6. Kekhilafan Cinta
"Bijaksana itu jika kita mampu memilih 1 hal dari 2 hal yang terbaik buat orang lain, bukan hanya baik untuk diri kita sendiri"
Akhwatul_iffah
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Hari ini, sepulang sekolah jadwalku belajar kelompok dengan Maryam dan teman-teman lainnya di rumah Mukhlis.
Kami berlima pun mengikuti arahan motor Mukhlis, ikut memasuki pagar warna coklat yang cukup tinggi dan telah terbuka.
Semuanya berhenti, memarkirkan empat motor di halaman rumah yang cukup luas karena masih cukup memarkirkan 1 mobil lagi di samping satu mobil yang telah terparkir saat ini. Aku berboncengan dengan Maryam, sedangkan yang lain membawa motor masing-masing.
Rumah minimalis yang berlantai dua ini telihat asri dan indah, karena banyak tumbuh berbagai macam bunga dan pepohonan di depan teras dan di sekelilingnya, menyejukkan mata yang memandang.
Langkahku hanya mengekor paling belakang, mengikuti langkah teman-teman menuju pintu bercat coklat. Mukhlis sebagai sang empunya langsung mencolokkan kunci untuk membukanya.
"Assalamu'alainaa wa'ala 'ibadillahishsholihin," terdengar Mukhlis berucap sebelum memasuki rumahnya yang memang sepi saat kami ikut masuk.
Saat kami semua memasuki rumah yang tak berpenghuni. Dalam islam juga disunnahkan untuk mengucapkan salam, karena para malaikatlah yang akan menjawab salam kita.
🌺🌺🌺
"Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri,
salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik."
[QS. An Nur: 61]
🌺🌺🌺
"Kok sepi amat rumahmu, Lis?" tanya Ihsan yang berada tepat di belakangnya.
"Iya, ortuku lagi keluar kota."
"Terus, kamu sendirian aja nih di rumah?"
"Nggak juga. Kakakku belum pulang, dia kalo pulang kuliah biasanya sore."
"Oh iya-iya."
"Ya udah kalian silakan duduk, santai-santai aja dulu anggap aja rumah sendiri. Aku ke kamar dulu," pamitnya meninggalkan ruangan tamu ini, kami pun menurutinya.
"Fathimah nggak diajak nih?" celetuk Ilham membuat Mukhlis langsung menghentikkan langkah dan menoleh. Aku langsung menunduk saat netra kami tak sengaja bertemu pandang.
"Hush ... ngawur kamu ngomongnya." Ihsan memukul mulut Ilham.
"Hehe ... canda, Lis."
Aku merasa malu dengan gurauan teman-temannya Mukhlis. Akhirnya aku memilih duduk di samping Maryam, sedangkan Ihsan dan Ilham duduk di sofa yang berseberangan dari kami, berhadapan dengan meja sebagai pembatasnya.
Tak lama, Mukhlis pun kembali dengan membawa beberapa buku dan laptop di tangannya.
"Iya udah yuk, mulai belajarnya," ajak Mukhlis yang memang ketua dari kelompok ini.
Kami pun berpindah duduk, duduk lesehan mengitari meja yang berbentuk persegi panjang ini dengan beralaskan karpet empuk bercorak lingkaran berwarna hijau tua.
15 menit kemudian.
Mukhlis beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan bukunya dan keberadaan kami yang sedang mencari materi dan aku kebagian mengetik hasilnya.
Nada dering lagu Maher Zein terdengar dari dalam tas ransel milik Maryam. Dia pun segera meraihnya. "Bentar ya, Fath." Dia beranjak dari tempat duduknya, agak menjauh dari keberadaan kami. Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
*
"Maryam ke mana, Fath?" tanya Mukhlis berjalan ke arahku dengan membawa nampan berisi minuman dan snack di tangannya.
"Maryam di luar, lagi terima telepon." Aku beranjak menghampirinya, ingin membantu menata apa yang dibawa. Dia tersenyum ke arahku, aku pun membalas senyumnya.
Ya Allah ... senyumnya bikin aku deg-degan, batinku
"Ehm ... ehm ...."
"Emang udah serasi banget ya,"
"Cocok deh pokoknya," terdengar godaan Ilham dan Ihsan saling bersahutan.
Membuatku menunduk malu, tapi hati ini merasa bahagia sehingga bibirku menahan senyum.
"Kalian jangan mulai deh," ucap Mukhlis seraya ikut duduk kembali ditengah-tengah mereka.
"Nih semua, silakan diminum dulu. Kalian pasti udah pada haus kan.?"
"Tahu aja kamu, Lis, " tanggap Ilham langsung meraih gelas di depannya.
"Iya bener, memang sangat pengertian yah shohib kita yang satu ini," timpal Ihsan menambahkan ucapan Ilham dan segera menyodorkan tangannya meraih gelas yang sudah tertata di meja.
"Fathimah?"
Panggil Mukhlis melihatku karena aku tak kunjung meraih gelas yang sudah berada di depanku.
"Eh ... iya iya," jawabku agak gugup dan ikut mengambil gelas yang berisi es jeruk.
Mana sih Maryam kok belum masuk-masuk juga. Aku kan merasa gak nyaman dengan situasi yang kayak gini, satu ruangan dengan para ikhwan dan aku hanya seorang diri sebagai akhwat, batinku
"Maryam telponan sama siapa sih? " tanya Mukhlis yang menyadari kegelisahanku menunggunya. Aku hanya bisa mengangkat bahu, tanda tak tau.
"Nih dia anaknya," tunjuk Ihsan saat mengetahui Maryam berjalan ke arahku.
"Ih ... kok lama amat sih, Mar. Telpon dari siapa sih," tanyaku kesal kepadanya yang langsung menghampiriku.
"Maaf Fath, tadi kakakku yang telpon. Maaf ya teman-teman kayaknya aku gak bisa lama-lama di sini deh."
"Kenapa, Mar?" tanyaku langsung menoleh ke arahnya, yang lain hanya mengangkat alis menyimak akan jawaban Maryam.
"Aku harus jemput adikku sekarang, karena gak ada yang bisa jemput dia. Kakakku lagi ada urusan lain yang sangat penting katanya,"
"Emangnya gak bisa nunggu sampai selesai, Mar? Terus aku gimana?" tuturku yang tidak mau ditinggal seorang sendiri di sini.
"Assalamu'alaikum."
Terdengar suara lembut dari balik pintu membuyarkan obrolan kami. Kami pun langsung menoleh ke sumber suara. Muncullah sosok gadis cantik berhijab syar'i melangkah ke arah kami.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh," jawab kami serempak.
"Eh ... Kak Diyah, tumben udah pulang jam segini, Kak?" tanya mukhlis berdiri menghampiri.
Baru kuketahui dialah kakak perempuan Mukhlis. Kulihat Mukhlis meraih dan mencium tangannya, meski terlihat tak seberapa jauh usia mereka. Mukhlis terlihat sekali menghormati kakaknya tapi tetap berkesan akrab dilihat dari kedekatan mereka.
"Iya, Dek. Dosen yang terakhir gak bisa hadir. Jadi kakak pulang deh.
Eh ... lagi rame nih rupanya," sapa kak Diyah yang tadi disebut Mukhlis saat menyadari keberadaan kami.
"Iya nih, Kak, kami ada tugas kelompok. Kenalin teman-teman, Ini kakak aku yang paling cantik namanya Robiatul Adawiyah, panggil aja Kak Diyah," jelas Mukhlis memperkenalkan kakaknya kepada kami.
Kak diyah pun mempersembahkan senyumnya dan segera menjulurkan tangannya ke arah aku dan Maryam. Kami pun menyambutnya, menjabat tangannya dengan sopan secara bergantian.
"Fathimah, Kak."
"Maryam, Kak."
Untuk teman-teman ikhwan, Kak Diyah hanya melempar senyum seraya menangkupkan kedua tangannya di dada. Begitu pun Ihsan dan Ilham menanggapinya.
Setelah Kak Diyah meninggalkan keberadaan kami, Aku pun melanjutkan obrolan dengan Maryam mengenai persoalan tadi.
Aku jadi gelisah, gimana nanti nasibku bisa pulang. Aku kan nggak bawa handphone untuk menghubungi Abi. Mau pinjam ke Mukhlis juga aku nggak hafal nomer Abi.
"Jadi gimana nih, Lis? Kamu tau kan kalo Fathimah gak akan mau di sini kalo hanya sendiri? Begitu pun pulangnya nanti, Aku gak bisa antar dia," tanya maryam kepada Mukhlis, mencoba cari bantuan solusi.
"Emm ... gimana kalo aku minta Kak Diyah nemenin kamu di sini, Fath?" pertanyaan Mukhlis kini beralih kepadaku
"Ide yang bagus, " celetuk Maryam seraya menjentikkan kedua jarinya ke depan.
Aku pun tersenyum lalu mengangguk menyetujuinya. Setelah beres-beres, segera Maryam pamit bersamaan dengan kedatangan Mukhlis yang tak sendiri lagi, melainkan bersama kakaknya yang hendak ikut berkumpul di tengah-tengah kami.
Tak terasa, seakan waktu berlalu begitu cepat. Karena disela keseriusaan kami, tak luput sesekali candaan menghiasi. Jadi tak ada kejenuhan atau pun raut muka lelah yang nampak pada kami.
Aku dan Kak Diyah pun sesekali mengobrol, sehingga dengan cepat kami bisa akrab dalam satu kali pertemuan ini, karena dia memang dasarnya orang yang humble, murah senyum dan suka bercanda.
"Alhamdulillah ...," ucap kami serempak, setelah aku mengklik tombol save tanda selesainya tugas kami.
"Sudah selesai ya?" tanya Kak Diyah yang tadinya masih asyik dengan ponsel pintarnya.
"Iya kak," jawabku segera beranjak dan ikut duduk di sampingnya.
"Kalo gitu kita semua makan dulu yuk!"
"Wah kok ada acara makan-makan segala nih. Kita-kita jadi ngerepotin," ucap Ilham setelah melenyapkan isi es jeruk di gelasnya.
"Tapi kamu laper kan? Tuh minuman sampek ludes gitu. Mana 3 bungkus kripiknya juga udah dihabisin kamu doang," goda Ihsan mengambil bungkus kripik yang tak berpenghuni di depannya itu.
Ilham gelagapan, salah tingkah sendiri ditengah tawa kami. Ia tampak menggaruk-garuk kepala sembari nyengir, memperlihatkan gigi putihnya.
"Ya udah yuk! Kita makan dulu," ajak Mukhlis yang beranjak terlebih dulu. Kami semua pun menyusul di belakangnya.
Suara Adzan ashar berkumandang bertepatan dengan selesainya acara makan siang ini.
"Kita sholat berjama'ah ya, Fath," ajak Kak Diyah. bibirku mengukir senyum setelah mengangguk menanggapinya. Lalu mengekorinya, menuju mushola yang terletak di samping kamar mandi.
"Yang laki-laki jama'ahnya di Masjid ya." Perintahnya lagi memutar badan, kembali menoleh ke arah laki-laki yang masih setia duduk memutari meja makan.
"Oke, Kak," jawab mereka serempak.
Selepas sholat. Aku, Ihsan dan Ilham pamit pulang dan tak lupa berterima kasih atas wejangan dan lain-lainnya. Setelah motor Ihsan dan Ilham menghilang dari halaman rumah Mukhlis.
"Fathimah aku antar ya," tawar Mukhlis saat kami masih berdiri di depan pintu rumahnya.
"Gak usah, Lis. Makasih, Aku naik angkot aja. Gak enak malah ngrepotin kamu lagi."
"Gak apa-apa, Fath. Sama sekali gak repot kok. Aku malah seneng," ujarnya tersenyum.
"Tapi kan Lis ...."
"Tenang aja. Entar kita gak akan hanya berdua kok."
Seakan tau apa yang ada dipikiranku dia langsung memotong ucapanku.
"Kak Diyah akan ikut juga."
"Wah ... jadi tambah ngerepotin dong akunya," tuturku merasa segan
" Jadi ... maunya sama aku doang nih?" tanyanya senyum-senyum.
Membuatku merasa jawabanku tadi kurang tepat, kegugupan langsung menderaku.
"Eh ... ya nggak gitu juga," ucapku lirih.
"Hehe ... iya-iya becanda,"
"Kamu nih, Dek. Hobi banget sih godain Fathimah, kasian tuh Fathimahnya jadi gugup gini."
"Udah ayo, Dek. Kakak sama sekali nggak merasa direpotin kok. Sekalian Kakak juga mau belanja dianterin Mukhlis," tutur Kak Diyah seraya menyerahkan kunci mobil kepada adiknya.
"Jadi?" tanya mukhlis langsung menatapku.
Aku mengangguk lalu tersenyum menyetujuinya, karena tak ada alasan lagi untukku menolak kebaikan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top