Enam

"Panji ke mana, Nat?" tanya Papa. Beliau sedang berdiri di samping pintu samping sementara aku duduk menghadap kolam ikan.
Yyuiiiiiiiijj klik iiu dengan Panji, aku selalu menghindar. Dia di Sabang, aku ke Merauke. Dia di Selat Sunda, aku ke Selat malaka. Dia di kamar, aku di luar. Dia di alam mimpi, aku di alam ghaib. Astagfirullah.

Ibarat dua garis sejajar dalam satu bidang. Berada dalam satu ruang, satu alam tapi tak mampu bersinggungan. Jujur saja, hatiku merasa geli tiap kali memikirkan tempel-tempelan tadi. Dan bercampur malu.

Sudah kubilang, walau dari luar aku terlihat seperti induk macan, tapi sebenarnya hatiku hanya seperti bayi singa. Persis yang dikatakan Panji saat itu: aku seperti bayi macan.

"Papa mau ngomong serius sama kamu, Nat." Papa menarik aku dari dunia khayalku kembali ke samping kolam yang hari ini bau amis sekali.

Beliau duduk di sampingku, di kursi yang sama saat pertama kali Panji bertandang ke sini. "Karena kamu sudah jadi istri orang, tanggung jawab atas kamu sudah berpindah pundak dari Papa ke Panji. Jadi...."

Aku sudah deg-degan mendenger lanjutan omongan Papa. Kutatap penuh minat mimik wajah Papaku yang sudah menua, tetap menunjukan digdayanya.

"Jadi, Papa minta kembali ATM, credit card, serta mobilmu," lanjut Papa menuntaskan kalimatnya, menjelaskan maksud ucapannya dengan watados.

Aku langsung melongo.

Ketakutanku akhirnya terealisasikan juga, aku akan ditendang dari rumah tanpa membawa apa pun. Tanpa membawa uang sepeser pun.

"Yaaah, Pa, kalau diambil semua aku gimana?" rengekku. Hanya ini yang sanggup kulakukan saat ini. Karena kalau aku membentak. Yang ada semua aset malah diminta termasuk baju-bajuku yang harus ditinggal semua.

Kiamat sugro versi Natalia Laura adalah ini...

si Jazzi yang tiap hari menemamiku, yang dengan sabar berkutat dengan macet, yang selalu memberikan aku perlindungan dari panas hujan harus di kembalikan ke Paduka Raja.

"Papa sangat yakin Panji lebih dari sekadar mampu untuk mencukupi kebutuhanmu, Nat."

Bukan masalah mampu mencukupi kebutuhan atau tidak, tapi bersedia atau tidak Panji memenuhi keperluanku. Itu poinnya.

---

Aku duduk di ranjang, punggungku kusandarkan ke kepala ranjang sambil memainkan tabletku. Yang lain—termasuk Panji—sedang berkumpul di bawah, menonton pertandingan final AFF antara Indonesia melawan Thailand. Berhubung aku tak mengerti bola sama sekali, jadi, aku memilih untuk mengungsi saja di kamar.

Aku membuka aplikasi Wattpad, ternyata sepi. Membuka Line ternyata sepi juga. Akhirnya, kuputuskan membuka sosial media Instagram, sosial media pencitraan publik.

Aku ini suka sekali melihat-lihat foto pencitraan dari artis-artis, teman-teman, bahkan orang-orang yang tak kukenal—entah yang hidup di belahan dunia mana. Stalking begitu memang membuat orang lupa waktu. Membuat orang bisa gagal move on, bisa membuat orang memendam rasa iri, dan banyak lagi. Tapi sepertinya penyakit stalking-ku sudah stadium akhir.

Aku iseng membuka kolom pencarian dan mengetikan nama Om gila yang sudah melabelkan aku ini sebagai miliknya. Viola. Ternyata ada. Ya ampun, kupikir om-om itu tak hobi menggunakan sosial media. Hidupnya hanya berkutat dengan email dan setumpuk pekerjaan. Dan beruntungnya akunnya tak terkunci.

Kucek satu persatu following milik akun Panji Mangkubumi. Dia memang hanya mengikuti beberapa orang, berbeda denganku yang akan memfollow beberapa fanbase. Tapi untung saja dia masih waras untuk tidak mengikuti akun 'obatlemahsyahwat', 'peninggibadanherbal', 'obatkuatherbal'.

Aku menemukan akunku di antara jajaran akun yang dia ikuti. Sejak kapan? Kenapa selama ini aku tak menyadari kalau sudah diikuti oleh Panji. Berarti sejak dulu dia sudah mengamati diriku karena saat menemukan akunku, ternyata berada di barisan paling bawah.

---

Tiara : Gaes, lusa ke Plaza Indonesia yuk? Lagi banyak diskon

Rivan : matek dompet gue matek, siapkan pemakaman...

Zhio : HAHAHA Dinda udah ngelist apa aja Van.

Rivan : Yg jls bisa buat beli sempak lu dua lemari.

Dinda : Nggak segitu jg kali, ynx -_-

Kila : kita todong makan2 sama bu bos dongs... gitu aja rempong

Rizka : Setujuuuu, dr kmren si Nata de coco g nongol krna takut kita palak.

Me : hmmmpt...

Gilang : PK dongs Nat.

Me : apaan PK? Penjahat kelamin? Penyakit kulit?

Gilang : Pajak Kawin

Kila : enak ya Nata, sekarang udah punya pundak untuk bersandar dari kerasnya hdup.

Dinda : makanya kawin.

Gilang : molekul aja pada berpasang2an masa lu sendiri, Kil?

Rivan : biji dikotil aja tumbuhnya dua, biar nggak jomplang. Biar hidup balance. Hahaha

Mereka ini tak tahu saja, aku sedang gegana. Gelisah galau merana. Dompetku tinggal sisa baunya, isinya sudah raib semua. Dan pundak, pundak siapa yang akan kujadikan sandaran? Sementara, aku dan Panji saja berkomunikasi masih bisa dihitung pakai jari. Masih dalam taraf belum bisa sepenuhnya saling menerima. Masih butuh proses adaptasi.

Jangan percaya cerita Wattpad, dijodohkan lalu jatuh cinta dan malam pertama langsung sukses malam pertama. Walau kuakui, memang ada denyut berbeda ketika Panji mengecup bibirku semalam, tetapi tetap saja, hal itu bukan sesuatu hal yang bisa kujadikan jaminan untuk berbagi rasa dengan Panji, bukan?

Rivan : Taruhan aja gimana? Indonesia atau Thailand yang menang. Yang kalah taruhan, nraktir.

Gilang : Lo pegang siapa?

Zhio : Thailand, secara body indo kalah dari mereka.

Gilang : Indonesia, harga mati.

Kila : Thailand dong, ckep2 body mereka bikin adek butuh pegangan, bokong semlohe

Tiara : Indonesia Tumpah darahku.

Me : Indonesia aja deh,

Aku turun menuju ruang tengah. Ada Papa, Fikri, dan Panji yang juga sedang menonton sepak bola. Aku duduk di dekat Fikri. Tak ada yang menyapaku, bahkan menoleh pun tidak. Saking fokusnya mereka pada tayangan permainan sepak bola di layar televisi sana.

"Udah berapa skornya?" tanyaku. Ikut mencomot kripik dalam toples yang sedang di genggam Fikri.

"dua kosong," jawab Papa.

"Indonesia udah nggak mungkin menang, udah kalah telak." Fikri berhipotesa.

"Siapa tahu ada keajaiban dunia. Jangan langsung ngomong kalah-kalah, lah." Aku sebenarnya tak begitu peduli Indonesia menang atau kalah, toh para pemainnya tetap bakal digaji kalau pun mereka kalah. Lah, aku kalau kalah taruhan, mau bayar pakai apa? Harta yang kumiliki sekarang hanya yang kukenakan saat ini. HIKS....

"Sampai lu nikah sama Gibran juga nggak bakal menang." Fikri mulai melakukan konfrontasi.

Wah... wah... ngajak perang ini mahkluk kampret hiji.

"Yeee... dari pada lu, ngajak pacaran anak orang. Dari jaman Jahiliyah sampai Indonesia merdeka, masih aja digantung. Nggak dikasih jawaban. Kaya kolor kendor yang dijemur... terus tertiup angin. Fiuh, jatuh."

"Apa bedanya sama elu? Pacaran bertahun-tahun sama Bang Toyip yang pulangnya setiap tahun kabisat. Itu pacaran apa KPR rumah?"

Amsyoooong... mulut minta diulek pakai cabe seton.

Sumpah. Menjalani long distance relationship selama hampir enam tahun tak membuatku se-desperate itu. Maksudku, iya memang awal-awal aku galau. Kepikiran terus. Tapi semakin lama, aku semakin realistis. Hidup tak harus melulu soal cinta, kan?

Aku bukan wanita yang mengatasnamakan cinta diatas segalanya.

Aku bahagia dengan LDR-ku dulu, kangen juga selalu pada porsinya. Tak pernah berlebihan hingga membuat aku gila dan nekat mengunjungi Gibran di belahan dunia sana. Untung saja masih ada bagian dari otakku yang masih waras, sehingga tak membuat perbuatan konyol yang akan membuat aku menyesal di kemudian hari.

Sama seperti seorang sahabatku yang juga sudah berpacaran lebih dari puluhan tahun, namun sampai sekarang belum menikah juga. Dia juga tak terlihat merana, malah kulihat dia bisa liburan ke luar negeri tiap tahun, diameter pipinya pun kulihat makin lama makin bertambah.

Aku pun begitu. Aku juga belum parah, sampai taraf tak tertolong hingga hati terasa bahagia ketika membaca cerita yang sad ending. Karena ternyata ada yang lebih merana daripada yang kualami.

Lagi pula, aku tak pernah merasa kesepian selama ini. Aku masih suka jalan dengan teman kampusku yang cowok sekali dua kali. Kasih modus-modus dikit, deketin, pas direspon, lari.

Tak ada alasan aku untuk sedih, kan?

"Untung Bang Panji khilaf mau nikah sama elu. Nenek lampir, galaknya minta ampun, nggak bisa masak...."

Sudah tak kuhiraukan ucapan Fikri, aku baru menyadari kalau di ruangan ini ada Panji. Kutengadahkan pandanganku, menatap hawa panas yang tiba-tiba menyebar di ruangan ini.

Mata Papa sudah melebar sempurna. Tanda siaga satu. Lalu, tatapanku bertemu dengan Panji yang juga balas menatapku. Mimik wajahnya tetap datar seperti biasa, bibirnya terkatup rapat, tetapi sorot matanya yang diarahkan padaku... membuat hatiku berdesir. Pijar mata tanpa kedip sedetik pun seolah ingin menenggelamkan aku dalam pekatnya.

Kalau sudah seperti ini sekarang, siapa yang peduli Indonesia menang atau kalah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top