4. Kehadiran Cinta
"Cinta adalah Anugrah dari Sang Pemilik Cinta kepada setiap makhluk-Nya.
Setiap insan di dunia ini pasti akan pernah merasakan apa yang namanya CINTA tanpa ingin atau pun bisa menolaknya."
akhwatul iffah
Sepulang sekolah, langkah ini langsung tertuju ke kamar, setelah mengganti baju dengan kaos dan rok yang sama-sama panjang. Kurebahkan badan yang terasa letih dengan segala macam pikiran yang mengusik terus dalam kegelisahan.
Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih keungu-unguan ini dengan pikiran yang mulai berkelana dalam kesendirianku, berdiam diri di dalam kamar untuk beberapa menit ke depan.
"Ya Allah ...," ucapku lirih lalu menghela napas begitu dalam.
Hatiku galau menerima fakta yang sebelumnya tak pernah kusangka. Seorang sahabat ternyata selama ini juga memendam rasa kepada orang yang sama kukagumi. Seorang sahabat yang pendiam dan juga cantik itu akhirnya ketahuan mengagumi sosok dia.
Hati ini meronta dan memanas, seakan tak terima dengan kenyataan yang ada. Ingin rasanya aku memaki, kenapa harus dia sih, Zai? Dia hanya milikku, jadi jangan kau ambil dia dariku.
Detik kini telah berganti menit, tapi pikiran persoalan tadi masih saja setia menemaniku sampai saat ini. Berpikir apa yang harus aku lakukan saat ini untuk hati yang sedang gelisah.
Ya Robb ... kenapa dengan hati ini sebenarnya?
Mengapa hati ini terasa sakit saat mengetahui orang lain juga menyukainya?
Padahal dia bukanlah milik hamba.
Padahal dia bukanlah siapa siapa hamba.
Apakah hati hamba sudah berlebihan dalam mengaguminya sehingga hamba tak rela jika dia disukai oleh wanita lain?.
Astaghfirullah ya Allah ... ampuni hambamu ini, jika menyukainya saat ini adalah sebuah kesalahan.
Ampuni hamba yang belum bisa menahan segala rasa yang tak halal ini, do'aku dalam batin.
Tak terasa air bening mulai menetes dari pelupuk mata saat kumemejamkannya, mengingat hati dan diri yang penuh dosa ini.
Tiba-tiba ponsel yang berada di dekat perbaringanku berdering dan bergetar, menunjukkan tanda panggilan masuk. Hanya dengan tangan meraba-raba tanpa melihatnya, kuraih ponsel yang saat ini sudah menempel di telingaku setelah menggeser layar yang berwarna hijau.
"Assalamu'alaikum, Maryam," ucapku membuka percakapan dengan posisi yang sama seperti tadi, setianya diriku berebahan.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah, Fathimah ... Oh iya Fath, nanti sore aku kerumahmu ya, Fath. Lagi bosen nih aku di rumah, pingin ke rumah kamu. Sekalian, kita ngerjain tugas kimia tadi. Mumpung lagi rajin nih akunya, mau ya ... mau ya ... hehe," ucapnya panjang lebar dengan semangat 45 merayuku agar menuruti kemauannya.
"Halo Fathimah ... Kamu masih denger aku kan?" ucapnya lagi karena tak kunjung ku jawab.
"Iya iya, Mar. Aku mau kok," jawabku singkat.
Setelah kupikir-pikir, dari pada aku hanya bengong sendiri di sini. Siapa tau, dengan kehadiran Maryam mengurangi kegalauanku saat ini.
"Oke Fath. Nanti habis ashar aku ke tempatmu ya. See you," ucapnya terdengar begitu riang
"Jangan lupa In syaa Allahnya Mar kalau mau melakukan sesuatu," ucapku mengingatkan.
Q.S Al-Kahfi 18:23-24
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاىْءٍ إِنِّى فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
(Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi" )
إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ ......
(Kecuali dengan menyebut
"In syaa Allah".........)
"Hehe iya-iya maaf lupa, Fath. In syaa Allah nanti sekitar jam setengah 4 aku meluncur ke rumahmu ya. Assalamu'alaikum Fathimah," pamitnya mengakhiri percakapan kami.
---*---
Shodaqollahul'adhzim ... Kututup mushaf setelah menciumnya, pertanda tilawah sore hari ini kuakhiri.
Alhamdulillah ... Selepas sholat dan tilawah, hati ini kembali tenang, kegelisahan pun telah mengikis.
Aku sadar ... aku harus bisa menghilangkan kegelisahan ini, karena tak ada gunanya aku gelisah akan cinta yang belum halal. Toh, belum tentu dia akan menjadi kekasih halalku nantinya. Aku harus bisa menjaga hatiku, agar aku tidak mencintai dia melebihi cintaku kepada-Nya.
Segera aku beranjak melipat mukenah, membereskannya dan melanjutkan langkahku menuju ruang belakang, untuk mengambil sapu karena sudah waktunya bersih-bersih rumah.
Sore hari adalah jadwalku bersih-bersih rumah, karena ketika pagi hari, Ummilah yang bersih-bersih saat semua penghuni rumah ini telah keluar rumah. Abi ke tempat kerja, sedangkan Aku dan Ahmad ke sekolah.
---*---
"Fathimah ... ada Maryam nak di depan nyariin kamu." Terdengar pintu kamarku diketuk Ummi. Akupun bergegas, segera keluar dari kamar mandi setelah bersih-bersih badan agar kembali segar.
"Iya, Mi. Fathimah ganti baju dulu ya," jawabku tanpa membuka pintu, segera meraih gamis biruku yang telah kusiapkan tadi sebelum mandi.
"Iya, Sayang," jawab Ummi, suaranya menjauh meninggalkan pintu kamarku.
"Assalamu'alaikum, Maryam," sapaku kepada Maryam yang sedang asyik nonton tv menanti kedatanganku.
Terlihat di atas meja di depannya sudah tersedia minuman dan biskuit yang kuyakini Ummi telah menyiapkannya tadi sebelum meninggalkan Maryam lagi ke dapur. Ummi tak bisa menemaninya karena sibuk menyiapkan masakan untuk makan malam nanti.
"Eh ... Wa'alaikumsalam Fath, akhirnya keluar juga nih anak."
Sepertinya 10 menit menunggu membuatnya sedikit bosan jika hanya sendirian.
"Hehe maaf ya, Mar. Sudah membuat kamu nunggu sendiri di sini." Aku tersenyum sedikit tak enak dan segera mendaratkan diri duduk di sampingnya. Sebelumnya sudah ku letakkan tumpukan buku yang kubawa dari kamar tadi di atas meja. Tak mengulur waktu lebih lama lagi, kami pun langsung mulai mengerjakan tugas bersama.
"Mar, aku boleh nanya sesuatu nggak?" Aku menoleh ke arahnya yang tengah fokus menulis.
Dia menoleh, "Tumben mau nanya izin dulu?"
"Ish ... boleh nggak?" tanyaku dengan sedikit kesal karena dia kini malah balik nanya.
"Hehe, iya-iya boleh. Emang mau nanyain apaan sih, Fath?"
"Gimana perasaan kamu, seandainya cowok yang kamu sukai oleh wanita lain. Sedangkan wanita itu sahabat kamu sendiri?"
Mendengar pertanyaanku, Maryam langsung melotot ke arahku."Aku nggak salah denger nih?"
"Aish ... emang ada yang salah dengan pertanyaanku, Mar?" Aku memukul lengannya yang terpangku di atas meja.
"Ya nggak sih. Tapi roman-romannya ...." Kini Maryam tampak menepuk-nepuk dagunya dengan jari telunjuknya sembari menatapku penuh curiga.
"Iiiiih ... apaan sih, Mar," ucapku salah tingkah.
"Kamu lagi jatuh cinta ya, Fath? Tapi jangan bilang kamu suka sama Ilham ya.
Mau nikung aku dari belakang kamu?"
"Astaghfirullahaladhzim ... Maryam sahabatku tersayang. Nggak mungkin lah aku mau nikung kamu dan suka sama pangeran dari masa kecilmu itu."
"Lah terus?"
"Aku kan cuma tanya se-an-dai-nya. Kamu ngerti arti kata seandainya kan?"
"Hehe iya-iya maaf, Aku kan nggak mau saingan sama kamu, Fath. Karena kalau saingannya kamu pasti aku kalah lah. Kamu kan lebih segala-galanya dari aku," ucapnya mengerucutkan bibirnya, manyun.
"Yeee... nih anak ya, pertanyaannya apa jawabannya apa. Nggak nyambung ah, udah lanjutin lagi ngerjain tugasnya."
"Hehe ngambek nih ye ... Iya-iya bakal dijawab nih."
Fathimah tetap saja bergeming, tak menghiraukan ucapan Maryam. Memulai fokus hendak mengerjakan tugasnya.
"Iiihhh ... dengerin dulu dong," Maryam langsung mencabut pensil di tanganku dan menatapku dengan serius.
"Kalau perasaanku sih ... sakit hati itu pasti ya. Cuman, aku kan nggak punya hak melarang orang lain mencintai laki-laki yang tak punya hubungan spesial denganku. Jadi yah ... hanya bisa memendam sakit hati itu sendirian. Solusinya sih, banyakin berdoalah sama Allah, sang pembolak balik hati manusia. Agar kita tak tersakiti dengan sebuah rasa yang tak seharusnya hinggap dalam hati ini."
Fathimah melongo mendengar titah Maryam yang cukup panjang itu. Tak menyangka jika sahabatnya itu bisa berbicara sebijak ini. "Maa syaa Allah, khoir ... khoir. Syukron katsir atas masukan ...." Fatimah langsung mendekap mulutnya sendiri. Ia baru sadar kalau dia bakal keceplosan.
"Wah ... jadi?" ucap Maryam mulai cengar-cengir menatap sahabatnya yang kini tertangkap basah olehnya.
"Udah Ah, ayo lanjutin ngerjain tugasnya. Kapan selesainya nih." Elakku langsung merebut pensilnya dari tangan Maryam.
"Aish ... kamu kok curang sih, Fath. Ayo dong cerita."
Maryam merengek dengan menggoyang-goyangkan lengan Fathimah.
"Fathimah, Maryam." Panggilan Ummi membuat kami menoleh.
"Ummi tinggal ke toko dulu ya,"
"Iya, Ummi," jawab kami kompak.
"Fathimah..."
"..."(hening)
"Ayo dong cerita,"
"Cerita apaan sih, Mar. Sudah ayo sudah semakin sore nih, tugas kita belum kelar kan?"
"Eh iya."
"Oia Fath, besok temenin aku ke toko buku yuk!" ucap Maryam membuka obrolan, setelah kami membereskan buku-buku yang sempat berantakan di atas meja, ini menandakan telah terselesaikannya tugas kami tadi.
"Emmm gimana ya???" jawabku berpikir.
"Ayolah, Fath. Aku mau beli buku nih. Besok pulangnya aku anterin deeh ... ya ya...," pintanya lagi merayuku.
"Oke deh in syaa Allah. Tapi nanti aku izin dulu ya ke Ummi," jawabku mengabulkan ajakannya.
"Siiiip dah terimakasih sahabatku yang paling cantiiiik," pujinya sembari mengerlingkan satu matanya girang karena aku menuruti kemauannya.
"Kalau gitu, aku pamit pulang ya Fath, sebelum kemaghriban nih nyampek rumah.
Ummi mana, Fath? " Ia beranjak dari duduknya setelah melihat jam dipergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 5 sore.
"Tadi kan udah bilang mau ke toko, Mar," jawabku.
"Oh iya, aku lupa Fath. Aku masih muda gini kok pikun ya hehe." Aku ikut terkekeh mendengar ucapannya. "Kalau gitu aku langsung pulang aja ya, Fath."
"Ya udah hati-hati ya, Mar di jalan." Akupun ikut beranjak hendak mengantarnya sampai di depan pintu.
"Oke. Assalamu'alaikum Fathimah," ucapnya mengangkat jempolnya. Kemudian ia memakai helm sebelum ia menaiki motor matic kesayangannya.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh," jawabku, melihatnya tengah keluar melewati pagar rumah kubalikkan badan, berjalan melewati daun pintu lalu menutupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top