Delapan

"Nat, ayo kita...."

Mendengar ajakan Panji saja sudah membuat dadaku berdetak tak karuan. Kalau sampai malam ini aku sampai diajak enak-enak, aku bingung harus memulai dari mana? Walau bedigasan begini, aku tetap hanya seorang perawan ting-ting. Masih malu-malu kucing, belum ada pengalaman sama sekali.

"Jalan-jalan," lanjut Panji.

Aku melongo. Memandang wajah Panji yang berada tepat di atas wajahku. Kerutan-kerutan yang muncul di keningnya, rambut depannya yang terjatuh, embusan napas, dan tatapannya... Astaga....

"Saya tiba-tiba kepengin makan rawon. Kamu mau ikut?" Begitu tawarnya padaku.

Ucapan Panji selanjutnya terdengar seperti suara kumur-kumur, tak mampu kumengerti. Aku terus saja menyaksikan bibirnya yang bergerak dan menikmati semilir udara yang keluar dari mulutnya.

"Nat, saya kepengin rawon, kamu mau ikut nggak?" tawarnya lagi karna menatapku yang terdiam.

"Hah? Rawon?" sadarku sekarang.

GUBRAK! Aku sudah tampil dengan peralatan siap tempur begini, eh... malah dia yang menghancurkan semuanya.

Jangan kecewa ya, pemirsa. Bukan salah ibu mengandung, tapi salahkan bapak memasukan burung. Kutarik selimut menutupi seluruh tubuhku, hastaganaga aku malu.

"Mau nggak?"

"Mau, tapi Om keluar dulu, aku mau ganti baju," pintaku.

"Oh."

Kudengar derap langkah kaki menjauh, kemudian pintu terbuka, dan tertutup kembali. Aku membuka selimut, lalu lari ke depan lemari. Setelah selesai berganti pakaian, aku turun ke bawah menuju garasi. Panji terlihat lucu sekali duduk di atas jok motor Honda Scoopy berwarna hitam dengan corak merah. Helmnya juga hitam. Untung Panji tak berkulit hitam. Coba kalau hitam, setiap ketawa hanya giginya saja yang terlihat.

"Kenapa malah diem di sana?"

Aku menghampiri Panji dan menerima helm yang diangsurkan kepadaku. Helm serupa dengan milik Panji, tapi milikku berwarna pink.

"Sudah siap?" tanyanya ketika aku sudah duduk di belakang boncengannya.

"Siap, Om."

---

Perjalanan dari rumah ke sini tak memakan waktu lama, kurang dari sepuluh menit. Aku bahkan baru tahu ada rumah makan di dekat sini. Padahal dulu tiap kali aku berangkat sekolah hingga kuliah, pasti lewat sini. Aku ini memang susah sekali menghafal jalan. Kalau ditanya orang jalan ini jalan itu, aku mana ngerti, tapi kalau melewati jalan tersebut pasti pernah.

"Sudah sering makan di sini, Om?" tanyaku pada Panji yang sedari tadi sepertinya tak berniat membuka pembicaraan sama sekali denganku sembari menunggu pesanan kami datang.

"Dua bulan lalu, pertama kali makan di sini," balasnya.

Yaelah, jawabannya begitu doang, tanya balik kek Om.

"Om..."

"Ya?"

"Om..."

"Kenapa?"

"Om..."

"Nata!"

"Om telolet Om."

Dia kemudian menatapku cengo. Tak mengerti maksud perkataanku barusan.

"Nggak ngerti ya, Om?"

Dia menggelengkan kepala.

"Om, punya hape?"

"Punya."

"buat apa?"

"Komunikasi."

"Ada sosial media?"

"Ada."

Ya Tuhan, ini suami apa simsimi sih?

Baru akan kusemburkan api dari mulutku, pesanan kami tiba. Kamu selamat sekarang, Om.

Aku menyuapkan satu sendok ke dalam mulut, dan enak. Aku ini manusia yang hanya tahu dua jenis makanan: enak dan amat sangat enak. Dan rawon ini amat sangat enak.

"Kamu punya acara apa kalau akhir tahun begini, Nat?"

"Biasanya hang out sama temen-temen sambil belanja."

"Kalau tahun ini?"

Inginku juga sama seperti tahun lalu Om tapi apa daya, uang dalam dompetku belum di upgrade isinya, aku hanya diam membeku karena dompet hanya berisi uang seribu perak. Ada yang lebih kere dari aku?

"Mau belanja juga?" tanyanya, aku menatap ke arahnya, ini kode bukan, sih?

Aku mengangguk semangat. Panji tak menjawab tapi terus melanjutkan makannya. Tak ada jawaban sama sekali. Tak ada. Hanya suara sendok yang beradu dengan mangkok rawonnya yang tinggal tetes terakhir. Aku mengembuskan napas, ya sudahlah. Tahun ini aku akan mendekam di atas balkon ditemani sebotol air mineral 1,5 liter. Lalu, akan kuposting di Instagram dengan caption 'Nata mencoba nerima ing pandum.'

"Boleh, Nat. Nanti saya kasih card kalau kamu mau belanja akhir tahun ini," ucapan Panji yang tiba-tiba membuatku langsung menegak air minumku.

"Serius, Om?"

"Seribu rius malah, tapi ada syaratnya?"

Yaah... pasti balas dendam. Namun, aku terima saja, toh setiap hadiah memang selalu ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Jadi, anggap saja ini pun demikian.

---

Me : Kila mana Kila?
Me : Shakila Indira Listy yang cantik, baik hati, rajin menabung, suka menolong
Me : tapi bohong

Dinda : lo ke sambet apaan si, Nat?

Me : OM TELOLET OM

Rizka : OM TELOLET OM

Rivan : Hah? Toket?

Dinda : Rivan ya, sumpel juga.

Kila : Kila habis berburu CEO gaes. Knp, Nat?

Me : gw mau mintol Kilaaaa

Kila : kan kan, cuma butuh doang kau cari aku, tak butuh kau buang aku. HIKS

Me : mau ditraktir nggak?

Kila : Mau...

Dinda : Mau... (2)

Tiara : Mau... (3)

Gilang : Mau... (4)

Me : gue dsuruh Panji buat masakin dia rawon, bantuin gue masakin dong Kil. Dia bilang mau kasih credit card kalau mau masakin dia itu.

Kila : Panjiii.... Kau.... harusnya memilih aku yang lebih mampu masak rawon,

Dinda : mulai gila si Kila

Rizka : Frustasi stadium akhir lu Kil... nggak tertolong,

Me : BISA NGGAK?

Kila : jgn minggu ini, gue mau ke luar kota. Minggu depan aja.

Me : GEBLEK, MINGGU DEPAN UDAH GANTI TAHUN

Dinda : Gue batuin deh Nat.

Me : OGAH. Rivan nggak tiba2 jadi cover surat yasin sampai sekarang aja udah keajaiban dunia

Rivan : Wah... wah... Nata,
Rivan : everyday is telor kocok + kecap

Tiara : catatan hati seorang suami.

Kila : gue bantuin aja bsok via call gimana?

Me : ya udah deh. Yang penting jadi

Rizka : Om Panji lagi apa, Nat?

Gilang : Om telolet Om

Aku memiringkan badanku menghadap ke arah Panji. Panji ini tidurnya anteng banget. Tidak dalam posisi miring atau tengkurep, terlentang biasa. Embusan napas milik Panji yang teratur membuatku menyimpulkan bahwa dia sudah terbang dalam mimpi berkelana entah ke mana. Dari arah samping seperti ini, aku bisa melihat bulu-bulu halus tumbuh di bawah hidungnya. Bakal kumis Panji kelak.

Saking antengnya Panji dalam urusan tidur, tak pernah kudapati selama beberapa hari ini aku terbangun dalam kondisi berada di pelukannya seperti yang sering kubaca di Wattpad. Tidak pernah sama sekali.

Lalu, aku teringat kejadian yang barusan kualami. Sewaktu aku dan Panji pulang dari rumah makan.

"Rawon itu khas mana, Om?" tanyaku yang memang baru pertama kali makan rawon.

"Jawa Timur, Nat. Ada bumbu khususnya. Coba nanti kamu tanya mbah google."

"Om tau istilah mbah Google juga?"

"Hahaha... iya, temen sekantor suka pakai istilah itu." Dia tertawa hanya karena kata 'Mbah Google' yang sudah melejit sejak nenekku masih perawan ting-ting.

"Om, pernah pacaran?" tanyaku kembali melenceng dari bahasan kami. Ya, Panji sudah mengetahui soal Gibran, tak ada salahnya jika aku juga bertanya, kan?

"Pernah."

"Serius pernah?" Aku tak menyangka, siapa wanita khilaf yang mau jadi pacarnya. Sekarang saja, walau cukup menarik tapi Panji tak akan pernah menjadi pilihan pertama aku memilih seorang pacar.

"Iya, hampir dua tahun."

"Betah dia, Om? Nggak tiba-tiba pesan kamar di rumah sakit?" guyonku.

"Harusnya tanya juga sama diri kamu sendiri, Nat. Dia hanya dua tahun sementara kamu yang kelak seumur hidup bertemu dengan saya." Dia membelokan motornya ke arah kanan sebelum melanjutkan berbicara, "kamu sendiri betah pacaran sama Gibran selama itu?" tanyanya kembali padaku.

Ini pertanyaan apa pernyataan?

"Yaaa... namanya juga hubungan, Om. Komitmen itu yang paling utama, Om. Aku yakin, hubungan akan baik-baik saja kalau kita bisa saling jaga komitmen." atau karna aku saja yang bodoh, Om. Nunggu selama itu. Lanjutku dalam hati.

"Semoga bersama saya, kamu tetap memegang terus keyakinan itu, Nat," jawabnya lirih lalu hilang terkena angin.

Mengheningkan cipta again, gaes.

Tiba-tiba motor direm secara mendadak. Aku yang tak terlalu fokus pada jalanan merangsek ke depan. Menempelkan dadaku pada punggung Panji. Panji melingkarkan tangan kirinya di area tubuhku, mungkin takut aku terjatuh. Panji tak mengucapkan sepatah katapun, tapi aku tau dia pasti kesusahan menyangga motor dengan kedua kaki sebagai titik tumpu pijakan dan tangan kanan mencengkeram rem.

Motor masih berhenti dan aku masih menempel seperti lintah di punggungnya. Ketika lampu traffic berubah, Panji melepaskan pegangannya. Aku sendiri sekuat tenaga melepaskan magnet hangat punggung Panji yang terbalut jaket kulit berwarna hitam.

"Kamu nggak ngantuk, Nat?" begitu tanyanya ketika aku mulai mundur ke belakang.

"Nggak, Om."

"Maaf, jalanan padat. Banyak pengendara pada suka saling srobot," keluhnya sambil membelokan motor ke kiri. Masuk komplek perumahan yang kami huni.

Aku memberanikan diri, mencengkeram kedua sisi jaket milik Panji. Aku memang tak mengerti untuk apa aku menikah dengan Panji, untuk apa aku menjalani hariku sekarang bersama Panji. Namun, mengetahui Panji adalah orang yang baik saja sudah membuatku bersyukur. Setidaknya aku tak menikah dengan orang yang salah.

Ya. Semoga.

Kubalikkan tubuhku memunggungi Panji. Sudah saatnya aku mengikuti Panji menyelami mimpi. Namun, acaraku terhenti.

Ting! Ponselku berbunyi...

Gibran Wiratama menambahkan anda sebagai teman.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top