38. Liburan dan Silaturahmi
"Hidup sederhana agar Qona'ah. Qona'ah agar bersyukur.
Bersyukur agar Allah Ridho."
Akhwatul_Iffah
❣❣❣❣❣❣💚💚💚❣❣❣❣❣❣
Kedua mobil honda mobilio dan grand livina melaju beriringan dengan kecepatan rata-rata.
Tak menunda waktu lebih banyak lagi, akhirnya di akhir pekan ini. Dua keluarga yang tak lama lagi akan menyatu dengan hubungan mushoharoh ini berlibur bersama ke pegunungan yang Villanya tak jauh dari rumah kakekku.
Keluarga Mukhlis kurang setuju jika semuanya akan menginap di rumah Kakek. Nggak enak kalau merepotkan katanya.
Jadilah kami sepakat menyewa 1 Vila yang cukup untuk 2 keluarga besar.
Satu jam lebih tiga puluh menit pun berlalu.
Kami semua segera berhambur keluar mobil, saat mobil benar-benar terhenti di parkiran yang cukup luas.
Hawa dingin menelisik di setiap rongga tubuhku, menembus sampai ke tulang. Tanah dan rerumputan tampak basah setelah guyuran hujan yang sepertinya baru saja terhenti.
"Sini biar aku yang bawain ya."
Tiba-tiba saja Mukhlis berada di dekatku. Meraih tas yang hendak kuambil dari jok belakang.
"Wah... ada yang lagi belajar jadi suami siaga nih," celoteh Ahmad yang baru mendekat saat melihat interaksi kami.
"Iya dong, Dek... kan sebentar lagi kamu jadi adik iparku? Hehehe " ucap Mukhlis kemudian terkekeh.
"Yeeee... nggak nyambung kali Mas." Ahmad pun ikut terkekeh kemudian meraih ranselnya.
Tampak Abi kemudian datang menuju jok dan mengambil barang-barang yang tersisa di jok mobil.
"Udah ayo.. buruan masuk. Keburu kehujanan, ini mulai gerimis lagi."
Kami pun serempak mengangguk kemudian melangkah lebih cepat mengikuti Abi dan Ummi.
Setelah rapi-rapi di kamar. Aku pun segera menyusul keberadaan Kak Diyah.
Di sini Aku dapat jatah sekamar dengan Kak Diyah. Tadi dia lebih dulu selesai beberes lalu pamit ke dapur.
Setibanya di dapur, tampak dia sibuk berkutat dengan beberapa gelas yang telah tertata di atas nampan.
"Lagi bikin apa, Kak? Ada yang bisa Fathimah bantu?"
Tampak kak Diyah tersenyum.
"Nih... kamu yang ngaduk aja ya, Dek. Kakak bikin wedang jahe."
"Hmmm... pas banget nih, Kak. Cuaca adem gini pinginnya yang anget-anget," ucapku sembari mengaduk bergantian di setiap gelasnya.
"Iyalah, Dek. Yang berasa capek kalau udah kena yang anget gini biasanya lebih enakan."
"Iya ya, Kak. Yang pengalaman ngurus suami. Ajarin doong."
"Cieeeee yang mau nikah minta ajarin."
Kami pun kompak tertawa.
"Hayoo... kalian berdua ngapain nih? Bahahia amat kayaknya.
Baru nyampek udah main di dapur saja," tanya Ummi yang baru datang menghampiri keberadaan kami. Di tangannya membawa sekantong plastik berwarna hitam.
"Ini Ummi. Diyah bikin minuman hangat," jawab kak Diyah seraya mengambil tutup gelas yang berada di lemari bagian atas.
"Wah... enak kayaknya tuh," kata Ummi sembari meletakkan bawaannya di atas meja.
"Ummi bawa apa?" tanyaku kemudian meletakkan sendok mengakhiri kegiatanku.
"Ini cemilan, Nak. Tolong ambilin toples gih."
"Siap Ummi." Aku mencari-cari letak toples. Berjinjit mencarinya, tak ada. Akhirnya aku berjongkok.
Nah ini dia.
Aku pun mengambil beberapa toples yang berada di bagian lemari bawah.
Kami pun membagi masing-masing toples untuk memasukkan beberapa macam cemilan. Dari kripik kentang, kue kering kacang dan satu lagi cemilan kesukaanku yakni kacang telur.
Yang pasti aku lebih memilih memasukkan kacang telur ke dalam toples. Karena selain memasukkan ke toples, nanti sekalian bisa memasukkannya ke dalam mulutku. 😃😃😃
"Yaelah, Dek... perasaan dari tadi lebih banyak yang masuk mulut dari pada ke toples," ledek Kak Diyah.
"Ya Ampun Fathimah... kamu ini ya. Kalau udah urusannya sama kacang telut nggak bisa nyegah nafsu. Untung ummi bawa 2 bungkus. Ini lagi, makannya duduk dong, Sayang." Ummi tak mau ketinggalan mengomentariku yang sedari tadi tak berhenti mengunyah.
"Astaghfirullah.. iya Mi. Fathimah lupa hehe," ku seret kursi yang tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu duduk untuk melanjutkan makaninnya.
Biarin deh di ledekin yang penting aku seneng. Batinku. Cuek 😃😃😃
"Wah... satu bungkusnya buat Fathimah aja ya, Mi. Ini aja deh yang masukin toples." Dengan nada memohon aku meminta pada Ummi.
Ummi pun akhirnya mengiyakan.
Dengan kegirangan aku membawa 2 toples ke ruang depan. Para lelaki semua tampak berbincang di sana.
"Umma kemana, Dek?" Tanya Kak Diyah kepada Adiknya.
"Istirahat di kamar, Kak," jawab Mukhlis yang sibuk dengan ponselnya.
Hampir 1 jam kami semua saling berbincang-bincang. Tak terlewatkan canda tawa di tengah-tengah keseriusan dalam pembahasan ini.
Dua keluarga yang awalnya tak saling kenal, saat ini terlihat akrab penuh kehangatan dan kebahagiaan yang terpancar.
Obrolan ini berhenti saat terdengar suara adzan dari handphone yang di pegang Mukhlis. Karena di sini lumayan jauh dari Masjid ataupun Mushola, jadi kami semua tak mendengar suara adzan secara nyata.
Semuanya pun beranjak dan sholat berjamaah di ruang tengah yang memang ruangannya cukup luas. Hanya ada alas karpet dan beberapa bantal di sana, serta televisi yang berada di pojok ruangan.
-----***-----
Sore ini... setelah sholat ashar berjamaah. Aku pun berniat bersantai di gazebo yang terletak di taman belakang.
Suasana begitu nyaman nan sejuk. Membuat hati kian tenang nan damai. Hanya terdengar suara aliran air tenang yang mengalir di sisi depan teras gazebo ini.
Tata penataan villa ini begitu bagus, meski sederhana tapi begitu nyaman, rapi dan bersih.
Selepas muroja'ah. Kurogoh saku gamisku kemudian menyalakan ponselku.
"Ngapain, Kak?" Suara Ahmad tiba-tiba membuatku mendongak. Lalu dia duduk di sebelahku.
"Pinjem Hpnya dong, Kak. Mau liat emailku bentar. Khawatir ada info penting."
"Emang HP kamu mana, Dek?"
"Baru ngecharge, Kak. Dari tadi main game lupa sampai ngedrop Hehe." Tampak ia nyengir kuda
"Em dasar kamu ya. Kalau udah maen game nggak kenal waktu." Aku pun menyerahkan ponselku kepadanya.
"Ante cantik." Suara Affan terdengar memanggilku. Aku pun mendongak.
Degh... Mukhlis. Batinku.
Sampai kapan ya?? Hatiku akan terus berdebar dan jantung berdegup kencang gini setiap ketemu dia??
Padahal kan setelah menikah kita akan setiap hari bersama. Apakah setiap hari juga hatiku akan selalu berdebar dan jantungku berdegub kencang???
Semoga jantungku sehat selalu aja jika memang iya.
"Ahmad, Fathimah, pada ngapain?"
"Eh Mas Mukhlis. Nyantai aja kok, Mas," celetuk Ahmad.
"Sini, Dek. Sama tante," ucapku berdiri hendak mengambil Affan dari gendongannya.
Tapi dia menggeleng.
"Tadi manggil-manggil nggak kamu respon sih. Jadinya nggak mau nih kamu gendong.
Yang dipanggil tadi melamun ya Fan?"
"Mamun apa, Om?" tanya Afan mengerjap-ngerjap belum mengerti apa itu melamun.
"Melamun itu....
Diem aja." Affan pun mengangguk-anggukan kepalanya. Bikin gemes aja nih anak.
"Hemmm iya kah?
Ya udah deh. Maaf ya jagoan. Tadi ante kaget tiba-tiba kamu muncul.
Maaf ya."
Tampak ia tersenyum kemudian menjulurkan tangannya minta gendong. Aku pun meraihnya.
Setelah beberapa menit mengajak Affan bermain di kolam ikan yang berada di depan gazebo. Aku pun bergabung dengan Ahmad dan Mukhlis yang sedang asyik mengobrol.
"Hei... udah main ikannya?" Sapa Ahmad ke Affan. Afan yang ditanya hanya mengerjapkan matanya. Tampak bulu matanya bergerak-gerak lucu plus imut deh ni anak. 🤗
"Yuk... main sama, Kakak." Affan hanya diam. Tapi detik selanjutnya dia malah tersenyum lalu meraih tangan Ahmad yang terjulur menunjukkan permen lolipop.
Ahmad pun bangkit dari duduknya menuju ke taman bunga yang tak jauh dari tempat ini.
"Ehm... kenapa ya?" Mukhlis bertanya, tapi sama sekali nggak jelas. Sepertinya hobinya memang gini ini anak.
"Apanya?" Jadinya, aku terpaksa nanya balik. Karena rasa penasaran benar-benar menghantuiku disaat dia ngomong ngegantung nggak jelas kayak gini.
Untung aja aku cinta dan peduli. Kalau nggak mungkin aku kacangin aja ya, batinku.
"Hatiku selalu berdebar kalau ketemu kamu."
Degh...
Jantungku memompa lebih cepat seiring debaran hatiku yang juga cepat.
"Apa kamu merasakan hal yang sama?" tanyanya menatapku penasaran.
Aku menunduk. Malu untuk menjawabnya.
"Nggak usah malu. Nggak lama lagi kita kan jadi suami istri." Pernyataan yang membuat wajahku sontak memanas, menahan rasa grogi, malu plus kebahagiaan yang memuncak.
Akhirnya aku pun mengangguk. Karena tak kuasa lisan ini berucap meski hanya sepatah kata pun.
"Itu membuktikan kalau kita mempunyai perasaan yang sama Fathimah." Aku pun mendongak dan tersenyum kaku membenarkan apa yang dia katakan.
"Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?"
Tumben nih anak izin dulu mau nanya. Bukannya dari tadi udah nanya ya? Batinku lagi
Ingin kutertawa tapi kutahan. Melihat air mukanya yang serius. Aku pun hanya menganggukkan kepalaku.
"Kamu mau mahar berapa?"
"Terserah kamu saja. Yang penting mahar itu sekiranya tak memberatkan kamu"
💌💌💌
💌💌💌
ﻓَﺂﺗُﻮﻫُﻦَّ ﺃُﺟُﻮﺭَﻫُﻦَّ ﻓَﺮِﻳﻀَﺔً
"Maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)."
[An-Nisaa'/4: 24].
💌💌💌
Dalam riwayat Ahmad:
ﺇِﻥَّ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺍﻟﻨَّﻜَـﺎﺡِ ﺑَﺮَﻛَﺔً ﺃَﻳَْﺴَﺮُﻩُ ﻣُﺆْﻧَﺔً .
"Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya."
💌💌💌
"Nggak bisa gitu dong, Fathimah. Mahar itu harus sesuai dengan keinginan calon istri." Tampak ia menggeser posisi duduknya agar lebih rileks.
"Mmm apa ya???"
Setelah beberapa detik aku berpikir aku pun memutuskan.
"Bacaan Surat Ar Rohman saja kalau gitu. Nggak memberatkan kamu kan?"
💌💌💌
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad as-Sa'idi Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, "Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu mengatakan: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' (Dalam riwayat Malik: "Sesungguhnya aku menghibahkan diriku kepadamu"). Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian ia berdiri kembali lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: 'Dia telah menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' Lalu seorang pria berdiri dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?' Beliau bertanya, 'Apakah engkau mempunyai sesuatu?' Ia menjawab: 'Tidak.' Beliau bersabda: 'Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!' Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: 'Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.' Beliau bertanya: 'Apakah engkau hafal suatu surat dari al-Qur-an?' Ia menjawab: 'Aku hafal ini dan itu.' Beliau bersabda: 'Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat al-Qur-an yang engkau hafal.'"
💌💌💌
"In syaa Allah nggak. In syaa Allah saya sanggup mempersembahkan untuk calon makmumku. Agar kamu bukan calon lagi untukku. Tapi sudah menjadi milikku seutuhnya." Kami pun saling tukar senyum bahagia. Pipiku makin memanas. Semburat merah pasti semakin jelas menghiasi pipiku saat ini.
"Setelah menikah nanti kamu maunya tinggal di mana?" Pertanyaannya ternyata masih berlanjut.
"Emmm... terserah suami, Fathimah aja. Fathimah sebagai istri siap sami'na wa'atho'na kepada suami."
Kadar senyumnya makin bertambah mendengar jawabanku.
"Alhamdulillah... aku inginnya kita mandiri dan hanya tinggal berdua. Kamu mau kan?" Aku menganggukkan kepala lagi, tak henti-hentinya bibirku mengukir senyum. Karena aku sangat-sanagt bahagia.
"Kamu mau rumah yang bagaimana? Yang besar dan mewahkah?"
Aku menggeleng cepat lalu berkata
"Yang sederhana saja. Yang penting cukup sebagai tempat berteduh dari kepanasan saat musim panas dan tak kehujanan saat musim hujan."
"Maa syaa Allah... aku benar-benar nggak salah memilih kamu sebagai pendamping hidupku, Fathimah.
Aku jadi teringat sebuah kisah rumah tangga putri Rosulullah.
Setelah akad nikah. Sayyidah Fathimah dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana.
Diawal pernikahannya, Sayyidina Ali Menjual Perisai yang dimilikinya.
Setelahnya Sayyidina Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh saayidina Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.
Mereka menemukan saat-saat indah bukan dalam kemewahan dan rumah tangga yang gemerlap.
Apa kamu tau kapan mereka menemukan itu?"
tanya Mukhlis yang ku tanggapi hanya dengan gelengan kepala.
"Saat keduanya bisa bersujud dan bisa merasakan isak tangis bersama dihadapan Yang Maha kuasa," ucapnya tersenyum ke arahku penuh haru dan binar kebahagiaan terpancar jelas dari netranya.
Tak terasa netraku berkaca-kaca. Terharu dengan sedikit ceritanya itu, begitu indah dan menyentuh hati. Sangat-sangat romantis.
"Semoga kita nantinyaa bisa meneladani beliau ya, Fathimah."
" Aamiin In syaa Allah." Aku mengangguk mantap, seraya mengusap sekilas air mataku yang akan mengalir.
"Oia... aku punya sesuatu buat kamu. Bentar ya. Kamu Jangan ke mana-mana." Tanpa menunggu jawabanku, dia berlalu dari tempat duduknya meninggalkanku seorang diri.
Hanya beberapa menit ia berlalu, setelahnya tampak dia menenteng sebuah tas kertas bermotif batik di tangannya.
"Ini buat kamu. Aku sudah membacanya dan mempelajarinya. Sekarang giliran kamu ya," ucapnya tersenyum begitu tulus menyerahkan tas yang berisi dua buku itu ke arahku
"Iya in syaa Allah. Syukron ya."
"Afwan." Kembali dia duduk di bangku paling ujung.
"Mungkin satu buku yang ada di situ pernah kamu pelajari di pesantren. Cuma nggak ada salahnya kan jika dibaca lagi. Sekedar memantapkannya untuk segera dipraktekkan. Hehe," ucapnya lalu sedikit tawanya menyertai. Aku pun merogoh tas itu, sehingga berhasil memperlihat dua judul buku.
📙Suami istri Calon penghuni surga
📙Keluarga Sakinah (Terjemah Qurotul Uyun)
Pipiku langsung merona saat membacanya.
Terenyuh hati ini membaca judulnya. Sungguh aku bahagia, aku benar-benar tak salah memilih dia sebagai calon imamku.
Belum apa-apa dia sudah membimbingku, memberiku ilmu meski tak secara langsung terucap dari bibirnya.
"In syaa Allah. Meski aku telah belajar mengenai buku itu. Nanti setelah kita resmi menikah. Kita akan memperlajarinya bersama," ucapnya kemudian mengambil ponsel yang berada di saku kemejanya sedari tadi.
"Ingat kan Maqola yang terdapat di kitab Zubad.
Seseorang yang melakukan amal tanpa ilmu, amalnya akan sia-sia dan tertolak."
Akupun mengangguk.
"Iya Pak Ustadz," balasku sembari senyum-senyum.
"Apa??"
"Enggak apa-apa."
"Kamu manggil apa barusan?"
"P-pak Ustadz"
"Kamu Bu Ustadzahnya dong," ucapnya menaik turunkan alisnya menggodaku.
"Serah kamu deh," ucapku pura-pura cemberut.
"Oia.... mulai besok aku ada tawaran mengajar di pesantren Roudlotul Qur'an. Jadi kegiatanku mulai besok. Selain mengajar di Kampus, aku juga akan mengajar di Pondok meskipun nggak setiap hari sih."
"Di Pesantren Roudlotul Ulum tempat aku mondok?" Tanyaku penasaran. Dan aku saja baru tau kalau ternyata sudah beberapa hari ini, ternyata dia sudah jadi dosen di sebuah universitas Islam Kota Kembang.
Berarti aku akan jadi istri seorang dosen dong. Batin Fathimah
"He'em."
"Wah.... senengnya. Boleh dong kapan-kapan aku ikut ya kalau kamu ngajar," ucapku penuh harap. Jadi kangen waktu di pondok.
"Iya pasti boleh dong," ucapnya tak henti-hentinya tersenyum lagi.
"Adek... ayok berangkat, semuanya udah pada nunggu di mobil." Teriakan kak Diyah memecah obrolan kami. Kami pun bangkit. Tak lupa Ahmad juga ikut bangkit dengan tetap Affan digendongannya.
Sore ini memang kami semua berniat berkunjung ke rumah kakekku yang tak jauh dari sini. Selain ingin bersilaturahmi, juga ingin jalan-jalan di kebun teh milik Kakek. Aku rindu dengan suasana menyejukkan nan indah di sana.
Tak butuh waktu lama, tak sampai 10 menit. Mobil kami sampai di pelataran kediaman kakek.
Abi pun mengetuk pintu sembari mengucapkan salam.
Langsung saja dari balik pintu terdengar jawaban salam dan sosok neneklah yang muncul.
"Nenek," ucap aku dan Ahmad menghambur ke pelukannya.
"Alhamdulillah... cucu-cucuku udah pada gede nih. Sehat semua ya Sayang."
"Alhamdulillah sehat, Nek. Nenek Kakek juga sehat kan?" Kami pun melepas pelukan.
"Iya Alhamdulillah...ayo-ayo masuk." Kami semua mengikuti langkahnya. Sedangkan Nenek menepi menyalami kak Diyah dan Bu Halimah sebelum duduk.
"Tumben ini rame-rame ke sini kok nggak ngabarin dulu? Ini siapa aja Ikha? " Nenek membuka percakapan setelah kami semua duduk.
"Sekali-kali bikin kejutan nggak ada salahnya kan, Bu." Jawab Ummi terkekeh.
"Kenalin, Bu. Ini keluarga besar Pak Hasyim. Calon besan." Susul suara Abi menjelaskan.
Tampak nenek mengerutkan keningnya tanda bingung plus terkejut
"Calon besan?" ulangnya dengan nada tanya.
"Iya, Bu. Alhamdulillah. Fathimah sudah dikhitbah oleh Nak Mukhlis. Putra bungsunya Bapak Hasyim dan Ibu Aminah."
"Alhamdulillah Sayang, cucu nenek yang cantik ini udah mau nikah ya. Kakek pasti seneng banget dengernya nak," ucap Nenek mengelus kepalaku yang tertutup hijab. Aku hanya bisa tersenyum bahagia menatapnya.
Obrolan pun terus berlanjut sampai akhirnya kedatangan kakek, menambah ramai obrolan kami yang memberi kesan keakraban dan kehangatan suasana perkumpulan ini.
----***----
"Ehm." Dehemanku sukses membuat Mukhlis langsung menutup buku dan pulpennya yang sedari tadi dia pegang.
"Fathimah... sini deh duduk." Aku pun duduk di sebelahnya dengan jarak yang tak dekat di bangku panjang yang térletak di bawah pohon.
"Kamu ngapain? Nulis? Gambar?"
tanyaku penasaran. Dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku.
"Rahasia," ucapnya lirih namun gerakan bibirnya yang jelas membuatku mengerti apa yang ia ucapkan.
"Ish... nyebelin deh. Pakek rahasia-rahasiaan segala," ucapku melipat tangan di dadaku menatap ke arah depan seraya mencebik sebal.
"Jangan berekspresi kayak gitu Fathimah. Entar aku khilaf lo."
Aku menoleh heran menatap kearahnya.
"Bikin gemes tau," ucapnya agak berbisik. Membuatku menurunkan kedua tanganku.
"Kamu sih nyebelin. Masah sama calon is-...." ucapanku terhenti saat menyadari apa yang hendak aku katakan.
"Is apa?" Tanyanya senyum-senyum.
"Ih... au ah." Aku bangkit dari dudukku. Udah terlanjur malu nih. Gimana dong. Lebih baik menghindar darinya aja.
Tapi... Baru satu langkah.
"Calon istriku mau ke mana?" ucapannya berhasil menghentikkan langkahku. Jantungku berdegup makin cepat dan kencang. Ya Allah.... kenapa kata itu membuatku berdebar dan hatiku serasa berbunga lagi???
Nggak ketinggalan rona pipiku pasti kini muncul.
"Iya iya.... nggak ada rahasia kok di antara kita. Duduk lagi ya," tuturnya membuatku kembali duduk meski menahan malu.
Sedetik kemudian, dia menyerahkan selembar kertas kearahku. Aku pun menerimanya.
"Maa syaa Allah... bagusnya... kamu yang buat?" Takjubku melihat apa yang terukir dengan pena hitamnya di kertas ini.
D
ia pun mengangguk lalu tersenyum tulus.
"Buatku ya?" pintaku memohon.
Dia pun mengangguk dan berucap
"Apa pun yang membuatmu senang. Pasti itu untukmu." 😉
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
6 Robi'ul Awwal1440H
Repost : 20 J. Ula 1441 H
💌 https://almanhaj.or.id/3554-hal-hal-yang-berkaitan-dengan-mahar.html
💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛
Assalamu'alaikum reader's
Alhamdulillah up cepet yah....😄😄😄
Part ini kita belajar seputar Mahar dan belajar dari kisah sayyidah Fathimah yang semoga bisa diteladani. Aamiin
Jangan lupa tadarrus Qur'an setiap hari dan perbanyak solawat ya. 😄
Di tunggu vote dan komentarnya ya...
Makin seru atau malah ngebosenin nggak sih cerita ini??? 😐😐😐
Syukron
Wassalam 😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top