5. Pengakuan Cinta
Keindahan hidup akan dirasa, jika kita bisa merasakan indahnya iman dalam taqwa.
Indahnya islam dalam ibadah mengabdi padaNya
dan indahnya Iman dalam meniti jalan menuju ridho-Nya.
((akhwatul_iffah))
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
"Oia Fath, gimana yang kemarin? Jadi kan?" tanya Maryam setelah kami menghabiskan semangkok bakso di kantin.
" Alhamdulillah, iya in syaa Allah jadi, Mar. Diizinin kok tadi sama ummi, yang penting hati-hati katanya," jawabku setelah meneguk segelas es jeruk yang menyegarkan tenggorokanku, bibirku tersenyum penuh nikmat.
"Alhamdulillah, oke-oke siap deh." Maryam tampak kegirangan, tak henti-hentinya bibirnya menyungging senyum.
Setelahnya hening, kami menikmati minuman masing-masing.
"Astaghfirullohal'adhzim ... hampir saja lupa," ucapku yang tiba-tiba teringat sesuatu yang hampir terlupakan, reflek tangan ini menepuk jidat sendiri.
"uhuk.. uhuk... Ada apaan sih, Fath? Ngagetin aja kamu nih"
Maryam menggerutu karena ucapanku yang tiba-tiba mengagetkannya, dia cemberut karena tersedak minumannya sendiri.
"Hehe afwan, Mar. Afwan ya," ucapku memelas, merayunya sembari menggoyang-goyangkan lengannya dengan wajah memelas
"Iya-iya. Emang kamu lupa apaan sih ?" tanyanya mulai penasaran.
"Itu tadi, aku belum ambil bukuku yang dipinjam Aisyah hari sabtu kemarin. Padahal besok kan udah waktunya pelajaran bahasa inggris, ada tugas kan?"
Aku tersenyum kepada maryam sembari mengaduk-mengaduk minuman yang ada di depanku
"oooo iya iya. Oia bahasa inggris besok juga ulangan kan?"
"Yup, makanya, Mar. Aku kemarin sudah bilang ke Aisyah untuk balikin bukunya hari ini, sampai sekarang tuh anak belum ngasih ke aku," jelasku padanya.
Suasana Kantin masih tampak ramai. Ada juga beberapa siswa atau siswi yang baru memasuki pintu kantin, sedangkan yang lain ada yang tengah mengobrol berkelompok menghabiskan makanannya dan ada juga yang mulai beranjak keluar.
***
Hari semakin siang, terik matahari semakin menyengat ke permukaan kulit. Dengan wajah letih dan kusam, para penghuni setiap kelas berhamburan keluar saat bunyi bel panjang tiga kali terdengar, pertanda waktu pulang.
"Ayo, Fath cepet doooong!" teriak Maryam dari balik pintu kelas menungguku. Dia sudah siap dengan tasnya yang telah digendongnya ingin segera menuju parkiran, sedangkan aku dengan terpaksa ikut beranjak meskipun tinggal satu buku lagi yang belum kumasukkan dalam tas. Dasar si Maryam kalau sudah buru-buru gini, aku juga kan yang jadi panik.
"Iya iya Mar, bentar," jawabku ikut berjalan cepat dengan kepala menunduk, tak melihat arah depan.
"Ya Allah !" pekikku saat merasakan tubuh tegap menabrakku cukup keras, membuat tubuhku langsung oleng, hilang keseimbangan.
Dia, iya dia yang hanya sekilas terlihat wajahnya olehku adalah orang yang selalu membuatku deg-degan lah yang menabrak. Yah ... bukuku tak berhasil memasuki tasku, dia malah melompat jatuh ke samping. Sedangkan diriku tak kuasa lagi berdiri tegap dan dipastika terjatuh kalau saja dia tak menangkap badanku.
"Astaghfirullah! " pekikku menutup mata yang sudah pasrah dan memang takut jika terjatuh saat ini, karena benturan diantara kami memang agak keras akibat kami sama-sama berjalan agak cepat.
Tapi ... tiba-tiba sebuah lengan kekar berhasil meraih pinggangku saat ini, menangkap tubuhku agar tak menyentuh lantai bawah yang terasa dingin.
Haaa ... kurasakan tubuhku seperti dipeluk sekarang, membuat napasku semakin tak normal, karena jantungku berdegup semakin cepat. Aku sangat malu jika dia juga sampai mendengar suara degupan jantung ini yang sangat cepat berdetak dan mampu kudengar saat ini.
Aku pun membuka mata, segera kembali ke alam nyata. Wajahku yang kini tak jauh dari tatapannya, langsung menghangat saat tatapan kami bertemu sedekat ini. Ya Allah ... mimpi apa aku semalam? Sampai-sampai aku berada sedekat ini dengannya?
Baru kali ini ... iya baru pertama kali kami sedekat ini. Entah mengapa hati ini merasa bahagia dekat dengannya. Astaghfirullah ... batinku langsung beristighfar saat menyadari kalau kita belum mahram. Kok belum? Kan pinginnya nantinya jadi halal.
Hening beberapa detik karena kekagetan diantara kami masih dengan posisi yang sama. Tapi detik kemudian, aku berusaha melepaskan rengkuhannya. "Ya Allah ... Fathimah afwan ya, tadi aku buru-buru. Jadi sama sekali aku gak sengaja menabrak kamu," ucapnya setelah beberapa langkahku memundurkan diri dan tangannya melepaskan pelukannya.
Bukannya ini salahku juga? Jalan ke arah depan dengan tergesa-gesa dan gak lihat-lihat, sehingga aku tak menyadari, kalau ada seseorang yang berjalan cepat juga dari arah berlawanan.
"Emm i- iya, Lis, afwan juga. Tadi aku juga jalannya gak liat ke depan," jawabku terbata dengan kepala menunduk menahan malu. Mungkin wajahku saat ini memerah, jantungku belum berhenti berdegup diluar batas normal. Tapi ... tak bisa dipungkiri, dalam hatiku terselip rasa bahagia disamping rasa bersalah juga.
"Tapi kamu gak apa-apa kan, Fath? atau ada yang sakit?" ucapnya mulai terdengar nada khawatir.
"Iya nggak apa-apa kok. Aku gak kenapa-kenapa," ucapku yang masih ingin menenangkan detak jantungku yang begitu cepatnya terus memompa.
"Syukurlah kalo gitu, Nih ...." Kali ini dia menyodorkan bukuku yang tadi terjatuh.
"Sekali lagi maaf ya, Fathimah," imbuhnya terlihat merasa gak enak.
"Sudah Mukhli ... nggak usah minta maaf terus. Aku juga yang salah tadi. Makasih ya sudah menolongku tadi," jawabku meraih buku di tangannya. "Ini juga makasih," lanjutku lalu tersenyum.
"Cieeeeee ... ehem ehem ... udahan dong drama romantisnya. Baper nih," tutur Maryam memecah kecanggungan diantara kami, tiba-tiba saja menghampiri keberadaan kami.
"Iiiihhh apaan sih, Mar?" aku mencubitnya gemas karena tiba-tiba datang dan menggoda kami, yang otomatis mengagetkanku.
"Auuu ... sakiiit Fathimah. Kebiasaan deh kamu hobi banget nyubit," keluhnya mengelus-elus lengannya menghapus jejak cubitanku.
"Rasain tuh, siapa suruh godain," cibirku padanya.
"Yeeee ... lagian bener kan tadi ...."
Segera kubekap mulutnya dengan tangan, agar dia berhenti membahas soal tadi. Sudah cukup dia bikin aku malu dan aku gak mau tambah malu lagi, sehingga membuatku semakin salting di depan mukhlis.
"Maaf ya, Lis aku duluan," ucapku mulai melangkah menjauhi keberadaan Mukhlis, menuju keluar kelas dengan tetap menutup mulut sahabatku ini.
"Iiihhhh ... u ... a ... o ... fa ... (udah donk fath)," ucapnya tak jelas sambil meronta-ronta tanganku, berusaha melepaskan tanganku yang membekapnya.
"He he afwan, Mar. Kamu sih gitu, suka banget godain. Aku kan makin malu, Mar." jawabku terkekeh melihat Maryam yang tampak sedikit marah.
"Cie ... cie ... jadi bener kan?" tanyanya menaik turunkan alisnya, menggodaku lagi. "Ayoo ngaku dong, Fath. Entar aku bilang nih ke Mukhlis kalo kamu gak ngaku," imbuhnya yang sekarang malah mengancam dan hendak berbalik arah ke tempat tadi.
"Eiiitttts ... iiihhhh apaan sih kamu ini, Mar?" Dengan sigap aku menahan lengannya.
"Makanya ayo dong jujur. Katanya sahabatan, tapi kok kamu gak mau jujur sih ke aku. Padahal udah ketahuan banget lo," ucapnya tanpa menoleh dan tak mengentikan langkahnya.
"Oke , oke entar aku cerita. Tapi jangan di sini ya," negoku kemudian mengajaknya segera beranjak dari tempat yang tak aman dengan hatiku ini. Senyum Maryam merekah setelah menghentikkan langkah dan menoleh ke arahku.
"Oke ... ayok!" jawabnya dengan semangat melangkah ke area parker.
-----*-----
Setelah berkeliling di toko buku dan mendapatkan apa yang diinginkan. Kami pun segera menuju cafe sebelum pulang. Maryam menagih janjiku untuk bercerita dan aku pula yang mentraktirnya. Dasar sahabatku yang kadang-kadang memang suka nyebelin, padahal tadi kan dia yang mengajak aku nemenin dia ke toko buku.
Kenapa ini malah aku yang traktir ?
Yaah ... jawabannya adalah ini hukuman buatku karena aku gak mau terus terang kepadanya perihal hatiku.
Padahal itu hakku kan? Ya sudahlah ... ini mungkin bentuk perhatiannya kepadaku sebagai sahabatnya. Agar aku tak memendam perasaanku sendiri yang terkadang menjadi beban hatiku.
"Oke ... sekarang aku siap mendengar pengakuanmu Fathimah Az Zahra," tuturnya langsung menghakimiku, setelah menikmati makanan dan minuman yang kami pesan tadi.
"Iiihh kamu ini. Kirain udah lupa, ketutup pikirannya dengan makanan tadi. Hihi," jawabku masih ingin mencari pembahasan lain.
"Yeeee ... ya enggaklah, aku anti ya disogok dengan makanan gini terus melupakan tujuanku," jawabnya mengerlingkan matanya, bangga bisa menggodaku lagi dan lagi.
"Ayo dong, Fath. Nggak usah menghindar dan bertele-tele," imbuhnya tak sabaran menggoyang-goyangkan lenganku.
"Iya ... iya ...," jawabku akhirnya pasrah menuruti keinginannya.
"Jadi ?" ucapnya lagi, karena aku yang tak kunjung angkat suara.
"Ya ... iya benar kecurigaan kamu tadi, Mar," jawabku agak bingung mau cerita dari apa dulu ke dia.
"Benar apanya sih, Fath?" tanyanya lagi.
"Iya ... yang tadi kamu katakan," jawabku malu-malu
"Yang mana?" Dia malah sekarang tampak menahan senyumnya.
"Iiihhhh ... iya aku suka sama Mukhlis," jawabku dengan cepat menahan malu lalu menutup mukaku yang pasti saat ini merona lagi.
"Yeeeee!" teriaknya berhasil membuatku mengakuinya dan kecurigaannya benar adanya.
"Iiiishhh apaan sih, Mar," ucapku memukul tangannya. Memperingatinya agar mengecilkan volume suaranya, karena aku tak mau jadi sorotan oleh setiap mata dari para pengunjung di cafe ini.
"He he afwan afwan, akhirnya kamu ngaku juga Fathimah," tuturnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi sembari merentangkan kedua tangannnya terlihat begitu lega dan senang. Senang karena telah berhasil membuatku mengakui perasaanku pastinya.
Lain halnya dengan keadaanku saat ini yang masih malu-malu. Padahal yang tau perasaanku bukan Mukhlis, yang tau hanyalah sahabatku. Gimana jadinya kalau Mukhlislah yang tau? Astaghfirullah ... jangan sampailah. Bisa sangat memalukan buatku, gumamku dalam hati.
--*--
"Stop.. stop, Mar," ucapku mendadak menyuruh Maryam menghentikan motornya.
"Ada apa sih, Fath?" tanyanya setelah memberhentikan motornya.
"Mampir ke Masjid ini yuk! Udah adzan, kita sholat ashar dulu," ucapku menunjuk ke arah masjid di depan kami yang hampir terlewati. Maryam pun langsung membelokkan motornya dan masuk ke area parkir yang berada di samping kanan masjid. Setelahnya barulah kami segera menuju ke tempat wudhu' khusus wanita.
Selepas sholat ashar berjama'ah. "Alhamdulillah ya, Mar. Tadi masih sempat ikutan sholat jama'ahnya, diawal waktu lagi," ucapku kepada Maryam yang berjalan beriringan menuju tempat sepatu kami tersimpan. Selain lebih utamanya sholat berjamaah daripada sholat sendiri, sholat berjamaah di Masjid juga melatih diri untuk sholat fardu di awal waktu.
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:
Shalat berjama'ah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.
(H.R Bukhari dan Muslim)
Sebelum maghrib, aku telah sampai di rumah dengan diantar oleh Maryam sesuai janjinya. "Assalamu'alaikum," ucapku begitu memasuki pintu rumahku yang tak terkunci.
Keadaan di rumah sepi, hanya ada Ahmad yang tengah asyik main game di ruang tengah.
"Iiihh ... asyiknya yang maen game, cuek amat Kakaknya datang," tuturku sembari mendaratkan punggungku melepas lelah di atas sofa. Aku kini berada di belakang Ahmad yang sedang duduk lesehan di atas karpet.
"Hehe, Kakak kok baru pulang?" tanyanya nyengir menghampiriku dan telah menghentikkan mainnya.
"Tadi ke toko buku dulu Dek nemenin Maryam," jawabku setelah mencomot kue kering dari dalam toples yang tersedia di atas meja.
---***---
Ba'da isya' malam ini, Aku tak bisa belajar dengan konsentrasi, karena mengingat kejadian tadi siang yang membuatku senyum-senyum sendiri. Segera kututup buku, berniat nanti setelah sholat malam saja aku belajar lagi.
Akhirnya, aku memilih merebahkan tubuhku dengan rileks sembari menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba ingatan itu muncul lagi, senyum manis Mukhlis, wajah Mukhlis yang tampan begitu tampak jelas. Apalagi posisiku yang sangat dekat dengannya, membuatku pipiku merona. Kututup muka dengan kedua tangan karena malu sendiri saat mengingatnya. Beginikah setiap orang yang merasakan jatuh cinta? bahagia jika berada didekatnya, selalu saja bayangannya berkelebat dipelupuk mata. Senyumnya yang selalu terukir tak pernah pudar, membuatnya semakin tampan dan menarik hati.
"Astaghfirullahal'adziim ...." Kututup wajah ini setelah sadar dari lamunan yang tak seharusnya terus larut memikirkannya. Tubuhku segera beranjak bangun dari posisi tidur, menuju kamar mandi untuk berwudhu' sebelum tidur.
Tak selalu sebuah kenikmatan itu hal yang membahagiakan. Karena meski itu merupakan hal yang membuat kita sedih tapi bisa membuat kita kembali ke jalan lurus yang di Ridhoi-Nya. Maka itulah kenikmatan sesungguhnya.
Akhwatul iffah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top