7. Jaga Cinta Ini

"Kuingin jaga cinta ini, sampai saatnya nanti k halalkan dirimu dengan akad.

Barulah setelah tiba saat itu, cinta ini pantas kuungkapkan"

(Muhammad Mukhlis Afandi)

❣❣❣❣❣❣❣❣❣❣

Mukhlis

Mobil toyota calya berwarna putih ini, melaju dengan kecepatan sedang menelusuri jalan yang tak begitu ramai oleh pengendara lain. Fathimah duduk di belakang bersama Kak Diyah dan akulah sang pengemudinya. Jadi berasa menjadi sopir Grab nih, batinku.

"Kita ke mana dulu nih, Kak?" tanyaku melihat ke arah mereka berdua yang asyik mengobrol sendiri melalui kaca spion di depanku.

"Emmmm ... kalo ke toko es krim dulu gimana, Dek?"

"Kalo aku sih terserah Kakak aja. Tapi Fathimahnya tuh kira-kira mau gak?" Pertanyaanku kini beralih kepada wanita yang duduk di samping Kak Diyah.

"Mau ya, Fath. Sebentar aja kok. Kakak udah pengen banget nih," rayu Kak Diyah sedikit memohon kepadanya yang aku dengar.

"Kak Diyah kalau udah kepengen sesuatu, bawaannya kayak orang ngidam. Maklumin aja ya, Fath," Mukhlis terkekeh di akhir kalimat.

"Iya?"

"He'em," ucap Mukhlik melirik Fathimah yang ikut terkekeh.

Aku ikut tersenyum dalam diam, hatiku sangat senang jika lebih lama bisa bersama dengannya. Apalagi melihat senyumnya, seakan menjadi candu buatku. Ingin terus melihatnya.

Tak lama, mobil pun kubelokkan dan segera parkir di kedai es krim yang terlihat cukup ramai saat menjelang sore kayak gini.

***

"Kamu mau pesan es krim rasa apa, Fath? Biar Kak Diyah yang pesen sekalian."

Kak Diyah tampak bertanya kepada Fathimah sebelum keduanya menuju tempat duduk yang masih kosong. Aku hanya mengekor di belakangnya, setelah aku mengunci pintu mobil.

"Rasa coklat, Kak."

"Wah ternyata selera kamu sama ya dengan Mukhlis" bisik Kak Diyah ke arahnya yang masih bisa kudengar.

Aku pun senyum-senyum di belakang mereka, mata kami bertemu sejenak saat Fathimah menoleh ke belakang sebentar, sebelum Kak Diyah membelokkan langkah dari tempat kami berdiri. Kulihat dia tersenyum lalu tertunduk malu. Aku pun ikut tersenyum, geli dan gemas melihat tingkahnya yang malu-malu seperti itu.

Ya Allah ... saat mata ini bertemu pandang dengannya, Kenapa hati ini lebih cepat dan semakin cepat berdebar? batinku.

Dengan segera aku menyeret kursi di depanku terlebih dahulu memberi celah langkahnya untuk dia duduk.

"Silahkan, Fathimah." Kupersilahkan dia duduk terlebih dahulu. Dia tersenyum dan tertunduk malu, sepertinya dia tersipu dengan perilaku ku untuknya kali ini. Romantis kali ya.

"Makasih," ucapnya lirih.

Akupun mengangguk, membalasnya dengan senyum pula.

Ya ampun Fath ... jangan senyum terus gitu dong, bisa-bisa aku ketagihan nih ingin terus lihat senyum manismu itu, batinku.

"Nggak nyangka ya, Fath. kesukaan kita bisa sama."

Aku membuka obrolan setelah duduk di kursi depannya yang hanya tersekat meja diantara kami.

"Hehe iya."

"Ngomong-ngomong ... kenapa kamu suka rasa cokelat?"

"Mmm apa ya?" Tampak dia berpikir dengan wajah yang begitu menggemaskan ala-ala balita kecil berumur dua tahun yang sedang bepikir dengan wajah imutnya.

Kalau saja kamu halal bagiku, pasti udah kucubit pipi tembemmu itu Fath, batinku.

"Suka aja sih. Enak dan cocok aja dilidahku." Akhir

"Kalau kamu kenapa?" tanyanya balik menatapku, terlihat penasaran.

"Karena kamu suka, jadi aku juga suka," jawabku sekenanya.

Terlihat pipinya kemerahan. Terlihat ia menahan senyumnya beberapa saar.

"Yeee. Emangnya sejak kapan kamu tau kalo aku suka es krim rasa cokelat?" ucapnya salah tingkah.

"Mmmm sejaaaaak ...." Ku jentikkan jari telunjukku di dagu berlagak mikir.

Kulihat dia menanti jawabanku terlihat makin penasaran, lihat saja dia sekarang dengan tenangnya menatapku seperti menyimak penjelasan guru waktu pelajaran berlangsung dengan tangannya terlipat di atas meja.

"Hari ini,!" jawabku dengan suara agak keras dan nada cepat mengagetkannya. Aku pun tertawa melihat ekspresinya yang kaget langsung mengedip-ngedipkan matanya.

"Iiihhh ... Mukhlis ngagetin aja." Reflek tangannya mencubitku.

"Au!" jeritku mengelus-elus lenganku yang tertutup kaos, bekas cubitannya lumayan sakit kurasakan.

"Ya Allah ... maaf Lis aku nggak sengaja. Tanganku reflek gitu aja mencubit kamu karena kaget," ucapnya tertunduk merasa bersalah.

"Hehe ... seharusnya aku yang minta maaf karena mengagetkanmu, Fath. Maaf ya."

Aku tersenyum menundukkan kepalaku mengikuti arah pandangnya, dia pun mengangguk.

"Tapi pasti lengan kamu itu sakit kan?" ucapnya seperti merengek. Tapi rengekan itu ucapan rasa bersalah. Aku mendongak, ia melihat ke arahku dengan takut-takut.

Ya Allah ... kenapa hatiku sedikit sakit melihat pemandangan ini. Aku merasa bersalah dan tak tega jika ia seperti ini. Ingin kurengkuh dia, tapi aku sadar itu dosa.

"Ehm ... ehm ..." tiba-tiba suara Kak Diyah terdengar diantara kami, membuyarkan pandanganku kepadanya.

"Gak baik memandang lawan jenis yang bukan mahram itu lama-lama," bisik Kak Diyah ke arahku, lalu senyum-senyum seraya mendaratkan punggungnya di bangku yang memang tinggal satu bangku yang kosong.

Meja dihadapan kami berbentuk segi tiga, jadi kursi yang tersedia ada 3 di setiap satu mejanya. Meja dan kursi yang berwarna-warni Inilah menambah kesan menarik bagi pengunjung untuk mampir.

"Astaghfirullahal'adhzim ... iya Kak," jawabku menunduk, merasa berdosa dengan apa yang aku lakukan barusan, nafsu kali ini benar-benar bisa mengalahkan akal sehatku.

***

Mobil yang kukemudi melaju dengan kecepatan rata-rata, setelah mengantar Fathimah sampai di depan rumahnya. Kami sengaja tak mampir masuk ke rumahnya, karena kak diyah terburu-buru minta antar aku pergi ke supermarket untuk berbelanja keperluan masak makan malam nanti. Khawatir kemaleman katanya kalau mampir dulu.

"Adek suka ya sama, Fathimah?" tanya Kak Diyah tiba-tiba yang duduk di sampingku. Aku yang masih fokus dengan jalan kali ini menoleh ke arahnya sejenak. Pertanyaan yang membuatku kaget dan bikin aku deg-degan tiba-tiba.

"Kenapa Kak Diyah nanya gitu?."

"Aish ... nih anak ditanya kok malah balik nanya sih?"

"Hehe abisnya Kakak nih. Tiba-tiba pertanyaan aneh gitu."

"Kan tinggal jawab aja Dek. Ya atau tidak. Beres kan?."

Aku hanya tersenyum menanggapinya, tanpa menjawab lagi.

"Senyum tandanya iya nih?" Mulai deh Kak Diyah menggodaku.

"Emangnya keliatan banget ya, Kak?" tanyaku sembari senyum-senyum malu.

"Iya banget Dek. Gelagat dan tatapan kamu sejak tadi keliatan banget kalau kamu menaruh perasaan lebih kepadanya," ungkapnya yang bikin aku tambah malu.

Hening beberapa saat.

"Cinta itu memang anugerah, Dek. Datang tiba-tiba tanpa kita ingin dan tanpa diundang juga. Munculnya saja kadang tanpa kita sadari itu sejak kapan. Cinta adalah salah satu rasa yang dititipkan oleh sang Pemilik cinta ke dalam hati setiap hamba-Nya. Sebuah rasa yang mungkin bisa menjadi sebuah ujian untuk kita. Apalagi datangnya sebelum ada ikatan halal. Tapi itu normal-normal saja sih kalau kamu merasakannya. Cuman ...," ucapan Kak Diyah kini menggantung membuatku menoleh lagi ke arahnya penasaran. Ku lihat dia tersenyum ke arahku.

"Cuman apa, Kak?" akhirnya pertanyaan dari mulutku meluncur karena Kak Diyah tak kunjung melanjutkan kata-katanya.

"Cumannya dilanjut nanti dulu ya, Dek. Udah mau sampai di supermarketnya nih."

Tunjuk Kak Diyah ke arah kiri, mengingatkanku agar segera berbelok.

"Tapi janji ya, Kak. Nanti dilanjut," ucapku memastikan agar Kak Diyah tak ingkar janji. Akupun segera menginjak rem mobilku agat berhenti di posisi parkir yang tersedia.

"In syaa Allah adikku sayaaang. Mentang-mentang udah ada yang di cem-cem in mukanya nggak sabaran gini, " jawabnya tersenyum sembari mengacak-ngacak rambutku.

Aku sebagai korban hanya bisa memberenggut kesal dengan ulahnya.

"Ikut ke dalam gak nih?" tanyanya sebelum membuka knop pintu mobil, tapi netranya masih tak lepas ke arahku.

"Enggak deh, Kak. Mukhlis capek mau istirahat santai dulu disini," tolakku sambil merentangkan kedua tanganku, merilekskan otot-otot yang terasa kaku karena seharian ini memang aku sama sekali belum istirahat.

30 menit berlalu.

Mobil sudah memasuki pelataran rumahku yang masih tampak sepi. Hanya seorang satpam penjaga yang setia membukakan pintu pagar memberikan kami jalan. Setelah mobil terparkir sempurna, Kak Diyah membuka pintu dan seperti biasa, sebagai laki-laki tugasku adalah membawa barang belanjaannya lalu turut turun mengekor di belakangnya.

Setelah kuletakkan dua kantong plastik yang berukuran sedang ini di atas meja dapur. Aku pun segera menuju kamar, niatnya ingin rebahan meski sebentar melepas lelah, karena adzan maghrib masih sekitah 45 menit lagi.

Kuraih remot kontrol sound yang berada di atas nakas.

"Rohmân yâ Rohmân sâ'idnî yâ Rohmân. Isyroh shodrî Qur-ân. Imla' qolbî Qur-ãn Washlih hayâtî Qur-ãn"

Terdengarlah lagu sholawat yang disenandungan dengan merdunya oleh vokalis favoritku yaitu : M. RIDWAN ASYFI dari album Al Muqtashidah Langitan ini saat ku tekan tombol power.

Sejak kecil aku sangat suka dengan lagu-lagu sholawat. Hal ini karena abuya dan ummah hampir setiap hari mempersembahkannya di ruang keluarga saat kami berkumpul bersama. Katanya ini adalah salah satu cara untuk memupuk rasa cinta kami kepada Rosulullah SAW.

Dengan sering mendengar, maka akan timbul rasa suka akan sholawat dan akan sering mengingat Rosulullah, dari situlah salah satu jalan agar cinta dalam hati in syaa Allah akan bersemi. Begitu penjelasan dari Abuya yang sampai saat ini aku ingat.

Dulu ... sebelum aku masuk Madrasah Ibtidaiyah. Setiap mau tidur, selain dibacakan buku kisah para nabi atau kisah para sahabat. Ummah juga sering menyenandungkan sholawat saat mengiringi tidurku. Suara ummah merdu, jadi tak bosan-bosannya aku mendengarkan sholawat dari lisan beliau. Malahan sebaliknya, suara merdu Umma bikin aku ketagihan.

Saat lagu sholawat terdengar, aku menikmatinya seraya merebahkan tubuhku ke ranjang ukuran size ini. Tak bisa dipungkiri, saat mendengarkannya lisan ini ingin menirukannya. Jadilah ... aku sekarang memejamkan mata, menikmati lagu ini dengan suaraku yang seakan duet dengan sang vokalis. Rindu kami yaa Rosul. Ingin berjumpa denganmu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top