Delapan Belas
"Saya cinta sama suami kamu, Nat."
Kupandangi Luri dengan dada bergemuruh. Dia wanita, aku juga wanita, tapi bisa setega itu menyatakan cinta pada suami orang. Kuremas tanganku di bawah meja, ingin memaki tapi kami sedang di tempat umum.
"Sudah?" tanyaku, mencoba bersikap biasa saja.
"Kamu tidak ingin mengatakan apapun?" tanyanya balik, menutupi keterkejutan.
"Aku harus ngomong apa, Mbak? Mbak cinta sama Mas Panji. Ya udah, terus aku mesti gimana?"
"Kamu cinta sama Mas Panji?"
Makin kuat remasanku, "cinta nggak cinta, itu masalah rumah tangga kami dan Mbak Luri nggak punya kapasitas untuk tau," jawabku. "Aku nggak tahu menahu soal perasaan Mbak Luri sama Mas Panji. Itu masalah Mbak Luri, Mbak Luri yang merasakan. Tapi untuk saat ini, Mas Panji suami sahku, Mbak. Aku rasa pendidikan Mbak lebih dari cukup untuk mengerti posisi, kan?"
Luri terlihat tersenyum, "Panji bahagia hidup sama kamu?" tanya Luri santai.
Aku diam, mencoba menulikan diriku, gigiku mulai bergemelutuk. Bukan kesal pada Luri yang terus menekan, tapi marah pada diriku sendiri karena pertanyaan Luri ini baru terpikirkan olehku. Bahagiakah Panji hidup denganku setelah pagi tadi kubuat ponsel dan kunci mobilnya tercuci.
Luri tersenyum makin lebar, "saya bisa membahagiakan Mas Panji, siap mengabdi kepada beliau seumur hidup," ucapnya, santai.
Kuselami dua bola mata milik wanita ini, terlihat ketulusan dan kayakinan di sana. Tanpa kupikir dua kali pun, aku tahu dia benar-benar mencintai Panji.
Meski benci kuakui, jika Panji memang lebih cocok bersanding dengan Luri. Secara adat Luri lebih beradab dan sopan. Dia tak mungkin ceroboh seperti yang kulakukan selama menjadi istri Panji.
Melihat keterpakuanku, Luri tersenyum samar, "kamu pikirkan saja. Saya harap kamu lebih bijaksana, tak mementingkan diri kamu sendiri. Tak memikirkan kebahagiaanmu sendiri."
Aku tertohok. Ada sebagian dari diriku yang terluka. Untuk apa? Karena merasa diinjak oleh Luri?
Luri menyeruput air minumnya sebelum bangkit. Menepuk pundakku sekilas, "saya tunggu," pamitnya.
Aku terdiam sejenak, menyambungkan satu kejadian dengan yang lainnya. Pernikahanku dengan Panji yang tak didasari apapun, kemudian kedatangan Gibran, belum siap dengan kepantasanku menjadi seorang istri, Luri hadir menyatakan cinta. Mungkinkah ini tanda, bahwa aku dan Panji sebenarnya berada di jalan yang salah?
---
Sudah pukul tujuh malam tapi belum ada tanda-tanda kedatangan suamiku. Aku duduk di meja makan menatap hidangan yang sore tadi kumasak. Niatku memang membuatkan rawon, tapi urung karena pikiranku terpecah oleh pernyataan Luri tadi siang, sehingga aku hanya sanggup menyediakan sop dan ayam goreng. Semoga Panji suka.
Di samping mangkok sop, ponsel Panji tergeletak. Si Ipul sudah tak ada tanda kehidupan sama sekali. Kuusap wajahku lelah, mungkin Panji pulang malam karena kesal menghadapi diriku.
Kuambil mangkok, menuangkan nasi dalam centong, kemudian sop tersebut. Satu suapan, dan asin. Padahal aku sudah menggunakan bumbu praktis, hanya saja tadi kupikir kurang asin sehingga kutambah garam dapur, tak tahunya malah keasinan. Dengan perasaan yang kacau, kupaksa memasukan nasi dan sup. Tersenyum miris, memikirkan kemungkinan Panji akan makin kurus jika tiap hari makan masakan seperti ini.
"Kamu ngapain bengong di depan makanan gitu?" Panji meletakan tas kerjanya, duduk di depanku.
Aku mengerjap, "Mas kapan sampai? Kok aku nggak denger mobilnya?" Kutuangkan air pada gelas dan menyodorkannya pada Panji.
"Kamu ngelamun, gimana mau kedengeran?" Panji menegak minumnya, terlihat kelelahan.
"Mas Panji udah makan? Mau aku belikan lauk di warung ujung komplek?" tanyaku, mengangkat mangkok sop, "Mas mandi aja dulu, sebelum selesai bebersih, sudah ada makanan di meja," lanjutku. Meletakkan mangkok di kabinet.
Panji menggulung kemejanya, "Mas emang belum makan, Nat, dan udah laper. Kelamaan kalau harus mandi dulu," jawab Panji.
Aku duduk kembali di kursiku, "mau makan di luar aja?"
"Buat apa? Kamu tadi makan sama sop dan ayam ini, Mas juga mau." Panji melonggarkan dasinya.
"Itu... Mas," ucapku ragu.
"Kalau makan di luar, males jalan dan ngantri." Panji melepas jam tangannya, menuangkan nasi ke dalam piring. "Bawa sini sopnya, Nat," perintahnya.
Aku mengangguk, membawa kembali mangkok sop ke meja makan.
Panji menyuapkan sendok pertamanya, keningnya berkerut sejenak lalu melahap sendok berikutnya. Sambil mengunyah makan, Panji mengamati ponsel yang tergeletak di meja, "sudah mati ya hapenya?"
Aku mengangguk, "Maaf ya, Mas," ucapku sambil menunduk.
"Hmm... lain kali lebih hati-hati, kalau mau nyuci diperiksa dulu apa aja yang ketinggalan di saku. Dipisah mana yang luntur dan enggak," nasihat Panji.
Aku mengangguk, "maaf," ucapku kembali, lirih.
"Nggak apa-apa, dijadikan pelajaran ya, Nat." Panji mendorong piringnya yang kosong.
"Mas udah nggak marah?"
Panji menggeleng, "Mas nggak marah sama kamu, Nat, cuma agak gemes aja."
"Gemes mau nabok ya?"
Panji mengangguk, "nabok pake bibir, kan?"
"Ish!"
Panji tergelak, mengusap rambutku, "Mas mandi dulu, tasnya bawa ke dalam ya, Nat?"
Aku mengangguk. Memerhatikan punggung Panji yang menghilang di balik kamar. Pembawaan Panji memang kaku tapi lelaki itu menyenangkan, dan eum ... menarik, jadi pantas saja jika Luri sampai nekat menyatakan perasaan.
Selepas mengisi perut dan membersihkan badan, Panji kembali duduk di ranjang dengan buku tebal dalam pangkuan. Aku pun membatalkan acara nonton televisi dan mengganti membaca novel di sebelah Panji. Tak ada pembicaraan sama sekali, aku pun tak berniat membangun obrolan. Bukan karena malas, hanya tak mau menganggu konsentrasi Panji.
Aku menguap beberapa kali, "Mas, udah jam sepuluh loh ini, nggak capek apa itu mata ngelihatin tulisan semut kaya gitu terus?" tegurku.
"Iya, sedikit lagi, Nat, kamu tidur saja dulu kalau sudah ngantuk," jawabnya, tanpa menoleh.
Aku mendekat, menyandarkan kepala di pundak Panji, "baca apaan sih serius amat?" Kumainkan kedua jariku di lengan kanan Panji. "Mas, kalau diberi kesempatan kembali ke masa lalu dan boleh memilih, Mas cita-citanya punya istri kaya siapa?" Kubuka lembaran novel di tanganku, tapi tak kubaca tulisannya.
"Kenapa nanya gitu?" Panji memalingkan wajah dari buku tebalnya.
"Iseng aja, siapa tau aku bisa kaya gitu nanti," ucapku, nyengir.
"Dulu jaman masih sekolah selalu pengin punya istri kaya Ibu," jawab Panji menutup buku, bersila menghadap ke arahku, "beliau bekerja, tapi nggak lupa tugasnya sama suami dan anak. Tiap pagi Ibu selalu masak buat kami, tiap malam Ibu masak lagi. Kadang kalau kita mau tidur selalu diajak bercerita ini itu."
Ibu mertuaku memang istri nomor wahidlah, sementara aku?
Aku terdiam di samping Panji. Terngiang kembali ucapan Luri tadi siang. Panji bahagia sama kamu?
Panji mengusap pipiku lembut, "kenapa? Hmm?"
Aku menggeleng, tak mungkin menceritakan pertemuanku dengan Luri siang tadi, "Mas, punya cita-cita beristri dua?" Kupilin ujung kaos Panji.
Panji masih menempelkan tangannya di pipiku, "cita-cita itu jadi pilot, bukan punya istri dua." Panji terkekeh. "Tapi, orang bilang lelaki itu sanggup menampung empat bahkan lebih cinta di hatinya."
Tanpa sadar, pilinan kaos tadi teremas oleh tanganku. Dadaku tiba-tiba sesak.
"Cuma untuk seukuran Mas, satu saja udah lebih dari cukup."
Aku mendongak, masih menempelkan daguku di pundak Panji.
Panji juga ikut menoleh, "kamu kenapa aneh banget dari tadi?" Membawa tubuhku pada dekapan hangatnya.
Aku hanya mampu menggeleng. Apa sanggup aku berbagi pelukan ini dengan orang lain? Apa kuat aku berbagi ranjang ini dengan wanita lain? Aku bukan Aisyah, bukan pula Fatimah. Aku hanya Nata si gadis egois dan mementingkan diriku sendiri. Aku tak mungkin rela berbagi Panji dengan orang lain.
Namun, bagaimana jika Panji sendiri yang memilih pergi?
"Nat..."
"Hmm..." kugesekkan hidungku di dada Panji. Menghirup wangi tubuhnya sebanyak mungkin.
"Ngecek lagi yuk," ajaknya.
Bibirku mencebik, "ih boros sampo ah kalau besok mandi keramas lagi." Aku coba melepaskan diri dari tubuh Panji.
"Besok kita beli sama pabriknya," bisik Panji, menggesekan hidungnya di sekitaran leher.
"Kaya yang sanggup aja," cibirku, mencubit pinggang Panji.
"Makanya kamu doakan Mas."
Aku mengangguk, mengamini dalam hati tapi ada perasaan takut juga. Banyak lelaki di luar sana yang merasa bangga karena memiliki kekayaan hingga merasa sanggup memiliki banyak wanita di belakang. Tiba-tiba pelukanku makin erat.
"Mas udah cari di internet gaya-gaya gitu. Kita presentasikan, mana yang cocok, dan nggak encer." Panji berbicara di atas kepalaku.
Meski lelah dengan ketidakmampuanku menjadi istri tapi aku harus menjalankan kewajibanku bukan? Karena membayangkan Panji bercinta dengan wanita lain ternyata menyakitkan.
---
"Udah dipisahin bajunya?" Panji berdiri di belakangku, mengurungku di antara dirinya dan mesin cuci. Kepalanya disandarkan di pundakku.
"Udah," aku menoleh, bertemu dengan wajah Panji. "Belum mandi?"
Panji menggeleng, dia masih mengenakan kaos dan celana pendek. "Pinter," pujinya.
"Iyalah, gampang yang begini aja," gurauku. "Tuh koin sama nota dari rumah makan, bilangnya belum makan taunya udah banyak," tunjukku pada beberapa kertas dan uang receh di samping ember.
Panji tergelak, "nanti manyun kamu, udah masak tapi nggak dimakan," jawabnya.
"Tapi nggak enak," gumamku.
"Enak kok, kadar enak setiap orang kan beda-beda. Buat orang yang biasa apa-apa sendiri, ada yang masakin itu asal nggak ada racunnya, rasanya pasti enak," Panji berbalik, "nanti juga makin enak lama-lama."
Selesai mencuci, aku menuju ruang makan, menunggu Panji di sana. Tadi pagi aku sengaja beli bubur ayam untuk sarapan Panji, guna mengganti nutrisi yang dimakan usus Panji semalam.
"Nanti kalau nggak repot, belikan hape ya buat Mas," ucap Panji saat menyantap bubur ayam dalam mangkok.
Aku mengangguk, "mau yang kaya apa?" tanyaku. Menyodorkan air putih pada Panji.
Panji menerima gelas, "terserah kamu, Nat," jawabnya.
"Yang poliponik mau? Atau yang hitam putih?"
Panji tergelak, mengusap rambutku, "boleh, asal bisa buat terima email dan lihat wajah kamu."
Aku menunduk, pagi ini berlalu seperti beberapa hari yang lalu minus kemarin. Perasaanku lebih baik dari semalam, setidaknya ada sedikit keyakinan bahwa Panji tetap menjalani pernikahan ini karena keinginannya.
Selepas berburu ponsel baru di pusat perbelanjaan, aku berniat mampir ke tempat Ibu mertuaku. Tadi aku sengaja membeli beberapa makanan untuk buah tangan.
Kuparkirkan mobilku di depan gerbang, niatku hanya mampir sejenak, bukan untuk berlama-lama. Pintu rumah tak terkunci. Kuketuk beberapa kali tapi tak ada jawaban. Akhirnya aku masuk ke dalam, takut terjadi sesuatu dengan beliau.
Namun, baru tiba di ruang tengah, kakiku terhenti. Terjebak dalam marmer berwarna cream. Terpaku sejenak, menatap potret keluarga bahagia.
"Ini rawon buatan kamu sendiri? Enak banget," komentar Ibu mertuaku. Tersenyum bahagia, kemudian menyuapkan satu sendok pada lelaki di depannya.
"Iya, enak banget, Bu, kaya yang kita beli waktu itu," komentar lelaki itu. Menggulung kemeja dan melepaskan kacamata.
Wanita yang berdiri di samping mertuaku tersipu, menuangkan nasi ke dalam piring dan meletakan pada dua orang lainnya. Seperti sadar diri, aku berbalik. Mataku sudah memburam tertutup awan, siap meluncurkan hujan.
Luri terlihat nyaman berada di dekat Panji dan Ibu mertuaku. Dia telihat seperti istri idaman. Pandai memasak, pintar mengambil hati mertua, dan sanggup menyenangkan perut suami.
Merasa tak berguna, kulangkahkan kaki keluar dari rumah. Ada sesak yang menggulung. Ada nyeri yang menguntai. Sampai di gerbang, aku bingung harus melangkah ke mana.
Ini memang jam makan siang, tapi kenapa Panji tak pulang dan memilih datang ke tempat mertuaku. Apa selama ini Panji selalu istirahat di sini?
Berjalan sambil menunduk, satu tetes air mataku turun.
Dulu Panji mau dikenalkan sama tetangga Budhe Tanti. Ucapan Mbak Rahma berputar di kepalaku.
Ibu mertuaku juga menginginkan Luri menjadi menantunya. Aku bukanlah pilihan pertama. Andai Luri tak melanjutkan pendidikannya, mungkin mereka sudah menjadi keluarga.
Tanpa sadar kakiku menginjak tanah rerumputan. Lelah menahan sesak dan nyeri, kududukan tubuhku di kursi taman. Menatap pada seorang lelaki yang menggendong anaknya, dibantu oleh sang istri.
Saya cinta sama suami kamu, Nat.
Tapi, orang bilang lelaki itu sanggup menampung empat bahkan lebih cinta di hatinya.
Saya bisa membahagiakan Mas Panji, siap mengabdi kepada beliau seumur hidup.
Cuma untuk seukuran Mas, satu saja udah lebih dari cukup.
Shit! Bukan aku yang dimaksud Panji. Bukan aku yang mengisi empat ruang hati Panji. Melainkan Luri yang lebih dulu hadir.
Tangisku meluncur begitu saja, tak kupedulikan pandangan orang-orang. Aku hanya butuh melepas sesak dan nyeri.
Menatap raut antusias Panji saat menyantap masakan Luri. Bagaimana Panji menyuapkan, mengunyah, bahkan menelan tak pernah lepas dari senyum tulus. Kembali kutelaah perjalanan pernikahan kami.
Benarkah ini jalan yang salah?
Disudahi sajakah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top