Dua

Natalia Laura menambahkan Rivan Arya, Zhio Arkhananta, Gilang Pradana ke dalam obrolan.

Dinda : Laki gue ngapa lo invite.

Me : Diem! Nggak bisa ngasih solusi tu idem aja.

Zhio Arkananta bergabung ke dalam obrolan.

Gilang Pradana bergabung ke dalam obrolan.

Gilang : Ada apa ini?

Me : gue butuh bantuan.

Rivan Arya bergabung ke dalam obrolan.

Me : Personil lengkap? Cek sound dulu coba.

Dinda : ting

Kila : tong

Tiara : Teng

Rizka : Tung

Zhio : Ping

Gilang : Pong

Rivan : Plung

Zhio : Najis, Rivan.

Rivan : Ada apa sih, Nat?

Me : Gue butuh saran, gue mau dijodohin mak gue sama cowok bangkotan. spesiesnya datuk maringgi

Gilang : Lah, Nat! Pasang beha aja belum bener udah mau kawin aja.

Zhio : Tali beha masih sering melintir2 eh mau melintir punya suami.

Rivan : Nikah ajalah, Nat. Ntar ada yang bantuin pasang beha

Tiara : Wah, Van. Ketahuan biasa bantuin pasang.

Rivan : Yo jelas, buka tutup. Biar terjaga keawetannya. Haha

Dinda : RIVAN!

Rizka : Mpoooos!

Me : SUEKS! NGGAK ADA YANG TERSENTUH HATINYA SAMA GUE

Gilang : Kita bisa bantu apa?

Me : Terserahlah, siapa aja yang mau dateng ke rumah. Bilang sama Mak gue kalau lu pacar gue.

Gilang : Ogah, Nat. Dateng ke rumah lu trus ngaku sebagai pacar itu sama aja setor nyawa.

Zhio : Setuju sama Gilang. Bisa dibedil sama Bapak lo yang pensiunan angkatan darat itu.

Rivan : kalau gue yang ngadep bapak lu. berangkat setor nyawa, pulang setor nama sama bini gue.

Me : Kalian nggak ada yang kasihan sama gue. Hiks.

Aku benar-benar bingung harus mengambil langkah apa sekarang. Niatnya mau kabur dari rumah sebagai bentuk berontakku pada Papa dan Mama, tapi ketika kubuka dompet hanya tersisa satu lembar uang berwarna hijau. Hijau dan cuma selembar.

Ini dompet apa kopiah?

kalau aku ambil uang lewat ATM pasti langsung bisa dilacak. Aku takut. Aku tidak pernah keluar rumah sendirian, apalagi pergi dalam jarak jauh. Ditambah tingkat kriminalitas di Jakarta makin hari makin menanjak. Mau menumpang di tempat para sahabatku, mereka pasti akan menolak karena sudah hapal dengan watak Papa.

Kubuka akun Skype milikku. Menatap lama akun Gibran yang sudah tidak aktif sejak enam bulan lalu. Sama sekali tidak ada kabar darinya. Lalu, harus bagaimana aku mencari solusi saat ini?

Rizka : kenapa nggak dicoba dulu sih, Nat?

Me : lo itu nggak ada bedanya sama nyokap gue, Riz.

Dinda : Siapa tau cocok, kan lu belum tahu gimana dia.

Me : Menurut ente sajalah, umur sudah 32 tahun, tumpukan tabungan sudah lebih dari cukup. Dan belum kawin. Lo bisa bayangkan gimana orangnya? Kali Tukul lebih ganteng dari dia.

Tiara : Atau dia ganteng tapi punyanya encer makanya nggak pede nikah.

Dinda : Wah! Laki tu makin tua makin bersantan ya gengs.

Gilang : Berarti punya Rivan encer?

Rivan : Kunyuuuuk!

Zhio : Datang saja dulu, lihat bagaimana orangnya. Kalau hati lu memang masih nggak sreg, bujuk lah bapak lu. Setegas-tegasnya seorang Bapak sama anak, kayaknya tetap nggak akan tega bikin anaknya susah dan sedih.

Rivan : Prok... Prok... *Tepuk Kaki*

---

Seharian ini aku hanya mengurung diri di dalam kamar. Biar kelihatan ngambeknya, siapa tahu ada salah satu orang rumah yang hati nuraninya terketuk dengan kediamanku. Akan tetapi, sampai pukul tujuh malam, masih belum ada satu orang pun yang mendatangi kamarku. Tidak ada yang mencari keberadaanku, atau berinisatif membawakan makanan, mungkin.

Sialan. Untung aku sudah stok banyak camilan di bawah rak buku, kalau tidak pasti aku sudah pingsan di kamar. Tak ada seorangpun yang mengetahui, lalu hanya tercium bau busuk dari dalam kamarku setelah mayatku membusuk seminggu kemudian.

Astaga. Pikiran macam apa itu?

Setelah berpikir lama, menimang-nimang keputusan apa yang harus kupilih, akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar dan turun menuju meja makan. Ya, namanya juga masih numpang sama orang tua. Mau minggat pun mikir-mikir lagi. Kalau stok duitnya nggak banyak, sama saja mengumpankan badan pada buaya kelaparan. Sekali lahap habis.

Aku duduk di meja makan. Semenjak adik lelakiku satu-satunya menjalani pendidikan militer di AKMIL, rumah menjadi sangat sepi. Jika dulu ada yang selalu bisa kuajak bercanda, saat ini, mau bercanda dengan siapa. Angin? Eits, meski sepi tapi jangan bandingin sama kuburan.

"Nat, besok siang jangan ke mana-mana. Ada temen Papa yang mau datang ke sini," sela Papa saat aku mengangkat centong nasi.

Papa sudah selesai dengan nasi di piringnya, sementara aku-yang baru saja bersiap memindahkan sedikit nasi ke dalam piring, terhenti karena ucapan Papa barusan. Sudah kuperkirakan, acara makan malam kali ini akan terasa hambar, pasti. Aku mengembuskan napas perlahan. Menahan kesal dalam diri seraya melanjutkan acaraku- mengambil lauk yang tersedia di meja makan.

"Loh, Nata harus hadir juga?" tanyaku polos. Kujamin Papa akan langsung mengeluarkan taringnya. "Beliau, kan, teman Papa. Yang mau ketemu pasti Papa. Yang mau ngobrol juga pasti kalian. Lalu, apa guna ada aku, Pa?"

"Mereka ke sini tujuannya mau ketemu sama kamu," jawab Papa lugas. "Papa juga sudah kadung janji sama Pakde Agus mau mengenalkan kamu sama anaknya."

"Perusahaan Papa nggak lagi dalam masa krisis, kan?"

"Sejak kapan Papamu punya perusahaan? Usaha ternak ayam itu maksudmu perusahaan?" Mama menjawab sambil mengulum senyum jenaka.

"Ya siapa tau, Mama dan Papa berniat menjodohkan aku karena butuh suntikan dana buat perusahaan Papa yang hampir bangkrut. Mereka memberikan pertolongan buat perusahaan Papa, terus aku harus mau dinikahkan dengan anaknya sebagai ganti."

Papa dan Mamaku tertawa. Entah hal apa yang mereka tertawakan. Berhubung bibirku sedang mager, jadi aku diam saja sambil menyelesaikan makan malamku.

"Besok kamu ketemu dulu sama nak Panji, kalau sudah kenal orangnya pasti kamu nggak bakal nolak nikah sama dia."

Bah. Pede sekali kau, Pa! Beliau nggak tahu apa pacarku di luar sana jiplakannya Herjunot Ali? Dan sekarang aku akan dikenalkan dengan om-om? Yang benar saja. Sudah pasti hal itu tidak akan berefek apapun padaku.

"Namanya siapa, Pa?" tanyaku.

"Panji. Panji Mangkubumi."

Lah, jangan katakan dia punya gelar Raden Kang Mas Panji Mangkubumi.

Bayangan lelaki memakai beskap, blangkon di kepala menutupi pitaknya, pipi ginuk-ginuk, kumis tebal milik Adam Suseno, kacamata, jangan lupakan dengan gigi emasnya menari-nari di piringku yang masih penuh.

Ya Tuhan, apa dosa hambamu yang cantik, baik hati, tidak sombong, rajin menolong, suka menabung ini hingga kau jodohkan aku dengan lelaki semacam itu. Ya Tuhan, tolong tip-ex nama Panji Mangkubumi lalu ganti dengan nama Gibran Wiratama. Tolong, Tuhan.

"Papa nggak mau dengar kamu bikin alasan apapun, Nat. Besok kamu harus ada di rumah. Nggak boleh pergi ke manapun. Harus sudah siap sewaktu nak Panji sekeluarga sampai ke mari." Papa memberikan peringatan tegas. Yang siapapun di rumah ini tak akan mampu menggoyahakannya. Semakin dilawan, akan semakin kuat juga bentengnya.

Jadi, aku mengalah. "Siap, kanjeng Papi."

Aku menghirup oksigen sebanyak mungkin, mengisi kerongkonganku lalu mengembuskan secara perlahan. Mengosongkan ruang dalam dada biar terasa lega. Namun malah pengap yang melesak memenuhi setiap rongganya. Nasi dalam piringku masih setengah, tapi nafsu makanku sudah berlarian entah ke mana.

Aku tak menyelesaikan makanku. Perutku sudah benar-benar sudah terasa penuh. Terlebih dengan peringatan Papa barusan.

Masuk ke dalam kamar, aku membongkar lemariku. Mencari kotak yang kuletakan di bagian bawah lemari. Tersembunyi di antara tumpukkan kardus-kardus sepatu. Kubuka kotak tersebut. Lalu terpampanglah fotoku mengenakan seragam putih abu-abu sedang dirangkul seorang lelaki. Gibran.

Ya. Gibran, kekasihku sejak bangku sekolah menengah atas yang harus terpisah karena dia melanjutkan kuliahnya di belahan bumi sana. Selama hampir enam tahun kami menjalani Long Distance Relationship, hanya dua kali dia pulang kampung. Selebihnya komuniksi kami hanya lewat sosial media. Dan selama enam bulan terakhir ini tak ada satupun kabar dari dia. Apakah masih hidup, atau sudah hilang ditelan paus?

Tanpa terasa satu tetes air mata menetes di pipiku, masih kupandang gambar cetak wajah kami dalam genggamanku. Bran, kamu di mana? Aku butuh kamu. Aku butuh pegangan. Ke mana kamu? Mana janjimu? Kamu bilang akan terus ada buat aku, kamu bilang akan selalu memberikan kabar padaku, tapi apa?

Kamu ingkar, Bran.

---

It's the day.

Sejak matahari masih malu-malu menampilkan indahnya, sudah terdengar komprengan di lantai bawah. Perpaduan melodi antara wajan dan spatula. Lalu, semilir wangi bawang merah yang digoreng. Menyemarakan kamarku yang memang sepi. Uuuh, nikmatnyo...

Aku masih bergelung dengan selimut tebal yang menutupi tubuhku hingga kepala. Mencari nyaman di antara pekatnya embun pagi hari yang sedang kulewati. Ketika aku hampir terlelap lagi, gedoran pintu kamar seolah menarikku kembali terjaga.

"Nata, ayo bangun. Udah siang ini, kamu mau bangun jam berapa?"

"Yes, madam. Ini sudah bangun," jawabku sedikit berteriak.

"Jangan yas-yes-yas-yes tapi malah makin kelelep di selimut. Ayo, buka pintunya!" Mama menggedor pintu kamarku, kali ini lebih keras.

Aku melangkahkan kaki menuruni ranjang dengan malas, mempertemukan telapak kakiku dengan dinginnya lantai yang menusuk saraf, dan membukakan pintu kamar.

Wajah Mama tampak kaget melihat penampakan anak gadisnya saat pintu terbuka,"ya ampun, Nata. Lihat rupamu di cermin sana. Anak gadis tapi jam segini masih awut-awutan begitu. Kalau sampai kacanya retak, Mama nggak heran."

"Hah? Apa sih, Ma?" Aku masih bingung dengan ucapan Mama barusan. Mungkin nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Masih setengah sadar.

"Kamu pasti begadang lagi semalam? Nonton korea-korean nggak jelas. Jam segini belum rapi, rambut masih acak-acakan, jigong masih nempel. Mau jadi apa kamu, Nat."

Aku mengangguk, "iya, semalem aku begadang." Aku tak bohong juga jika semalam aku memang begadang, bukan guna menonton drama korea tentunya. Semalam aku memikirkan cara supaya Panji-panji itu yang dengan sendirinya menolak perjodohan ini. Jadi, aku tak perlu membuat malu keluargaku di depan keluarga Panji. Namun, sampai pukul tiga pagi masih belum ada satu pun cara yang bisa kutemukan.

"Buruan mandi, terus siap-siap. Malah bengong saja. Dua jam lagi mereka berangkat dari Bekasi," terang Mama sebelum meninggalkan aku yang masih mengais kesadaran.

Dua jam lagi berangkat, sampai sini tiga jam kemudian itupun paling cepat. Masa disuruh mandi dan berdandan sekarang, ya luntur semua dong.

Tepat pukul dua siang, keluarga Panji tiba di rumahku. Hari ini aku mengenakan terusan batik selutut. Sebenarnya aku berniat memakai jeans dan tanktop saja, tetapi kuurungkan niatku. Alasannya karna aku tak mau membuat orang tuaku malu. Yah, setidaknya masih ada bagian dalam diriku yang waras.

Lelaki pertama yang kusalami, badannya berisi, badan proporsional bagi para pejabat. Buncit, tapi masih tetap gagah.Yang kedua, perempuan ayu yang tetap cantik diusia yang mulai senja. Budhe Tanti langsung memeluku erat.

"Ealah, Nduk. Saiki ayu tenan," ungkap beliau sambil menepuk pundakku. Aku hanya mampu tersenyum canggung.

"Terima kasih, Budhe."

Lelaki kedua. Tinggi, badannya cukup pas, batik panjang, rambut rapi, dan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Jangan bayangkan Satrya Danang Hadinata, ini jauh.

"Natalia?" suara bass itu, mendobrak gendang telingaku seperti mengeluarkan gema.

"Iya," jawabku sambil tersenyum kaku. Mengulurkan tangan padanya.

"Panji. Panji Mangkubumi," ucapnya membalas uluran tanganku. Menggenggamnya secara halus.

"Nggak berat, Om?" tanyaku reflek, membuat fokusnya makin mengarah padaku.

"Bumi kok dipangku, Om. Mana kuat," kelakarku bermaksud menjelaskan ucapanku sebelumnya. Sambil tertawa garing yang jelas kubuat-buat.

Lelaki di depanku ini masih diam. Tak merespons apa-apa selain menatap lekat ke arahku. Memindai diriku dari atas sampai bawah, membuatku risih. Jujur saja.

Dia memang tak setampan pacarku, jauh malah kalau disandingkan. Bagai langit dan bumi. Namun, lelaki ini tak terlihat jika sudah berumur 32 tahun. Pembawaannya memang dewasa, ditambah dengan muka lempeng persis jalan tol itu.

Sekali lihat, aku tahu dia tipe yang susah diajak bercanda.

"Kamu ternyata lebih cantik dilihat dari radius kurang dari lima puluh sentimeter."

Jantungku berdetak tak karuan mendengar ucapannya barusan. Ada rongga sesak yang entah kenapa. Tuhan, tolong.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top