CDPS 2
SPRING
"Dia asisten yang akan membantumu selama di sini!"
Sebuah suara tiba-tiba muncul, tepat saat aku akan memperkenalkan diri. Serentak aku dan Charllene menoleh ke arah sumber suara. Carol, berdiri di ambang pintu dengan anggun. Syal bulu menutupi leher hingga sebagian dada. Gaun cokelat susu dengan hiasan corsase mawar tersemat cantik di sisi kanan dadanya. Rambutnya dibiarkan tergerai, menyisir bagian depan agar lebih rapi.
"Apa tak cukup Tobias saja?" protes Arnold sedikit kesal.
"Tobias tak bisa 24 jam menjagamu. Jadi, mommy memanggil orang untuk menggantikan Tobias selama dia tidak ada."
Aku menundukkan kepala, menjatuhkan pandangan ke lantai. Menatap ujung slip on yang tertutup rok berwarna hitam. Kedua tanganku mencengkeram erat ujung blouse hijau tosca yang kukenakan hingga ujung jariku terasa sakit. Bertahan melawan kabut yang semakin tebal di kedua mata.
"Mommy." Charllene mendesah berat.
"Kenapa?" ucap Carol ketus pada putrinya. "Kalau dia tidak mau, mommy bisa mencari pengganti."
"Kalau begitu, kenapa bukan mommy saja yang merawat kakak?"
Charllene mendengkus beranjak pergi dari sisi Arnold untuk menghampiriku. Menyuruhku duduk di sofa dekat jendela besar yang menampilkan langit biru. Ruang rawat ini tidak seperti kamar rumah sakit. Lebih mirip hotel dengan segala fasilitasnya.
"Tidak bisakah kalian diam?" desis Arnold sambil membanting remote di tangannya.
Sontak, gerakannya membuat kami diam seketika. Tak lama Arnold mengerang dengan memegangi kepala. Carol segera memencet tombol yang berfungsi memanggil perawat di sisi ranjang dan dua orang perawat pun datang.
Teriakan kesakitan membahana memenuhi ruangan. Aku berdiri hendak menghampiri, tapi Charllene menahan. Dengan gelengan kepala dia mengisyaratkan agar aku menunggu. Membiarkan dua orang perawat yang dengan sigap memberikan pertolongan.
Charllene membawaku keluar, meninggalkan Arnold yang masih berusaha melawan rasa sakit di kepala. Sekilas aku melihat raut wajahnya. Matanya terpejam dengan rahang yang terkatup kuat. Air mataku tak sanggup untuk diam di balik pelupuk mata.
Ya Allah, kesakitan macam apa yang dirasakannya sekarang?
"Seperti yang sudah dijelaskan oleh Dokter Fischer. Emosinya tidak stabil," ucap Charllene tampak menyesal. Adu mulut bersama Carol menyebabkan sakit di kepala Arnold kambuh.
"Mommy harus pergi. Ada hal penting yang harus kukerjakan." Carol membenahi syal di lehernya dengan gaya seorang bangsawan.
"Hah! Apa perkumpulan sosialita lebih penting dari kesehatan Kak Arnold?" Lagi-lagi Charllene mencibir gemas.
"Tidak usah ikut campur," ucap Carol. Lalu, dia menghampiriku, "Ingat perjanjian kita. Kau boleh merawatnya dengan status sebagai asisten rumah tangga."
"Suatu hari nanti Kak Arnold pasti sembuh. Dan, apa yang akan mommy katakan padanya setelah dia ingat nanti?"
"Dokter mengatakan ingatannya sulit untuk kembali."
"Sulit bukan berarti tidak bisa. Masih ada kemungkinan."
"Terserah kau saja. Yang pasti..." Tatapannya beralih padaku. "Jangan pernah mengatakan siapa kau sebenarnya pada Arnold. Kalau tidak, entah apa yang bisa kulakukan pada kedua anakmu."
"Demi Tuhan Mommy, mereka cucumu!" pekik Charllene tertahan.
Carol hanya menatap Charllene tajam. Lalu melenggang pergi meninggalkan rumah sakit. Entah akan ke negara mana dia sekarang. Carol memang senang sekali melancong ke luar negeri bersama teman-teman sosialitanya.
***
Kutelusuri wajahnya yang terlelap. Efek obat penenang membuatnya tak sadarkan diri. Itu lebih baik, daripada harus merasakan sakit.
Begitulah keadaannya. Cedera kepala mengakibatkan memori Arnold hilang. Saraf otaknya tidak berfungsi dengan baik. Kedua kakinya juga tidak bisa digerakan. Menurut Dokter Fischer, dia akan bisa berjalan kembali setelah menjalani serangkaian terapi.
Berdiri di depan jendela, memandangi langit senja yang membiaskan warna merah. Perlahan menenggelamkan sang surya ke peraduannya, berganti dengan cahaya lembut rembulan di langit yang sama.
Lampu-lampu mulai menyala, ikut menyambut petang. Jalanan di bawah sana benar-benar lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang hilir mudik. Sisanya pejalan kaki yang berjalan cepat ingin segera sampai ke tempat tujuan.
Tidak salah memang Carol memilih tempat ini sebagai penunjang kesembuhan Arnold. Rumah sakit terbaik dengan suasana yang baik pula. Perawatnya pun ramah. Bagaimana tidak, di sini Arnold dilayani layaknya seorang raja dengan fasilitas mumpuni.
Secara medis, dia pasti akan cepat pulih. Semoga.
Aku menoleh ke arah ranjang dan mendapati Arnold bergerak dengan gelisah. Kuhampiri dia. Kedua alisnya bertaut, keningnya berkerut dan mengeluarkan keringat. Buru-buru kuraih tisu, mengelap keringat yang merembes.
Kenapa dia?
"Arn..." Aku berusaha menepuk pelan pipinya. Membangunkannya dari mimpi buruk.
"Nggh, Rani!" Aku tersentak mendengar nama yang dia sebut dalam igauannya.
Tiba-tiba dia membuka mata, napasnya memburu dengan cepat. Seolah seekor harimau baru saja mengejarnya. Mata kami bertemu pandang. Dia menatapku heran, seakan baru sadar dengan kehadiranku. Dia menjauhkan wajahnya, meski dengan gerakan kecil yang tidak kentara.
"Siapa kau?"
Untuk sesaat aku tertegun dengan pertanyaannya. Menatap manik cokelat terangnya seakan menatap pria lain dengan rupa yang sama. Mata yang selalu bersinar hangat menghilang entah kemana. Berganti tatapan asing dengan keryitan tak suka.
"Oh, ah a... aku, saya Aliyyah. Orang yang membantu merawat Anda," ucapku tergeragap salah tingkah.
Rasanya seperti pertama kali bekerja di Vince.inc --perusahaannya. Tatapan dingin yang begitu mengintimidasi persis sama dengan saat pertama kami bertemu. Begitu angkuh dengan tingkat kearoganan level tinggi.
"Panggilkan Tobias!"
"Baik!" Aku mengangguk dan menjalankan perintahkannya.
Mencari pria dengan perawakan tinggi besar berkulit sawo matang. Dia ada di sana, duduk di antara dua perawat yang sedang memeriksa catatan medis pasien. Aku sudah bertemu dengan Tobias saat Arnold tertidur tadi. Sifatnya begitu kontras dengan raut wajah sangarnya.
Wajahnya memiliki garis rahang yang tegas. Bibir tebal, rambut hampir botak dan hampir tidak terlihat senyum di bibirnya. Aku kira, dia pria pendiam yang tak suka basa-basi apalagi bercanda. Tapi, kemudian aku salah. Tobias orang yang sangat ramah. Senyum selalu mengembang saat dia menjelaskan rutinitas Arnold. Dari mulai Arnold membuka mata hingga tertidur. Bahkan, dia menyuruhku untuk memanggilnya dengan Toby. Nama panggilan bagi orang terdekatnya.
"Dia membutuhkanku?" Aku mengangguk saat Toby melihatku mendekat. "Kenapa tidak memencet tombol saja? Aku akan langsung datang begitu bel dipencet."
"Dia menyuruhku mencarimu langsung." Toby mengangguk paham dan bergegas masuk ke ruangan Arnold.
Secara rutin setiap dua jam sekali, Toby membantu mengurusi segala keperluan Arnold di toilet. Dia harus meminta bantuan orang lain untuk melakukan hal kecil. Dua minggu pasca sadar dari koma, dia masih belum bisa melakukan aktifitas fisik.
Selama dua minggu, dia hanya menghabiskan waktu berbaring di ranjang. Belum mau melakukan terapi apa pun yang bisa mempercepat pemulihan. Menurut Charllene, Arnold depresi dengan kondisinya sekarang. Menganggap dirinya manusia rendah dengan kekurangan yang dihadapinya.
Lumpuh, tak bisa bergerak dan akan menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda. Persis seperti kakek tua renta yang menunggu ajal menjemput. Begitu yang dipikirkannya.
Dan, tugasku untuk memotivasinya. Membawa kembali semangat hidupnya. Mengembalikan Arnold-ku seperti sedia kala.
***
Selesai baca jangan lupa Komentarnya, ya.
Bintang kecilnya juga jangan lupa dipencet.
tengkyu <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top