5. Pernikahan Tetap Dilaksanakan

Part 5 Pernikahan Tetap Dilaksanakan

Pusing itu masih menusuk kepalanya ketika Jasmin berusaha menelaah ingatan terakhirnya sebelum jatuh pingsan. Pertengkarannya dengan sang papa, ia naik ke dalam mobil menuju tempat pernikahan akan dilangsungkan ketika mobil mereka tiba-tiba mengalami kecelakaan.

"Kau sudah bangun?" Suara cemas Jovan menyadarkan Jasmin sepenuhnya. Wanita itu menoleh ke samping dan melihat kepucatan di wajah sang papa. Ada jejak air mata di kedua mata paruh baya itu, juga rambut yang seingatnya sudah tertata rapi, kini tampak berantakan. "Maafkan papa, sayang. Papa sama sekali tak bermaksud tak mempercayaimu. Papa hanya …" Kalimat Jovan terhenti. Menatap sang putri yang masih setengah bingung dengan kekecewaan yang masih tergurat di wajah dengan goresan-goresan luka di pipi, hidung, dan kening yang ditempeli plester lebih besar.

"Apa kau merasa sakit di bagian tertentu?"

Jasmin menggeleng. Kemarahannya pada sang papa seketika meluruh dengan kecemasan yang membuat wajah sang papa terlihat lebih tua dari seharusnya. Bagaimana pun, papanya adalah papanya.

"Minum?"

Jasmin mengangguk. Jovan dengan sigap mengambil gelas air putih dan sedotan. Kemudian mendekatkan ke bibir sang putri. Saat sedikit mengangkat wajahnyalah, Jasmin melihat sebuah benda berwarna putih yang menyelimuti kaki kanannya. Ia seketika mendorong gelas di bibirnya menjauh. "K-kenapa dengan kakiku, Pa?"

Jovan meletakkan gelas di meja. Mengulur waktu untuk menjelaskan pada sang putri tentang tabrakan tersebut. Yang membuat kakinya patah dan butuh di gips. Selain kakinya, tak ada luka serius lainnya.

Melihat keadaannya, Jasmin hampir berharap pernikahan mereka akan dibatalkan, atau setidaknya diundur hingga keadaannya sembuh. Akan tetapi, baru saja harapan tersebut muncul di benaknya, samar-samar suara langkah kaki yang semakin jelas membuat harapannya seketika raib.

“Caius baru saja menemui dokter. Untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja,” tambah sang papa.

Sungguh, Jasmin berharap ia kehilangan ingatan sehingga dokter pun akan menolak untuk melanjutkan kegilaan pria itu. Tetapi semuanya sudah terlambat. Ia sudah bangun dan ingatannya masih utuh. Meski tidak dengan kewarasannya untuk menghadapi Caius.

Pintu ruang perawatannya didorong terbuka. Caius muncul paling depan, menyusul Maria, Kailee, dan seorang pria paruh baya dengan pakaian formal. Juga beberapa saudara dekat dan seorang pria berjas putih yang Jasmin kenali sebagai seorang dokter rumah sakit melihat logo di saku jas.

Di tengah keterkejutannya, pria berjas putih melangkah ke samping ranjang. Memeriksanya dan mengajukan keluhan-keluhan yang dialaminya. Tetapi Jasmin hanya menggeleng. Tak ada keluhan yang berarti selain ingin menghentikan pernikahannya dan Caius.

“Jadi, apakah pernikahan bisa dilaksanakan di sini?” Caius tersenyum lebar, menatap dokter dan pria paruh baya yang berpakaian formal. Dan keduanya mengangguk sepakat. “Pengantin, cincin, pendeta, dan beberapa saksi. Sepertinya semuanya sudah lengkap.”

Semua orang mengangguk dengan penuh antusias, -kecuali Jasmin dan Kailee tentu saja-. Jasmin menatap sang papa, jika sebelumnya ultimatum sang papa membuatnya tak berkutik, sekarang anggukan dan senyum di wajah kusut papanya membuat Jasmin terpaksa mengikuti permainan Caius dengan tanpa daya.

Caius yang pertama kali mengucapkan janji pernikahan, Jasmin membaca kertas yang diberikan pria itu dan janji itu hanya keluar dari mulutnya. Keduanya saling bertukar cincin dan pendeta mengesahkan pernikahan mereka dengan tanda tangan. –Dalam hati Jasmin sungguh berharap kedua tangannyalah yang patah-. Dan semua diakhiri dengan Caius yang membungkuk ke arahnya untuk mendaratkan lumatan di bibirnya. Tepuk tangan dan sorak kebahagiaan memenuhi seluruh ruangan. Satu persatu keluarganya mengucapkan selamat.

Selesai sudah. Sekarang hidupnya benar-benar berakhir di tangan Caius Amato.

“Selesai.” Suara Caius terdengar puas, bersamaan jemarinya yang baru saja menekan tombol kirim. Pandangan pria itu kemudian beralih pada sang istri yang masih menatapnya dengan datar. “Sekarang semua orang sedang berpesta untuk merayakan kebahagiaan pernikahan kita.”

Jasmin membuang wajahnya ke samping. Semua orang sudah meninggalkan ruang perawatan setelah pernikahan mereka selesai. Meninggalkannya untuk beristirahat sekaligus berdua dengan sang suami. Tidak. Ia tak akan pernah menganggap Caius sebagai suaminya. Ia tak akan mengakui pernikahan ini.

“Kau terlihat murung. Apakah ada sesuatu yang tidak menyenangkanmu?” Caius duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur untuk menyentuhkan punggung jemarinya di pipi Jasmin, tapi wanita itu langsung menyentakkan wajah dengan keras. Menolak sentuhannya.

“Ada banyak. Pernikahan ini, omong kosong ini, dan terutama kau. Apakah kau akan mengenyahkan semua ini dari hadapanku? Sungguh, untuk pertama kalinya di hidupnya, aku berharap tak pernah bangun hanya agar tak bertemu kau lagi,” sembur Jasmin dengan penuh emosi.

Caius hanya terkekeh. Memasang raut sedih yang dibuat-buat ketika menggelengkan kepala menanggapi emosi Jasmin. “Sungguh sangat disayangkan. Entah keberuntungan atau kesialan. Harapanmu tak sesuai kenyataan. Sekarang, kau akan terus melihat wajahku, terutama di pagi hari sebagai pemandangan indahmu. Menikmati pernikahan kita dengan penuh kebahagiaan.”

Bibir Jasmin menipis, menggigit bibir bagian bawahnya hingga mengaduh kesakitan saking kuatnya ia menekan amarahnya. Lalu merasakan anyir yang memenuhi mulutnya.

Caius tertawa kecil. Tangannya kemudian meraih tangan Jasmin, memegangnya dengan kuat dan penuh paksaan saat wanita itu berusaha memberontak. Membawanya ke wajahnya dan menciumnya di tempat cincin pernikahan mereka terselip. “Aku akan selalu mencintaimu, istriku. Seperti janjiku,” ucapnya dengan kemenangan yang sudah berada dalam genggaman. Menatap sang istri dengan  kelicikan yang berkilat di bola mata birunya yang segelap kedalaman laut.

*** 

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, dokter akhirnya mengijinkan Jasmin melakukan rawat jalan. Luka-luka lecet di lengan dan wajah Jasmin sudah sembuh. Yang di kening juga sudah mulai mengering. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan selain kakinya yang masih dibungkus gips. Butuh beberapa minggu untuk dilepaskan.

“Kenapa Jasmin harus pergi ke aparteman Caius, Pa? Jasmin ingin pulang ke rumah?” Siang itu, papa dan mama tirinya datang ke rumah sakit. Selain membantu beberapa hal, juga memberitahu tentang dirinya yang harus pergi bersama Caius.

“Kau sudah menikah, Jasmin. Tentu saja kau harus ikut dengan suamimu.”

“T-tapi …”

“Sepertinya Jasmin juga tak siap untuk berpisah dengan papa,” penggal Caius dengan senyum sopan dan ramah yang dibuat seapik mungkin pada sang papa mertua. “Tenanglah, istriku. Kau bisa sering-sering mengunjungi papamu. Begitu pun sebaliknya. Papa bisa datang kapan pun ke apartemen kami.”

Jovan mengangguk. “Terima kasih, Caius.”

Mata Jasmin melebar. Caius bahkan tak pantas mendapatkan ucapan terima aksih tersebut.

Jovan maju satu langkah. Memeluk tubuh sang putri demi menyembunyikan genangan air mata yang mulai membentuk di ujung matanya. “Papa akan sangat merindukanmu.”

Jasmin yang tentu saja merasakan emosi tertahan dari suara sang papa pun seketika merapatkan mulutnya. Membiarkan kepuasan Caius menari-nari di atas penderitaannya.

*** 

Setelah berpisah dengan sang papa di teras rumah sakit, mobil Caius membawanya pergi lebih dulu. Air matanya tumpah, seolah ia benar-benar dipisahkan dari papanya.

Caius melirik sang istri dan tak mengatakan apa pun untuk mengganggu kesedihan Jasmin. Mempertahankan keheningan hingga mobil berhenti di depan gedung apartemen mewah yang berada di kawasan elit kota.

“Kita turun.” Caius membuka pintu di samping Jasmin. Membungkuk untuk menyelipkan kedua lengan di balik lutut dan punggung Jasmin.

Jasmin ingin menolak, tetapi ia tahu keadaannya sedang tak berdaya untuk melawan pria itu. Caius menolak kursi roda yang hendak disiapkan sopirnya. Membawa tubuh Jasmin dalam gendongannya memasuki lobi gedung yang luas.

Untuk sesaat Jasmin dibuat takjub dengan desain interior yang memenuhi pandangannya. Keluarganya adalah keluarga yang sangat berada. Sejak kecil ia berkecukupan. Tetapi ia masih saja dibuat takjub dengan kemewahan yang terpampang jelas di hadapannya.

“Kau menyukai pemandangannya?”

Tatapan takjub Jasmin seketika berubah dingin. Membuang pandangannya dari Caius yang wajahnya sengaja didekatkan.

“Sejak pernikahan kita disahkan, kau juga menjadi pemilik gedung ini, Nyonya Amato,” bisik Caius di telinga Jasmin.

Jasmin membeliak. Nyaris terpekik mengetahui bahwa Caius adalah pemilik gedung ini. Tetapi ia segera menekan ketakjubannya.

Caius berhenti di depan lift, seorang penjaga yang sudah bergegas begitu melihat kedatangan menekan tombol di dinding dengan sidik jari dan pintu lift bergeser terbuka.

Di dalam, pandangan Jasmin tak sengaja memandang tombol lantai paling atas yang menyala. Dalam hati mendesah berat, yang artinya ia akan mengalami banyak kesulitan jika ingin keluar masuk dari gedung ini.

“Ke mana kau akan membawaku?” tanya Jasmin karena Caius tidak berhenti di tempat tidur, dan malah membawanya menuju pintu yang ada di seberang ruangan.

“Sepertinya kau butuh mandi, istriku.”

Jasmin seketika membeliak, menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, Caius. Aku tak butuh mandi. Dan kalaupun butuh, aku bisa melakukannya sendiri. Turunkan aku!”

Caius hanya tersenyum geli. Tak mengurangi kecepatan langkahnya. Membawa Jasmin ke dalam kamar mandi. Mengabaikan rontaan dan penolakan wanita itu yang sama sekali bukan apa-apa.

Caius menurunkan Jasmin di bath up, mengangkat kaki wanita itu yang digips dan menahannya dengan bantalan bola.

“Lepaskan!” Jasmin memukul tangan Caius yang hendak menyentuh kancing di pakainnya.

Caius hanya tersenyum, tetapi matanya menyiratkan ancaman ketika bertanya, “Kau ingin menggunakan cara yang lebih keras?”

Jasmin seketika membeku. Cara yang lebih keras?

“Aku akan mengikat kedua tanganmu, menyumpal mulutmu dengan kain karena kau rupanya cukup berisik meski aku lebih menyukai jeritanmu ketika di tempat tidur. Kemudian melepaskan pakaianmu dengan tanpa kelembutan. Dan jika kau tidak sedikit beruntung karena berhasil memancing gairahku, mungkin aku akan menidurimu di bath up ini sebagai malam pertama kita.”

Jasmin menelan ludahnya. Meski kalimat tersebut diucapkan dengan penuh ketenangan, tetap saja bulu kuduknya meremang. Disergap ketakutan yang membuat napasnya tertahan.

Keterdiaman Jasmin membuat seringai Caius naik lebih tinggi. Tangan pria itu terjulur, membuka kaitan kancing pakaian Jasmin dari yang teratas. “Kuakui terkadang aku suka istri yang defensif sepertimu, Jasmin. Tapi … ada saatnya kau menjadi patuh. Sebaiknya kau tahu kapan dan bagaimana harus bersikap terhadapku. Kau ingat aku bukan pria yang cukup baik hati pada orang yang membuatku kesal, kan? Terutama pada orang tak tahu diri yang menolak kebaikanku.”

Tubuh Jasmin semakin menegang. Oleh gerakan tangan Caius yang semakin turun, sekaligus oleh ancaman dalam suara pria itu yang ia tahu bukan hanya permainan kata.

Caius jelas pria yang pendendam. Penolakannya dua bulan yang lalu membuatnya berakhir dalam ikatan pernikahan dengan pria itu. Membuatnya berakhir di bath up dengan kaki digips yang bahkan tak bisa ia gunakan tanpa bantuan pria itu. Entah kegilaan apalagi yang harus dihadapinya dalam permainan gila ini. Caius Amato benar-benar orang gila yang patut Jasmin takuti.

Caius terkekeh puas ketika wajah Jasmin bergerak ke samping. Membuang pandangan darinya ketika ia sudah berhasil menelanjangi bagian atas tubuh wanita itu. Begitu pun dengan bra yang menempel di dada. Karena Jasmin bersikap patuh, kali ini ia pun menahan gairahnya yang sempat terpancing. Setidaknya sampai ia berhasil membersihkan seluruh tubuh sang istri.

***

Cerita ini udah langsung tamat di Karyakarsa dan ga diebookin, ya. Full akses sampat end + bonus part dan harganya murmer. Tersedia voucher, jadi harganya ga sampe 50k. Apalagi kalo beli koinnya lewat web, harga koinnya jauh lebih murah daripada lewat apk

Nb : Cerita kali ini lumayan menguras emosi, adegan kekerasan dan khusus 21+ ya. Harap bijak dalam memilih bacaan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top