2. Cinta Keluarga
Pagi yang cerah di akhir pekan, membuat semangat orang sekitar untuk memulai aktivitasnya hari ini. Matahari pun mulai bersinar menaburkan cahaya jingganya ke seluruh isi bumi ini dari ufuk timur, melenyapkan embun pagi sedikit demi sedikit. Selepas mengikuti majelis ta'lim ba'da shubuh di Masjid Toha, Aku dan keluarga kini sedang jalan-jalan pagi menghirup sejuknya udara pagi.
Setiap hari libur seperti sekarang ini, kami sekeluarga selalu menyempatkan diri untuk olahraga bersama. Meski hanya sekedar jalan-jalan bersama atau lari-lari kecil menuju taman perumahan yang terletak kira-kira 200 meter dari kebaradaan rumahku.
"Abi ... Ahmad mau Es krim, beliin ya, Bi," rengek adikku pada Abi saat keberadaan kami tak jauh dari lapak penjual es krim. Padahal dia sudah madrasah tsanawiyah, tapi rengekannya masih seperti anak sekolah dasar.
" Iya, Ahmad. Fathimah mau juga?" tawar Abi kepadaku.
Aku pun tak menyia-nyiakannya, dengan anggukan penuh semangat dan mata berbinar aku menjawabnya. Kami pun berjalan lebih mendekat ke arah penjual es krim yang telah dikelilingi beberapa pembeli didekatnya.
"Antri dulu ya, Sayang," ucap ummi. Kami mengangguk patuh.
"Fathimah mau rasa coklat dan Ahmad rasa vanila?" tanya Abiku yang sudah hafal rasa favorit putra dan putrinya.
"Iya. Sini Bi biar Ahmad yang beli," tawar Ahmad mengambil satu lembar uang lima puluh ribuan di tangan Abi.
Aku, Umi dan Abi memilih menunggu Ahmad dengan duduk di bangku panjang yang tak jauh dari penjual es krim itu.
"Abi sama Ummi mau minuman apa? Biar Fathimah yang beliin," tawarku setelah melihat sekeliling taman yang cukup banyak jejeran penjual berbagai makanan dan minuman.
"Air mineral saja, Fath. Kalo Ummi samaan nggak dengan Abi?" tanya Abi kepada Ummi. "Iya, Bi," jawab Ummi singkat dengan senyuman teduhnya.
Aku pun segera beranjak dari tempat dudukku, berjalan berlawanan arah dari tempat Ahmad membeli es krim. Saat kaki ini melangkah hampir sampai di kedai.
" Au!" Suara pekikan seseorang tiba-tiba terdengar oleh indera pendengarku, membuatku sontak mencari sumber suara. Ternyata ada anak kecil yang jatuh tak jauh dari tempatku kini berdiri.
"Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Ya Allah, Adek gak apa-apa kan?" Dengan cepat aku merengkuh bahunya, membantu anak kecil yang imut dan cantik ini untuk berdiri.
"Hmmm sakit, Kak!" Ia tampak merengek sembari memegangi lututnya yang agak memerah karena sedikit lecet.
"Lain kali kalo jalan hati-hati ya, Dek. Sini kakak obatin," ucapku menenangkannya lalu menuntunnya berjalan menuju tempat duduk yang terdekat.
Segera aku membeli plester dan tisu untuk menutup lukanya yang kemerahan dan sedikit ada bercak darah. Tak lupa sebelumnya sudah kubersihkan luka itu agar tak infeksi.
Tak lama kemudian, datang sepasang suami istri mendekat ke arah kita dengan sedikit tergopoh-gopoh. Setelah kuceritakan apa yang terjadi terhadap putrinya, mereka pun berterima kasih. Barulah, setelah itu aku meneruskan niatku membeli air mineral dan segera kembali ke tempat Abi dan Ummi yang telang menungguku cukup lama.
"Assamu'alaikum," ucapku saat telah berdiri tak jauh dari tempat keluargaku kini sedang duduk bersama. Kulihat Ahmad juga sudah duduk diantara mereka, Abi dan Ummi.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah," jawab mereka serempak.
"Fathimah lama bener beli airnya? Beli dimana sih, Sayang ?" tanya Abiku sembari menggeser duduknya, memberi ruang untukku juga duduk.
"Hehe afwan, Bi. Tadi ada kecelakaan kecil," jawabku cengengesan karena merasa bersalah telah membuat abi dan ummiku yang tampak kehausan jadi menunggu sedikit lebih lama dari yang semestinya.
Abi menganggukkan kepala, seraya tangannya mengambil air mineral dari tanganku
"Iya Kakak nih. Lama banget, sampai es krimnya cair nih," lontar adikku agak berlebihan dengan menjulurkan es krim di tangannya ke arahku
"Lebay ah kamu," jawabku mengambil es krim dari tangannya.
"Tadi ada kecelakaan apa Fathimah?" Sekarang Ummiku yang angkat suara mengintruksiku.
"Itu Mi, tadi tiba-tiba ada anak kecil jatuh di dekat Fathimah. Kayaknya sih dia tadinya lari-lari, karena kurang hati-hati jatuh deh. Kasian Mi, lututnya memar. Jadi Fathimah bantu mengobatinya dulu sebelum balik ke sini," jelasku pada semuanya, tampak kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala.
"Terus, sekarang dia di mana, Sayang? Kok gak diajak ke sini? " tanya Ummi setelah menegak setengah dari botol minumannya.
"Dia sudah bersama orang tuanya kok tadi, Mi. Makanya Fathimah berani tinggalin," jawabku tersenyum cerah saat melihat eskrim coklat di tanganku sudah terlepas dari bungkusnya.
"Bismillahirrohmanirrohim," ucapku sebelum menikmati es krim yang berlumur coklat enak ini, hmmm Yummi.
Sore hari di rumah
Selepas bersihkan diri, sholat dan tilawah. Aku pun menuju taman yang berada di belakang rumahku dengan membawa buku yang kupinjam beberapa hari yang lalu dari perpustakaan. Lembar demi lembar kubaca buku ini semakin menarik saja. Menceritakan seorang wanita suci yang berbudi pekerti baik, rajin, berbakti kepada orang tua, berparas cantik dan sangat disayangi Rosulullah.
Siti Fatimah binti Muhammad lahir pada 20 Jumadil Akhirah lima tahun setelah Rasulullah SAW diangkat menjadi Rasul. Dia merupakan putri keempat Nabi Muhammad bin Abdulloh dan ibunya Khadijah binti Khuwalid.
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau.
Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang sabar dan penyayang. Tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya, karena itu Rasullullah Rasulullah pernah berkata " Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia" Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama.
Pada usia 5 tahun, Fatimah ditinggal ibundanya Khadijah. Mau tidak mau secara langsung dia menggantikan tempat ibundanya untuk melayani, membantu dan membela ayahandanya.
Dalam usia kanak-kanak Fatimah mendapatkan berbagai cobaan, salah satunya adalah menyaksikan perlakuan keji kaum kafir Quraish kepada ayahnya. Sering kali dia meneteskan air mata di pipinya, ketika melihat penderitaan yang dialami Nabi Muhammad.
"Assalamu'alaikum putri cantik Abi," sapa Abiku dari arah belakang menghampiriku, menepuk pundakku pelan, lalu duduk di sampingku.
"Wa'alaikumsalam warohatullah Abi," balasku tersenyum lalu meraih tangan Abi dan mencium punggung tangannya. "Abi baru pulang dari Mushola?" tanyaku menatap beliau yang tampak ganteng dengan stelan baju koko dan sarung serta peci yang bertengger di kepalanya.
"Iya baru saja Abi pulang. Melihat kamu sendirian membuat Abi ingin menemani putri kesayangan Abi di sini. Kamu lagi baca buku apa?" Abi menatap buku yang berada di pangkuanku dalam keadaan sudah tertutup.
"Ini buku kisah hidup Sayyidah Fathimah Azzahra, putri Rosulullah, Bi. Bagus banget loh ceritanya. Ada juga kisah perjuangan Rosulullah didalamnya yang bisa dijadikan tauladan." Aku begitu antusias menceritakan sedikit isi buku ini yang sebagian telah kubaca.
"Iya, Sayang. Beliau adalah wanita termulia yang kelak di akhirat menjadi pemimpin bagi kaum muslimah yang mencintai Baginda Nabi. Maka dari itu, Abi memberi nama Putri Abi ini Fathimah Az Zahra berharap kamu menjadi putri Abi yang sholihah. Salah satunya yang bisa kamu lakukan dengan cara terus mengenal dan belajar meneladani akhlak Beliau," jelas Abiku yang membuatku mengangguk-anggukkan kepala.
"In syaa Allah, Bi. Fathimah akan berusaha untuk menjadi wanita sholihah. Tapi jangan pernah bosan selalu bimbing Fathimah ya, Bi," jawabku menghamburkan kepalaku ke pelukannya.
Aku sangat menyayangi Abi, batinku.
"Abi kapan pulangnya? Kok sudah di sini aja? " Tiba-tiba Ummi bersuara. "Hmmm nggak ngajak-ngajak lagi nih pelukannya cuma berdua," timpal Ummi lagi dengan nada pura pura cemburu. Tampak Ummi menghampiri kami bersama Ahmad
"Baru saja, Sayang," jawab Abi meraih tangan Ummi.
"Iiih istri Abi masak gitu aja cemburu sih," goda Abi kemudian beralih membawa Ahmad ke pangkuannya dan bergeser memberi tempat Ummi duduk di sebelahnya. Ahmad yang baru tahun ini masuk MTs memiliki postur tubuh tak begitu tinggi dan juga tak gemuk. Jadilah ia masih begitu dimanja seperti jagoan kecilnya, sehingga sering dipangku seperti ini oleh Abi.
"Ahmad gimana tadi sekolahnya?" tanya Abiku.
"Nilai ulangan Matematika Ahmad gak begitu bagus tadi, Bi. Cuma dapat 60, padahal semalam Ahmad sudah belajar sama Ummi," jelas Ahmad dengan nada sendu.
"Ya udah gak apa-apa, Sayang. Nanti belajarnya lebih giat lagi ya sama Kak Fathimah. Dia kan jago Matematika. Semangaaaaat." Abi mengangkat tangan kanan Ahmad menyemangati.
"Tugas Ummi nanti temenin Abi ya," ucap Abi sembari mengerlingkan satu matanya ke Ummi. Ummi yang mendapat perlakuan demikian hanya bisa tersenyum dan tampak tersipu malu, membuatku dan Ahmad terkekeh.
Cinta dalam keluarga, mengundang keharmonisan yang sangat terasa nyaman saat berkumpul seperti ini. Hampit di setiap saat senja seperti inilah ... waktu yang sering sekali kami habiskan bersama, sehingga kehangatan dalam kebersamaan begitu sangat membahagiakan tercipta dan keakraban pun akan terhias di dalamnya.
Nyaman dan tentram, itulah yang kurasakan dalam hidup penuh kesederhanaan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top