9. Pertengkaran Di Pesta Kailee
Part 9 Pertengkaran Di Pesta Kailee
Meja makan diselimuti keheningan. Caius dan Jasmin sudah rapi dengan pakaian kerja masing-masing dan sibuk menghabiskan makanan yang ada di piring.
Saat bangun tadi pagi dengan tubuh yang remuk redam, Jasmin tak mengatakan apa pun. Caius sama sekali tak mengungkit apa pun setelah apa yang dilakukan pria itu di kamar mandi. Keduanya bersiap kerja tanpa bersuara.
Jasmin tak yakin dengan seberapa banyak yang diketahui Caius akan apa yang terjadi dengannya dan Aksa. Di ruangan kerja Aksa ataupun di restoran tadi malam. Pria itu hanya mengatakan tak suka mencium aroma pria lain tertinggal di tubuhnya. Dan semalam, Aksa memang sempat memeluknya ketika mengantarnya sampai di depan gedung.
“Jangan berpikir aku tak tahu apa yang kau lakukan di belakangku, Jasmin.” Caius meletakkan cangkir kopinya ke meja, menatap lurus pada sang istri yang baru saja menyelesaikan sarapan.
Gerakan tangan Jasmin sempat terhenti. Tetapi peringatan itu hanya masuk ke telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Toh ia tak menginginkan pernikahan ini. Jika ia harus menerima semua hukuman itu demi bisa bersenang-senang dengan Aksa, sepertinya ia sama sekali tak keberatan.
Sejauh apa Caius akan menyakitinya, ia tak peduli lagi dengan ketakutannya. Apa yang dirasakannya terhadap Aksa jauh lebih besar dari semua itu.
Seperti kemarin, Caius yang mengantarnya ke kantor. Jasmin turun begitu mobil berhenti di teras gedung. Tetapi ia harus tertahan ketika Caius juga ikut turun. Menghampirinya hanya untuk mencium bibirnya di tengah umum.
Jasmin menyumpahi kelicikan Caius begitu pria itu menjauhkan wajah, pandangannya langsung terhenti pada Aksa. Yang berdiri membeku di samping mobil. Rasa bersalah seketika memenuhi dadanya terhadap pria itu.
Caius mengangguk singkat pada Aksa sebelum masuk ke dalam mobil dan meninggalkan sang istri.
Setelah mobil Caius menghilang dari pandangannya, Jasmin berjalan masuk lebih dulu. Ia sempat berhenti di depan lift bersama beberapa karyawan, ketika Aksa menariknya untuk masuk ke dalam lift khusus sebelum siapa pun berhasil menyadari keberadaannya.
“Kau baik-baik saja?” Aksa menggenggam tangan Jasmin berada paling dekat.
Jasmin mengangguk. Terpaku sejenak dengan sikap pria itu yang seolah tak terjadi apa pun. Sedikit meredakan rasa bersalahnya.
Dengan pernikahannya dan Caius yang sudah terlanjur terjadi. Keduanya memang harus mengabaikan apa pun untuk hubungan mereka saat ini. Untuk perasaan yang saling mereka miliki.
***
Seiring berjalannya waktu, hubungan Jasmin dan Aksa semakin dekat. Keduanya tak lagi canggung untuk mengungkapkan perasaan masing-masing dan saling berbagi cerita. Dan dengan pernikahan Jasmin dan Caius yang sudah diketahui banyak orang, tentu saja keduanya harus menyembunyikan hubungan tersebut demi tak menciptakan kecurigaan yang akan membawa keduanya dalam masalah.
Sementara pernikahannya dan Caius, semakin dingin. Pun ranjang mereka yang selalu panas oleh gairah Caius terhadapnya. Jasmin tak lagi menolak setiap kali pria itu menginginkannya. Tahu dengan sangat pasti penolakannya hanya akan membuat Caius bersikap lebih kasar padanya.
Namun, seberapa pun Jasmin mengabaikan semua itu, pada akhirnya ia begitu muak dengan Caius. Membuatnya semakin tertekan. Terutama ketika keduanya menghadiri pesta ulang tahun Kailee di rumah, dan beberapa kerabat mempertanyakan tentang kehamilan. Yang membuat Jasmin mual.
“Eve sudah hamil. Lima minggu.” Tante Meita menunjuk kerumunan di ruang tengah yang dipenuhi canda tawa. “Usia pernikahan kalian tidak jauh beda, kan?”
Jasmin hanya membalas dengan seulas senyum tipis, sekedar sopan santun pada wanita yang lebih tua darinya.
“Jangan mendesaknya, Meita. Pernikahan mereka memang tidak berselang lama. Tapi kau tahu kalau pernikahan Caius dan Jasmin harus dilaksanakan di rumah sakit karena kecelakaan, kan? Mereka pasti menunda malam pertama cukup lama hingga Jasmin sembuh. Kau tahu bagaimana baiknya Caius merawat Jasmin. Dia pasti tak tega dengan keadaan Jasmin.”
“Kau benar.” Meita mengangguk setuju. Kemudian mengelus lembut lengan Jasmin dengan tatapan iba. “Baru saja menikah dan kalian harus mengalami semua itu. Tapi … semua sudah berlalu. Kalian bisa berbahagia mulai sekarang.”
“Kau benar-benar beruntung, Jasmin. Tante tak berhenti berdoa agar Jennifer juga diberikan suami seperti suamimu.”
Jasmin nyaris muntah dengan semua omong kosong tersebut. Hampir tak bisa menahan diri untuk memutar bola matanya karena jengah dengan semua pembicaraan ini.
“Ck, jangan bermimpi Julia. Hanya ada satu manusia seperti Caius.”
“Kalian membicarakanku.” Caius tiba-tiba muncul. Memegang pinggang Jasmin dengan posesif dan tak lupa menyempatkan mencium pipi sang istri yang kemudian mendapatkan decak kagum dari kedua wanita paruh baya tersebut.
Meita dan Julia terkikik.
"Apa kau sudah mendengar kabar bahagia dari sana?" Meita menunjuk ke samping. Suara canda tawa yang masih bergema di ruang tengah.
"Eve?"
Meita dan Julia serempak mengangguk.
"Ya. Tentu saja."
"Jadi, kapan kalian akan menyusul?"
Jasmin kembali tersedak. Kembali ke topik ini.
Caius tersenyum, menelengkan kepala pada sang istri. "Semua tergantung pada Jasmin. Saya tak ingin membebani istri saya dengan seorang anak. Ya, kan sayang?"
Kembali decak kagum dan gumam ketakjuban serempak mengikuti pertanyaan Caius pada Jasmin.
Tubuh menggeliat tak nyaman. "Aku ingin ke kamar mandi sebentar," ucapnya melepaskan diri dan memasang senyum sesopan mungkin sebelum meninggalkan Caius dan kedua tantenya yang begitu sok ingin tahu seperti biasa.
Sebelumnya selalu mendesak dirinya dengan pertanyaan kapan menikah, dan sekarang seolah belum puas mencari bahan gosip, sibuk bertanya kapan punya anak.
Dalam pernikahannya dan Caius, tidak akan ada anak. Jadi sekarang ia mencoba menguji kesabarannya dengan mendengarkan pertanyaan tersebut. Menebalkan telinga dari urusan anak.
Ia bahkan tak bisa membayangkan akan memiliki anak. Apalagi dari seorang Caius Amato. Bayangan itu sangat di luar nalarnya.
Setelah mencuci tangan dan sengaja berlama-lama di kamar mandi, getaran ringan dari dalam tas segera mengenyahkan semua rasa mual dari semua bahan pembicaraannya dengan para tetua. Senyum segera menghiasi wajahnya begitu melihat pesan singkat dari Aksa.
"Bagaimana pestanya?"
"Membosankan. Tak ada kau di sini."
"Tidak mungkin. Ada kau di sana."
Senyum Jasmin semakin melebar. “Tidak ada kau di sini.”
"Aku punya hadiah untukmu?"
"Apa itu?"
"Di mana kejutannya jika aku memberitahumu sekarang."
"Aku tak sabar."
"Kesabaranmu akan berbuah manis."
Senyum Jasmin membeku dan segera mematikan ponselnya ketika suara langkah kaki terdengar dari balik pintu. Tangannya sudah sempat memegang gagang pintu, tetapi pintu lebih dulu didorong dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Membuat pegangannya pada ponsel di tangannya terlepas. Benda pipih tersebut jatuh ke lantai.
"Jasmin?" Kailee memasang wajah cemberutnya.
Jasmin membungkuk dan mengambil ponselnya. Menyalakan ponselnya dan retakan membelah di bagian bawah layar. "Apa kau tidak bisa mengetuk lebih dulu?" kesalnya sinis.
Kailee mendecih, tak ada sedikit pun penyesalan di wajahnya. "Kau saja berdiri di depan pintu. Lagipula ini bukan toilet umum, aku biasa menggunakannya tanpa mengetuk. Dan ini rumah …"
"Rumahku," tandas Jasmin dengan tatapan yang lebih dingin.. "Hanya karena mamamu menikah dengan papaku, bukan berarti rumah ini menjadi milikmu."
Kailee mendelik tak terima. Tetapi mulutnya hanya membuka nutup tanpa sepatah kata pun.
Jasmin melangkah keluar, sengaja menabrakkan pundaknya di pindak Kailee hingga wanita itu terdorong ke belakang dan punggung membentur pinggiran pintu.
"Kau benar-benar keterlaluan, Jasmin!" teriak Kailee lantang dengan penuh emosi. "Apa karena kau masih belum menerima mamaku menggantikan posisi mamamu sehingga kau menikahi Caius? Menggodanya di belakangku untuk membalasku.”
"Kau benar-bener egois, Jasmin. Kau ingin papamu meratapi kepergian mamamu sepanjang sisa umurnya seperti orang yang menyedihkan? Omong kosong dengan cinta abadi, Jasmin,” tambah Kailee lagi.
"Apa kau bilang?" Jasmin tak pernah peduli jika Kailee mengatai apa pun tentangnya. Tapi mendiang mamanya? Tentu saja dia tak akan tinggal diam. Tubuhnya kembali berbali, berhadapan dengan Kailee. "Kau ingin memiliki Caius? Kau ingin menikahi pria berengsek itu? Ambil saja. Aku akan menyerahkannya padamu dengan sukarela dan sepenuh hatiku. Ambil dia. Miliki dia sesukamu. Tapi mamaku …” Tubuh Jasmin maju satu langkah lebih dekat sehingga berhadap-hadapan dengan Kailee. “Jangan pernah menyebutnya dengan mulutmu yang kurang ajar itu,” tambahnya dengan telunjuk yang mengarah ke mulut Kailee.
“Apa? Mulut kurang ajar?”
“Ya. Mulut kotormu itu tak pantas menyebutnya. Kenapa kau masih tidak sadar diri? Kau dan mamamu. Kalian berdua tidak tahu malu …”
Kailee mendorong tubuh Jasmin. “Seharusnya kau tidak datang di pestaku dan membuat suasana hatiku memburuk!”
Jasmin melawan, mendorong tubuh Kailee lebih keras. “Seharusnya kau dan mamamulah yang tidak datang di hidupku? Kenapa kau begitu norak dengan pesta sialan ini? Kau pikir aku ingin datang ke acara sialan ini, hah?”
“Pesta sialan kau bilang? Beraninya kau …”Tangan Kailee sudah bergerak melayang hendak menampar mulut Jasmin, tetapi wanita itu dengan sigap menangkapnya.
Plaakkk …
Tamparan Jasmin mendarat di pipi Kailee dengan keras. Tak sampai di situ, Jasmin bahkan menangkap rambut di kepala Kailee. Menjambak dan mendongakkan wajah sang saudara hingga memekik kesakitan. Mahkota yang diselipkan di rambut Kailee jatuh ke lantai. “Jangan bermimpi, Kailee. Kau dan mamamu tak akan mendapatkan apa pun dengan wajah tak tahu malu itu …”
“Cukup, Jasmin!” Suara Jovan menggelegar. Berdiri di pintung penghubung dengan wajah yang merah padam. Pria paruh baya itu segera mendekat dan menyentakkan tangan Jasmin dari Kailee. “Lepaskan.”
Jasmin terdorong ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangannya. Sementara Kailee menangis tersedu yang lebih banyak karena dibuat-buat, menghampiri sang mama yang juga baru saja muncul.
“Apa yang kau lakukan pada saudaramu, hah?”
“Dia bukan saudaraku.” Jasmin sudah cukup emosi menghadapi sikap memuakkan Kailee. Dan kali ini posisinya pun jelas tak menguntungkan untuk membela diri. “Dan dia juga bukan mamaku.”
“Jaga kata-katamu, Jasmin,” desis Jovan yang sudah kehilangan katak-kata untuk menghadapi sikap kekanakan sang putri. Sejak ia menikah kembali tiga tahun yang lalu, putrinya itu masih juga tak membuka hati untuk kehadiran Maria dan Kailee.
“Mereka memang bukan keluargaku. Apakah Jasmin salah?”
Tangan Jovan sudah melayang, namun tamparannya terhenti di udara. Jasmin terkesiap kaget, tetapi tak menghindar.
“Dengan menampar Jasmin, itu tak akan membuat mama hilang dari hidup papa. Sampai kapan pun, Jasmin tak akan melupakan mama. Wanita yang papa bilang pernah sangat papa cintai. Wanita yang menemani papa dari nol. Semua pencapaian papa hingga detik ini, semua karena mama. Bukan kedua wanita itu!”
“Tutup mulutmu,” desis Jovan yang sudah menurunkan kedua tangannya. Bibirnya menipis tajam, menunjukkan seberapa banyak kesabaran yang berusaha dipertahankannya demi menghadapi sang putri. “Kau tak tahu apa-apa tentang papa dan mama.”
“Memang tidak. Tapi dia mamaku. Tak akan tergantikan oleh siapa pun.”
“Pergi, kau!” Jovan menunjuk ke arah luar.
“Ya, Jasmin akan pergi dari rumah ini. Dan aku berharap tak bertemu dengan papa lagi. Mulai sekarang, aku bukan lagi anak papa.” Jasmin mengakhiri kalimatnya dengan air mata yang berderai. Berjalan pergi dan tak menoleh ke belakang lagi.
***
Cerita ini udah langsung tamat di Karyakarsa dan ga diebookin, ya. Full akses sampat end + bonus part dan harganya murmer. Tersedia voucher, jadi harganya ga sampe 50k. Apalagi kalo beli koinnya lewat web, harga koinnya jauh lebih murah daripada lewat apk
Nb : Cerita kali ini lumayan menguras emosi, adegan kekerasan dan khusus 21+ ya. Harap bijak dalam memilih bacaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top