CDPS 21
SUMMER
Aliyyah
Duduk sendiri menikmati semilir angin musim panas sambil ditemani segelas milkshake strawberry bertopping ice cream vanila benar-benar membuatku lupa waktu. Apalagi dengan suguhan alam yang luar biasa indah tersaji tepat di depan mataku.
Jernihnya aliran sungai Limmat yang menjadi daya tarik di Zurich benar-benar sanggup membiusku. Mataku tak bosan memandang liukan air yang berlomba mencapai hilir. Riuhannya begitu menenangkan, menyejukkan gendang telinga.
Aku sedang duduk di salah satu kursi Rathaus Cafe yang berbatasan langsung dengan sungai Limmat yang membelah Zurich utara dan selatan. Banyak cafe yang memanfaatkan musim panas untuk menarik pengujung. Salah satunya dengan cara menjajarkan meja dan kursi cafe di pinggiran sungai. Menyuguhkan pemandangan alami yang sulit ditolak oleh pengunjung manapun.
Kemewahan yang tersaji dalam kesederhanaan. Meja bundar berwarna putih dengan empat kursi hitam yang mengelilingi. Tak usah takut kepanasan, karena payung-payung besar terbentang sepanjang tepi sungai.
Tempat ini agak jauh dari klinik terapi Arnold. Butuh waktu sekitar dua puluh menit menaiki trem untuk sampai di sini. Namun, itu semua sebanding dengan apa yang kudapat.
Segala keresahanku seakan hanyut bersama aliran air. Pikiran yang menggelayut seolah tenggelam sampai ke dasar. Hilang. Lenyap bersama jiwa yang terbang melayang.
Dua hari ini aku sengaja tak menemani Arnold terapi. Hatiku terlalu lemah untuk menyaksikan kebersamaannya bersama Dokter Grayson. Aku terlalu rapuh untuk berdiam diri melihatnya tertawa dengan wanita lain. Wanita yang aku tahu pernah menempati relung hatinya. Wanita yang pernah bertahta dalam pikirannya. Menjadi pelabuhan cintanya dengan segala harap yang tergantung di dalamnya.
Lagi. Posisiku tersingkir oleh masa lalu Arnold. Memaksaku pergi menjauh dari ingatannya. Mendorongku perlahan dari kehidupannya. Sampai kapan aku akan bertahan dengan segala kesakitan ini?
"Ally!" Sebuah suara menyentakku dari lamunan. Dengan enggan menoleh pada sumber suara dan mendapati pria berkulit gelap berjalan ke arahku.
"Kenapa kemari? Dia sudah selesai?" tanyaku pada Toby yang menarik kursi di depanku bersiap untuk duduk.
"Sama seperti kemarin, hari ini pun pasti akan berjalan lambat. Waktu satu jam akan bertambah dengan sendirinya."
"Lalu, kenapa kau tidak menungguinya?"
"Aku rasa, Mister Arnold akan baik-baik saja. Dan, mungkin akan lupa kalau kita menunggunya."
Aku tersenyum miris sambil menggelengkan kepala. Aku tidak mau membayangkan apa yang mereka lakukan sekarang. Melihat mereka mengobrol akrab diselingin canda tawa dari kejauhan saja sudah cukup membuat hatiku porak poranda.
"Ally." Raut wajah Toby seperti orang kebingungan. Ragu untuk mengungkapkan isi hatinya. "Aku tahu hubunganmu dengan Mister Arnold." Aku menatap Toby kaget.
Apa yang dia ketahui?
"Maaf, beberapa waktu yang lalu saat masih di Lausanne aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Miss Charllene," ujarnya dengan wajah menyesal. "Kau istri sahnya, bukan?"
Aku menghela napas. Bersandar ke belakang dengan pandangan tertuju pada aliran air. Kurasa, tidak ada yang perlu disembunyikan. Aku mengangguk pasrah demi menjawab pertanyaan Toby.
"Ally, maaf jika aku terlalu mencampuri urusanmu. Tapi, sebagai teman aku sarankan sebaiknya kau ceritakan padanya siapa dirimu... jika kau menganggapku teman," ujarnya dengan bahu terangkat.
"Tentu saja kau temanku. Teman pertama yang aku miliki di tempat asing ini."
"Syukurlah jika kau menganggapku teman. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu. Apalagi, lusa aku sudah harus kembali ke Lausanne."
"Aku tidak apa-apa. Sungguh!"
Ya, aku tidak apa-apa. Semoga. Ini adalah titik kehidupan yang harus kulalui. Aku tidak bisa memilih jalan hidupku akan bagaimana atau menyusun sendiri skenario yang akan kujalani.
Jika Sang Khalik memberiku jalan berbatu nan terjal. Aku tahu, aku pasti bisa melewatinya. Karena semua yang tertulis oleh-NYA adalah yang terbaik. Jika sekarang aku terpuruk bukan berarti esok akan lebih buruk. Apa yang telah disusun-NYA pasti akan berakhir dengan indah. Bukan begitu?
"Aku tahu kau wanita kuat. Tapi, diam bukan solusi terbaik di sini."
Aku mengangguk. "I'll try."
Satu hal yang perlu aku syukuri. Saat orang yang kuharapkan tidak memedulikanku, ada orang lain yang datang sebagai pengganti yang memberiku kekuatan. Di saat orang yang kucintai pergi menjauh, ada sebagian lain yang datang membuka tangan penuh kasih untukku.
Ah, nikmatnya hidup. Maka, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan?
***
Kami tiba di klinik sepuluh menit sebelum sesi latihan Arnold berakhir. Dia masih di ruang terapi dengan Dokter Grayson yang memijat angkle diselingi tawa ketika Arnold meringis kesakitan. Entah, latihan seperti apa yang dia lakukan tadi. Karena aku tak ada di sini untuk melihat kebahagiaan yang terpancar di sana. Hatiku tak sanggup melihat binar di mata Arnold yang menatap wanita lain dengan begitu mesra.
Kadang aku merasa aneh dengan sakitnya. Kenapa dia hanya melupakanku, sementara ingatannya masih tajam untuk kenangan masa lalu? Kenapa hanya aku yang terlupakan, padahal aku selalu ada di dekatnya? Aku orang pertama yang paling semangat mendukungnya. Tapi, kenapa? Apa cintaku kurang kuat untuk membawanya kembali? Apa cintanya tidak sebanyak yang aku bayangkan hingga dengan mudah tersingkir dan terganti dengan yang lain?
"Mulailah bercerita siapa dirimu. Mungkin itu akan membantu memulihkan ingatannya," ucap Toby yang berdiri di sampingku dengan pandangan lekat menatap dua orang di dalam sana.
"Aku takut dia tidak menerimaku."
"Kau belum mencobanya, jadi mana tahu. Singkirkan rasa takutmu, kecuali jika kau rela tempatmu di duduki wanita lain."
Aku tak menjawab ucapan Toby, tapi meresapinya. Memasukkannya dalam hati sebagai bahan pertimbangan. Mengatur cara agar aku bisa memberitahu Arnold perlahan. Berusaha mengulurkan tangan agar dia bisa kembali padaku.
Arnold keluar dengan wajah berseri. Kebahagiaan tersirat jelas di kedua matanya. Senyum tipis di bibirnya menekankan seberapa bahagia dirinya saat ini. Dokter Grayson mendorong kursi roda Arnold dengan wajah tak kalah bersinar. Seperti, cahaya cinta sedang menyelimuti dua orang dihadapanku.
Membuat mataku silau karena benderangnya. Membuat tubuhku serasa tercabik. Hatiku pun ikut terluka. Luka yang semakin banyak, semakin dalam tanpa ada tetesan darah yang menyertainya.
Seandainya boleh memilih, lebih baik aku saja yang tidak ingat sama sekali. Dibanding harus melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana suamiku jatuh cinta pada wanita lain. Tepat di hadapanku.
"Pemulihannya semakin baik. Jika terus seperti ini, dalam waktu satu atau dua minggu lagi dia bisa berlatih menggunakan kruk," ucap Dokter Grayson dengan wajah berseri.
"Syukur alhamdulillah." Aku mengelus dada mengucap rasa syukur yang tak terkira.
Aku senang mendengarnya. Begitu pun Arnold yang tak pernah berhenti tersenyum. Satu pertanyaan mulai mengusik hatiku, apa kesembuhannya ini berkat Dokter Grayson? Dalam artian, Arnold pulih dengan cepat karena ada Dokter Grayson yang mendorongnya.
Tugas seorang dokter memang mendukung secara total untuk kesembuhan pasien. Tapi, antara mereka tak hanya hubungan antar dokter dan pasien saja yang tercipta. Melainkan lebih dari itu. Hubungan emosional yang melibatkan perasaan.
Aku menggeleng cepat demi menghilangkan pikiran apa pun yang muncul di otakku. Bukankah, prioritas utamaku saat ini adalah kesembuhan fisik Arnold? Melihat dia bisa kembali berdiri tegak dengan kedua kakinya.
***
"Dari kemarin kau tidak menungguiku terapi. Kau kemana?"
Kami sedang berada di balkon menikmati indahnya atap Fraumunster dari kejauhan. Cahaya kemerahan sedikit demi sedikit melahap birunya langit. Membawa tirai hitam tepat di belakangnya.
"Tadi aku pergi ke Rathaus," ucapku sambil tertunduk memotong kuku tangannya.
"Sejauh itu?" Aku mengangguk. "Kemarin?"
"Jembatan sungai Limmat."
Tiba-tiba dia melepaskan tangan dari genggamanku dan balik menggenggam tanganku. Aku menatapnya penuh tanya, pun dengan dirinya yang bingung.
"Kau seperti sedang kesal," ujarnya dengan tatapan intens.
Aku tersenyum, melepaskan diri dan kembali melanjutkan kegiatanku memotong kuku tangannya yang terakhir. Lalu berpindah duduk bersila di hadapannya. Mengangkat sebelah kakinya dengan hati-hati kemudian ditumpangkan pada kakiku, agar memudahkanku memotong kuku kakinya.
"Kenapa aku harus kesal?"
"Ekspresi wajahmu berkata begitu."
"Oh ya?"
"Yes. And please look at me when I talking to you!" ucapnya jengkel, karena sedari tadi kami berbincang tak sekalipun aku menatapnya.
"Aku, kan sedang memotong kukumu. Bagaimana aku bisa melihatmu? Salah-salah malah dagingmu yang kupotong," ucapku setenang mungkin masih menghindari kontak mata dengannya.
"Aliyyah!" desisnya menahan emosi.
Oke, cukup sampai di sini aku membuatnya jengkel. Kupejamkan mata, menelan rasa apa pun yang muncul saat ini. Entah marah atau kesal mungkin juga sedikit dongkol. Bayangan kebersamaannya dengan Dokter Gayson masih saja mengusik pikiranku.
Aku mendongak dengan wajah polos, menatap seolah tak mengerti akan kemarahannya. "Hmm?" Ditambah dengan gumaman yang semakin membuatnya gemas.
"Tatap aku jika sedang bicara! Kebiasaan! Selalu saja memalingkan wajah." Dia menghela napas kesal dan bersidekap.
"Kebiasaan? Dari mana kau tahu kalau itu kebiasaanku?" Aku mengerutkan kedua alis. Seingatku, selama merawatnya di sini aku selalu menatap matanya. Bahkan, jika bisa aku tak ingin berkedip karena tak mau ketinggalan moment apa pun bersamanya.
"Kau selalu saja begitu. Tidak pernah mau menatapku, seolah aku ini singa besar yang akan melahapmu hidup-hidup!"
Aku semakin tidak mengerti. Berpikir kemana arah pembicaraan Arnold. Mengingat kapan aku melakukan hal itu. Lama aku berpikir dan ya, aku ingat.
"Dulu." Ucapanku membuatnya menoleh padaku dengan raut wajah bingung. "Dulu, saat kita pertama kali bertemu. Saat aku masih menjadi asistenmu di kantor. Aku memang tak pernah mau menatapmu."
Wajahnya semakin bingung melihat ekspresiku. Entah wajah seperti apa yang terlihat sekarang. Yang pasti bibirku tertarik ke atas dengan mata berkaca-kaca.
Mungkinkah, sekelebat ingatan tentangku datang menghampirinya?
***
Tanya dong, kalo semisal Aliyyah buka jilbab depan Arnold apa ga apa-apa?
Secara Arnold, kan ga inget sama Aliyyah?
Pliiss, pencerahannya ya 🙇♀️
Tengkyu mbak mbak cantiik yang baik hati ❤
Kritik dan saran tetap aku tunggu. Jangan lupa jempolnya diangkat ya buat pencet vote
Happy reading 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top