dibilang sempurna untuk dijadikan istri, tapi Nata mau bertahan di sini sama Mas Panji."
"Jadi?"
Aku meloncat, memeluk Panji erat, "mau di sini aja sama Mas Panji," ucapku di dada Panji. Entah mengapa, dada tak bidang milik lelaki ini terasa lebih nyaman disandari. "Kata Mama, kalau kita nikah, bukan cuma Nata sama Mas Panji aja yang disatukan tapi juga keluarga kita. Nata nggak mau bikin malu Papa terus dicoret dari daftar warisan. Udah gitu, kita kan udah janji di hadapan Tuhan jadi harus jaga komitmen."
"Jadi?"
"Ish, jadi mulu... nggak ada tanggapan lainnya?"
Menikah tanpa cinta, tak berarti harus kandas, bukan?
Panji memelukku erat, "terima kasih."
"Terima kasih aja nggak cukup, Mas. Belanja yang kemarin tambahin ya?" godaku, menggesekkan hidung di dada Panji.
Panji ganti tergelak, mengecup puncak kepalaku, "boleh."
"Bau keringet, ih," keluhku, melepas pelukkan, "AC kantor Mas rusak? Atau AC mobil nggak dihidupin?" tanyaku.
Panji menjawil daguku, "Mas tadi lari dari depan karena nemu mobil Gibran di carport."
"Terus mobilnya?"
"Mas parkir di sana," Panji menyusupkan beberapa rambutku ke belakang telinga.
"Mandi sana," usirku, "atau mau dimandiin dulu?"
Panji bergumam, "astaga."
Aku tergelak, menikah tanpa cinta bukan berarti tak bahagia, bukan?
"Mandi bareng aja gimana?"
Aku mendongak.
"Boleh, kan, Nat?"
Boleh apa?
Panji menunduk, menyeringai nakal padaku. "Mas baca di novel yang kamu beli, banyak kok dijelasin soal begituan," ujar Panji dengan kedua alis dinaik turunkan lucu.
Oh?
"Jadi sebenarnya ilmu kamu sudah banyak, kan?" godanya lagi.
Pipiku menghangat, "serius, aku cuma jago teori, prakteknya nol besar."
"Mau coba realisasikan novel kamu itu?"
Aku memalingkan wajah, malu. Malu karena ketahuan suka membaca novel plus-plus, dan malu karena aku sudah tahu soal yang begituan.
Astaga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top