26. Liburan
"Sudah saatnya cinta ini kupasrahkan kepada sang Pemilik cinta. Karena hanya Dialah yang wajib kucintai"
Fathimah
Hari demi hari kulewati, minggu telah berganti bulan dan kini tak terasa 3 tahun sudah aku menetap di pesantren Roudlotul Qur'an ini.
Dalam setahun aku hanya berkesempatan pulang ke rumah dua kali. Di akhir bulan Romadhon sampai pertengahan bulan Syawwal dan 15 hari di bulan Robi'ul Awwal.
Suka duka kulewati bersama dengan teman-teman seperjuanganku. Berbagai masalah, ujian yang kami hadapi bersama. Baik itu dari rasa malas yang sangat, bosan dan tak jarang aku menangis saat aku merasa tak mampu mengingat banyak hafalan yang sebelumnya telah ku hafal.
Bermurojaah meski setiap hari, tetap saja untuk melekatkan ayat demi ayat ini di dalam otakku butuh waktu dan proses kesabaran serta keuletan yang harus terus diperjuangkan hingga akhir hayat.
💌💌💌
Sebagaimana sabda Rosulullah...
ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇِﻧِّﻤَﺎ ﻣَﺜَﻞُ ﺻَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻛَﻤَﺜَﻞِ ﺻَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟْﺈِﺑِﻞِ ﺍﻟْﻤُﻌَﻘَّﻠَﺔِ ﺇِﻥْ ﻋﺎﻫَﺪَﻫﺎَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺃَﻣْﺴَﻜَﻬَﺎ ﻭَ ﺇِﻥْ ﺃَﻃْﻠَﻘَﻬَﺎ ﺫَﻫَﺒَﺖْ - ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Sesungguhnya perumpamaan shahib Al Qur'an seperti pemilik onta yang bertali kekang. Jika ia terus-menerus menjaganya (tali) atasnya (onta) ia menahannya dan jika ia melepasnya (tali) maka ia (onta) pergi”.
(Riwayat Al Bukhari)
Shahib Al Qur'an adalah siapa yang biasa membacanya, baik dengan melihat maupun dengan hafalan. Dan hadits di atas mengumpamakan Al Qur'an dengan onta yang bertali kekang, sehingga selama yang bersangkutan terus-menerus membacanya maka ia akan terjaga sebagaimana jika onta dijaga dengan tali kekangnya.
Dalam hadits ini onta di jadikan perumpamaan, karena onta merupakan hewan yang paling mudah kabur .
(lihat Faidh Al Qadir, 3/ 3)
(http://m.hidayatullah.com/kajian/lentera-hidup/read/2014/08/28/28178/menjaga-al-quran-seperti-menjaga-onta.html)
💌💌💌
Kini tibalah waktunya liburan. Semua santriwati bersorak senang. Mbak Izzah telah menarik satu kertas yang digantung di depan pintu kamar yang bertuliskan angka 1.
Begitulah adat yang unik atau kebiasaan di pondok. Jika waktu liburan kurang 1 bulan. Maka hampir di setiap penghuni kamar berkreasi membuat angka 1 sampai 30 di sebuah kertas berbagai bentuk, selanjutnya digantung dengan urutan hitung mundur.
Setiap satu hari terlewat, akan ditarik 1 kertas. Dan begitu seterusnya untuk setiap harinya.
Sampai akhirnya, hari ini telah habis kertas gantungan itu yang berarti waktu liburan telah tiba. Yeeeiii... (tergambarkan gak ya dibenak kalian ??? Itu pengalamanku dulu saat dipondok 😄)
Semalam telah di gelar perkumpulan bersama di aula putri untuk sowan kepada para pengasuh sebelum pulang hari ini.
Untuk santriwati, diwajibkan pulangnya dijemput oleh orang tua atau pun mahromnya.
Kini, aku telah tiba di rumah bersama Abi. Ummi tak ikut menjemputku karena kodisinya yang kurang sehat.
Segera saja aku menuju kamar ummi setelah aku menaruh ranselku di kamar dan berwudhu'. Sekalian kan lengkap kalau wudhu' otomatis sudah basuh muka dan kedua kaki. 😉
"Assalamu'alaikum, Ummi," ucapku antusias setelah kupastikan Ummi membuka mata. Aku tak mau mengganggu istirahat beliau.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh. Fathimah... sini, Nak." Jawabnya dengan suara agak serak tapi tak mengurangi kadar senyum teduhnya penuh kebahagiaan.
Orang tua mana pun pasti akan bersikap tegar dan kuat di depan anaknya meskipun dalam keadaan sakit sekalipun.
"Fathimah kangeen, Ummi." Dengan sedikit berlari aku langsung berhambur kepelukannya.
Melihat wajah beliau sedikit pucat membuat air mata ini menetes tak terbendung lagi.
Selain terharu, diriku sangat bahagia masih diberi kesempatana bertemu dengan beliau. Aku berharap beliau segera sembuh dari penyakitnya.
"Sejak kapan Ummi sakit? Kok gak ngasih kabar Fathimah?."
"Baru kemarin siang, Sayang. Ummi gak mau bikin kamu khawatir, Nak. Lagian Hmmi cuma sakit demam biasa kok. Ini juga sudah mendingan.
Udah gak panas lagi kan?" Jelas ummi sembari menempelkan telapak tanganku ke kedua pipinya.
Aku pun mengangguk. Menmbenarkan kalau tak terasa panas kulit Ummi.
"Ummi sudah minum obatnya?" Tanyaku begitu netra ini menangkap beberapa kaplet obat dalam satu kantong plastik kecil.
"Sudah tadi sayang. Fathimah sudah sholat dhuhur?"
"Astaghfirullah... belum Ummi. Fathimah lupa," ucapku sembari menepuk jidatku pelan.
"Ya udah... sholat gih. Sekarang Sudah pukul 1 lewat. Keburu akhir waktu sayang."
"Iya iya, Ummi. Kalau gitu Ummi istirahat aja ya sekarang.
Fathimah sholat dulu. Semoga lekas sembuh Ummiku Sayang." Ucapku penuh harap kemudian mengecup pipi kanannya sebelum beranjak keluar dari kamar yang bernuansa biru muda ini.
-**-
Selepas menutup mushaf yang ku letakkan di lemari khusus kitab-kitab ini. Terdengar di telingaku sayup-sayup suara gaduh di depan rumah.
Aku pun beranjak menghampiri, setelah memakai himar panjangku yang tergeletak di atas ranjang.
Saat tiba di sana kulihat ummi di bopong Ahmad kembali memasuki pintu. Langkah ini dengan cepat menghampiri.
"Ya Allah... ada apa, Dek?" Tanyaku membantu membopong Ummi pada bagian kiri. Raut wajah Ummi terlihat sayu mengguratkan kesedihan, begitu pun Ahmad.
"Bengkel Abi kebakaran, Kak."
"Innaliillahi wainna ilaihi roji'un. Sekarang Abi di mana dek?"
"Masih di depan, Kak."
Setelah merebahkan ummi di sofa panjang di ruang keluarga. Kakiku berlari keluar rumah, hendak menjumpai Abi di halaman rumah. Masih tampak beberapa orang di sana yang kemudian beranjak meninggalkan rumah memasuki mobil yang masih terparkir di pinggir jalan.
"Abi mau kemana? Fathimah ikut ya," ucapku saat mendapati Abi hendak membuka pintu mobil.
"Jangan, Sayang... kamu temani ummimu di dalam. Biar Abi yang akan menyelesaikan semuanya segera ya. In syaa Allah."
"Baiklah, Bi. Tapi Abi hati-hati ya."
Pandanganku mengikuti setiap langkah Abi setelah anggukannya dengan senyum yang menenangkan.
Abiku adalah seorang yang sabar dan tenang dalam menghadapi apapun. Tingkat ketawakkalan beliau pada Allah memang sangat perlu aku teladani. Karena sifat beliau di atas bertentangan denganku yang mudah panik dan cengeng. Sifatku ini hampir sama dengan ummiku. 😃
Di dalam kehidupan di dunia yang fana ini. Kita menjalani hidup ini tak akan mulus-mulus saja sesuai keinginan kita. Terkadang akan terjadi suatu hal yang tak pernah kita pikirkan karena memang hal itu tak kita ingini dalam hidup kita.
Tapi disitulah kita diuji. Baik itu berupa sesuatu yang kita senangi ataupun sesuatu yang kita benci. Kita terkadang lalai karena saking senangnya dalam menjalani kehidupan dunia, sampai kita lupa akan kehidupan akhirat, sehingga datanglah kesusahan agar kita kembali mengingatNya.
Hidup itu penuh warna. Ada sedih ada senang, ada miskin ada kaya, ada malam ada siang, ada sakit ada sehat. Yah.... itulah sebagian warna kehidupan yang hampir setiap manusia alami.
Untuk apakah itu semua???
Agar kita mau belajar bersyukur dan menerima segala ketentuan taqdir-Nya.
Kita tak akan merasakan begitu berharganya kenikmatan sehat jika kita tak pernah mengalami sakit. Kita tak akan pernah tau orang lain atau kita sendiri ini kaya jika tak pernah ada orang miskin.
Begitulah keMaha Adilan Allah dalam menentukan skenario kehidupan.
ماشاءالله
__***__
Seminggu telah terlewati.
Masalah bengkel, Alhamdulillah telah beres. Meskipun Abi harus menanggung kerugian mencapai puluhan juta. Tapi Abi sama sekali tak berkecil hati. Bukankah apapun yang kita miliki ini pada hakikatnya adalah milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Abi pun memulai usahanya lagi bermodal seadanya dengan diawali bismillahi tawakkaltu 'alallah...
Alhamdulillah kata Abi, toko Abi berjalan lancar dan rame setiap harinya.
Aku jadi ingat nasehat yang sering kudengar :
Wahai sahabat, janganlah bersedih, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,
sebagaimana firman Allah;
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5-6).
Tok tok tok
"Assalamu'alaikum.".
Terdengar ketukan di pintu depan di ikuti seorang lelaki mengucapkan salam.
Aku pun segera menuju ruang tamu. Yang memang sore ini aku sedang bersantai menonton televisi sendirian di ruang keluarga.
"Wa-wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, ucapku agak terbata karena terkejut begitu melihat siapa yang berdiri tak jauh dariku.
"Silahkan masuk Kiyai."
Ku melangkah mundur mempersilahkan beliau dengan pikiran menebak-nebak.
Ngapain ya Pak Kiyai ke sini?
Kok tumben?
Selama 3 tahun ini mondok di sana. Baru kali ini beliau datang ke rumah ini.
Saat Pak Kiyai ikut masuk. Aku pun kembali dikagetkan dengan 2 orang di belakangnya. Ada Ibu Nyai. Dan satu lagi seorang laki-laki yang tak ku kenal.
Tapi bentar-bentar. Kayaknya aku pernah ketemu. Tapi aku lupa di mana ya???
Aku pun langsung menyambut tangan kanan Ibu Nyai dengan kedua tanganku dan mencium punggung tangan beliau penuh ta'dhzim.
"Silahkan duduk dulu Kiyai, Bu nyai... saya mau pangil Immi dan Abi dulu," ucapku kemudian berlalu dari ruang tamu.
Selang beberapa menit. Aku mengikuti Ummi dengan membawa nampan berisi minuman. Sedang Ummi membawa 2 piring berisi kue dan biskuit.
Tampak Abi sedang mengobrol dengan Ibu Nyai dan Pak Kiyai. Sedangkan Ahmad asyik ngobrol dengan laki-laki muda itu.
Begitulah Ahmad, sangat mudah sekali baginya akrab dengan siapa pun. Bertemu sekali saja seperti teman lama yang baru bisa ketemu, saking akrabnya.
"Ini putra sulung saya Akhi. Alhamdulillah Baru bulan lalu dia pulang dari Kairo setelah 4 tahun menimba ilmu di sana." Panggilan Akhi (saudara laki-lakiku) memang telah terbiasa di antara mereka
Terdengar sekilas d itelingaku saat pPk Kiyai memperkenalkan putra sulungnya itu.
Mendengar nama Kairo disebut. Aku jadi ingat seseorang yang juga menimba ilmu di sana. Yang mungkin baru tahun depan dia lulus dari sana.
Bagaimana kabarmu yang di sana? Batinku.
Kerinduan kembali menusuk kalbuku. Telah 3 tahun aku berusaha melupakannya. Tapi tetap saja. Rasa dalam hatiku seakan tak pernah berubah.
Kutatap dan kusentuh gelang di pergelangan tanganku yang masih bertengger dengan setia sampai saat ini, gelang pemberian darinya.
"Fathimah gimana ngajinya? saya dengar sudah khatam ya?" Tanya Pak Kiyai membuka obrolan denganku yang membuatku sedikir terkejut dari lamunanku.
"Mohon doanya Kiyai. masih proses ujian kubro," jawabku sembari menundukkan kepala.
Memang begitulah sistem hafalan Al Qur'an di pondok. setelah menyelesaikan hafalannya 30 juz. selanjutnya akan ada ujian kubro secara bertahap perjuz. per 2 juz. per 5 juz. per 10 juz. per 15 juz dan terakhir ujian puncak Kubro yaitu 30 JUZ.
"Alhamdulillah... Barokallah, Nak. Semoga selalu istiqomah ya." Sejenak beliau memberi jeda dalam ucapannya.
"Itu berarti saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyampaikan satu hal penting. Selain berniat bersilaturahmi kami kemari.
Saya juga ingin menyampaikan Perihal putra saya yang mengutarakan ketertarikannya kepadamu Fathimah."
Degh... hatiku terketuk dengan keras. Maksudnya apa? Tertarik? Berarti beneran kita pernah ketemu dong. Batinku.
"Karena itu saya berniat akan mengkhitbah putri antum, Fathimah Azzahra untuk anak saya Muhammad Ibrahim Imansyah," ucap beliau kemudian, sembari menepuk punggung putranya pelan yang sedari tadi telah tertunduk sejak obrolan serius ini.
Aku pun menunduk dalam. Bagaimana ini???
Aku hanya diam dan hanya bisa meremas kedua tanganku yang bertautan mulai dingin.
"Maa syaa Allah... niat antum sangat baik Akhi. Dan sebenarnya kami tidak ingin menolak. Tapi mohon maaf sekali. Ada satu hal yang harus kami beritahukan kepada antum sekeluarga." Abi mengambil jeda, menghirup nafas dalam. Begitu terlihat wajah Abi merasa tak enak kepada Kiyai.
"Fathimah telah mempunyai tunangan. Jadi dengan sangat terpaksa dan permohonan maaf yang sangat, kami tidak bisa menerima khitbah dari putra antum untuk putri saya." Jelas Abi dengan penuh hati-hati dan pasti dengan rasa bersalah yang sangat juga dirasakannya.
Orang tua mana sebenarnya yang mau menolak menikahkan putrinya dengan putra seorang keturunan Kiyai yang telah tampak kesholihannya. Pemuda yang hafal Al Qur'an dan lulusan dari Universiras Al Azhar kairo pula. Pasti gak mau nolak kan?
"Astaghfirullahal'adhzim... Afwan Akhi. Saya benar-benar tidak tau soal ini.
Ini pun tak luput dari kesalahan dari kami juga. Karena sebelumnya kami pun tak menanyakannya." Gurat penyesalan jelas tercetak di wajah pak Kiyai.
Meskipun terlihat semuanya tersenyum. Tapi senyuman itu kelu, kentara dipaksakan menutupi kekecewaan yang dirasa.
Suasana pun akhirnya hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Abi mencairkan kembali suasana dengan bernostalgia saling bercerita pengalaman saat bertemu dengan jodoh masing-masing.
Abi yang bertemu ummi saat di tempat beliau bertugas mengajar. Dan saat itu ummi juga mengajar di tempat yang sama.
Sedangkan Pak Kiyai dan Bu Nyai yang memang di jodohkan oleh orang tua mereka. Begitulah memang hampir semua turunan Kiyai, adatnya perjodohan. 😄😄😄
"Fathimah."
Kudongakkan kepalaku menatap dia yang memanggilku.
"Iya.." jawabku
"Bolehkah kita berteman meskipun kita tak jadi-" ucapnya terputus. Tampak dia tersenyum.
Aku jadi teringat senyuman itu.
Yah... waktu di dhalem bu Nyai waktu itu...
Bersambung....
24Dhulqo'dah1439H
Repost 28 R. Awwal 1441 H
*Assalamu'alaikum sahabat pembaca
Bagaimana kisah fathimah dengan gus Ibra???
In syaa Allah di part selanjutnya ya.😉
Part ini kita belajar tentang
💌 Tak mudahnya memperkuat hafalan Al Qur'an.
💌 Setelah kesulitan ada kemudahan.
Semoga bermanfaat untuk semuanya. Aamiin.
Jangan lupa membca Al Qur'an setiap hari ya..
Vote dan komentarnya ditunggu. 😄
Wassalam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top