Dua Puluh Satu

"Jadi, Mbak Luri tinggal sendirian di Jakarta? Nggak ada sanak saudara gitu?" tanyaku pada Panji yang masih fokus ke jalanan.

Panji mengangguk, "dulu Bapak Ibunya di sini karena tugas, terus pas mutasi lagi ke Jogja, Luri nggak ikut," jawab Panji, terlihat tenang.

Setelah bergulat dengan pikiranku sendiri, menimbang apakah harus memberikan informasi soal Luri pada Panji atau tidak, akhirnya aku memilih memberi tahu pesan yang dikirim Luri. Meski egoku sebagai wanita, pun istri terluka, tapi sisi manusiawiku masih berpijak. Jika pun nanti terjadi sesuatu pada Luri, aku mungkin akan terbayang penyesalan. Dan aku enggan demikian.

Jadi, nawaitu nolong sesama manusia.

"Terus nggak punya tetangga apa di sana? Sampai yang jauh harus dihubungi?" tanyaku kembali, lebih ketus daripada tadi.

Panji membenarkan letak kacamatanya, "dia itu memang anti sosial, nggak pinter bergaul sama tetangga. Dulu kalau nggak Mas ajak kegiatan, nggak akan keluar kamar itu anak."

"Pantes ya dikit-dikit langsung hubungi Mas, ternyata udah nempel dari dulu," ucapku, ketus.

"Karena dia merasa belum ada yang jagain mungkin, Nat. Makanya dikit-dikit masih nyari kita," komentar Panji, mengusap poniku.

"Suruh nikah aja, Mas, biar ada yang jagain, atau kalau perlu kawin sama satpam sana."

Panji tergelak. Menggelengkan kepala. "Dia ogah-ogahan tiap mau dikenalin sama cowok. Ada aja alesannya."

Yaiyalaaah. Dia kan ngarepnya sama situ, Mas.

Hatiku panas? Jelas. Wanita mana yang tak panas hatinya mendapati suaminya menceritakan secara detail wanita lain.

Kupandangi Panji yang sedari tadi terlihat tanpa beban menceritakan berbagai hal mengenai Luri, "Mbak Luri suka sama warna apa?"

"Putih," jawab Panji retoris tanpa menyadari maksud pertanyaanku.

"Kalau tanggal lahirnya tahu juga?"

"Sepuluh agustus, Nat."

"Eum... makanan kesukaannya juga tahu pasti?"

"Seafood, paling suka lobster." Panji menoleh, "kenapa memang?"

Aku menggeleng ringan, "kalau makanan kesukaan aku tahu?"

Panji mengusap kepalaku, "kamu makan apa aja bisa, Nat."

Kutepis tangan Panji, kesal akan jawaban yang dilontarkannya, "udah ijo tu," tunjukku pada lampu lalu lintas.

Kutolehkan kepalaku pada kaca samping. Menatap jalanan yang terlihat lenggang, karena jam memang sudah menunjukan pukul sebelas malam. Sayang, hanya jalanan saja yang terlihat tertata, berbeda dengan hatiku yang terasa semrawut. Hatiku panas dan sesak bersamaan. Harusnya tadi aku tak perlu ikut Panji, dan membiarkan diriku mendekam di rumah dengan berbagai spekulasi.

Entah kebisuan kami yang sudah terlalu lama, atau aku yang tertidur, sampai tak sadar jika mobil sudah berhenti di depan pagar rumah Luri. Panji yang pertama turun, aku mengikut dengan ogah-ogahan. Saat mengetuk pintu sudah tak ada jawaban. Panji dengan cekatan berjalan menuju jendela samping rumah yang tak terhalang tralis. Panji bahkan tahu di mana letak besi untuk mencongkel pintu. Terlihat sudah sangat hapal seluk beluk rumah ini.

"Kamu tunggu di depan pintu, Mas bukain," ucap Panji setelah meloncat dari jendela.

Aku mengangguk, menunggu Panji membukakan pintu. Tak berselang lama pintu terbuka, Panji mengajakku masuk. Rumah dalam kondisi gelap, dan sepi. Aku menarik ujung kaos belakang yang dikenakan Panji. Mengekorinya menuju suatu kamar.

Panji memutar kenop pintu dan tak terkunci.

Meski hatiku bergemuruh ingin memberikan cacian, tapi menemukan Luri tergeletak tak berdaya di ranjang membuat emosiku sedikit reda. Langkahku semakin cepat mendekati ranjang, napas wanita itu tersenggal-senggal dan mengeluarkan suara aneh.

"Kayaknya langsung rumah sakit aja, Mas," saranku mulai panik. Luri tak mungkin bisa kutanyai di mana meletakan inhalernya.

Panji yang melihat kepanikanku menarik selimut yang membungkus tubuh Luri. Namun, belum semua terbuka, Panji menoleh, "tolong carikan jaket, atau apa aja yang tebal di lemari, Nat," pintanya.

Aku mengangguk tanpa bertanya. Mencari apa yang dibutuhkan dalam lemari kemudian menyerahkan pada Panji. Saat kutengok pada Luri, aku terpaku. Luri hanya mengenakan baju tidur tipis transparan. Semacam lingeri yang lebih sopan. Kupakaikan jaket di tubuh wanita itu.

Selepas semua selesai, Panji mengangkat Luri sementara aku berlari di belakangnya. Terus saja kuembuskan napas secara kasar, berharap otakku tak menjadi-jadi dan mencakar Luri yang terkulai tak berdaya di pelukan Panji.

"Kamu di belakang ya, jagain Luri." Aku mengangguk. Apalagi yang bisa kulakukan saat ini. Melihat wajah panik Panji saja sudah membuatku lemas.

Tiba di rumah sakit terdekat, Luri di bawa ke unit gawat darurat. Panji yang paling repot mengurus administrasi ke sana ke mari. Aku hanya duduk diam di kursi tunggu. Mencoba berdamai dengan hatiku, karena sepertinya memilih pulang pun Panji tak akan peduli, tak akan mencari pula.

Kumainkan kakiku, membuat pola bebas di lantai keramik ini. Sembari menelaah kembali wajah panik Panji saat kuberi tahu kondisi Luri, bagaimana Panji tergesa-gesa membawa Luri ke rumah sakit. Kutundukan kepala membuat rambutku berjatuhan menutupi wajahku. Seberarti apa sebenarnya Luri di mata Panji?

Hih! Nggak ganteng aja, yang cinta mati ada sebiji. Jaman Gibran dulu yang naksir Gibran cuma gadis-gadis sambil lalu.

Satu tepukan ringan bersarang di kepalaku, "ngantuk?" Suara orang yang membuatku hampir hilang kendali tadi.

Kutengok kepalaku ke samping, Panji duduk di sana. Terlihat kelelahan, tapi tetap tersenyum lebar. Mungkin rasa rindunya sudah terbayar.

Panji ikut menunduk, meneliti wajahku, "Luri udah dipindahin ke kamar rawat. Kamu mau pulang atau ikut nginep di sini?"

Menurut ngana? Ya kali aku pulang lalu membiarkan Panji di sini bersama Luri. Yang ada aku tak bisa tidur di rumah.

"Ikut Mas Panji aja nginep."

Panji tersenyum makin lebar, merangkul pundakku, dan mengajakku berdiri. "Yuk, ke kamar rawat."

Kupeluk pinggang Panji erat. Tak peduli dengan pandangan para perawat yang lewat di sebelah kami. Aku butuh penguat, butuh keyakinan jika lelaki dalam pelukanku ini tak akan lari ke pelukan Luri, juga akan tetap tinggal di sisiku.

Tiba di kamar rawat, kulihat Luri sudah sadarkan diri. Aku enggan bertanya apapun, mengeluarkan amarah pun tidak. Hanya duduk di sofa panjang yang disediakan.

Luri melarikan pandangannya mengikuti pergerakanku, Panji mungkin juga menyadari. Lelaki itu mendekat, "mau minum?" tawarnya.

Luri mengangguk, Panji memberikan dengan telatennya menunggu Luri meminum air lewat sedotan. Ada luka tak kasat mata yang semakin menganga di hatiku. Ada perih yang semakin menjadi. Aku merintih dalam diam. Kutundukan kepalaku dalam.

Setelah menyelimuti Luri, Panji berjalan ke arahku. Meletakan kepalaku di pundaknya. Tangannya dengan sigap menepuk pundakku perlahan. Mungkin memintaku untuk istirahat. Panji kemudian mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang di seberang sana. Mungkin keluarga Luri, batinku kembali merintih.

Meski tanpa melihat, aku tahu Luri melirik ke arah kami. Semakin kudekatkan tubuhku pada diri Panji. Panji merespon dengan baik dan menarik tubuhku semakin merapat.

"Kamu lucu banget kalau pakai baby doll gambar hello kitty gini," bisik Panji di telingaku. "Tapi kayaknya kamu lebih lucu pakai daleman hello kitty sama bando kelinci. Terus nari-nari godain Mas di kamar," lanjutnya.

Pipiku mengahangat, kucubit perut Panji. Lelaki itu tergelak. Astagaaa... ini di kamar rawat rumah sakit tapi bisa-bisanya Panji berbicara demikian. Mulut Panji minta di obatin sekalian.

Saat kutengok ke arah ranjang. Luri sedang menatap ke arah kami dengan mata yang sudah berkaca-kaca tinggal menutup mata lalu terjunlah semua berliannya.

Kueratkan pelukanku pada tubuh Panji. "Mas telepon siapa?"

"Bulek, ngasih tahu keadaan anaknya. Mereka mau ke sini langsung malam ini," jawab Panji. "Kamu ngantuk? Tidur saja dulu," ucapnya. Tak tahu berkata padaku atau pada Luri.

"Mbak Luri sering ya kambuh begini?"

Panji menepuk lenganku sesekali, "dulu jarang. Bisa dihitung jari. Paling kalau lagi musim penghujan terus dia kena batuk."

Hmm... hapal sekali, "Mas juga yang nolongin."

"Ya enggaklah, ibu kadang."

"Aku pikir Mas memang selalu jadi pahlawan buat Mbak Luri."

"Ibu sama bulek itu dulu deket, karena di komplek itu cuma kita yang dari Jogja. Jadi, berasa ketemu saudara. Luri dulu itu pas sekolah suka main ke rumah karena dia memang biasa ditinggal orang tuanya ke Jogja. Udah kaya anak sendiri mungkin sama Ibu, makanya...." Panji memutuskan menghentikan pembicaraan.

"Makanya Mas mau dijodohin sama Mbak Luri, kan? Kenapa dulu nggak mau? Kan enak bisa jagain Mbak Luri 24 jam. Kalau sesaknya kumat tinggal kasih napas buatan," ucapku melanjutkan perkataan Panji. Sedikit ketus.

Iya juga ya, mereka sudah dekat. Sudah saling kenal. Mudah saja kalau menikah juga. Jadi, Panji tak perlu susah payah beradaptasi dengan wanita manja macam diriku ini.

Apakah aku sedih mengetahui kenyataan ini? Menurut kalian bagaimana?

Panji masih diam, mungkin sedang memikirkan sesuatu. "Memang jodohnya sama kamu, ya mau bagaimana."

Iya, mau bagaimana ya. Terpaksa juga kan Panji menikah denganku?

"Jodohkan itu bisa diusahakan, Mas. Kalau Mas bisa usaha lebih, jodohnya lebih baik dari aku."

"Kamu ini ngelantur? Kalau ngantuk tidur aja."

"Belum ngantuk," ucapku, serak.

Kami mengobrol apa saja, ya sebenarnya sambil menahan dongkol karena harus sesekali bertanya perihal Luri. Semua ini kulakukan demi mengatakan pada Luri bahwa ada aku yang sekarang sudah sah menjadi istri Panji.

Bolehkan aku bersikap sangat egois dengan tak memperdulikan Luri yang mungkin saja juga berderai air mata darah mendapati aku dan Panji sekarang. Tapi tak apa, aku sudah berbaik hati menolongnya hingga masih sanggup menatap dunia.

---

Kriyep-kriyep mataku beradaptasi dengan penerangan kamar ini, ternyata aku ketiduran di sofa. Panji sudah tak ada di sampingku. Dia sedang berdiri di samping ranjang Luri dengan seorang lelaki yang memakai jas berwarna putih.

"Istri saya, Dok..." ucapan Panji tiba-tiba yang terdengar jelas di telingaku.

Aku tak tahu apa pertanyaan dari dokter itu sebelumnya hingga Panji menjawab demikian. Tapi saat kuteliti kembali, Panji dan Dokter itu sedang menghadap ke arah Luri. Fokus pada Luri. Bukan menengok ke arahku.

Lalu yang dimaksudkan istri oleh Panji ini siapa?

Apa mungkin Panji mengakui Luri sebagai istrinya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top