Tiga


Akhtar hanya duduk dan merenung di kursi kebesarannya. Dia memikirkan sikapnya akhir-akhirnya dan juga perlakuan Dira padanya.

Dira gadis yang sangat baik dan penurut. Akhtar heran setiap hari selama satu bulan ini dia selalu mengabaikan Dira. Tapi tidak sedikitpun gadis itu protes atau marah padanya.

Dan itu membuat perang batin. Perasaan bersalah mulai menggerogotinya dan menggoyahkan pendiriannya.

"Hei Bro ... nape lo melamun pagi-pagi?" Seorang pria memasuki ruangan Akhtar dan langsung duduk di sofa.

Akhtar menghela nafas dalam. "Gue bingung, apa alasannya nanti kalau mau menceraikan Dira?"

"Apa? Lo mau nyerein si Dira? Dasar tidak waras."

"Gue nikah sama dia karena di jodohkan. Dulu Bokap gue hutang janji sama Bokap si Dira,"

"Lo yakin mau nyerein si Dira?"

Akhtar mengangguk mantap. "Terus lo mau nikah sama si Celin?"

Akhtar kembali mengangguk. "Lo masih waras 'kan Tar?"

"Ya gue waraslah, kalau tidak waras ngapain gue mau nikahin Celin!"

"Pikirkan dulu baik-baik Bro, jangan sampai ada sesal di kemudian hari,"

"Guh, Teguh ... gue harus menyesal karena apa?" Akhtar menatap orang yang duduk di sofa.

"Semoga saja pikiran gue salah." Sahut Teguh.

"Gue tetap akan menceraikan dia cepat atau lambat. Kasihan Celin karena perjodohan sialan ini dia jadi banyak pikiran dan selalu mengira kalau gue akan jatuh cinta pada Dira."

'Semoga saja apa yang wanita itu pikirkan jadi kenyataan' batin Teguh. "Nanti malam jadi 'kan?"

"Iya. Gue mau jemput Celin dulu baru ke sana,"

"Lo lupa, kalau yang harus di bawa itu bini bukan selingkuhan?" Sahut Teguh ketus.

Akhtar menatapnya tidak suka. "Siapa yang bilang?"

"Lo gak baca kertas undangannya? Si David meminta kita semua hadir bersama istri dan anak kita saja. Tidak tertulis dengan selingkuhan atau wanita simpanan di sana,"

"Sialan lo." Akhtar melemparkan bolpoin ke arah Teguh.

"Jangan bermain-main di depan si David. Dia enggak seperti lo punya bini di rumah, tapi tidur di apartemen selingkuhan,"

Akhtar pura-pura tuli mendengar ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Teguh.

"Gue balik dulu. Jangan lupa bawa si Dira bukan Celin," Teguh segera berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. "Gue lupa. Anggaplah lo lagi mengenalkan calon mantan istri sama teman-teman kita. Gue rasa begitu lepas dari lo si Dira bakalan banyak yang nguber tuh." Teguh membuka pintu dan langsung ngeloyor pergi.

Akhtar termenung memikirkan ucapan Teguh barusan. Dira memang cantik pembawaannya lemah lembut dan keibuan. Dia memang tidak pernah menggunakan barang mewah atau bermake up tebal seperti Celin.

Dira sederhana sedangkan Celin glamor. Padahal Dira lahir dan di besarkan dari keluarga terpandang, berbeda dengan Celin yang kehidupan keluarganya pas-pasan.

Dira akan menerima apa pun yang di berikan orang lain dengan gembira dan mengucapkan beribu kata terima kasih, bertolak belakang dengan Celin  yang akan terang-terangan menolak jika barang tersebut tidak sesuai keinginannya.

Akhtar juga heran melihat sifat Dira yang kalem dan tidak pernah marah. Lain dengan Celin yang akan meluapkan emosinya saat dirinya telat membalas pesan atau tidak menjawab panggilannya. Dan sesudahnya pasti akan meminta hadiah bermacam-macam.

Akhtar bahkan belum pernah sekalipun membelikan hadiah untuk Dira. Dia hanya sering melihat orang tua dan adik-adiknya memberikan hadiah atau oleh-oleh.

Bukankah Dira bisa dan sangat mampu membeli barang-barang seperti itu, tapi kenapa dia selalu tampak bahagia walaupun hanya di belikan jepit rambut oleh adik bungsunya?

"Datang bersama istri?" Akhtar kembali mengingat ucapan teguh. Dia segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi Celin.

Sekali dua kali panggilannya tidak di jawab. Akhtar kembali mencobanya. Hampir 15 menit berlalu dan Celin tidak menjawab panggilan darinya.

"Kemana dia?"

Akhtar akhirnya menghubungi Dira di rumah dan mengatakan pada istrinya supaya nanti malam bersiap-siap. Setelah menghubungi Dira dia kembali mencoba menghubungi Celin berulang kali.

*

Dira meletakan ponselnya wajahnya sedikit pias. Bagaimana ini pikirnya. Di saat dia mencoba untuk menjauh malah dia mendekat.

Dira tidak ingin terbawa perasaan sendiri. Dia segera berdiri dan membuka lemari pakaiannya mencari gaun malam yang akan dia kenakan nanti.

Ah gaunnya hanya sedikit ternyata, Dira segera menghubungi seseorang dan memintanya untuk mengantarkan gaun malam dan juga stelan jas untuk sang suami.

"Hanya menjalankan kewajiban." Gumam Dira sambil menarik nafas panjang.

Menjelang magrib orang yang Dira minta untuk mengantar pakaiannya datang.

"Sudah ada perkembangan sayang?" Ujar ibu mertuanya begitu melihat Dira memegang gaun dan stelan jas.

"Entah lah Bu, Dira bingung mengatakannya."

"Yang sabar Nak, Ibu tidak ingin kalau rumah tangga kalian kenapa-napa,"

Dira tersenyum hangat dan mengelus punggung tangan keriput ibu mertuanya.

"Dira minta doanya dari Ibu, semoga rumah tangga kami baik-baik saja."

"Aamiin."

Dira pamitan dan kembali ke kamarnya. Hatinya tidak yakin sama sekali dengan apa yang di ucapkannya tadi. Ya semua itu hanya untuk menyenangkan ibu mertuanya saja.

Dira sangat yakin kalau Akhtar akan tetap memperlakukan dirinya seperti biasa, tak acuh dan menganggapnya tak kasat mata.

Dira menatap cermin besar di hadapannya, seulas senyuman tersungging di bibirnya bukan senyuman manis tapi senyuman mengejek.

Perlahan air matanya kembali menetes, Dira menarik nafas panjang dan meremas dadanya yang kembali terasa sesak dan nyeri.

"Ya Tuhan ... sampai kapan aku tersiksa begini?"

Dengan kasar tangannya menghapus buliran bening yang melewati pipinya. Wajah cantiknya berubah datar seketika.

Istri mana yang begitu bodoh akan tetap mengemis cinta dan kasih sayang suaminya, padahal dia sudah tahu kalau sang suami setiap malam tidur dengan wanita lain di luar rumah.

Dira tidak bodoh, Dira hanya diam karena takut keluarganya dan keluarga suaminya terluka. Bukan dia tidak tahu menahu apa saja yang di lakukan Akhtar di luar. Dira tahu!

Perlahan tangannya mulai membersihkan wajahnya lalu memolesnya dengan sangat apik.

Anggaplah ini sebagai bonus untuk suaminya, biarlah dia malam ini melihat wajah cantiknya. Karena mungkin setelah ini Dira tidak akan pernah lagi di ajak keluar.

Entah kemana wanita itu, wanita yang sudah membuat suaminya tidak pernah tidur di rumah. Dan membuat dirinya menangis hampir setiap malam.

Pukul 6 sore Dira mendengar suara Akhtar di bawah, sepertinya suaminya sudah pulang. Dira tidak ingin menampakan diri dan menyambutnya, biarlah kali ini suaminya tidak di sambut.

Suara pintu kamar yang terbuka tidak Dira hiraukan, dia masih betah duduk di depan cermin dan merapikan penampilannya.

"Kamu sudah pulang Mas?" Dira menatap Akhtar dari balik cermin.

Akhtar menatap pantulan Dira dari balik cermin, sangat cantik! Dan gaun yang di pakainya sangat pas di tubuhnya. Akhtar menggelengkan kepalan lalu segera masuk ke dalam kamar mandi.

"Sialan wanita itu, kenapa dia berdandan seperti itu?"

Dira mendengus melihat kelakuan suaminya. "Maafkan aku Mas, mungkin setelah ini aku juga tidak akan terlalu peduli padamu."

Dira berdiri dan segera menyiapkan pakaian untuk sang suami. Gaun malamnya dan pakaian yang akan di kenakan Akhtar sangat serasi.

Dira kembali tersenyum manis, sangat manis. Dia berjalan dan mengambil ponsel miliknya.

"Halo Dit, siapkan beberapa orang wartawan, gue sama Akhtar mau datang ke acara gala dinner di Hotel itu."

Dira mematikan panggilannya sebelah pihak lalu kembali meletakan ponselnya.


Pernah berada di posisi Dira dan itu sangat-sangat ... ah sudahlah 😞

Benar kata pepatah, wanita itu bisa menyimpan perasaan cintanya dengan sangat rapi.

Berbeda dengan para pria yang selalu menggebu-gebu.

Dira cerai dari suaminya?

Atau selingkuh balas dengan selingkuh?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top