Dua Puluh

"Loh, ini masakan kamu?" tanya Panji bingung.

Aku mengangguk, tersenyum getir, "mau kuambilkan rawon di mobil?" tawarku, sedikit ketus.

Panji menegakan tubuhnya, "jangan, Mas makan ini aja," jawabnya, menarik tanganku, "temani ya?" pintanya.

Aku mengangguk, malas tapi sudah kewajibanku untuk menuruti kemauan Panji bukan? Kulihat Panji melahap rawon tanpa komentar apa-apa, padahal dia jelas tahu masakanku terasa aneh.

Aku pun melakukan hal yang sama, tetap diam saja mengamati Panji. Sesekali lelaki itu meneguk air putih dan makan kembali. Aku ingin bertanya tentang keberadaan Luri tadi siang, tapi hatiku sedang malas dilanda duka.

"Biar aku yang nyuci," tahanku saat Panji berdiri membawa mangkok.

Panji menggeleng, "biar Mas aja yang nyuci, kamu udah capek kan?"

Hatiku yang capek, Mas.

Esoknya kami bangun seperti biasa. Aku segera membereskan baju kotor di keranjang, membuatkan sarapan ala kadarnya, menemani lelaki itu sarapan dan mengantarnya hingga depan pintu.

Panji sesekali mencium kening, atau hanya sekedar mengusap rambutku selepas aku mencium tangannya. Kemudian, pagi itu selesai.

Siangnya entah akan melakukan apa, yang biasa dilakukan oleh seorang istri pengangguran. Hingga malam menjelang, Panji pulang. Aku akan berdiri di depan pintu, menyalaminya, memintanya segera mandi, sembari menyiapkan makan malam.

Selepas urusan perut, kami sesekali berolahraga di atas ranjang, tembak sekali dua kali. Lelah lalu lelap.

Besoknya, segala aktifitas akan di repeat kembali dari awal. Begitu seterusnya hingga tukang bubur pensiun. Aku dan Panji seperti kapas terbawa angin, hanya terombang ambing mengikuti pergerakan. Tak tahu apa tujuan kami sebenarnya menjalani ini setiap hari.

---

Aku dan Panji berjalan bersisihan, dengan tangan kananku mengapit lengan kiri Panji. Sesekali kulihat beberapa pasang mata melirik ke arah kami, ke arahku lebih tepatnya. Namun, aku mencoba tak peduli dan tetap melangkahkan kaki.

"Mas, itu yang lain. Ayo ke sana," ajakku, menarik Panji ke arah teman-temanku.

Panji mengangguk, berjalan menerobos kerumunan tamu yang memadati ruangan ini. Saat ini kami sedang menghadiri pesta pernikahan salah satu temanku semasa putih abu-abu pun juga teman kuliahku dulu.

"Hai..." sapaku pada Kila yang sedang berbincang dengan Dinda dan Rivan.

"Cantik banget lo, Nat, gue sampai terpukau," gurau Dinda.

Aku tersenyum, "kalian juga cantik kok," balasku, menengok ke kanan kiri, "Zhio mana?"

"Lagi nunggu yayang Rizka kayaknya," jawab Kila, wanita ramping cantik ini menoleh pada Panji, "hallo, Om, kalau pakai batik gini gagah juga," goda Kila.

Panji terlihat kikuk, tapi kemudian tersenyum.

"Siapa dulu yang mermak?" ucapku, bercanda.

"Celana kali di permak," ujar Rivan, "enak Bang punya bini kaya Nata?" tanyanya, sedikit mengerlingkan mata.

Panji tersenyum, "enak," jawabnya lugu.

Sontak yang lainnya langsung tertawa, aku meremas lengan Panji, memintanya diam. Namun, bukan Rivan namanya jika tak mampu mencairkan suasana. Obrolan Panji dan Rivan pun berlanjut. Rivan memang supel. Gampang bergaul dengan orang banyak. Ditambah tampang yang menarik. Lengkap sudah memang playboy ini. Dan dia pula yang menikah paling cepat.

"Eh, diem deh, Abid mau nyanyi tuh buat Reni." Dinda memeluk pinggang Rivan, Rivan sendiri mengalungkan lengannya di pundak Dinda. Terlihat seperti pasangan suami istri sesungguhnya.

Sementara aku dan Panji hanya berdiri, dengan tanganku masih asik di lengannya. Panji hanya akan berucap jika ditanya, atensi Panji selebihnya hanya menemaniku datang ke pesta.

"Gue juga mau nyanyi," celetuk Kila, kami semua menoleh.

"Ke panggung? Tampang lo nggak cocok jadi biduan dangdut," tanya Rivan.

Kila menendang kaki Rivan, "sialan lo, kasihan kalau gue goyang ntar lo pada klepek-klepek. Bingung lagi Dinda," jawab Kila percaya diri. Di antara kami, Kila memang paling percaya diri. Tubuhnya sudah proporsional sejak dulu, dia berjalan dengan karung goni pun, tetap akan percaya diri. Berbeda denganku yang harus dandan semaksimal mungkin jika ingin tampil memuaskan.

"Lah sialan..." Rivan tertawa.

"Nyanyi buat kalian aja kok," ucap Kila kemudian.

"Cus lah, Kil. Jangan banyak ngemeng doang." Rivan memberikan perintah.

"Senangnya dalam hatii kalau beristri dua... oh dunia terasa aku yang punyaa... istri tua merajuk balik ke istri muda... kalau dua-duanya merajuk. Ada kawin tiga."

Suara Kila yang sudah saingan dengan Doel Sumbang bisa membuat anak gajah menangis dalam sekali dengar. Serius. Hancur.

"Kelap kelip lampu ning disko. Awak kuru Mas mikir bojo loro. Bojo seng enom njaluk disayang. Seng tuo tur wegah ditinggal."

Lagi. Kila menyanyi dengan nada tak jelas, logat jawanya pun kacau balau.

"Telung dino mulih rono... telung dino balik neng kene. Seng sedino kanggo sopo. Seng sedino kanggo wong liyo." Dinda ikut menyumbangkan suara Medannya yang terdengar sama kacau dengan Kila.

Mereka mengulang lagu yang sama. Terus melirik ke arahku sambil menaikan alis. Terlalu menikmati suara parah milik mereka berdua, baru kusadari sesuatu.

Kutengok ke arah Panji. Lelaki itu masih sama seperti tadi, diam saja. Merasa kuamati, Panji menoleh ke arahku, dia tersenyum hangat. Kemudian kembali menatap singgasana raja dan ratu kali ini.

"Bang, haus nggak? Gue mau ambil minum," tawar Rivan mengetahui Dinda dan Kila sudah berhenti menyanyi.

Panji mengangguk, "boleh."

Kedua lelaki itu meninggalkan kami. Jika dipandang dari belakang, tubuh Panji memang tak setinggi Rivan, tapi tubuh Panji tergolong pas. Hanya jika aku mengenakan hak 15 senti, maka tak akan cocok berdiri di samping Panji. Selebihnya Panji menarik.

"Sumpret, laki lo lahir jaman Megantropus Palesius Javanicus kayaknya. Disindir sampai suara gue habis masih lempeeeeng aja." Kila yang pertama mengeluarkan keluh kesahnya.

Dinda mengangguk, menyetujui, "setuju banget. Udah capek kaga ada duit lagi."

"Tapi kalau gue inget pas lo mewek, rasanya mau gue sunat aja tu laki," ujar Kila, bersidekap. Menatap ke arah Panji.

Aku bergidik ngeri mendengar suara sadis Kila.

"Disunat masih tumbuh lagi, Kil. Dicincang sekalian." Dinda ikut mengompori.

Kila ikut memberikan respon, "Dibelah dua kalau bisa."

"Jangan...." cegahku, semakin ngilu di perut membayangkan yang diucapkan mereka.

Kila dan Dinda sontak tertawa serentak, mendengar peringatan yang bercampur takut.

"Astaga... bau-baunya udah jebol gawang nih," goda Kila. Mencolek daguku.

Kutepis tangan mulus itu, "paan sih lo," ujarku sewot.

"Gimana-gimana? Panji sehawt apa? Apa lempeng kaya biasanya? Butuh video tutorial nggak?" tambah Kila, menggoda.

Pipiku memanas.

"Lah... anjir, punya berapa lo?" Komentar Dinda.

"Satu hardisk penuh, kalau lo butuh bisa hubungin gue," jawab Kila bangga.

Dinda tertawa terbahak, "ehm... Nat, punya Panji sepanjang apa?"

Telingaku memanas, "sepanjang jalan kenangan," jawabku, ketus.

"Ciyeeee merah merona. Ihiiiir." Dinda mencolek pundakku.

"Hai," sapa suara dari belakang kami.

Aku menoleh pada sumber suara. Gibran berdiri di sana dengan kemeja batik dan celana panjang hitam. Aku lupa jika Gibran satu sekolah dengan kami yang otomatis dia juga diundang dalam acara ini.

"Ehm, Nat, sendirian?" tanyanya padaku.

Sudah tak terasa debaran apapun seperti yang kurasakan dulu, tapi menatap Gibran sekarang memang menyegarkan mata.

"Ya sama lakinya, lah. Lo kalau nggak ada urusan penting, mending balik ke alam lo sana," komentar Dinda.

Gibran tak menjawab, menatapku, bahkan tak ambil pusing oleh pelototan Dinda. "Kamu cantik," komentarnya, datar.

"Emang, sesuatu itu kalau udah bukan milik kita, memang terasa lebih menarik. Makanya, pas masih jadi milik kita, dijaga baik-baik," kembali Dinda memberikan jawaban.

"Anda ternyata orang yang tak tahu keadaan ya, pantang menyerah sekali." suara Panji menginterupsi ucapan Dinda pun Gibran. Menatap lekat pada Gibran, Panji pun bersikap sama. Datar.

"Sebelum nisan tertancap, tak ada kata menyerah dalam kamus saya," balas Gibran tak kalah tegas.

Gibran menoleh ke arahku, mengagguk sejenak sebelum berlalu. Bahkan baru kusadari jika Kila juga sudah tak ada di tempat. Ke mana wanita itu?

"Gila," komentar Panji, berdiri di sebelahku.

"Iya ... gila, kenapa Gibran bisa sekeren itu," komentar Dinda tak tahu kondisi.

Kupelototi wanita itu, tapi Dinda malah tersenyum kemudian merangkulkan tangannya di lengan Rivan erat. Menempelkan kepalanya di pundak Rivan.

"Gibran emang pantes ditunggu jomlonya, gitu dulu kan dia fansnya banyak," tambah Dinda. Menahan senyum dibalik pundak Rivan.

"Inget nggak sih, jaman dia nembak Nata. Satu sekolah heboh," timbrung Rivan membuatku makin geram.

"Udah, jangan bahas masa lalu. Mending ucapin selamat dulu, yuk," ajakku. Merangkul lengan Panji dan mengajaknya berjalan.

"Kamu dulu pasti terkenal ya? Semua orang menatap kita sedari tadi," bisik Panji saat kami mulai mengantri.

"Ya kita berdiri sama Kila, dia kan emang terkenal dari dulu. Kila itu biang onar tapi juga pembela kebajikan."

"Bukan karena kamu dulu pacaran sama Gibran?" tanya Panji tiba-tiba.

Iya itu salah satunya. Gibran dulu ketua osis sementara aku rakyat jelata. Harkatku naik tinggi karena menjadi kekasihnya. Tapi, karna aku malas menjawab. Kukedikan bahuku saat barisan kembali maju.

"Reni, selamat ya cantik. Langgeng terus sampai kakek nenek." Aku langsung heboh memeluk Reni. "Cantik banget sih lo, beda banget kaya biasanya."

"Makasih ya, Nat, sama siapa?" tanya Reni.

"Suami gue," jawabku.

Setelah turun dari panggung, kami keluar gedung.

"Kamu terlihat selalu bahagia kalau ngucapin selamat sama temenmu," ucap Panji membuka pintu mobil.

Aku masuk mobil, "iya dong, temen lagi bahagia ya kita harus bahagia juga," jawabku, menarik seatbelt.

"Sayang kamu malah nggak bisa mengungkapkan kebahagiaan di hari pernikahan sendiri ya." Panji menyalakan mobil.

Aku menoleh memahami ucapan Panji.

"Kamu malah tertekan saat jadi ratu sehari." Panji membelokan mobilnya keluar basement.

Aku masih bingung, "emang wajah aku dulu pas nikahan kaya apa?" tanyaku, polos. "Jadi, pengin lihat ah foto nikahan kita," ujarku antusias.

---

"Itu muka tegang amat, kaya orang nahan pup," komentarku terbahak, mengulang kembali video yang menampilkan wajah Panji.

"Namanya juga orang gugup, mana bisa kontrol ekspresi," jawabnya, merebahkan kepala di pahaku. Ikut menonton video. "Kamu dulu gimana di kamar? Gugup juga?"

Aku memang di kamar selama proses ijab, "aku nangis..."

"Nangis mau kabur?"

"Looh kok...."

"Tahu? Mas bisa membedakan mana yang nikah ikhlas sama terpaksa." Panji berucap lirih.

Kutundukan kepalaku, "yang penting tetap sah, kan?"

Panji memejamkan matanya, membuka kembali dengan sebuah senyuman. "Dinda udah hamil belum?"

Aku menggeleng, "belum kayaknya, nggak tahu juga, Mas."

Panji merapatkan kepalanya di perutku, "kamu kapan hamil?" tanyanya membuatku mem-pause video pernikahan kami.

Aku mendorong kepala Panji, "awas, Mas. Aku mau ke kamar mandi dulu," pamitku beranjak dari atas kasur. Duduk diatas kloset aku memikirkan ucapan Panji. Jaman masih gadis galau setiap kali hari raya ditanya kapan nikah. Sekarang udah nikah ganti galau acap kali ditanya kapan hamil.

Namun, perasaanku Panji sudah masuk dengan benar. Tembakannya pun pas. Memang saat pertama kali, harus mengalami salah alamat hingga membuatku anyang-anyangen semalam tapi masa jahiliyah itu sudah berlalu. Lalu, kenapa sampai sekarang aku belum juga isi?

Malam itu, dalam dekapan Panji. Tidurku terusik oleh suara ponsel. Siapa sebenarnya yang menelpon malam-malam seperti ini. Dengan mata masih setengah terpejam, kucari ponsel Panji yang kembali berada di saku celana.

Ceroboh. Batinku mencemooh.

Melihat siapa dan apa yang kubaca kali ini membuat kakiku terasa dingin menginjak lantai. Jantungku kembali diremas. Ketakutan itu kembali hadir.

Luri Adhia is Calling...

Kugeser tombol merah, ponsel kembali menggelap. Belum semenit berlalu, ponsel kembali nyala. Satu pesan masuk.

Luri Adhia : Mas Panji. Bs kerumah. Asma ku kambuh. Nggak ada orang di rumah. :(

Apa yang harus kulakukan sekarang? Bersikap tak peduli? Pura-pura tak tahu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top