7. Pengakuan Cinta
Cerita ini udah langsung tamat di Karyakarsa dan ga diebookin, ya. Full akses sampat end + bonus part dan harganya murmer. Tersedia voucher, jadi harganya ga sampe 50k. Apalagi kalo beli koinnya lewat web, harga koinnya jauh lebih murah daripada lewat apk
Nb : Cerita kali ini lumayan menguras emosi, adegan kekerasan dan khusus 21+ ya. Harap bijak dalam memilih bacaan.
***
Part 7 Pengakuan Cinta
Pagi itu Jasmin bangun dengan perasaan jijik yang sudah terasa familiar. -Tubuh telanjang yang berada di balik selimut dan kedua lengan yang melilitnya dari belakang-. Ada hal lain yang membuatnya merasa lega untuk memulai harinya.
Ia turun dari tempat tidur tanpa membuat suara sekecil apa pun. Langsung menyiram tubuhnya dengan air dingin dan dengan harapan yang sia-sia untuk melunturkan semua jejak sentuhan Caius di tubuhnya.
Jejak-jejak merah yang ditinggalkan Caius, semakin hari bukannya semakin hilang, tetapi malah ditumpuk dengan kissmark baru yang secara sembrono ditato pria itu di tubuhnya. Bahkan di bagian-bagian yang dengan mudah dilihat orang asing.
Ketika Jasmin selesai mandi, mengeringkan rambut, dan mengganti pakaiannya di ruang ganti, barulah Caius terbangun. Kedua alis pria itu saling bertaut melihat pakaian yang dikenakan oleh sang istri. “Kau akan mulai bekerja?”
Jasmin tak menjawab. Ia duduk di meja rias dan mulai memolesi wajahnya dengan make up tipis. Dari bayangan di cermin, ia bisa melihat pria itu yang duduk di tepi ranjang, mengenakan celan karet yang terlempar ke lantai dan berjalan mendekat.
“Aku tak ingin terlambat di hari pertamaku kerja, Caius.” Jasmin menghindari tubuh Caius yang membungkuk ke arahnya.
Caius tersenyum, kembali menegakkan punggungnya dan berjalan ke kamar mandi. Membiarkan sang istri karena semalam sudah sangat memuaskannya.
***
Suasana kantor yang begitu sibuk dan samar-samar berisik yan terdengar dari balik pintu membuat Jasmin merasa lebih baik. Jauh lebih dari apartemen mewah milik Caius. Dan betapa ia merindukan semua ini. Ruangannya yang bahkan tak lebih luas dari kamar mandi Caius, terasa begitu nyaman.
Pantatnya baru saja menempel di kursi ketika seseorang menyela momen bahagianya tersebut.
“Jasmin?” Suara memanggil dari celah pintu ruangannya yang dibuka sedikit. Wajah wanita muda dengan rambut pendek itu muncul. “Bos memanggilmu.”
Kedua alis Jasmin menyatu. “Kenapa? Apakah ini tentang cutiku?”
Wanita itu menggeleng tak tahu. “Pergilah.”
Jasmin mendesah pelan. Seingatnya ia sudah mengabari dan menyelesaikan semua tanggung jawabnya selama liburnya satu bulan penuh ini.
Beranjak dari kenyamanan yang baru saja dicicipinya, Jasmin menuju pintu. Melewati bilik-bilik yang sudah sebagian besar dipenuhi karyawan, masuk ke dalam lift dan naik tiga lantai di atas.
Sekretaris bosnya beranjak dan membukakan pintu untuknya meski itu tidak perlu. Memberitahu kedatangannya yang langsung memintanya untuk masuk.
“Hai.” Pria manis yang duduk di balik meja meletakkan cangkir kopi yang baru disesapnya. “Duduklah.”
Jasmin duduk di sofa, melihat kantong berwarna merah yang diletakkan di meja. Keningnya berkerut menatap benda itu.
“Hadiah untukmu.”Pria manis itu duduk di sofa tunggal, menunjuk kantong di depan mereka dengan senyum yang lebih menawan.
Jasmin menoleh. Menatap terheran pada pria itu. “H-hadiah? Untuk apa kau memberiku hadiah, Aksa?”
“Hmm, sebenarnya ini oleh-oleh yang kubawa dari perjalanan bisnisku sebulan yang lalu di Singapore. Sampai aku tahu cuti tahunan yang kau ambil untuk pernikahanmu. Sepertinya ini lebih cocok dijadikan hadiah pernikahan.”
Ekspresi di wajah Jasmin membeku. Mulai dihiasi kepucatan dan kepedihan di kedua matanya. Pernikahan. Seolah satu kata itu begitu kuat hingga membentangkan jarak yang begitu luas di antara mereka. Membuatnya merasa terhentak begitu jauh dari pria yang duduk di hadapannya, yang masih berhasil menggetarkan perasaan di dalam dadanya. “H-hadiah pernikahan?” ulangnya dengan suara yang semakin tertelan keheningan.
Aksa mengangguk dengan mantap, menyandarkan sikunya di lemgan sofa sehingga tubuhnya menghadap Jasmin. “Maaf aku tidak bisa datang di hari pernikahanmu karena perjalanan bisnis keluar kota. Kau tahu ada sedikit masalah di …”
Jasmin menelan semua kepahitan dan membiarkan remahan-remahan perasaannya yang berserakan. Mendorong kantong itu menjauh. “Aku tidak membutuhkannya,” potongnya kemudian.
Senyum Aksan membeku, sejenak keduanya saling tatap. “Kau tidak menyukainya?”
Jasmin tak menggeleng. Ia bukan tak menyukai hadiah itu. Ia hanya lebih suka menerima apa pun yang ada di dalam kantong itu jika Aksa mengatakan itu oleh-oleh dari Singapore. Tapi hadiah pernikahan untuk pernikahan yang tak diinginkannya, ia tak akan menerimanya.
“Kenapa? Ada masalah?” Aksa sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Jasmin. Menggenggam salah satu yangan wanita itu yang menegang. “Apa aku melakukan kesalahan?”
Jasmin menatap Aksa yang juga masih betah menatapnya. Tatapan lembut yang berhasil membuat hatinya bergetar oleh sebuah perasaan bernama cinta. Dan ia tak pernah punya keberanian sebesar yang dirasakannya saat ini untuk berterus terang tentang apa yang terpendam di dalam sana.
“Aku tak menginginkan pernikahan ini, Aksa.”
Pupil mata Aksa melebar, dengan keterkejutan yang membuatnya mengerjap. “Jasmin …”
“Pernikahan ini, aku tak tahu bagaimana semua ini terjadi. Semua masalah itu datang secara bersamaan dan aku tak kuasa menolak keputusan papa,” jelas Jasmin dengan emosi yang semakin mengental dalam suaranya. Sebelum kewarasannya kembali, ia harus membeberkan semuanya pada Aksa sehingga tak ada penyesalan yang harus disesali ke depannya. “Aku tak menginginkan pernikahan karena hanya kaulah pria yang kucintai. Ya. Aku mencintaimu, Aksa. Sejak aku bekerja di sini dan bertemu kembali denganmu. Kaulah cinta pertama, yang selalu kuceritakan padamu. Tapi aku menahan semuanya karena saat itu kau sedang bertunangan dengan Sheila. Dan meski kau sudah putus dengannya, tetap saja aku tak memiliki keberanian itu untuk mengatakannya padamu.”
Aksa tampak terkejut dengan kalimat panjang diucapkan dengan napas berantakan tersebut. Seperti deretan kereta yang kehilangan kendali dan tak bisa direm. Tetapi, dari semua kalimat panjang tersebut, hanya satu hal yang berhasil ia tangkap dengan sangat jelas. “K-kau mencintaiku?”
Jasmin menjilat bibirnya yang kering. Mengabaikan semua rasa malu. Dan entah apa yang mendorong kegilaannya, ketika tubuhnya maju ke depan. Menempelkan bibirnya di bibir Aksa.
Untuk waktu yang begitu lama, keduanya saling mematung dengan bibir yang masih menempel. Sepasang mata yang saling pandang, seolah waktu berhenti bagi keduanya.
Hingga keheningan tersebut berhasil dibunuh oleh suara langkah dari balik pintu. “Apakah istriku ada di dalam? Jasmin Amato.”
Mata Jasmin membelalak. Tubuhnya terpental ke belakang dan punggungnya membentur sandaran sofa tepat ketika pintu diketuk.
Aksa yang masih berusaha menelaah apa yang terjadi, segera mengembalikan kesadarannya. Menyuruh sekretarisnya membuka pintu.
“Tuan Amato.” Sekretaris Aksa memberitahu, memiringkan tubuh untuk memberi jalan bagi Caius.
Caius melangkah ke dalam. Langsung bertatapan dengan Aksa yang menyambut dengan seulas senyum. Aksa Lawrence, salah satu pemilik perusahaan yang menjadi saingan beberapa bisnisnya. Keduanya cukup saling mengenal satu sama lain. Sedikit cukup.
Jasmin akhirnya berhasil mengendalikan kepucatan di wajahnya ketika langkah Caius yang semakin mendekat di belakangya. Kepalanya bergerak menoleh. “Kenapa kau ada di sini, Caius?”
Caius mengangkat tangannya, menunjukkan benda putih yang ada di tangannya. “Dompetmu tertinggal di mobil.”
Jasmin kembali bernapas. Tangannya bergerak meraih dompet yang diulurkan pria itu. “Terima kasih.”
Caius terdiam, kerutan tersamar ketika menangkap kegugupan sang istri. “Apakah ada masalah?”
Jasmin menggeleng. “Tidak. Kami hanya bicara. Masalah pekerjaan.”
Pandangan Caius bergerak turun. Melihat kantong di meja sejenak dan mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi. Sampai jumpa di rumah, istriku.”Tubuh Caius membungkuk untuk mengecup ujung kepala Jasmin dan berjalan keluar.
Aksa dan Jasmin masih tenggelam dalam kesunyian setelah beberapa saat suara langkah Caius tak terdengar lagi.
“Jasmin …”
“Aku harus pergi.”Jasmin melompat berdiri, setengah berlari menuju pintu. Tidak sekarang. Ia tidak siap menghadapi Aksa saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top