CDPS 7

SPRING

Aliyyah

~Kau istirahatlah. Hari ini biar aku yang menjaga Kak Arnold.~

Sebuah pesan singkat berdiri bersandar di depan cangkir berisi teh hijau di temani menu sarapan yang lain. Tiga lembar irisan zopf --roti khas Swiss yang permukaanya mirip dengan kepangan rambut-- yang disajikan dengan semangkuk cheese fondue.

Aroma gurih keju yang dicampur bawang putih dan rempah rupanya berhasil membangunkan cacing-cacing yang bersemayam dalam perutku. Aku memilih pergi ke toilet sebelum mencicipi lezatnya saus keju yang tampak menggiurkan.

Mengguyur seluruh tubuh dengan air hangat dan menggosoknya dengan sabun beraroma citrus camomile berhasil mengusir sedikit rasa penat yang bertumpuk. Aku berdiri diam di bawah pancuran air, membiarkan tetesan air hangat memijat lembut kulit kepala.

Lima belas menit, waktu yang cukup untuk membuatku rileks. Aku matikan kran dan membungkus tubuh dengan bath robe putih. Mencari kehangatan di antara lembutnya serat microfiber yang menyerap habis air di badanku. Lalu duduk di tepi ranjang, menyeruput teh hijau yang sudah hampir dingin.

Beralih pada selembar zopf. Menyobek pinggiran roti dan mencelupkannya pada cheese fondue. Aku mendesah nikmat merasakan perpaduan sempurna yang bersatu di mulutku. Lembutnya zopf bercampur dengan gurih saus keju membuat lidahku kalap. Tanpa terasa, aku sudah menghabiskan dua lembar roti dan menyisakan sedikit saus di mangkuk. Meski tidak banyak, tapi sudah cukup membuat perutku terisi penuh.

Aku mengeringkan rambut sebelum menutupinya dengan ciput. Lalu berganti pakaian, celana palazo putih dengan blouse biru muda berlengan melebar ke bawah menjadi pilihanku. Aku memang tak banyak membawa pakaian ganti. Pashmina senada dengan blouse melingkar cantik hingga menutupi dada.

Untuk terakhir kalinya aku memperhatikan pantulan diri di depan cermin. Menarik napas dalam dan memasang wajah ceria. Senyum mengembang sempurna memperlihatkan lesung pipit di pipi kiri. Aku siap. Siap menjadi Aliyyah, seorang asisten yang akan membantu merawat Mister Arnold Vicentino.

***

Matahari sudah beranjak tinggi di langit biru. Udara hari ini terasa hangat, meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Cocok dinikmati untuk berpiknik di taman bersama orang terkasih.

Lausanne begitu ramah lingkungan. Banyak cafe ataupun restauran yang menata meja kursi di pinggiran jalan dan kita sebagai kosumen tidak perlu khawatir akan debu atau polusi dari asap kendaraan. Tak banyak kendaraan berseliweran, itu artinya tingkat polusi di sini sangat kecil.

Menyusuri jalanan Avenue de la sallaz aroma lezat tercium dari sebuah restauran La Creperie Brettone yang menyajikan beragam crepe. Terlihat dari kejauhan dua orang pelayan pria sedang sibuk menata meja dan kursi di depan restauran dengan payung-payung cantik ditiap meja.

Aku menahan rasa penasaran untuk tidak menghampiri La Creperie Brettone, duduk di salah satu kursi di sana sambil menikmati seporsi hidangan khas Swiss.

"Mungkin lain kali," desahku dengan kecewa. Ya, lain kali yang entah kapan.

Plesir menikmati keindahan kota berada dalam list terbawah. Tujuanku kemari bukan untuk bersantai. Sepertinya, aku harus menelan keinginan itu bulat-bulat.

***

Sambutan yang kuterima ternyata tidak jauh dari perkiraanku. Charllene berdiri dengan mata terbelalak dan mulut yang terkatup rapat demi mengekspresikan kekesalannya. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum tanpa dosa dengan memperlihatkan deretan gigi.

"Aku sudah bilang kakak tidak usah kemari. Kenapa masih datang juga?" ucapnya berkacak pinggang.

"Aku tidak apa-apa," balasku meyakinkannya dengan anggukan.

"Kau ini keras kepala sekali. Sama kerasnya seperti dia!" Matanya melirik ke arah Arnold yang bersikap tidak peduli.

"Apa dia menghabiskan sarapannya?"

"Iya," jawab Charllene singkat. Sepertinya dia masih kesal.

"Obatnya?"

"Sudah." Charllene berjalan ke arah sofa dan membanting tubuhnya. "Kau tahu? Aku sampai harus mencubitnya agar dia mau membuka mulut. Sumpah, menyuapi Rafael lebih mudah ketimbang menyuruhnya membuka mulut," protesnya mengeluarkan kekesalannya.

"Kau mencubitnya?" Aku tertawa membayangkan dua kakak beradik ini bertengkar demi sesendok sup krim.

"Berhentilah tertawa!" Arnold dan Charllene berteriak berbarengan menyuruhku berhenti tertawa. Aku langsung menutup mulut, tapi bukan berarti tawaku berhenti. Aku mengulum senyum, menahan tawa.

"Kalian kakak adik yang kompak."

Aku menghampiri Arnold, membenarkan letak selimut. Mengambil alih remote dan mematikan televisi. Matanya sudah sayu, tapi dia masih memaksakan matanya untuk tetap terbuka demi acara tidak jelas.

"Mau saya panggilkan Tobias?" Dia menggeleng. "Kalau begitu tidurlah." Dia memejamkan mata tanpa membantah.

"Dia benar-benar mau menuruti perintahmu tanpa membantah?" Aku mengangkat bahu melihat ekspresi takjubnya. "Sepertinya dia memang hanya akan mendengarkanmu."

Aku mendekati Charllene, duduk di sampingnya. Dia langsung memegang dahiku, memeriksa suhu tubuh. Mengecek denyut nadi sambil memperhatikan gerakan jarum jam. Kemudian mengangguk-angguk.

"Suhu tubuhmu sudah normal. Tapi, aku tak yakin. Kau harus diperiksa. Ayo!"

"Tidak usah, aku benar-benar tidak apa-apa."

"Kalau kau masih ingin di sini, sebaiknya turuti perintahku!" ancamnya dengan kedua tangan bersidekap di depan dada. Raut wajahnya, dibuat sedatar mungkin.

"Oke." Aku menyerah dan memilih untuk mengikuti keinginannya. Toh, ini demi kebaikanku sendiri.

Charllene bergelayut di lenganku dengan senyum kemenangan tercetak jelas di bibirnya. Menghilangkan raut datar yang baru saja dipasangnya. Dasar, ada-ada saja.

***

Sengaja aku menunggu Toby selesai mengurusi Arnold di dalam ruangan. Aku ingin tahu, bagaimana cara Toby memperlakukannya. Duduk diam di sofa, mengamati pergerakan pria itu mengangkat tubuh lemah Arnold dan mendudukkannya di kursi roda.

Untung saja tubuh Toby sama besarnya dengan Arnold, jadi dia bisa dengan mudah memindahkan pria itu. Tidak benar-benar mudah sebetulnya. Tubuh Arnold masih terbilang besar dengan tinggi hampir 190 sentimeter. Meski bobot tubuhnya jauh berkurang, tetap saja berat.

Toby membenarkan letak kaki Arnold. Menekuk kaki kirinya agar dapat menapak dipijakan sedangkan kaki kanannya dibiarkan lurus tersangga pijakan kaki yang diatur sedemikian rupa agar nyaman. Gips yang dikenakan membatasi gerakannya.

Lalu membawanya ke kamar mandi. Ingin sekali aku mengikuti mereka ke kamar mandi demi melihat langsung perawatan yang diberi Toby. Namun, apalah daya. Gerakanku terbatas, Arnold pun pasti tidak akan suka jika aku mengikuti dan menyaksikan ketidakberdayaannya.

Dalam otaknya terbentuk suatu pemikiran bahwa, ketidakberdayaannya adalah kelemahan terbesarnya saat ini. Kelemahan yang sedikit demi sedikit menghancurkan hidup yang dimilikinya dulu. Tidak menutup kemungkinan jika hal itu terus dibiarkan, maka semakin lama dia akan mengalami depresi akut. Stres, frutrasi, putus asa, dan akhirnya memilih mengakhiri hidup karena tidak kuat menanggung rasa malu.

Aku menggelengkan kepala membayangkan kemungkinan terakhir itu. Tidak. Selama aku dibiarkan berdiri di sampingnya, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak, sampai Allah sendiri yang akan menjemputnya dalam keadaan terbaik.

Lebih dari dua puluh menit kemudian, mereka selesai. Toby mendorong kursi roda Arnold, bersiap untuk mengangkat kembali pria itu ke atas ranjang. Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepalaku.

"Toby!" Teriakanku berhasil membuat tangan Toby berhenti. Dia menoleh ke arahku yang berjalan menghampirinya.

"Ada apa?"

"Boleh aku membawanya keluar?"

"Sure, jika Mister Arnold tidak keberatan."

"Aku tidak mau!" Arnold mulai protes dengan tindakanku.

Seakan tak mempedulikan protesnya, aku menyuruh Toby keluar dan akan memanggilnya jika urusanku dengan Arnold sudah selesai. Aku tahu dia tidak akan suka, tapi harus kucoba.

"Kembalikan aku ke atas ranjang!" perintahnya dengan suara keras.

"Tidak, sebelum Anda menghirup udara luar."

"Aku tidak mau!" Suaranya semakin kencang, menggelegar memenuhi ruangan. Aku sempat kaget mendengar kekuatan suaranya.

"Sayangnya, saya akan tetap membawa Anda."

Dia terlihat semakin panik saat pintu terbuka. Gestur tubuhnya jelas terlihat kalau dia ingin lari kembali masuk ke dalam --jika dia bisa. Tapi, aku harus tetap menjalankan rencanaku. Semoga apa yang aku lakukan bisa mengubah pemikirannya.

***

Aku membawanya ke ruang terapi. Diam di balik jendela besar yang menghubungkan dengan ruang terapi. Dimana di sana banyak terdapat orang-orang yang senasib dengannya. Ada korban kecelakaan tabrak lari yang harus diamputasi sebelah kakinya. Ada seorang pria paruh baya yang lumpuh karena terjatuh dari kamar mandi dan tepat mengenai tulang ekor hingga membuat saraf tulang belakang tidak bekerja secara optimal. Ada juga anak kecil yang dengan semangat berlatih berdiri. Rangkaian besi mengelilingi kedua kakinya. Pen khusus terpasang di beberapa titik dari paha hingga engkel menembus tulang.

"Kenapa kau membawaku kemari?"

"Agar Anda bisa melihat bagaimana mereka berjuang," ucapku dengan tatapan tak lepas dari bocah lelaki di tengah ruangan. Membayangkan kesakitan seperti apa yang dirasakan bocah malang itu. "Agar Anda tahu, bukan hanya Anda seorang yang hidupnya terenggut oleh sebuah musibah."

"Mereka sama seperti Anda. Mereka pun memiliki kehidupan yang sempurna sebelum semuanya berakhir di atas kursi roda."

Dia diam.

"Anda lihat pria paruh baya di sana?" Aku menunjuk ke arah pria yang sedang berusaha keras menggerakkan kaki.

Arnold mengikuti arah telunjukku, lalu mengangguk.

"Namanya Denias, usianya sudah 58 tahun. Istrinya meninggal dua tahun lalu karena sakit. Dia hidup sendiri di sebuah desa sekitar danau Geneva. Tiga putranya sudah menetap di luar negeri dan memiliki keluarga sendiri."

Beberapa hari lalu, aku bertemu Denias di taman rumah sakit. Dia sedang menikmati hangatnya sinar mentari ditemani oleh seorang perawat. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Aku tertarik pada pria tua itu dan aku mulai mendekatinya. Berbincang dengan Denias yang memiliki aura optimis yang tinggi.

"Jika dia hidup sendiri untuk apa dia berjuang. Toh, usianya tidak lagi muda. Apa yang bisa diperbuat oleh pria tua sepertinya?" Nada pesimis terdengar jelas dari suaranya.

Kemana perginya Arnold yang mempunyai optimistik yang tinggi? Kemana perginya pria yang selalu memperjuangkan kesempatan, meski kemungkinanya kecil? Kemana?

"Dia memang hidup sendiri, oleh karenanya dia tidak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan hanya mengandalkan orang lain. Dia berjuang meski kemungkinan untuk bisa berjalan seperti sedia kala sangat kecil. Dia tetap bertahan dengan pemikiran, 'Tuhan tidak akan mengembalikan tubuhku seperti sedia kala jika aku sendiri hanya diam.' itu katanya."

Aku berjongkok di sampingnya, memperhatikan wajahnya yang tak mengeluarkan ekspresi apa pun. Tapi, aku tahu otaknya sedang berpikir. Hatinya sedang mencerna apa yang tertangkap oleh mata. Mengumpulkan rasa optimis dan menyebarnya sedikit demi sedikit ke seluruh tubuh.

"Tidak ada yang tidak mungkin. Jika Anda mau, Anda pasti bisa."

Dia menoleh saat kuusap pundaknya. Tatapannya seolah bertanya, "apa aku bisa?" Tanpa ragu aku mengangguk. Berusaha meyakinkannya. Menguatkan tekad yang mulai terbentuk.

"Saya akan menemani Anda."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top