24. Niat

"Apapun niatmu. Maka itulah yang kau dapatkan"
Akhwatul_iffah


🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

"Alhamdulillah...." suara itu terdengar menggema dari penghuni seisi rumah malam ini.

Acara tunanganku dengan Kak Ishaq telah berlangsung malam ini. Pemasangan cincin tunangan di jari manisku telah usai di pasang oleh tante Zulfa yang di awali bacaan Basmalah.

Hanya aku yang pakai cincin tunangan?
Ya... pria kan dilarang memakai cincin emas. Dan cincin yang terpakai di jari manisku adalah cincin emas putih.
Bagus gak??? 😄

💌💌💌

Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash dalam hadits marfu’ tertulis, “Barangsiapa diantara umatku yang memakai perhiasan emas, lalu ia wafat sedang ia masih memakainya, pasti Allah haramkan emas-emas jannah atasnya. Dan barangsiapa yang memakai sutra dari umatku, lalu ia wafat sedang ia masih memakainya, niscaya Allah  haramkan atasnya sutra-sutra jannah.”
(HR. Ahmad, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albany).

💌💌💌

Semua yang hadir tersenyum senang. Bahagia karena acara pertunangan ini berjalan dengan lancar yang akan segera ditutup dengan do'a dari sang ustadz yang tadi sengaja memang di undang untuk hadir oleh Om Ismail.

Tadinya Ustadz Ridwan telah usai menyampaikan tausiyahnya yang memang temanya di sesuaikan dengan acara malam ini.

Beliau menyatakan bahwa dengan acara pertunangan ini berarti diriku telah terikat dan tak bisa menerima khitbah laki-laki lain. Akan tetapi harus tetap jaga jarak. Karena belum ada ikatan halal di antara kami.

" Selamat ya, Sayang... sekarang kamu sudah resmi menjadi tunangannya Nak Ishaq. Semoga lancar sampai pernikahan nantinya ya," ucap Ummi kemudian mengecup keningku. Aku hanya mengangguk berusaha tersenyum. Memendam gemuruh di dadaku yang begitu menyesakkan, seakan tak rela dengan apa yang telah terjadi.

Tak adakah harapan lagi buatku mengharapkan dia yang aku cintai? Batinku meronta. Ingin ku berlari dari tempat ini untuk bersembunyi dan menangis.

Tapi harus bisa kutahan dengan mengedipkan mataku berulang kali dan menghirup udara begitu dalam kemudian menghelanya perlahan.

Setelah acara selesai, para tamu undangan telah pulang kecuali keluarga Kak Ishaq.

"Fathimah ngapain di sini?"
Suara Kak Ishaq tiba-tiba kudengar dari arah sampingku.

"Eh... nggak ngapa-ngapain kok, Kak," balasku, kembali menatap rumput taman depan rumah yang tampak bergoyang tertiup angin malam lewat jendela yang tak tertutup korden.

"Makan yuk Fath. Kakak laper nih," Ajaknya, tapi aku menggeleng.

"Silahkan Kakak duluan aja. Fathimah masih ingin menikmati  pemandangan temaram di luar itu malam ini," jawabku yang sengaja duduk dekat jendela.

Terdengar helaan nafas dari mulut Kak Ishaq.
"Kalau gitu Kakak temenin ya."
Tiba-tiba dia duduk di sebelahku dengan jarak yang lumayan jauh. Sedangkan yang lain asyik mengobrol diruang keluarga.

Hening...
Tiba-tiba netraku menangkap objek dua bocah kecil di taman rumah depan seberang jalan sana berlarian penuh tawa di antara mereka.

Begitu bahagianya mereka tertawa tanpa beban. Lain halnya denganku yang saat ini penuh dengan beban pikiran dan hatiku begitu penuh sesak.

Beban yang begitu berat dirasakan hatiku karena sampai saat ini belum ikhlas menerima pertunangan dengan dia yang sama sekali tak kucintai.

Pikiranku tak ingin kalah dengan beratnya hati, harus bisa menerima kenyataan yang tak sesuai dengan harapan.

"Fathimah... kamu bahagia kan?" Tiba-tiba Kak Ishaq memberi pertanyaan yang sontak membuatku menoleh ke arahnya.

Kulihat dia tersenyum berbinar kebahagiaan. Ya Allah.... aku tak tega untuk melunturkan kebahagiaan yang terpancar itu.

Meskipun aku tak mencintainya aku tetap menyayanginya.

Aku pun mengangguk dan berusaha mengukir senyum di depan tatapannya.
Maafkan hamba jika ini adalah kebohongan demi tak menyakiti hatinya.

"Syukurlah.
Oia kapan kamu berangkat ke pesantren?"

"In syaa Allah lusa, Kak."

"Aku bakal merindukanmu Fathimah." Pernyataannya sukses membuatku menoleh ke arahnya lagi. Dan apa yang dia lakukan?

Mukaku terkejut dengan adanya benda kecil semacam lipatan kertas menerpa dahiku yang membuatku spontan berkedip.

Kulihat dia malah senyum-senyum jail, menahan tawa begitu aku membuka mata kembali.

"Mulai deh jailnya."

"Yeee.... sapa yang jail. Kakak serius kok."

"Mukanya tuh yang jail."
"Seneng banget sih, bikin kaget." Gerutuku pelan tapi pasti masih bisa di dengarnya.

"Tapi seneng kan kalau di kangenin Kakak?"

"Nggak tuh."

"Masak sih?"

"Nggak..."

"Iya udah gak jadi deh ngasih kamu kejutan."

"Biarin."

Hening...

"Fathimah," panggilnya.

Aku sengaja diam. Masih kesal.

"Sayaaang,"

Aku reflek menoleh kaget. Berani-beraninya dia manggil aku sayang???

"Iiihh... kakak apaan..-

Tiba tiba mulutku terkunci saat gulungan kertas yang tadi di pegangnya kini menempel di bibirku.
Pasti Kak Ishaq tau kalau aku akan mengomelinya.

Aku memang gak suka kalau dipanggil sayang. Karena aku sudah pernah mengomelinya saat pertama kalinya dia memanggilku sayang saat di telpon.

" ssst.. Kamu sih... dipanggil diem aja."

"Tapi kan...-

"Iya iya maaf. Kakak gak ulangi lagi.
Beneran," ucapnya sembari mengacungkan jari tengah dan telunjuk bersamaan membentuk huruf V

"Apa ini, Kak?" 
Aku ambil kertas yang di sodorkan oleh tangan kanannya.

"Buka aja."

"Alhamdulillah... kakak sudah keterima kerja di perusahaan tekstil ternama di Jakarta?"

"Iya... jadi-" kulihat senyumannya tiba-tiba luntur.

"Kakak gak bisa antar kamu ke Pesantren.
Karena besok kakak harus berangkat ke Jakarta."
Senyumnya tak terlihat lagi saat ini. Mungkin dia sedih dan merasa bersalah.

"Gitu aja gak usah sedih kali kak. Fathimah gak apa-apa kok. Kan nanti Abi sama Ummi yang anterin Fathimah kesana."
Aku berusaha menghiburnya, membuatnya tak bersedih.

"Makasih ya Fathimah, sudah mau menjadi calon istrinya Kakak. Dan mau mengerti keadaan Kakak."

Calon istri??
Mengingat kata ini lagi. Hatiku kembali nyeri. Padahal sejak tadi aku terbawa suasana antara kami adalah kakak beradik bukan sebagai tunangan.

Aku hanya bisa mengangguk dan kecanggungan di antara kami kembali tercipta.

__***__

Seperti hari-hari sebelumnya setiap ba'da Maghrib aku bersama anak-anak di mushola. Mengajari mereka mengaji.

"Kak Fathimah," panggil salah satu dari mereka yang bernama ica.

Setelah kegiatan mengaji selesai.

Kini kami berlima duduk-duduk di teras Mushola sembari menunggu Adzan Isya'.

"Iya ada apa, Ca?"

"Katanya mulai besok kakak menginap di sekolah kakak yang baru ya?"

"Di pondok Ica. Bukan sekolah," ucapku membenarkan.

"Pondok itu apa, Kak?"
Celetuk Febi, dia memang anak yang paling kecil di antara mereka.

"Salah satu tempat kita menimba ilmu."

"Jadi sama aja dong, Kak. sekolah kan tempat kita menimba ilmu juga. Tapi kenapa kok nginap segala sih, Kak?" tukas Ica. Dia anak yang paling besar di antara mereka dan memang dialah yang paling cerewet di sini.

"Iya itulah, Ca bedanya. Kalau di pondok Kita itu di haruskan menginap di sana."

"Terus siapa dong Kak yang ngajarin kita ngaji kalau Kakak menginap di pondok?"
Tiba-tiba suara cempreng Dinda terdengar.

"Kan ada Ummi Ikha adik-adikku Sayaaang."
Kuraih tubuh kecil mereka memeluk mereka penuh sayang. Aku pasti merindukan mereka nanti.

Meski di antara kami tak ada hubungan darah. Tetap saja aku menganggap mereka seperti adikku sendiri.

Kebiasaan kami bersama hampir setiap hari membuat kami akrab seperti keluarga.

Berat hati meninggalkan mereka meski hanya sementara. Tapi apa daya. Aku harus mengejar mimpiku saat ini. Toh meski aku tak mengajari mereka, mereka tak akan terlantar. Karena Ummi pasti yang akan mengajari mereka.

__**__

Pagi yang cerah. Sebuah koper yang berisi barang-barangku kini telah siap di tepi ranjang tempatku terduduk.

Menatap ke arah jendela rumahku yang masih tertutup korden berwarna merah muda, sama dengan warna pakaian yang kukenakan hari ini.

Sebentar lagi. Aku akan berangkat bersama keluarga menuju pesantren Tahfidz Al qur'an di daerah Melati Asri.

Tekadku telah mantap untuk mengejar cita-citaku di sana. Menuntut ilmu lillahita'ala dan untuk mempelajari serta menghafal  kalam-Nya dengan harapan semoga mampu mengamalkan nantinya. Semoga Allah memudahkan segalanya dan meridhoi setiap langkahku. Aamiin

Kulihat mushaf Al Qur'an  yang covernya berwarna ungu berkombinasi warna pink ini. Hadiah dari kedua orang tuaku yang rencananya akan aku bawa ke pesantren nanti.

"Fathimah Sayaaang. Sudah siap belum?"
Suara Ummi mulai terdengar dibalik pintu.

"Iya, Ummi," ucapku agak berteriak membalas panggilannya.

"Bismillaah...."
Aku pun bergegas menarik koper menuju luar pintu kamar.

Tunggu, berhenti kumelangkah sebelum meraih gagang pintu. Menoleh ke belakang menyisiri seisi ruangan kamarku yang beberapa bulan ke depan tak akan ku tempati sementara.

"Ayo, Sayang."
Ummilah yang akhirnya membuka pintu dan  suara lembutnya mengintrupsi keterpakuanku seraya memegang pundakku agar pandangan ini segera beralih.
Aku pun tersenyum dan mengangguk mengiringi langkahnya.

Tak menunggu waktu lama, mobil pun melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Pukul 6 pagi di akhir pekan kebanyakan orang masih bersantai-santai di rumah mereka masing-masing. Jadilah lalu lalang kendaraan di jalanan begitu lengang.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam. Mobil pun telah memasuki gerbang yang bagian gapuranya bertuliskan "Ponpes Roudhotul Qur'an Kota Hijau Desa Melati Asri."

Kami pun turun dari mobil menuju rumah Kiyai. Banyak kutemui lalu lalang para santriwan yang nampaknya akan mengikuti kegiatan pondok. Nampak masing-masing dari mereka membawa beberapa kitab yang di  dekap dengan kedua tangannya.

"Assalamu'alaikum Pak Kiyai Musthofa," ucap Abiku

"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh...
Maa syaa Allah sahabatku Yusuf, kaif haluk??"

"Alhamdulillah Kiyai keadaan saya  sehat wal afiyat seperti yang anda lihat," Balas Abiku merentangkan kedua tangannya menunjukkan keadaan dirinya yang masih segar bugar.

"Yah... apaan sih, Suf. Manggilnya biasa aja. Gak pakek Kiyai segala. Kita kan sahabat seperjuangan.
Mari mari,
Silahkan duduk semua," ucap laki-laki paruh baya yang menyambut kedatangan kami ini dengan ramah seraya berjabat tangan dan sedikit terkekeh.

Aku dan Ummi yang mengekori langkah Abi sedari tadi hanya menangkupkan kedua tangan kami menyapa beliau dengan senyum ramah.

"Oh... jadi ini putri kamu yang mau di pondokkan di sini?" Kata beliau setelah kami semua duduk di ruangan yang banyak sekali foto-foto para Kiyai terpasang di dindingnya tertata dengan rapi.

"Iya Musthofa, putriku ini bercita-cita ingin menjadi seorang hafidhzoh. Makanya aku datang ke pondok pesantren ini yang sudah sangat terkenal telah banyak melahirkan santri hafidz dan hafidhzoh kan?."

"Oo ya ya... Alhamdulillah Yusuf. semakin bertambahnya tahun, santri di sini pun semakin bertambah.
Saya berharap generasi penerus bangsa ini bukan sekedar hafal kalam Ilahi. Tapi juga menjadi penerus bangsa yang mampu mengamalkan isinya.

Saya jadi teringat Dawuhnya Kiyai Maimun Zubair dari pondok sarang Jawa Tengah.

(Akeh sik moco Qur’an nanging yo linglung # persis koyo Asu rebutan Balung.) Banyak santri yang bisa membaca dan menghafal Al Qur’an akan tetapi lupa terhadap isi dan ajaran dari Al Qur’an yang diharapkan yaitu untuk mengamalkannya, sehingga seolah-olah diibaratkan layaknya anjing-anjing yang saling berebut tulang, yaitu dalam hal ibadah tapi demi tujuan dunia dan saling berlomba-lomba meraihnya)."

"Makanya di pondok kami selain menghafal Al Qur'an juga banyak kegiatan lainnya. Selain pelajaran ilmu-ilmu agama sebagaimana pondok pesanteren pada umumnya.

Disini juga ada kegiatan pengajian Tafsir Alqur'an dan pengajian kitab-kitab khusus lainnya. Jadi kami sebagai pengasuh memang berupaya bagaimana para santriwan-satriwati nanti mampu menghafal dan faham maknanya serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari."
Jelas sang kyai yang kemudian mempersilahkan kami menikmati minuman yang telah di sediakan di atas meja.

"Maa syaa Allah, benar-benar tak salah aku menitipkan putri semata wayangku di sini Musthofa. Saya titipkan anakku ini di sini. Semoga di sini dia betah menuntut ilmu dan mampu menjadi hafidhzoh nantinya," Sahut Abi antusias setelah meneguk minuman hangat ini.

"Aamiin yaa Robbal'alamiin... iya Yusuf  saya terima anak kamu masuk di pondok pesantren ini.
Ahlan wasahlan ananda Fathimah. Selamat datang...
Semoga krasan (betah) ya di sini. Ingatlah... pertama kali yang harus kamu mantapkan sekarang adalah niat di hatimu. Karena Niat di hatimu sangatlah berarti untuk kedepannya. Apa yang kamu niatkan maka itulah yang kamu dapatkan nantinya.

💌💌💌
Dari Amirul Mukminin,
Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu ,
ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷﻋﻤَﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ ﻭﺇِﻧَّﻤﺎ ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻣﺮﻱﺀٍ ﻣﺎ ﻧَﻮَﻯ ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻓﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ﻭﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﻟِﺪُﻧْﻴَﺎ ﻳُﺼِﻴْﺒُﻬﺎ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓٍ ﻳَﻨْﻜِﺤُﻬَﺎ ﻓﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫَﺎﺟَﺮَ ﺇﻟﻴﻪِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya,
maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
[HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

💌💌💌

Niatkan hatimu untuk Tholabul 'ilmi dan menghafal Alqur'an lillahita'ala, agar di setiap langkahmu akan mendapat Rahmat dan Ridho dari Nya. Bersabar dan bersungguh-sungguhlah dalam setiap langkahmu nantinya. Karena setiap langkahmu nantinya pasti akan teruji. Berusahalah untuk selalu istiqomah ya, Nak."

Aku pun mengangguk, dalam ketertundukanku. Tapi runguku sejak tadi dengan tajam menyimak dan mendengar wejangan dari Beliau.

Titah panjang Beliau ku simak dengan khusyuk. Karena bagiku beliau adalah sosok 'alim yang pasti setiap nasehatnya bermanfaat.

Setelah 15 menit perbincangan kami. Aku dan Ummi dipersilahkan masuk ke area pondok putri dengan di temani seorang khoddam (santriwati yang mengabdi di ndalem pak kiyai).

Langkahku terus mengikutinya, katanya sih ke kantor pondok putri terlebih dahulu untuk menemui murobbiyah dan di situlah akan di tentukan nantinya aku menetap di asrama dan kamar mana.

Saat aku menyusuri gedung-gedung berlantai dua yang bernuansa serba hijau ini, suasananya masih sepi. Mungkin sedang pada kegiatan kali ya.  Ada satu masjid dan aula yang kami lewati. Cukup luas... bagaimana tak luas santriwan-santriwatinya telah mencapai 1000 lebih kata pak Kiyai tadi.

Beberapa menit berlalu,

Akhirnya kami pun sampai di depan sebuah ruangan yang di depannya di batasi kaca serba hitam. Terdapat papan panjang di atas pintu bertuliskan "Kantor Pondok Putri Roudlotul Qur'an". 
Kami pun di persilahkan masuk setelah Mbak Tika yang mengantar kami tadi undur diri.

Tak perlu waktu  lama. Setelah mengisi formulir dan sedikit perbincangan, kami pun keluar dari ruangan itu di temani oleh seorang santri yang katanya adalah ketua kamar Darul Ma'wa, kamar yang akan aku tempati nantinya.

Di pondok pesantren ini terdapat 4 Asrama. Dan aku di tempatkan di Asrama A.
Di Asrama A ini terdiri 8 kamar yang setiap ruangannya di beri nama-nama surga.

Jam dinding yang berukuran lumayan besar di tengah aula yang aku lewati saat ini, jarum kecilnya menunjukkan angka 9 sedangkan jarum panjangnya di angka 2. Lalu lalang santriwati kini mulai nampak.

"Silahkan masuk Bu, Mbk. Maaf kamarnya sedikit berantakan," ucap Mbak ketua kamar mempersilahkan Ummi dan Aku yang sedari tadi mengikuti langkahnya.

Kami pun mengangguk.

"Terimakasih Mbak-"

"Rofiqoh," jawabnya langsung saat aku menggantungkan ucapanku karena aku memang belum tau namanya.

"Mbak Rofiqoh."
Senyumku mengikuti, setelah menyebut namanya.

Perbincangan kami pun berlangsung sembari aku berbenah. Mengisi lemari yang masih kosong dengan beberapa helai pakaian yang telah kubawa tadi.

Obrolan ringan tentang asal usulku dan tentang beberapa hal tentang teman dikamar ini serta beberapa kegiatan secara sederhana dia jelaskan kepada kami.

Di kamar yang berukuran 6 meter persegi ini telah berjajar 5 kasur bertingkat 3. Jadi penghuni kamar ini ada 14 dan di tambah denganku, genap 15 orang.

Setelah beres. Ummi pun pamit untuk segera pulang. Aku pun mengantarnya kembali ke tempat Abi.

Akhirnya kedua orangtuaku itu pamit diri kepada kyai dan Aku hanya bisa bersalaman sebelum mereka keluar dari pintu.

"Hati-hati di sini ya, Nak. Jaga diri baik-baik. Belajarlah dengan sungguh-sungguh."

Aku pun mengangguk tersenyum getir. Seakan tak rela aku di tinggal sendiri di sini.

"Semangat ya, Fathimah. ¿an jadda wajada." Seru aby menyemangatiku penuh ketegasan dengan senyum khasnya.

"Iya in syaa Allah Abi. Doakan Fathimah ya, Bi, Mi," ucapku kemudian meraih tangan kanan keduanya, bergantian menciumnya penuh ta'dhzim dan Ummi mengelus pucuk kepalaku.

Sepulang Abi dan Ummi aku pun kembali keruang kamarku.

"Assalamu'alaikum," ucapku begitu masuk ke kamar yang sudah ada beberapa santriwati di dalam ruangan bercat putih ini.

Ada yang sedang makan, ngemil, ngobrol atau pun sibuk dengan kitab kecil yang di pegangnya.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh."
Mereka yang berada di ruangan ini serempak menjawab menghentikan sejenak kegiatan mereka masing-masing.

"Fathimah ya???"

Sontak aku menoleh ke samping kananku mendengar sebuah suara yang memanggil namaku....

.
.
.
.
.

Bersambung...
02Dzulqo'dah1439H
Repost: 23 R. AKHIR 1441 H

Siapa ya yang manggil fathimah?

Tunggu next selanjutnya ya...😉

*assalamu'alaikum sahabat pembaca...

Alhamdulillah masih bisa publish selanjutnya nih...

Gimana sih menurut kalian cerita ini yang sudah sampai part 31 ?

Serukah?
Atau
Membosankan?
Tulis dikolom komentar ya.. 😊

Kali ini nambah dua hadits di part 31.🤗

💌 Tentang haramnya laki laki memakai emas

💌 Tentang pentingnya niat dalam mengawali kegiatan apapun.

Semoga bermanfaat ya...

Jangan lupakan Al Qur'an sebagai bacaan setiap hari.

Klik 🌟 nya dibawah ya..😉

Wassalam...



































Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top